Sabtu, 11 September 2021

Milenial dan Regenerasi Literasi (Digital)

Firman Hadiansyah

(Pengampu MK Pembelajaran Literasi, PBSI, FKIP, Untirta)

Setiap generasi membawa kebudayaannya sendiri, kebudayaan yang berusaha terbedakan dengan budaya induknya. Kita menyebutnya sebagai subkultur. Maka pertentangan, pergesekan, termasuk negosiasi di dalamnya, menjadi fragmen yang akan dan terus terjadi. Pada tahap ini, generasi yang mengemban kebudayaan -sub memang sengaja mendefamiliarisasi dan berusaha membuat garis demarkasi tegas, sementara generasi dominan yang stagnan dan nyaman dengan kebudayaan induk akan selalu mempromosikan keunggulan dengan mengaktivasi sejumlah bukti sehingga generasi kini harus belajar pada generasi sebelumnya. 

Kendati demikian, hal yang takdapat disangkal adalah hadirnya pergesekan antargenerasi ini sebetulnya meyakinkan bahwa sirkuit kebudayaan terus-menerus tumbuh. Jika kebudayaan ini kita asosiasikan sebagai pohon, maka ranting-ranting itulah yang kemudian kita pahami sebagai sub-kultur. Alih-alih melakukan pemberontakkan terhadap kebudayaan induk, justru subkultur hanyalah variasi lain dari kebudayaan dominan; karena pada akhirnya subkuktur itu sendiri akan berusaha tetap hidup dan ber-kembang, di mana elan vitalnya dipasok dari pohon besar bernama kebudayaan dominan.

Subkultur Milenial

Dari segi istilah, kata “sub-kultur” merupakan pembeda dari budaya dominan. Subkultur berada di tepian dari induk kulturnya yang berposisi di pusat. Istilah –sub memiliki jarak, sehingga subkultur sering dirujuk pada bentuk perbedaan dari kebudayaan pada umumnya. Bahkan pada predikat lain, anggota subkultur dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang. Hal tersebut terlihat dari beberapa penelitian mengenai komunitas Skinhead, Teddy Boys, Punk, Holigan, geng motor, yang dianggap sebagai komunitas “menyimpang” oleh budaya dominan.

Perkembangan penelitian subkultur berkembang pula pada aspek-aspek formasi kaum muda yang lebih diterima masyarakat umum, misalnya penelitian  etnografis Roger Grimshaw yang berjudul “Perkemahan Pramuka Taman Hijau” dan kemudian pada institusi dan relasi yang lebih sentral misalnya tentang transisi anak laki-laki dan gadis kelas pekerja dari sekolah ke kerja; karya tentang pekerja kasar muda; serta pekerjaan domestik dan upah para perempuan. Secara menyeluruh, hal ini telah mentransformasi  perhatian sebelumnya yang lebih bersifat ‘subkultur’ (Hall, 1980). 

 Namun demikian, pertanyaan mengenai batasan subkultur dengan masyarakatnya terus menjadi perdebatan yang tiada akhir. Perdebatan tersebut dipertanyakan oleh Barker (2000) yang berusaha menjelaskan posisi subkultur dengan masyarakatnya. Ia mengatakan bahwa studi subkultur adalah upaya untuk memetakan dunia sosial dan dengan demikian terjadi latihan untuk merepresentasikan sesuatu yang kemudian bisa digambarkan dalam dunia sosial atau menerjemahkannya ke dalam sosiologi (atau kajian budaya atau salah satu disiplin ilmu lainnya) tanpa harus terjebak dalam proses konstruksi.

Pernyataan Barker mengenai subkultur lebih dikerucutkan oleh Brake (2003: 24) yang menyatakan bahwa subkultur berguna di bidang penyimpangan kolektif dan memberikan fungsi tertentu kepada kaum muda. Potensi penyimpangan kolektif anak muda ini pun menjadi titik tekan bagi Hodkinson (2007: 8) dalam meneliti karena pada periode ini nilai-nilai identitas kolektif dan gaya hidup tersebut melekat pada periode yang cukup lama.

Pada kutipan di atas, bisa dimaknai bahwa kehadiran studi subkultur merupakan upaya yang dilakukan untuk melihat fenomena yang ada di masyarakat sehingga lapisan-lapisan yang ada di masyarakat bisa terpetakan dan hal ini sangat berguna untuk pengembangan disiplin ilmu lainnya terutama dalam memosisikan anak muda sebagai bagian subkultur dari budaya dominan yang ada di masyarakat.

Paul Mannheim (1927) mengenalkan teori generasi melalui sebuah esai berjudul “The Problem of Generation” yang memprediksi bahwa manusia-manusia di dunia ini akan memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio sejarah yang sama. Cikal bakal inilah yang kemudian dikelompokkan oleh para sosiolog ke dalam beberapa istilah seperti generasi era depresi, generasi baby boomer, generasi x, generasi Y, generasi Z hingga generasi Alpha.

Hari ini kita hidup di generasi milenial atau dikenal juga dengan generasi Y. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh editor majalah di Amerika Serikat pada tahun 1993.  Armour (2008) menjelaskan bahwa tidak ada konsensus mengenai tanggal lahir yang tepat menentukan Gen Y, juga dikenal oleh beberapa orang dengan istilah echo boomer dan millennium. Tetapi definisi terluas umumnya mencakup lebih dari 70 juta orang Amerika yang lahir tahun 1977 hingga 2002. Generasi X lahir kira-kira tahun 1965 hingga 1976. 

Referensi lain mengemukakan bahwa kelahiran generasi milenial dimulai pada awal tahun 1980 hingga tahun 2000. Disebut sebagai generasi milenial karena generasi ini hidup di pergantian ke-2 milenium dan secara bersamaan, di era ini mulai muncul teknologi digital. Konsekuensi ini, jika merujuk cara berpikir Paul  Mannheim, maka generasi ini memiliki referensi historis dan sosiologis yang sama dan pada akhirnya membentuk serta mempengaruhi cara bertindak yang autentik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Ciri generasi Y ditandai dengan karakteristik connected, multitasker, tech-savvy, collaborator/cocreator, social, adventurer, transparent, work-life balance.

Literasi Digital

Pada generasi sebelumnya istilah fashion, food, fun (3F) menjadi trend setter. Ketiga hal ini dianggap sebagai parameter pencapaian konsumerisme anak muda untuk memperlihatkan identitasnya. Pada generasi Y, dalam konteks yang lebih sosial media, kemudian bertransformasi menjadi friends, fans dan followers. Pergeseran ini memperlihatkan bahwa generasi Y sudah memiliki habitat yang lebih intens dan mendapatkan kemerdekaannya di dunia maya.  

Asumsi di atas diperkuat oleh hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 bahwa 143,26 juta masyarakat Indonesia sudah mengakses internet dengan perincian sebagai berikut. Usia 13-18 tahun 16,68%, usia 19-34 tahun 49,52%, usia 35-54 tahun 29,55%, dan di atas 54 tahun 4,24%. Dari data tersebut membuktikan bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi Y yang penggunaannya sebagian besar dipakai untuk mengakses media sosial dan kanal visual seperti youtube, tiktok dan Netflix. 

Paul Gilster (1980) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber ketika disajikan melalui komputer dan, khususnya, melalui media Internet. Dia menekankan apa yang dilihat sebagai perbedaan yang melekat antara media informasi digital dan media cetak konvensional. Literasi digital melibatkan menyesuaikan keterampilan dengan media baru yang menggugah, [dan] pengalaman di Internet akan ditentukan oleh bagaimana kita menguasai kompetensi intinya. Kompetensi ini tidak hanya sekadar mengoperasikan secara teknis namun literasi digital melibatkan penguasaan ide, bukan penekanan tombol semata. Gilster mengidentifikasi empat kompetensi literasi digital utama: perakitan pengetahuan, mengevaluasi konten informasi, mencari di Internet, dan navigasi hypertext. Literasi dalam konteks ini adalah keterampilan untuk dapat mengakses dan memanfaatkan teknologi dengan bijak.

Lalu bagaimana dengan literasi konvensional seperti buku? Bagaimana masa depannya? Jauh sebelum Johann Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1455, manusia telah menulis dalam bentuk pictogram dan melalui evolusi yang panjang kita mengenalnya kini sebagai tulisan latin. Sebelum 1455, manusia menulis di dinding gua, lempengan batu dan lempung, papyrus, kulit binatang, kertas daluang (terbuat dari serat tanaman) hingga daun lontar. Revolusi peradaban itu muncul ketika Gutenber menemukan mesin cetak. Kendati ia sendiri tidak menikmati glorifikasi atas temuannya itu karena bangkrut, umat manusia berratus tahun lamanya menikmati temuannya hingga kini. Lalu ketika di era digital sekarang apakah buku konvensional ala Gutenberg itu akan hilang dan beralih ke buku elektronik?

Karakteristik membaca di internet sangat berbeda dengan membaca buku pada umumnya. Istilah “berselancar” membuktikan bahwa masyarakat mengakses internet tidak untuk “menyelam” dan mendalami. Umumnya pengakses berada di permukaan untuk mendapatkan informasi yang instan, sehingga buku konvensional masih dianggap sebagai momentum yang menyenangkan bagi para penikmat bacaan. Masa kini adalah masa transisi. Dalam hal ini, perlu waktu setidaknya 20-30 tahun untuk dapat menggantikan buku konvensional, bahkan mungkin lebih lama. Hal ini tidak bisa disamakan dengan terpuruknya koran-koran yang gulung tikar dan  beralih ke digital.

Namun demikian, pada masa transisi ini, buku elektronik memang menjadi sebuah kisah baru yang menggantikan para pembaca yang kesulitan mencari buku konvensional di perpustakaan. 

Proyek Gutenberg yang bisa diakses di guttenberg.org adalah proyek buku elektronik pertama di dunia yang berdiri pada tahun 1971 oleh  Michael S. Hart.  Buku tersebut tersedia dalam bentuk HTML, PDF, EPUB, MOBI dan Flucker. Kini PG sudah memiliki lebih dari 60 ribu buku yang bisa diakses secara gratis. Di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, buku elektronik baik legal ataupun tidak, sudah menjadi konsumsi para akademisi dan cendekia. Perpustakaan Nasional memiliki ribuan buku koleksi yang bisa diakses, begitupun perpustakaan daerah, perpustakaan universitas, bahkan perpustakaan sekolah. Dengan semangat e-resource, buku ini menjadi resource sharing, sebagai salah satu karakteristik generasi Y. Artinya, jika mengamati pola perkembangan buku elektronik, problematika yang dihadapi hari ini bukan lagi menghadapi isu “minat membaca” namun bagaimana 143,26 juta masyarakat Indonesia yang sudah mengakses internet dan sebagian besarnya adalah generasi Y memiliki hasrat untuk membaca buku sehingga termanifestasi menjadi sebuah subkultur baru. 



