Rabu, 30 November 2011

Catatan Perjalanan Dari Talaud-Sulut

Salam Damai dari Talaud
: Sebuah Catatan Visitasi Kawasan Tertinggal dan Terpencil
Oleh FirmanVenayaksa

Talaud adalah sebuah kabupaten kepulauan yang berada di provinsi Sulawesi Utara dan berbatasan langsung dengan Philipina. Awalnya, Talaud bersatu dengan Sangihe sebagai sebuah kabupaten. Semenjak Tahun 2002, Talaud berdiri sendiri dan menjadi kabupaten kepulauan yang sangat penting untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pantainya yang masih segar, wilayahnya yang masih hijau, ditambah dengan masyarakat sekitar yang ramah, sangat potensial untuk berkembang. Belum lagi Sumber Daya Alam yang melimpah, menambah kekayaan tersendiri bagi masyarakat Talaud.
Namun geopolitik yang sempat mengemuka di kabupaten ini, terutama pada kasus Bupati Talaud yang dipenjara tujuh tahun karena terlibat melakukan korupsi, membuat kabupaten ini masih mencari bentuk. Begitupun dengan alat transportasi yang sangat terbatas dan kapal pemasok BBM yang hanya dua minggu sekali menjambangi Talaud, membuat segala aktivitas terhambat. Bayangkan, harga normal bensin di sini bisa mencapai Rp. 12.000/ liter dan bisa sampai dikisaran Rp. 25.000 jika pasokan BBM terlambat datang.
Imbas dari hal tersebut membuat transportasi menjadi sangat mahal. Padahal sebagai sebuah kabupaten dengan beberapa pulau yang tersebar di kawasan ini, speed boat sebagai alat transportasi yang sering di pakai masyarakat Talaud, sangat krusial. Dikarenakan BBM yang mahal, hanya orang-orang tertentu  saja yang memakainya. Sebagai ilustrasi, menuju kecamatan Nanusa, sebagai gugusan pula terluar dari kabupaten Talaud, Anda harus mengeluarkan dana sekitar 5 juta untuk menyewa speed boat bermesin dua. Itupun jika cuaca sedang bersahabat. Jika cuaca sedang tidak ramah seperti sekarang ini, speed boat bermesin dua jelas tidak mungkin bertenaga untuk melawan gelombang pasifik yang “brutal”. Jika Anda tetap memaksa menyewanya, tak sedikit yang kemudian terhempas gelombang hingga ke negara Philipina. Akan lebih aman  jika Anda menyewa speed boat bermesin empat, walaupun konsekuensinya Anda harus mengeluarkan uang di atas 10 juta rupiah. Jika mengandalkan kapal perintis yang hanya dua minggu sekali dari Kabupaten Talaud menuju Kecamatan Nanusa dengan jarak 9 mil, tentu itu menjadi persoalan tersendiri.
***
Anda mungkin tidak akan percaya jika belum sampai di tempat ini, namun begitulah yang terjadi. Ketika pertama kali saya diminta untuk mendatangi wilayah ini bersama Lucy, yang bekerja di Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat (Bindikmas), saya langsung meng-iya-kan. Sebagai Tim Teknis di Bindikmas, tentu tak ada alasan bagi saya untuk menolak. Ketika Lucy mencari informasi mengenai Talaud dari Dinas Pendidikan di Manado, ia langsung mengundurkan diri. “Saya tak berani datang ke sana. Medannya nggak cocok untuk perempuan,” katanya. Akhirnya Ia digantikan oleh Franky Albert yang menjadi staf di kantor yang sama.
Perjalanan menuju Manado dimulai pada hari Minggu malam (21/11/2011). Kami sengaja mengambil waktu tersebut karena hari Senin pagi pukul 10.00 adalah jadwal penerbangan menuju Kabupaten Talaud, tempat yang kami tuju itu. Saya mendapatkan tiket tersebut atas bantuan dari Arther Panther Olli, seorang sastrawan asal Manado. Tiba di bandara Sam Ratulangi, kami dijemput oleh Yenni, Kasie dari BPKP Manado. Keesokan harinya, setelah bertandang ke Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Utara, kami langsung menuju Bandara, ditemani Yenni dan dua orang staff yang ditugasi menemani perjalanan.