Referensi

Adam, Aulia. 2017. “Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z” https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX  diakses 20 Juni 2021 pukul 22.30.

Armour, Stephanie (6 November 2008). "Generation Y: They've arrived at work with a new attitude". USA Today. Diakses tanggal 20 Juni 2021. Pukul 23.16.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publications.

Brake, Michael. 2003.  Comparative Youth Culture The Sociology of Youth Culture and Youth Subcultures in America, Britain and Canada. New York: Routledge.  

Gilster, Paul. 1998. Digital Literacy. John Willey &Sons. 1st Edition

Hall, Stuart, Doroty Hobson, Andrew Lowe, Paul Willis (ed). 1980. Culture, Media, Langueage. London and New York: Routledge.

Hodkinson, Paul. 2007. “Youth Cultures: A Critical outline of Key Debates.” Dalam Youth Cultures Scenes, Subcultures and Tribes. Editor Paul Hodkinson dan Wolfgang Deicke. New York: Routledge.

Mannheim, Karl. 1927. “The Problem of Generations” http://marcuse.faculty.history.ucsb.edu/classes/201/articles/27MannheimGenerations.pdf diakses 20  Juni 2021 pukul 23.30.

Yuswohadi. 2016. “Millenial Trends 2016” https://www.yuswohady.com/2016/01/17/millennial-trends-2016/ diakses 20 Juni 2021 pukul 23.00.



PERGURUAN TINGGI DAN MENARA AIR


Peresmian gedung Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) kampus Sindangsari yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo disambut kebahagiaan oleh sivitas akademik dan masyarakat Banten secara umum. Kehadiran Presiden menjadi simbol sekaligus pengakuan bagi institusi kampus yang terus memperbaiki kualitas. Terobosan-terobosan konsep, segala prestasi baik oleh mahasiswa dan dosen, termasuk tenaga kependidikan di dalamnya, ternyata sampai ke telinga pemegang kebijakan di negeri ini. Tentu ini patut disyukuri. Untirta sudah mulai menjadi kampus yang laik diperhitungkan sebagai kampus besar dan bermartabat. Kerja panjang universitas dengan segala problematikanya memang belum tuntas dan mungkin takakan pernah tuntas. Namun, setidaknya, dalam perjalanan institusi ini, berhenti sejenak pada momen-momen historis semacam ini penting untuk disikapi. Bukan hanya menjadi senandung perayaan; juga menjadi ruang kontemplatif.

Hijrah Intelektual

Pada peresmian tersebut, Presiden Jokowi memberikan sambutan yang singkat namun cukup bermakna dan dapat menjadi perbincangan panjang. Sambutan Presiden tidak hanya tertuju pada Untirta, tetapi menjadi konsentrasi bersama bagi insan Perguruan Tinggi/ akademisi di Indonesia. Pertama, ia menggarisbawahi keteladanan dari Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Nawawi al-Bantani, simbol perpaduan kekuatan ulama dan umaro yang mewakili  karakter kepemimpinan dan intelektual. Perguruan tinggi harus menjadi pusat pengembangan keilmuan dan pusat kaderisasi kepemimpinan nasional. Kedua, Untirta harus berperan sebagai lokomotif kemajuan di Provinsi Banten dengan tetap bersikap moderat, menghargai kemajemukan dan kebinekaan. Ketiga, Perguruan Tinggi tidak di menara gading, tapi harus memfungsikan diri sebagai menara air, di mana hasil penelitian kampus harus langsung dirasakan oleh masyarakat.

Dari ketiga hal itu, hal yang paling menarik dari obrolan warung kopi dosen dan mahasiswa di kampus tertuju pada dikotomi antara “menara gading” dan “menara air”. Sudah menjadi persepsi umum bahwa akademisi hari ini seperti berada di menara gading, menjadi masyarakat eksklusif, sulit terjangkau masyarakat pasar, dan memiliki predikat sebagai brain trust adiluhung. Anggapan semacam ini tentu bisa menjadi kekhawatiran bersama bahkan bisa menjadi bagian dari pengkultusan yang naif. Maka ketika Presiden melontarkan ini di dalam sambutannya, ia menjadi representasi Negara untuk merekatkan bahkan mentransformasikan dikotomi yang ada itu. Di sisi lain, akademisi yang berada di Perguruan Tinggi itu juga penting untuk mawas diri sehingga pengalaman literernya perlu untuk disubstitusikan kepada publik yang lebih luas. 

 Jika menelusuri kembali makna akademik pada relnya, seperti yang ditulis oleh Mahbub Setiawan, bahwa akademik adalah kata yang mencerminkan kebebasan, kejujuran, transparansi yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Maka sejatinya tidak ada istilah berbau akademis, terlalu akademis atau sebutan lain yang seolah-olah mencerminkan keadaan yang terisolasi dari realitas publik.

Akademik adalah sebutan sebuah kawasan terbuka bagi siapapun masyarakat yang dapat melontarkan gagasan apapun secara terbuka/ inklusif. Ia tidak direduksi oleh latar balakang kelas masyarakat atau kepentingan-kepentingan pragmatis. 

Potensi ini juga sempat dipresentasikan oleh pemikir seperti Antonio Gramsci yang memilah antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Cara berpikir Gramscian, jika dikaitkan dengan pesan Presiden, maka intelektual tradisional inilah yang dianggap sebagai menara gading, sementara intelektual organik diposisikan sebagai menara air yang dengan kapasitasnya dapat menjawab kebutuhan dari kebuntuan problematika publik sehingga dapat terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di lingkungan masyarakat. 

Dua kondisi ini memang terjadi di institusi akademik dan menjadi persinggungan yang alamiah. Penyebabnya adalah akademisi disibukkan dengan kegiatan pengajaran dan penelitian sehingga kodrat lainnya untuk melakukan pengabdian pada masyarakat, yang jelas-jelas menjadi ruh Tridarma Perguruan Tinggi, sering keteteran dan masih dianggap sunah dengan tenaga penghabisan di luar pengajaran dan penelitian. Pengabdian pada masyarakat dianggap telah terjadi ketika mahasiswa melakukan KKM selama satu bulan dan dosen cukup datang di awal dan akhir kegiatan. 

Jika ada akademisi yang memiliki konsentrasi pada problematika sosial di masyarakat dan melakukan advokasi yang bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, malah menjadi isu yang tidak menyenangkan di internal kampus. “Anda itu dosen, bukan LSM, maka bertindaklah seperti dosen pada umumnya.” Cara pandang semacam ini tentu berkebalikan dengan pesan Presiden yang menginginkan Perguruan Tinggi menjadi menara air. Maka momentum ini seyogianya dapat menjadi hijrah intelektual bagi masyarakat kampus untuk kembali memfungsikan dirinya dalam mengadvokasi dan menjawab kebutuhan publik. Penelitian-penelitian yang dilakukan harus didesiminasi dan tidak berakhir pada jurnal-jurnal ilmiah yang sebetulnya hanya diakses oleh akademisi itu sendiri dengan saling kutip satu sama lain untuk menambah kredit kenaikan pangkat.

Belajar Merdeka melalui Kampus Merdeka

Menara air yang dimaksud Presiden sebetulnya sudah diikhtiarkan oleh Dirjen Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan mengusung Program Kampus Merdeka. Kebijakan kini, Perguruan Tinggi justru ditantang oleh Negara untuk merealisasikan menara air. Misalnya mahasiswa diperbolehkan untuk belajar di luar kampus bahkan dihargai setara beberapa SKS jika melakukan praktik kerja, membangun desa, mengajar di sekolah bahkan menjadi relawan kemanusiaan. Artinya akademisi di kampus memang harus membongkar cara berpikir tradisional dan langsung bergumul dengan masyarakat, menjadi agen intelektual yang dapat menawarkan kebaruan-kebaruan dengan konsepsi yang lebih terbuka. Paradigma kampus yang masih mengutamakan birokrasi harus mulai dipangkas. Komunitas-komunitas literasi, masyarakat dan kemanusiaan yang selama ini terlibat di masyarakat harus diundang  dan diberikan mimbar akademik seluasnya.

Masyarakat umum yang haus ilmu pengetahuan harus diakomodir oleh kampus dengan melaksanakan diskusi-diskusi, bedah buku dan konser-konser intelektual secara berkesinambungan sehingga kampus tidak lagi dianggap eksklusif yang hanya menawarkan jasa keilmuan semata dan mengabaikan problematika masyarakatnya.

Selasa, 21 Januari 2020

Demo Gaya Anak Muda Era Dilan


Oleh Firman Hadiansyah*)

Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa baru-baru ini di pelbagai kota besar di Indonesia, telah menjadi alarm bagi kita sebagai bangsa. Selayaknya alarm, ada yang terbangun dari tidur lelapnya dan menjadi bagian dari penyaksi sejarah, ada juga yang pura-pura tidak mendengar karena dianggap sebagai aktivitas lazim sehari-hari bahkan tidak menjadikan kegiatan tersebut sebagai sebuah fenomena. Biarlah pembelahan itu terjadi. 
Dengan perkembangan media massa yang sangat canggih dan deras, siapapun akan mudah mendapatkan informasi atas kejadian tersebut. Bagi orang-orang yang nyaman dalam institusi dominan, apa yang dilakukan mahasiswa bukanlah kejadian yang gagah. Bahkan lazimnya kebudayaan orangtua, maka yang terbersit dalam pikirannya adalah membandingkan dengan angkatan sebelumnya ketika usia mereka sedang mekar-mekarnya di masa lampau lalu dilanjutkan dengan pernyataan semacam ini, “saya juga pernah jadi aktivis dan apa yang dilakukan mahasiswa sekarang sangat tidak terorganisir, tuntutannya tidak jelas, payah dan lebay. Jangan-jangan mereka tidak pernah membaca rancangan undang-undangnya.” Setidaknya begitulah pengakuan yang kita simak pada debat di televisi dan tulisan parsial yang bertubi-tubi di media sosial.  Klaim merasa lebih baik dan literat dari generasi sebelumnya memang ciri khas kebudayaan orangtua yang cenderung jumawa dan selalu berusaha menggurui dalam setiap kesempatan. 
Namun bagi anak-anak muda yang baru lepas dari ritus kanak-kanak dan belajar mengkonstruksi identitasnya untuk masuk dalam ruang youth culture (budaya anak muda),perlawanan mahasiswa yang diperlihatkan itu dianggap heroik, inspiratif dan penuh gaya. Semprotan water canon dan gas airmata yang dilawan dengan tegak telah menumbuhkan ruang imaji yang solid. Mengalirnya darah dari pendemo dan pekik perlawanan adalah potongan partisi yang mendidihkan angan-angan. Apa lagi dengan viral-nya video para siswa STM yang berlarian dalam shaf demonstrasi mahasiswa dan disambut dengan gegap gempita, makin merepresentasikan imaji ideal sebuah perlawanan itu. Video itu sangat mirip dengan film Dilan ketika mereka hendak tawuran. Dengan energi meluap khas anak muda, maka bisa jadi budaya anak muda hari ini layak disebut sebagai budaya anak muda era Dilan yang santai menghadapi problematika hidup tetapi garang jika ada yang mengusiknya.
Dalam tulisan ini, saya tak hendak mengikuti perangai generatif yang mengatakan bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan siswa itu ditunggangi dengan agenda tertentu, ada yang mengarahkan dan sejumlah tendensi lainnya. Bagi saya cara-cara semacam itu terlampau sumir dan abstrak. Maka yang hendak didedahkan adalah mengurai fenomena demonstrasi itu dalam bingkai budaya anak muda.
Budaya anak muda adalah sebuah subkultur yang sering dikontraskan dengan budaya dominan. Ia selalu berupaya untuk membuat diferensiasi  sebagai ajang dalam mengkonstruksi identitas sosialnya sehingga terbedakan dengan budaya dominan. Maka perlawanan terhadap institusi keluarga, masyarakat dan negara menjadi bagian yang tak terpisahkan. Perlawanan yang dilakukan biasanya diperlihatkan dengan penuh gaya. Namun dalam ranah sosiologis, seperti yang terlihat pada  zaman Orde Baru, bahkan hingga kini, istilah anak muda/ pemuda yang dianggap politis dan berkonotasi revolusioner kemudian didefinisikan ulang menjadi remaja atau ABG (Anak Baru Gede) yang memiliki kesan apolitis. 
Di dalam melakukan konsep perlawanan, mereka memanfaatkan dan cukup lekat dengan pop culture sebagai bagian dari kehidupan keseharian. Jadi jangan kaget jika pada demonstrasi yang terjadi di era ini dan tidak pernah terjadi pada era sebelumnya, muncullah pamflet-pamflet kekinian yang membuat kita tersenyum misalnya “Itu DPR apa lagunya Afgan? Kok sadis” atau “Jangan matikan keadilan, matikan saja mantanku.” Gaya semacam ini seakan mencoba untuk menarik demarkasi antara kebudayaan anak muda yang santai dengan kebudayaan dominan yang serba serius dan penuh target-terget tertentu.
Dari sisi jenjang usia, PBB mendefinisikan usia anak muda antara 10-24 tahun. Namun demikian, PBB mengakui bahwa terdapat pemahaman yang bermacam-macam dalam mengklasifikasikannya. Pemahaman sosial, dan budaya dari berbagai kelompok tersebut serta bagaimana definisinya pada tingkat nasional maupun daerah perlu dipertimbangkan lebih lanjut.Disinilah posisi siswa dan mahasiswa memiliki pertautan. Mereka sama-sama merasa bagian yang saling terkoneksi seperti selera, ruang aspirasi, gaya hidup dan terkomodifikasi, karena pada tataran tertentu budaya anak muda tidak membedakan institusi formal seperti anak sekolah atau mahasiswa. Maka ketika siswa ikut demonstrasi seperti para mahasiswa, mereka sebetulnya tidak mencari “kebenaran.” Stimulasi yang muncul adalah mereka merasa menjadi bagian dari budaya anak muda yang memiliki kelas yang sama sehingga demonstrasi yang dilakukan adalah upaya untuk menggapai konstruksi identitas sosial.
Sayangnya ada ruang kosong yang menjadi kelemahan pada budaya anak muda yaitu masih munculnya ketergantungan secara kapital dan sosial. Pada fase ini, anak muda tidak memiliki independensi sehingga kontrol yang dilakukan oleh budaya dominan menjadi sangat kuat. Mereka bisa saja berdemonstrasi tetapi negara melalui tangan-tangan aparat di lapangan yang membereskannya lalu mengembalikan kepada institusi keluarga dan masyarakat. Dengan konstruk budaya dominan itulah aparat seakan memiliki legitimasi untuk menghantam dan meredam walaupun di sisi lain, ketika di masa-masa tenang, negara sering membuat diktum yang ber-oposisi dari perilakunya di masa genting, misalnya, “pemuda adalah harapan bangsa” atau “pemuda adalah tulang punggung negara.”
Berdasarkan pemikiran di atas dan menautkan pada konteks hari ini, demonstrasi siswa dan mahasiswa kepada institusi dominan seperti Negara adalah konkretisasi dari cara mereka dalam melakukan perlawanan. Isu yang dikembangkan hanyalah alasan awal untuk memperlihatkan kecemasan mereka dalam merespons persoalan di negeri ini. Panggung elite yang memperlihatkan keonaran seperti revisi KPK yang tiba-tiba,  dan rancangan undang-undang lainnya telah membuat anak-anak muda jengah dan terusik sehingga dengan cara semacam itulah mereka ingin mendapat perhatian bahwa pada akhirnya merekalah yang nanti akan “terbebani” dan menjalani produk-produk regulasi itu. Maka mendengarkan suara anak muda adalah keniscayaan karena semangat zaman telah beralih.





*)Pengamat Youth Culture, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten

Rabu, 10 Mei 2017

MOTOR LITERASI DAN KPK



Oleh Rona Gokma Auldia

Hari ini saya pergi berkunjung ke KPK. Saya bisa pergi ke sana karena diajak oleh papa genk Moli, pak Firman Venayaksa. Saya pergi ke tempat itu bersama teman-teman moliwan lainnya, diantaranya ada  Zaenal,  Ivan, Aldi, dan Pak Firman Sendiri. Awalnya ketika kemarin setelah rapat akbar Moli untuk acara Tour Literasi ke Warung Banten, ia mengajak kami untuk ikut ke KPK. Saya sempat tidak ingin ikut karena pak Firman mengatakan bahwa besok akan berangkat dari Rumah Dunia pukul 10:00 WIB yang berarti pada saat itu saya baru saja selesai mata kuliah pertama. Selanjutnya pukul 13:00 WIB akan dilanjut lagi dengan mata kuliah Bahasa Inggris. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan saya menolak tawaran pak Firman untuk ikut bersamanya ke KPK walaupun sebenarnya saya tertarik untuk ikut karena saya yakin akan mendapatkan pengalaman yang berharga di sana yang mungkin teman-teman lainnya tidak miliki. Hal lainnya adalah karena MoLi ini bekerja sama dengan KPK, masa iya, saya sebagai anggota relawan Moli tidak pernah silaturrahmi ke tempat rekan kerja.

Keesokan harinya ketika saya kuliah pagi, ternyata dosennya belum datang juga sampai pukul 09:00 WIB, saya kembali berpikir apakah saya ikut saja ke KPK atau tetap melanjutkan kuliah, eh ternyata dosennya datang di jam-jam terakhir mata kuliah ingin berakhir. Saya kembali ragu jika ingin ikut, karena khawatir waktunya tidak akan terkejar jika saya memaksakan untuk ikut. Karena dosen itu selesai mengajar pukul sepuluh. Akhirnya saya meminta kepada Pak Firman untuk memberikan toleransi waktu untuk terlambat agar saya bisa ikut, dan ternyata ia mau menunggu saya dan teman saya Fakhry. Senangnya. Tetapi ketika sudah selesai kuliah dan ingin ke rumah dunia, Fakhry mengabarkan ke saya kalau dirinya tidak bisa ikut dikarenakan ada sesuatu yang gawat di kosannya. Akhirnya saya pergi sendiri ke Rumah Dunia. Saya tidak mengikuti mata kuliah yang ke dua, Bahasa Inggris. Di tengah perjalanan, saya mendapat kabar dari grup WA kelas bahwa mata kuliah bahasa Inggris diganti hari esok. Yeaay! Saya merasa beruntung telah membuat keputusan yang tepat dengan ikut ke KPK. Tak lama saya sampai di rumah dunia kami langsung berangkat ke tempat tujuan, kali ini kami tidak membawa motor ke Jakarta seperti yang kami lakukan bersama komunitas motor kami, Motor Literaasi melainkan memakai kendaraan pribadi milik papa genk Moli. Untuk memecahkan kebosanan, sepanjang perjalanan kami nikmati dengan mengobrol-ngobrol renyah satu sama lain.
Jadwal pertemuan pak Firman dengan pihak KPK pukul satu siang di gedung KPK yang baru, gedung Merah Putih. Selain menjadi kantor, Gedung Merah Putih ini merupakan tempatnya para tahanan KPK. Tetapi kami tiba di tempat pukul satu lebih lima belas menit. Setibanya kami di gedung Merah Putih, Moli tidak pernah melupakan kebiasaannya untuk always eksis di dunia maya, yaitu take a picture and shared it to Moli group.

Kami masuk ke KPK, semua barang bawaan kita harus di cek di sana supaya aman, mungkin. Karena kita tahu orang-orang KPK ini merupakan orang-orang hebat yang lumayan tidak disukai banyak pihak karena terlalu jujur mungkin dalam memberantas korupsi, hehe. Mengingat kejadian beberapa waktu belakangan ini Novel Baswedan, bagian dari KPK yang disiram air keras setelah melakukan ibadah salat subuh di rumahnya. Kami menyerahkan KTP kami kepada resepsionis di sana untuk ditukar dengan kartu khusus untuk tamu KPK. Gedung KPK ini canggih menurut saya, karena kita harus menggunakan kartu itu supaya bisa masuk ke ruangan mana pun yang ada di sana. Jadi, tidak bisa sembarangan orang yang memasuki wilayah KPK. Kalau tidak punya kartu itu, kita hanya bisa sampai ruang depan saja. Semua akses pintu sudah diatur dengan sistem yang keren. Coba kalau Untirta seperti itu, hehe.

Di dalam ruang rapat, saya dan rekan-rekan mahasiswa yang ikut bersama pak Firman hanya duduk di sekitar mereka dan menyimak apa yang sedang mereka diskusikan. Saya kagum dengan mereka semua, Pak Firman, Mbak Melvi, Kang Sandry, Direktur Dikyanmas dan segenap pihak KPK yang tadi ikut rapat. Mereka semua adalah orang-orang hebat yang turut berpartisipasi untuk kemajuan bangsanya. Konsep yang mereka miliki untuk mendistribusikan ribuan bahkan puluhan ribu buku supaya tidak ada lagi daerah tertinggal yang kekurangan pasokan buku bacaan sangat luar biasa. Semangat mereka sangat berapi-api. Niat mereka sangat tulus dan mulia. Mereka sudah membuktikan dengan banyak membaca bisa membuat dan mengubah diri sendiri menjadi lebih baik dan dengan tulisan bisa mengubah dunia, seperti kalimat yang tertulis di rumah dunia. Saya sangat tertarik ketika seorang direktur KPK bicara seperti ini “waktu itu saya pergi ke Afrika bawa tiga ratus buku untuk dibagikan di sana, tetapi sebelum sampai ke Afrika, saya transit dulu di Eropa”, lalu ditimpali mba Melvi “iya, itu saya kemarin juga sebelum ketemu pak Jokowi saya habis dari Malaysia (kalau tidak salah dengar), minggu ini saya mau bawa buku KPK ke Singapura untuk dikenalkan di sana”. Waw, saya terheran-heran karena mereka menceritakan perjalanan mereka ke luar negeri seperti sedang menceritakan perjalanan sehari-hari saya dari Bekasi-Ciwaru yang harus transit ke Pakupatan terlebih dahulu, tetapi mereka sudah berada di level atas. Jadinya gimana ya, saya kagum. Saya ingin seperti mereka yang memberikan dampak positif bagi negara. Kelak saya akan seperti mereka, Amin.

Ternyata sangat berbeda ketika melihat KPK yang sedang rapat dengan organisasi-organisasi yang lain. KPK sangat to the point ketika rapat dan waktu yang mereka punya untuk rapat benar-benar dimanfaatkan dengan baik dan langsung mendapatkan hasil yang sangat brilian. Suasana waktu rapat juga santai, tidak kaku tetapi tetap mendapatkan hasil yang baik setelah rapat.

Selesai rapat, kami kembali ke meja resepsionis untuk mengambil KTP kami dan mengambil satu dua foto untuk kenang-kenangan dari sana. Kami mengantarkan mba Melvi ke tempat kerjanya di Kompas Gramedia Palmerah sekalian “ngerampok” buku untuk Moli sumbangkan nanti pada tanggal 13-14 Mei di Warung Banten. Kami membawa 1 dus buku yang berisi 69 eksemplar buku. Setelah itu kami pulang. Kami rehat sejenak di rest area untuk mengisi amunisi. Lalu kami melanjutkan perjalanan kami kembali ke Serang. Di perjalanan, sepertinya Pak Firman memang sengaja menyiapkan sebuah film dokumentasi tentang Dauzan Farook untuk kami tonton, seorang veteran dan aktivis Muhammadiyah berumur 79 tahun yang di masa tuanya masih berjuang mengembangkan minat baca di daerah Yogyakarta. Ia berkegiatan sejak tahun 1993. Saya merinding dengan kegigihan Simbah. Pak Firman menambahkan bahwa ketika kuliah, dia mendatangi rumah Dauzan Farook untuk belajar gerakan literasi kepadanya.

Setelah film usai, kami tiba di Rumah Dunia dengan keadaan selamat dan bahagia, sambil menghitung hasil "rampokan" buku dari Gramedia.

Terima kasih saya ucapkan kepada pak Firman atas ajakannya, mbak Melvi atas donasi bukunya, dan teman-teman semua yang ikut serta pada kegiatan hari ini.


Sekian.
#salamliterasi
#motorliterasi
#kpk
#aclc

Kamis, 27 April 2017

Motor Literasi Distribusikan Buku Literasi Antikorupsi



Serang, komunitas Moli (Motor Literasi) mendistribusikan satu paket buku yang berjumlah 100 eksemplar  buku dari KPK untuk Taman Baca Masyarakat (TBM) Jawara, yang berlokasi di Jalan Pelabuhan Karangantu, Kelurahan Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Rabu (26/04).

Firman Venayaksa, penggagas komunitas Moli dan tercatat sebagai Dosen Untirta  memberi  informasi bahwa akan ada 25 paket buku dari KPK yang akan diberikan melalui komunitas Moli kepada TBM yang aktif dan kekurangan bahan buku bacaan. “Ada sekitar 25 paket buku yang berjumlah 100 ekslemplar buku dari KPK untuk TBM yang aktif dan kekurangan bahan buku bacaan dan akan diberikan melalui gerakan Moli,” kata Firman. "Dari buku-buku inu, setiap TBM diharapkan membuat pojok baca KPK Membumi," harapnya.

Gerakan Moli dan KPK tersebut mendapat respons positif dari Badri Sya’ban, sebagai ketua TBM Jawara, karena sangat membantu TBM yang ia kelola untuk melengkapi koleksi buku bacaan. “Terimakasih KPK dan Moli, hal ini sangat membantu kami untuk melengkapi  bahan koleksi buku bacaan,”  ujar Badri.

TBM Jawara berdiri sejak 28 Maret 2016 yang masih dalam proses pembangunan karena tempatnya sempit dan berada di pojok belakang masjid namun memiliki 30 relawan yang terdaftar. Salah satu program TBM Jawara yaitu gelaran buku di Kaibon setiap minggunya agar menjadi jembatan bagi masyarakat dalam memberikan ruang baca dan mendekati  buku.

“Program yang terus berjalan salah satunya adalah gelaran buku di Kaibon tiap minggu sekali yang tetap intens agar menjadi wadah masyarakat dalam memberikan ruang baca,” tambah Badri.

Setelah selesai memberikan buku, komunitas Moli dan TBM Jawara bekerjasama mengadakan penggelaran buku, menggambar dan mewarnai di Pelabuhan Karangantu yang diramaikan oleh Mobil Perpustakaan Keliling Rumah Dunia, dari pukul 16.30 – 17.50 WIB. Selain itu para relawan Moli dan TBM Jawara mengadakan diskusi sederhana mengenai sejarah kesultanan Banten, terutama tentang pelabuhan Karangantu yang dulu menjadi salah satu pusat peradaban di Indonesia.

“Baru Kali ini ada gelaran buku di Pelabuhan Karangantu, hal ini bernilai positif bagi anak – anak zaman sekarang untuk lebih mencintai buku, karena kebanakan anak-anak suka membaca melalui internet yang terbuka dan bebas sedangkan buku masih tertutup dan tersusun rapih,” kata Faat salah seorang pembaca asal Kaibon. (Taufik)

Senin, 17 April 2017

PERKEMBANGAN GERAKAN LTERASI DI BANTEN *)


Sekitar 10 tahun belakangan ini, di Indonesia, istilah literasi mulai mewabah; Mulai dari literasi finansial, literasi lalulintas bahkan literasi kopi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Gerakan Literasi Nasional, mulai memunculkan enam literasi dasar yaitu literasi bahasa, literasi berhitung/ numeric, literasi sains, literasi teknologi informasi dan media, literasi keuangan serta literasi kebudayaan dan kewarganegaraan. Pertanyaannya, apakah literasi itu?

Secara etimologis, literasi diambil dari bahasa latin “literatus” yang berarti orang yang belajar. Menurut UNESCO , pemahaman seseorang mengenai makna literasi sangat dipengarungi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan pengalaman. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa entitas literasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia hadir atas pengaruh dari pelbagai institusi sosial yang melingkupinya.

Jika kita menggali dari sisi istilah, maka kita akan bertemu beberapa kata yang berdekatan yaitu literacy (literasi), literary, literature/ litere (literatur) bahkan letter (huruf). Terlepas dari istilah-istilah yang muncul tersebut dan pasti akan berkembang sesuai dengan definisi yang dianut, potensi benang merah dari semua itu adalah menukik pada aktivitas membaca dan menulis. Dengan demikian, konsep literasi bermula pada dua keterampilan berbahasa tersebut, sehingga apapun pengembangan definisi literasi, maka ia tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas membaca dan menulis.

Apa lagi jika kita merunut pada sejarah dijadikannya tanggal 8 September sebagai “International Literacy Day” yang didasari dari konferensi Tingkat menteri Negara-negara anggota PBB pada tanggal 17 november di Teheran, Iran. Waktu itu hampir 2/3 masyarakat dunia buta huruf sehingga momentum “International Literacy Day” menjadi vocal point di dalam mengingatkan dunia mengenai persoalan ini. Jadi jika ada yang “menggugat” terjemahan dari “International Literacy Day” menjadi “Hari Aksara Internasional” dari sisi historis inilah kita dapat memahaminya, walau dari sisi fungsional, istilah literasi dikecilkan maknanya menjadi hanya sekadar “keaksaraan”. Setelah 50 tahun sejak ditetapkannya di Taheran, ada baiknya Indonesia mengubah kembali istilah ini kembali ke muasalnya menjadi “Hari Literasi Internasional” karena isu buta aksara sudah dianggap hampir selesai.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa literasi menjadi tren baik di kalangan pemerintah, institusi formal hingga komunitas? Bagi Indonesia yang hingga kini masih dilabeli sebagai Negara berkembang, urusan literasi (dengan definisi yang lebih general) belumlah usai. Kita masih dibayang-bayangi oleh kemampuan literasi yang rendah. Menurut data Unesco, pada tahun 2012, minat membaca masyarakat Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya dari 1000 penduduk, hanya 1 orang yang mau membaca dengan serius. Pada pemeringkatan terbaru, menurut data World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia hanya satu peringkat lebih baik dari Botswana, sebuah Negara miskin di kawasan selatan Afrika. Aspek yang diuji antara lain perpustakaan, Koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Sementara untuk urusan akses media internet, Indonesia justru masuk dalam peringkat ke-6 besar sebagai pengguna internet terbesar setelah Cina, Amerika serikat, India, Brazil dan Jepang.  Problematika yang dilematis seperti inilah yang sekarang ini melanda Indonesia. Jika lebih dari 83,7 juta masyarakat Indonesia mengakses internet pada tahun 2014, dan menurut perkiraan eMarketer pada tahun 2017 ini akan meningkat mencapai 112 juta orang dan diprediksi mengalahkan Jepang, pertanyaannya digunakan untuk apakah masyarakat Indonesia ketika mengakses internet? Jawabannya media sosial. Masyarakat Indonesia menempati rangking ke-2 di dunia setelah Amerika serikat.

Dalam konsep budaya membaca, setidaknya ada tiga pengelompokkan yaitu iliterat, aliterat dan literat. Iliterat adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengenal dunia baca-tulis. Aliterat adalah masyarakat yang sudah terbebas dari buta aksara. Mereka bisa membaca dan menulis tetapi tidak menjadi bagian dari kebudayaannya. Sementara kelompok yang ketiga adalah masyarakat literat yaitu masyarakat yang sudah menjadikan membaca dan menulis terfungsikan dan menjadikannya sebagai sebuah kebudayaan. Jika melihat pengelompokkan tersebut, masyarakat Indonesia, kendati masuk dalam peringkat ke-2 di dunia yang menggunakan facebook, tetap menjadi bagian masyarakat yang aliterat karena secara konsep dan karakteristiknya, pengguna media sosial hanya memakai tulisan sebagai alat komunikasi lisan. Artinya kendati memakai sarana “letters” tetapi penggunaannya lebih cenderung untuk “lisan”. Hanya sedikit saja pengguna media internet di Indonesia yang menjadikannya sebagai sarana literat seperti mengunduh e-book atau mendapatkan sarana informatif yang transenden. Umumnya, para “pembaca” facebook adalah pembaca permukaan. Ia hanya membaca untuk sekadar tahu, belum masuk terlalu dalam pada ranah pengetahuan, sehingga mindset aliterat tetap dipergunakan kendati ia memakai “tools” yang seakan literat.

“Melawan” Unesco
Kesadaran literasi di Banten, sebagai nukilan awal untuk memperlihatkan kepedulian komunitas terhadap problematika literasi di Indonesia bisa dipelajari dari Komunitas Rumah Dunia. Sebagai komunitas literasi yang berdiri pada tahun 2002, Rumah Dunia cukup konsisten dalam menggerakkan publik terkait pentingnya budaya membaca. Di dalam penelitian Stian Haklev, seorang peneliti dari Kanada  Rumah Dunia adalah salah satu komunitas Taman Bacaan yang berdiri atas pengaruh dari runtuhnya Rezim Orde Baru dan munculnya Orde reformasi. Kemunculan Taman Bacaan Independen ini juga beranjak dari kesadaran literer yang tumbuh karena sulitnya masyarakat mengakses bahan bacaan. Rumah Dunia yang digagas oleh Gol A Gong, Toto St Radik dan Rys Revolta dimuarakan sebagai komunitas learning center terutama sastra dan jurnalistik. Sebagai komunitas yang terbuka, Rumah Dunia menjadikan pembelajarnya (juga) sebagai relawan. Dari sinilah cikal bakal gerakan literasi, terutama di Banten, berkembang. Bahkan Rumah Dunia menjadi salah satu pendorong terbentuknya Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten yang ketika itu ironisnya justru dipertanyakan kemanfaatannya untuk masyarakat Banten oleh anggota DPRD. Lima belas tahun kemudian, sekitar 400 Taman Bacaan masyarakat tumbuh di Banten. Secara langsung atau tidak, Rumah Dunia menjadi bagian penting dari menjamurnya TBM di Banten. Pada titik ini, parameter kepedulian dari komunitas maupun masyarakat mulai berangsur terbukti. Fenomena ini juga menjadi semacam “perlawanan” komunitas terhadap penghakiman yang dilansir oleh Unesco mengenai minat membaca masyarakat Indonesia yang masih sangat rawan.

Konsep penting yang muncul di Komunitas Literasi/ Taman Bacaan Masyarakat di Banten adalah dengan menjadikan TBM tersebut sebagai learning center. TBM tidak hanya berupaya untuk mendekatkan bahan bacaan kepada penggunanya (masyarakat), tetapi juga melakukan empowering berupa softskill maupun hardskill yang secara jelas terlihat. Misalnya, di TBM Kedai Proses, konsep TBM diarahkan pada pendekatan teater dan kultural. Mereka menggunakan pendekatan ini untuk menjadikan TBM sebagai magnet bagi anak-anak muda dan mahasiswa untuk datang dan menjadi bagian dari TBM tersebut. Sebagai TBM yang diinisiasi oleh Kampus STKIP Setiabudhi Rangkasbitung, Kedai proses juga dikenal sebagai TBM berbasis kampus. Hampir semua relawannya adalah civitas akademika. Selain TBM yang independen, ada juga TBM yang menyatu dengan Pusat Kegiatan belajar mengajar (PKBM) sehingga bagi pengguna TBM, di sisi lain mereka juga bisa memanfaatkan PKBM sebagai sekolah nonformal sehingga jenjang keilmuan tetap bisa diakses.

Motor Literasi
Pada tahun 1986, Baharudin, seorang guru di daerah Menes Pandeglang, dengan memakai motor yang berisi buku-buku bacaan, ia berkeliling untuk mencari pembaca. Pada masa yang sama, Di Rangkasbitung, ada penyewaan buku bacaan Rengganis yang juga cukup terkenal. Pada tahun tersebut, bahan bacaan masih digandrungi oleh pembaca. Selain karena hiburan masih terbatas (hanya ada TVRI) bahan bacaan menjadi alternatif hiburan dan pendidikan kendati mereka harus menyewa bahan bacaan. Namun, seperti pengakuan Baharudin, kini buku bacaan tidak lagi terlalu digandrungi, padahal ia sudah tidak lagi meminta pembacanya untuk menyewa. Hal ini berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh TBM Sumlor yang dimotori oleh Ugas. Ketika mereka mendatangi desa-desa dengan Bajaj literasi, pembaca di setiap desa cukup antusias. Untuk mendatangkan pembaca, Ugas yang dikenal sebagai pendiri Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ) Rangkasbitung memulainya dengan pendekatan musik. Strategi ini menjadikan TBM Sumlor tetap diminati dan didatangi oleh pembacanya.

Seperti ketika hendak berperang, strategi harus dimiliki oleh penggiat literasi. Tak-tik dan gaya para penggiat tentu berbeda di masing-masing tempat. Secara umum, TBM di Banten memiliki dua konsep layanan. Pertama layanan klasikal yang menunggu pembaca mendatangi TBM, kedua layanan proaktif, agar bahan bacan bisa mudah diakses oleh pembacanya, beberapa komunitas literasi/ TBM berusaha mendatangi pembacanya. Pada tahun 2008, Rumah Dunia sudah memulai layanan perpustakaan keliling ini. Sebuah Bajaj dengan kekuatan 80cc dipakai untuk mengangkut buku-buku. Bajaj ini diperoleh dari bantuan Nurani Dunia dan XL Care dan mendatangi kampung-kampung di sekitar Kota dan Kabupaten Serang. Selain membuka perpustakaan keliling, untuk merangsang pembaca, terutama anak-anak, relawan Rumah Dunia mengadakan lomba-lomba seperti baca puisi dan menggambar. Pada tahun 2009, karena Rumah Dunia mendapatkan motor perpustakaan keliling dari Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) maka Bajaj dialihkan penggunaannya ke TBM Kedai Proses dan tak lama kemudian beralih ke TBM Sumlor KPJ Rangkasbitung. Pada tahun 2014, Rumah Dunia diamanahi oleh Majalah Ummi untuk bertanggungjawab mengelola mobil perpustakaan keliling. Di sisi lain, TBM Kedai Proses dibantu oleh Kemdikbud. Mereka diamanahi mobil GIM untuk melayani para pembaca di daerah Banten. Dengan berbekal beberapa kendaraan tersebut, strategi jemput bola dengan mendatangi langsung ke masyarakat adalah tipe lain dari kounitas literasi untuk mendekatkan buku kepada para pembacanya.

Pada tahap ini, kemunculan TBM dengan melakukan upaya mendekatkan diri dengan pembacanya sudah mulai marak dilakukan. Para relawan literasi memiliki kepercayaan bahwa TBM tidak hanya semata-mata statis. Mereka berusaha pula untuk bergerak dengan harapan semakin banyak masyarakat yang bisa mengakses buku. Pertanyaannya, bagaimana jika geng motor ikut bergerak untuk terlibat dalam gerakan literasi ini?

Bukan rahasia umum bahwa geng motor sering menjadi biang kekacauan. Dengan gaya subkultur mereka, geng motor sangat ditakuti dan menjadi “musuh” masyarakat. Menurut data Indonesia Police Wach mengungkapkan bahwa setiap tahun lebih dari 60 orang tewas karena ulah geng motor. Kondisi ini makin memperkeruh citra geng motor di Indonesia. Di dalam teori cultural studies, budaya anak muda dan geng motor tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Di dalam perkembangannya, Cultural Studies menaruh perhatian yang cukup besar pada subkultur. Para teoresi di Brimingham Centre seperti Hebdige, Clarke, Cohen, McRobbie, Willis dan Grossberg pernah membahas mengenai subkultur terutama yang dikaitkan dengan musik khas, gaya pakaian, aktivitas hiburan, tari dan bahasa yang diasosiasikan dengan anak muda. Selain sebagai peneliti, perhatian mereka terhadap kebudayaan anak muda terjadi karena mereka bagian dari generasi babyboomer.

Dari segi istilah, kata “sub-kultur” merupakan pembeda dari budaya dominan. Subkultur berada di tepian dari induk kulturnya yang berposisi di pusat. Istilah –sub memiliki jarak, sehingga subkultur sering dirujuk pada bentuk perbedaan dari kebudayaan pada umumnya. Bahkan pada predikat lain, anggota subkultur dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang. Hal tersebut terlihat dari beberapa penelitian mengenai komunitas Skinhead, Teddy Boys, Punk, Holigan, geng motor, yang dianggap sebagai komunitas menyimpang oleh budaya dominan.

Dengan demikian, anggota geng motor kerap kali dianggap sebagai komunitas yang menyimpang. Hal ini dikarenakan entitas komunal mereka yang tidak bisa dipahami oleh institusi dominan. Di dalam perkembangannya, dengan pelbagai peristiwa geng motor yang cukup negatif beberapa perkumpulan motor melakukan redefinisi dan membuat status social baru dengan mengganti istilah “geng” menjadi klub, komunitas atau kelompok. Gaya eufimisme ini tentu bisa diterima walaupun dalam beberapa aspek, mereka tetap terbedakan dengan institusi induknya.

Namun, beberapa waktu ini, terjadi fenomena yang cukup menarik untuk ditelisik. Di Banten, beberapa geng (baca: komunitas, kelompok, klub) membentuk sebuah kelompok besar yang dinamakan “Motor Literasi” (Moli). Moli yang diinisiasi oleh penggiat literasi (Forum TBM), mahasiswa dan komunitas motor di Banten cukup menjadi oase di tengah percaturan politik yang kian hari kian menjemukkan. Kini anggota Motor Literasi sudah berjumlah sekitar lima puluh orang dan terus bertambah. Seperti yang dilansir oleh detik.com (16/04/2017) bahwa aktivitas Moli digagas sekitar 2 bulan lalu. Motto yang mereka pakai adalah “Read More, Ride More”. Tujuannya selain menggelar lapak buku di car free day di kota-kota se-Banten, perkumpulan ini juga melakukan pengembangan taman bacaan di desa-desa. Selain itu, hampir setiap hari mereka mendatangi (door to door) rumah-rumah yang hendak menyumbang buku.

Seperti diketahui para pengelola TBM umumnya masih kekurangan buku. Moli menjadi solusi dengan menjadi “bridging” antara masyarakat yang hendak mendonasikan buku dengan TBM yang membutuhkannya.  Kelebihan dari komunitas motor adalah jumlah pengikutnya yang cukup banyak. Di Moli, ada empat komunitas motor yang sekarang berkumpul yaitu Indonesian Rider, Supermoto Lebak, Kombo Banten dan komunitas Vespa. Dengan menyebarnya anggota-anggota mereka di berbagai kabupaten di Banten sangat memudahkan dalam pengambilan buku-buku langsung ke rumah. Hanya dalam satu bulan, sudah lebih dari 2000 buku yang didapat. Sebelum mereka memberikan donasi buku kepada TBM yang membutuhkan, mereka melakukan Shorting-Packing-Distributing (SPD). Selain itu, mereka juga bekerjasama dengan KPK, terutama ikut mengkampanyekan dan memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang antikorupsi.

Motor Literasi yang kini mulai terlibat di dalam gerakan literasi di Banten, turut menambah khazanah strategi literasi yang dilakukan oleh pelbagai pihak. Ikhtiar yang cukup menarik ini dengan melakukan komodifikasi terhadap geng motor, secara tidak langsung mulai mengikis citraan negatif bagi pencinta motor di Banten khususnya. Di sisi lain, dengan kehadiran Motor Literasi, setidaknya ada sejarah baru bagi pengembangan budaya baca di Banten.

*) disampaikan pada seminar literasi yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten, 17 April 2017.

Jumat, 14 April 2017

MOTOR LITERASI KUNJUNGI SAUNG PINTAR









Serang,- Jumat (14/04/2017) Warga kampung Asem, Desa Labuan, Mancak, Serang, Banten kedatangan Motor Literasi (Moli) dalam rangka launching "Saung Pintar" yang digagas oleh Dede Nurholis, mantan BEM LP3i. Peresmian ini dibuka oleh Kepala Desa setempat, Jeje Rusmana tepat pukul 8:30 WIB. "Saya mendukung pendirian Saung Pintar ini, bukan hanya seratus persen, bahkan seribu persen," katanya, "apapun yang dibutuhkan oleh Saung Pintar ke depan, saya akan penuhi," tambahnya.

Program-program Saung Pintar ini di antaranya, Taman Bacaan, Baca Buku Ensiklopedia, Belajar Mendongeng, Belajar Mengaji, Hafalan Al-Quran, Hafalan Doa-doa Harian, Belajar Kerajinan Tangan, Kreasi Seni dan Bakat.
"Dengan adanya Saung Pintar ini diharapkan bisa memberikan ruang belajar kepada anak-anak kampung," ujar Dede. Ia juga menambahkan, "dengan program-program yang ada, semoga masyarakat bisa ikut serta merealisasikan dan meraimaikan tempat ini."

Pemuda lajang ini, mengaku mengenal dunia literasi berawal dari Komunitas baca di Pandeglang, Banten dan sekarang ia ingin mengaplikasikan kampungnya, katanya.

Antusias warga yang datang menambah kemeriahan acara perdana ini. "Kami sebagai teman sangat senang melihat kegigihan Dede yang bersemangat ingin memajukan warganya. Gagasan ini keluar dari ide sendiri. Padahal, ia masih bekerja di pabrik," jelas Agung dari Komunitas motor Indonesia Riders yang sekarang ini terlibat di Motor Literasi (Moli).

Pada kesempatan tersebut, Moli ikut menyumbang buku dan majalah anak-anak. "Kami dari Motor Literasi ikut mendukung pendirian Saung Pintar ini. Semoga banyak masyarakat Banten terketuk hatinya untuk ikut menyumbang buku untuk diakses oleh masyarakat yang belum terjamah buku-buku bacaan," ujar Nugra, yang ikut menginisiasi pendirian Motor Literasi. (Wahyu Al-Jawi)

Selasa, 11 April 2017

Forum TBM Mengutuk Keras Penyerangan Novel Baswedan


Kepada: Yth Presiden Joko Widodo di Tempat

Kami Forum Taman Bacaan Masyarakat mengutuk keras teror dan tindakan penyerangan terhadap Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal hingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Sudah berulang kali intimidasi dan teror terhadap KPK, termasuk kasus kriminalisasi pimpinan KPK yakni Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.

Untuk diketahui, Novel telah beberapa kali mendapat teror. Tahun lalu, Novel ditabrak mobil saat mengendarai sepeda motor menuju kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Novel juga dipidanakan atas meninggalnya tahanan, ketika ia menjadi penyidik di Bengkulu, yang telah terjadi pada tahun 2004.

Semua teror terhadap KPK dan Novel Baswedan khususnya, datang setelah Novel memimpin penyidikan berbagai kasus besar, di antaranya kasus korupsi simulator SIM di Kepolisian. Terpidana kasus ini adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Novel sekarang sedang menyidik perkara mega korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP.

Kami mendukung penuh gagasan "Nawacita" Presiden yang menyebutkan bahwa pemberantas korupsi serta penegakan hukum harus dilakukan secara adil.

Untuk itu kami mendesak Presiden agar:

1. Perintahkan pada Polri agar sesegera mungkin menangkap pelaku kekerasan terhadap Novel Baswedan.

2. Usut tuntas semua pihak yang terlibat dalam upaya kriminalisasi KPK

3. Terus lindungi dan perkuat KPK sebagai lembaga penegak hukum yang masih dipercaya masyarakat.

Kami yang menyatakan dukungan terhadap KPK:

TTD
Firman Venayaksa
(Forum Taman Bacaan Masyarakat Nasional)
087871616662

Senin, 10 April 2017

MOTOR LITERASI MENJUMPAI PANDEGLANG


(catatan kecil dibuat sebelum sarapan)
Oleh Kelanaraya HS

Moli kembali beraksi menyebarkan virus membaca di masyarakat. Kali ini Alun-alun Pandeglang yang menjadi titik sasaran. Sebelumnya, Moli menyambangi Alun-alun kota Serang dan Alun-alun Rangkas Bitung. Dari dua tempat tersebut, Moli mendapat sambutan hangat dari kalangan masyarakat.

Pagi masih teramat sepi, Minggu (9/4). Matahari di langit timur belum terbit. Embun yang dingin bersama kabut tipis pelan-pelan turun menyelimuti pekarangan Rumah Dunia. Pagi itu, di Rumah Dunia tampak lain dari pagi biasanya. Firman Venayaksa, dosen Untirta dan penggerak Moli, sudah berdiri gagah dengan mengenakan kostum ala geng motor. “Bangun-bangun, sudah jam lima nih. Molor mulu. Ayo berangkat-berangkat!” Dari satu kamar relawan, Firman berjalan mengketuk kamar relawan lain. Para relawan Moli yang masih tertidur, langsung bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka dan bersih-bersih.

Setelah para relawan Moli membersihkan diri, mereka bahu membahu mengeluarkan buku dari Gong Library yang sudah ada di dalam boks untuk dibawa. Sekira pukul lima pagi, relawan Moli memacu kendarannya dengan berkonvoi menuju Alun-alun Pandeglang.

Pagi itu, menjadi pengalaman yang berkesan bagi teman-teman relawan Moli. Dengan membonceng buku-buku di belakang motor, dan suasana dingin yang menggigit kulit, mereka senang gembira memacu kendaraannya sambil bernyanyi-nyanyi kecil di atas motor. Aku sendiri, yang baru kali ini ikut bergabung membawa boks buku merasakan aura lain. “Ini kegiatan `gila`, kataku. “Mau-maunya relawan Moli mengorbankan kebahagiaan empuknya kasur. Mau-maunya mereka meninggalkan kebersamaan akhir pekan bersama keluarga.”

Ya, mungkin Inilah yang disebut perjuangan. Mereka bergerak tanpa ada bayaran, malah sebaliknya, keluar uang untuk bensin dan makan. “Gerakan ini murni atas dasar nurani,” kata Kibau, salah satu relawan Moli dari Rangkas. Kalau Kegiatan seperti ini terus digalakan, rasa-rasanya Banten kedepan akan lebih baik dari hari ini, apalagi kalau pemerintah terkait ikut mendukung dan mau berkumpul sekaligus bergerak.

Budi Darma pernah mengatakan bahwa dalam suatu masa yang jauh, Inggris ketika dibawah kekuasaan Ratu Elizabeth dan Victoria penah ada dalam satu masa terpuruk dan berada di persimpangan jalan.  Untuk menumbuhkan dan memperbaiki hali itu, Inggris memberikan ruang seluas-luasnya untuk masyarakatnya gemar membaca, menulis dan berdiskusi. Tempat-tempat perkumpulan dibuat. Penulis, seniman dari luar diundang untuk datang ke Inggris.

Sekarang, bisa kita lihat. Bahasa Inggris menjadi bahasa Internasional. Negaranya maju. Bahkan melahirkan banyak sastrawan-sastrawan besar seperti Charles Dickens, TS Eliot—sekadar menyebut beberapa nama.

Kembali kepembicaraan awal mengenai perjalanan Moli. Setelah kurang lebih menempuh waktu satu jam, relawan Moli sampai di Alun-alun Pandeglang. Kendaraan langsung diparkirkan. Buku-buku diturukan dari dalam boks. Spanduk yang digunakan untuk alas buku digelar di atas trotoar. Ketika semua beres ditata, Firman baru sadar ternyata ada hal yang tertinggal. “Waduh kacau, spanduk yang ada tulisan baca grtasinya ketinggalan,” kata Firman.

Malam itu, aku dan Iyoy, relawan yang baru bergabung di Rumah Dunia ditugaskan untuk mengecek buku-buku dan peralatan yang dibutuhkan. Ketika pengecekan tidak ada spanduk yang bertuliskan “baca buku gratis”. Selebihnya, backdrop ada dan tetata rapih. Maka, kami hanya membawa bacakdrop tersebut.

Untuk mensiasati hal itu, kawan-kawan dari relawan Moli lalu membuat tulisan gratis membaca dengan sobekan kardus. Mengingat di dua tempat sebelumnya yang dikunjungi masih ada anggapan pengunjung gelaran buku-buku Moli berbayar, walaupun tulisan di spanduk jelas “BACA BUKU GRATIS”.

Ketika menggelar dan merapihkan buku-buku, kawan-kawan dari geng Motor Kombo,  Indonesia Rider, Super Moto Lebak datang dengan membawa buku di ransel dan kendarannya. Tidak saja teman-teman geng motor, teman-teman dari FTB Pandeglang ikut meramaikan kegiatan Moli dengan menggelar koleksi buku-bukunya.

Suasana pagi itu terasa sejuk dan asyik, anak-anak dan ibu-ibu yang sedang berolahraga mampir untuk membaca buku, begitu pun seorang polisi yang sedang bertugas mengatur lalu litas. Melihat banyaknya buku yang digelar dan kerumunan para pengendara motor, ia ikut nimbrung melihat-lihat buku dan ikut membaca.

Gelar buku Moli di alun-alun Pandeglang disudahi sekira pukul setengah sepuluh pagi, lalu kegiatan selanjutnya diteruskan dengan berkunjung ke TBM Saba Juhut di bawah kaki gunung Karang. Di TBM tersebut selain berkunjung, teman-teman Moli juga memiliki tujuan menyumbangkan buku-buku bacaan.
Sebelum sampai di perjalanan TBM Saba Juhut ada hal yang cukup menarik, tapi juga sedikit tragis. Firman Venayaksa, ketua rombongan Moli harus mengalami beberapa kali jatuh bangun ketika menaiki jalanan yang mendaki. “Waduh, bro ketua rombongan motornya mogok. Butuh pertolongan darurat,” kata salah satu relawan Moli.

Teman-teman yang sudah sampai duluan di atas, terpaksa harus turun kembali untuk ikut mendorong motor ketua rombongan. Beberapa kendaraan yang masih di bawah bergotong royong membantu mendorong. Ternyata, tidak saja motor Firman Venayaksa, beberapa teman Moli yang lain juga ada yang bermasalah pada kendaraannya. Sehingga, rombongan yang sudah terlebih dahulu berangkat harus menunggu relawan Moli yang lain.

Hambatan-hambatan di sepanjang perjalanan perlahan-lahan bisa terlewati juga. Sekira pukul sebelas, relawan Moli semua sampai di TBM Saba. Suguhan mie rebus, ubi, singkong, pisang ambon dan kopi sudah tersedia di atas meja.

Di tengah rasa santai menikmati kopi, relawan Moli berkumpul di sebuah saung untuk mempererat silturahmi di atara relawan. Perkenalan-perkenalan kecil terbangun dengan suasana yang menyenangkan. Di tengah obrolan muncul gagasan untuk acara Moli selanjutnya. Atas kesepakatan relawan Moli, minggu depan akan menggelar  di Cilegon.

Siang itu, suguhan yang digelar mulai habis dinikmati. Obrolan-obrolan dari beberapa perwakilan sudah menyampaikan gagasannya. Di tengah cuaca yang mulai gelap, teman-teman akhirnya memutuskan untuk menutup acara kali ini. Selanjutnya bagi teman-teman yang ingin bergabung bisa bertemu di Kota Cilegon. Salam Moli. []

Minggu, 02 April 2017

MOTOR LITERASI MENJUMPAI KOTA MULTATULI



Pukul 05.00 para relawan Moli sudah menyiapkan buku-buku dan memanaskan motor mereka. Ada 25 motor yang dibebani ratusan buku. Hari ini Moli buka lapak buku di alun-alun Multatuli Rangkasbitung. Perjalanan dari Serang menuju Rangkasbitung sekitar 1 jam. Selain Moli chapter Serang, datang juga Moli dari Pandeglang, Cilegon dan Tangerang.

Di alun-alun, komunitas literasi lain sudah menanti. Ada Kelompok Pengamen Jalanan, TBM Sumlor, TBM Kedai Proses, Badan Perpustakaan Lebak. Acara buka lapak buku juga didukung oleh Telkomsel, Radio Multatuli dan relawan literasi antikorupsi.

Nugra dan kawan-kawan dari Komunitas Motor Box yang berangkat dari Cilegon membawa 5 motor mengatakan bahwa pengalaman bangun subuh juga menarik. "Bayangkan kita harus jalan subuh. Berarti kita harus siap-siap setidaknya pukul 04.30. Tetapi acara semacam ini sangat menggembirakan. Banyak pengalaman membahagiakan terutama ketika buku-buju yang disediakan dibaca oleh masyarakat."

Di acara Car Free Day tersebut, berbagai komunitas literasi bertemu dan berdiskusi banyak hal, terutama membincangkan mengenai buku-buku yang senang dibaca masyarakat. Ugas, Ketua KPJ yang mengembangkan gerakan literasi di Lebak sangat berharap agar buku-buku bisa didapat dengan lebih mudah. "Kita masih kekurangan buku. Kalau kita ke kampung-kampung, minat membaca masyarakat luar biasa" ungkapnya.

Selesai buka lapak buku gratis, komunitas literasi diundang oleh Dinas perpustakaan Lebak. Mereka diskusi dan mencari bentuk-bentuk alternatif dalam pengembangan minat mrmbaca. Di dalam obrolannya, Sekdis Perpustakaan Lebak sangat berterimakasih atas kedatangan Motor Literasi. "Kami jadi bisa belajar militansi ke mereka. Dengan bagunan baru di perpustakaan Saija Adinda ini kami berharap agar Perpustakaan ini bisa menjadi bagian dari keluarga relawan literasi yang ada di Banten." Sementara itu, Firman Venayaksa yang menjadi inisiator Motor Literasi memberikan penguatan kepada instansi Dinas perpustakaan. Dia mengungkapkan bahwa sekarang ini justru orang-orang yang kerja di perpustakaan adalah orang-orang mulia. "Bayangkan, ketika semua instansi pemerintah tutup, hanya Dinas perpustakaan yang buka dan beekhidmat melayani masyarakat."

DC Aryadi yang juga Ketua Forum TBM menambahkan bahwa harus dipikirkan dan diperhatikan  juga agar TBM/ perpustakaan desa didirikan. "Kalau setiap desa mendirikan TBM, gerakan ini akan jauh lebih masif". Hal itupun diamini oleh sekdis Perpustakaan.

Selesai acara tersebut, Moli memberikan sekitar dua ratus buku kepada TBM Sabakingkin di daerah Panyandungan kabupaten Lebak. Buku tersebut merupakan sumbangan yang diperoleh Moli dari masyarakat Banten.

Sabtu, 01 April 2017

MOLI: MENGUMPULKAN RIBUAN BUKU DALAM 2 MINGGU




Malam ini para relawan Motor Literasi (Moli)  sedang melakukan Shorting-packing-distributing (SPD) di Rumah Dunia. Dalam waktu dua minggu, ribuan buku diterima dari masyarakat yang peduli dengan gerakan literasi di Banten.

Menurut Junita Bahari Nonci salah seorang relawan yang juga arsitek ini mengatakan bahwa gerakan ini mengasyikan. "Saya Bisa langsung terjun ke masyarakat untuk mencari buku. Selain itu bisa mendekatkan bahan bacaan ke para pembacanya jika ada acara buka lapak buku." Walaupun sudah memiliki dua orang anak, Nonci masih senang mengendarai motor. "Di Moli ini saya jadi tersalurkan hobi saya yang menyukai buku dan mengendarai motor."

Sementara itu Fahri yang kini tercatat sebagai mahasiswa Untirta semester dua tertarik terlibat di Komunitas Moli karena dia ingin agar waktunya lebih bermanfaat. "Karena masih semester awal, waktu saya masih luang. Jadi terlibat di komunitas ini banyak pengalaman yang saya dapatkan." Untuk mengajak civitas akademika Untirta menyumbang buku, Fahri dan teman-temannya membuka Posko di kampus Untirta Ciwaru.

Rencananya ribuan buku ini akan didistribusikan ke TBM-TBM yang ada di Banten sehingga bisa diakses untuk para pembaca di kampung-kampung. Fahri berharap agar makin banyak masyarakat yang terlibat menyumbang buku. " bagi donatur yang tidak punya stok buku, tetapi menyumbang dalam bentuk uang, kami juga membuka diri. Nanti akan kami belikan buku-buku sesuai kebutuhan." Ungkapnya.

Rabu, 29 Maret 2017

BERANTAS KORUPSI DENGAN MOLI



Pemberantasan korupsi kini bukan hanya menjadi tanggungjawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melainkan sudah menjadi kewajiban semua elemen masyarakat tak terkecuali komunitas. Kesadaran itu sekarang sekarang perlahan mulai tumbuh di kalangan komunitas, seperti yang dilakukan komunitas Komunitas Motor Literasi (Moli). Minggu (27/3) Moli menggelar acara “Lapak Buku” di Alun-alun Kota Serang.

Lapak Buku adalah satu satu program Moli yaitu penyediaan bahan bacaan gratis di area publik. Rencananya kegiatan ini akan di lakukan rutin setiap Minggu. “Acara pagi ini terselenggara berkat kerjasama forum Taman Bacaan Masyarkat (TBM), Komunitas Motor box (Kombo), TBM Cahaya Ilmu Mekar Baru Tangerang, Indonesian Riders, Rumah Dunia, TBM Kedai Proses dan beberapa mahasiswa di Banten,” papar Firman Venayaksa, pengagas Moli.

Dengan programnya Moli kedepan tidak hanya sekadar menyediakan akses bacaan tapi juga berusaha memberi wawasan pada masyarakat akan bahaya laten korupsi. “Moli akan lebih mendekatkan diri dengan masyarakat. Selama satu bulan ini Moli juga sudah mengumpulkan 600 eksemplar buku hasil donasi. Buku-buku ini akan segera kami kembali distribusikan kepada TBM- TBM yang membutuhkan,” ungkap Firman.

Dalam diskusi di pinggir jalan pagi ini Firman menjelaskan, bahwa berbagai komunitas sudah banyak tumbuh di Banten, tapi yang fokus melawan korupsi masih sedikit. Jikapun ada gerakannya masih terkesan parsial sehingga manuvernya tidak terlalu masif. Dengan adanya Moli diharapkan bisa mengabungkan komunitas atau individu  tersebut, sehingga perlawanan terhadap korupsi di Bneten semkin kokoh. “Perlu diketahui juga Moli adalah gerakan sosial non profit. Moli juga terbuka untuk komunitas lain dan individu, jika ada yang ingin bergabung, silahkan. Syaratnya hanya punya motor untuk bawa buku dan yang terpenting adalah kesamaan visi yaitu anti korupsi dan membangun literasi,” Jelasnya.

Moli Pagi ini juga Moli mendapat sumbangan buku dari April, Guru SD 13 Kota Serang. April menyumbangkan tiga dus buku untuk Moli. April mengaku senang dengan kehadiran Moli, “semoga buku ini bisa bermanfaat bagi orang lain,” ungkapnya.

Komunitas yang mempunyai tag line “ride for humanity, more ride more read” ini akan kembali menggelar Lapak Buku di Alun-Alun  Rangkasbitung, Minggu (2/4). Selain gelar menggelar Lapak Buku rencananya akan ada juga perlombaan anak dan mendongeng. (rudi)

Selasa, 28 Maret 2017

KAMPUNG LITERASI DI MANOKWARI



Namanya Aksamina Kambuaya. Sehari-hari ia dikenal sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP 19 Manokwari sejak tahun 2000. Rumahnya persis berada di samping sekolahan yang beralamat di jalan Sufado, Pasir Putih. Sebagai seorang pendidik, ia sadar betul bahwa butuh kerja keras. Seorang pendidik bukan hanya bekerja untuk mentransfer ilmu pengetahuan semata. Lebih jauh dari itu, ia memiliki tugas untuk menjadikan murid-muridnya paham membedakan baik dan buruk, benar dan salah serta membantu kepribadian mereka menjadi lebih baik. Aksamina menjelaskan bahwa mengenalkan pendidikan karakter perlu intensitas yang lebih dibandingkan pendidikan lainnya.

Aksamina pun sadar betul bahwa disparitas antara masyarakat Manokwari dengan provinsi lain cukup jauh tertinggal. Ketika ia mengajar di pendidikan formal, masih banyak masyarakat di sekitar yang belum bisa mengakses pendidikan. “masyarakat di sini masih banyak yang buta huruf,” ujarnya. Maka, ia pun berusaha untuk melebarkan usahanya dengan mencoba mengajak masyarakat untuk bisa mengakses pendidikan.

Selama ini, Papua, lebih khusus Manokwari, masih banyak masyarakat di sekitar Manokwari yang belum bisa membaca. Kondisi inilah yang membuat Aksamin Kambuaya terpanggil. Pada tahun 2007 bersama Misbach, ia kemudian bergabung menjadi tutor di PKBM Sufado. Di tahun-tahun berikutnya Aksamina Kambuaya, atas dorongan Misbach, mendirikan PKBM sendiri yang diberi nama PKBM Wefo.

Misbach adalah Kepala Sekolah di SMP 19 Manokwari. Dari atasannya itulah Kambuaya mengenal pendidikan nonformal. Kambuaya mengaku bahwa Misbach adalah atasan sekaligus guru yang mampu mengajarkannya belajar lagi, terutama pendidikan nonformal. “Pak Misbach adalah kepala sekolah yang baik. Dia mendorong saya untuk melanjutkan semangat mengajarkan pendidikan ke masyarakat. Bahkan setelah PKBM Sufado ditutup, pak Misbach yang mendorong saya untuk membuka layanan satuan pendidikan untuk masyarakat. Sekarang Pak Misbach membuat Noken Pustaka dan kami terus bekerjasma hinggat saat ini.”

Setiap minggu, bersama teman-temannya, Aksamina Kambuaya datang ke kampung-kampung mengajarkan membaca. “Awalnya sulit,” ungkapnya. Maka, di dalam mengajarkan literasi dasar, ia menggandeng pihak-pihak yang dihormati oleh masyarakat seperti pendeta. Dan berhasil. Masyarakat banyak yang datang.

Kampung Literasi
Aktivitas Aksamina Kambuaya kian dikenal oleh masyarakat. Ia membuat jejaring dengan banyak pihak, hingga pada tahun 2014 ia diamanahi menjadi Ketua Pengurus Wilayah Forum TBM Manokwari. Dari sinilah Aksamina mulai terbuka wawasannya terkait dengan kegiatan literasi. Di rumahnya, ada ratusan buku yang didapat dari hasil sumbangan maupun atas inisiatif membeli sendiri. Hampir setiap hari TBM yang didirikannya didatangi oleh masyarakat, terutama siswa yang ada di sekolahnya.

Pada tahun 2016, lembaga Wefo mendapatkan amanah dari Kemendikbud untuk melaksanakan Kampung Literasi. Bagi Aksamina, Kampung Literasi adalah hal yang sudah biasa dilakukan olehnya dan teman-teman di Wefo selama ini. “Ketika dipercaya menyelenggarakan Kampung Literasi, kami cukup terbantu, terutama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan masyarakat. Selain itu, Kampung Literasi juga menjadi semacam pengakuan dari pemerintah pusat bahwa apa yang kami lakukan dipantau dan dihargai keberadaannya,” ungkap Aksamina.

Seperti yang dijelaskan oleh Aksamina, umumnya masyarakat Manokwari memiliki halaman yang luas. Di halaman itu mereka membuat “para-para”. Semua rumah di Manokwari umumnya memiliki para-para. Tempat itu adalah ruang berinteraksi bagi masyarakat. Aksamina menggunakan para-para untuk menyimpan buku-buku sehingga ketika masyarakat sedang istirahat, mereka bisa mengakses bahan bacaan.

Ketika ditanya mengenai suka-duka menjadi pengelola pendidikan masyarakat, Aksamina mengatakan bahwa ia menyukai pekerjaannya. “Kendala pasti ada. Apa lagi di Manokwari yang infrastrukturnya masih sangat terbatas. Kadang saya harus berjalan hingga lima kilo meter ke tempat yang dituju untuk mengajarkan baca tulis. Tetapi saya tidak patah semangat.

Masyarakat di sini masih membutuhkan pendidikan, terutama perempuan.”
Di dalam melaksanakan program literasi, Aksamina yang memang penduduk asli Papua tidak terlalu kesulitan dalam berkomunikasi. Ia diterima oleh masyarakat pada umumnya. Kerjasama dengan pendeta dan kepala suku dalam melaksanakan kegiatan literasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan.

“Masyarakat akan lebih percaya jika ada penyuluhan dari kepala suku dan pendeta, sehinga mereka adalah jejaring kami dalam mengentaskan buta aksara,” ungkapnya.
Berbeda dengan kampong literasi di daerah lain, Aksamina lebih banyak mendatangi langsung penduduk. Hal ini terjadi karena masyarakat belum mengetahui secara langsung mengenai manfaatnya. Namun ia sadar betul bahwa masyarakat di Manokwari sangat terbuka. “Kalau saya mendatangi kampong-kampung di sini, biasanya mereka memberi makanan berupa umbi-umbian. Itu membuat saya cukup terharu dan percaya bahwa keinginan untuk belajar sebetulnya sudah ada.”

Aksamina Kambuaya adalah salah satu dari sekian banyak masyarakat Manokwari yang terbuka hati dan pikirannya untuk membangun masyarakat di sekelilingnya. Ia percaya bahwa pendidikan adalah akses tercepat agar masyarakat Manokwari segera meninggalkan predikat ketertinggalannya. Semoga ke depan, tercipta lagi Aksamina lainnya sehingga masyarakat Manokwari bisa bersejajar dengan provinsi lainnya di Indonesia.


Kamis, 12 November 2015

PAPUA MEMBACA UNTUK GERAKAN INDONESIA MEMBACA



Papua (12/11/2015) Setelah pencanangan Gerakan Indonesia Membaca di Parigi Moutong dan Karawang, hari ini Anies Baswedan mencanangkan gerakan Indonesia Membaca di Provinsi Papua.

Di dalam sambutannya, Anies Baswedan menjelaskan bahwa tidak pernah ada kata terlambat dalam belajar. Terkait dengan budaya baca, ia menambahkan bahwa proses budaya baca hadir karena proses pembelajaran, kemudian dilanjutkan dengan pembiasaan baru terbentuklah budaya. “Jadi budaya membaca bukanlah gerakan instan, walaupun kita ingin bergegas.”

Anies mencontohkan mengenai gerakan memberantas buta huruf yang pernah dilakukan oleh Sekarno pada tahun 1947.  “Di dalam spanduk waktu itu, tertulis bantulah usaha memberantas buta huruf. Soekarno tidak mengatakan bahwa pemerintah yang akan melaksanakannya sendiri. Dengan kerendahan hati, ia meminta kepada siapapun untuk terlibat, sehingga pendidikan haruslah menjadi sebuah gerakan, termasuk Gerakan Indonesia Membaca.”

Di tempat yang sama, Firman Venayaksa selaku Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat menjelaskan bahwa Gerakan Indonesia Membaca merupakan cara agar masyarakat bisa mengakses bacaan “Sekarang ini, pemerintah sebagai fasilitator sangat mendukung gerakan ini, jadi sebagai stake holder, Forum TBM sebagai mitra strategis pemerintah siap menghelat gerakan ini ke seluruh provinsi di Indonesia dengan mendirikan taman bacaan di desa-desa untuk tahun 2016.”

Andi Tagihuma, dari Komunitas Sastra Papua, mengatakan bahwa kami mendukung gerakan ini agar bisa mengurangi tingkat buta aksara di Papua khususnya di Jayapura. “Donasi buku yang diberikan oleh Gramedia dan Asia Foundation dapat menjembatani kurangnya pasokan buku ke kampung-kampung di Jayapura.” Andi berharap agar makin banyak yang peduli terhadap gerakan ini sehingga taman bacaan di masyarakat bisa bertumbuh.

Sementara itu, Agus Kadepa, dari Papua mengajar berharap agar gerakan ini tetap ada di Papua demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan berharap agar pemerintah tetap konsisten dalam mendorong kelompok-kelompok di masyarakat yang peduli degan gerakan membaca ini.


Olyfa dari Taman Bacaan Rumah Imajinasi yang mendapatkan donasi buku sangat bahagia mendapatkan buku-buku dari donator karena bisa dimanfaatkan untuk proses belajar. “saya berharap anak-anak papua dengan mengakses bahan bacaan menjadi suka membaca dan mencintainya.”