Perjalanan dari Menado menuju Talaud ditempuh sekitar satu jam. Tiba di bandara yang kecil itu, kami disambut oleh Max, ketua SKB dan langsung diajak bertemu dengan Pade, Kabid PNFI Dinas Pendidikan Kab Kepulauan Talaud. Di kantornya kami menjelaskan tujuan kami dengan penuh antusias. Namun Pade menghela nafas beberapa kali dan menjelaskan betapa sulitnya menuju Kakarotan-Nanusa. Pade menjelaskan mengenai informasi yang saya tulis di atas dan ia pun tak bisa berbuat banyak. Sebetulnya kendala ini sempat didiskusikan di Dikmas, terutama mengenai anggaran perjalanan menuju Nanusa yang harus menyewa speedboat. Solusinya, karena memang tak ada dana untuk menyewa, akhirnya kami ditugaskan untuk mencari informasi seefektif mungkin walau tak sampai ke tempat yang dituju.
Tak selesai hingga obrolan di kantor Dinas Pendidikan, kami mencoba untuk membuktikan dengan mata kepala kami sendiri mendatangi dermaga. Kami langsung ngobrol dengan pemilik speed boat. Alhasil, tak ada perbedaan informasi. Masih di tempat tersebut, secara tidak sengaja, saya berjumpa dengan seorang teman. Ia adalah peneliti dari IPB yang juga akan pergi ke pulau yang tak jauh dari tujuan kami. Hampir saja kami bisa “nebeng”. Persoalannya jadwal kepulangan tim kami dengan mereka berbeda, sementara tiket pesawat PP sudah tak bisa di cancel. Dengan penuh kecewa kamipun pergi dari dermaga itu dan mencari alternatif lain agar bisa tetap menghimpun data akurat untuk dilaporkan.
***
Setelah mendapat realitas bahwa kami tak bisa ke PKBM Rano di Desa Karatung Selatan, Kecamatan Nanusa, akhirnya kami memutuskan untuk menelusuri beberapa dokumen dan melakukan wawancara. Informan awal, tentu dimulai dari Kres Pade, Kabid PNFI Talaud yang memang membawahi kegiatan Pendidikan Masyarakat, termasuk PKBM Rano. Menurutnya Program Kawasan Tertinggal dan Terpencil (KTT) sangat bagus, terutama bagi kabupaten kepulauan. “Terus terang atas program KTT ini kami merasa diperhatikan oleh pemerintah pusat, namun karena pelbagai kendala teknis, di tingkat kabupaten, kami belum bisa terlibat begitu banyak, terutama dalam dana pendampingan.” Pade menjelaskan bahwa Pendidikan Masyarakat yang telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan pada tahun 2010 kepada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah pelatihan-pelatihan tenaga pendidik dan kependidikan. “Kami mengumpulkan para pengelola PKBM untuk dilatihan hal-hal yang berkenaan dengan kemampuan SDM.”
Selain itu, kendala yang dihadapi oleh Dinas Pendidikan setempat untuk melakukan monitoring kegiatan-kegiatan PKBM adalah terkait transportasi. “Harga bensin perliter saja bisa 25 ribu. Ke Nanusa bahkan harus menyiapkan 10 juta jika ingin sampai ke sana, sementara dana teknis untuk perjalanan masih sulit. Jadi alternatifnya adalah jika ada kegiatan, ya sekaligus mengumpulkan informasi terkait PKBM yang sudah dijalankan. Begitulah cara kami memonitoring PKBM hingga saat ini.”
Secara umum, kegiatan yang dikembangkan PKBM di Talaud lebih diarahkan pada Kewirausahaan Desa, Keaksaraan Usaha Mandiri, terutama menyangkut life skill. “Fokus dari PKBM adalah pusat kegiatan masyarakat, sehingga manfaat dari lembaga ini harus jelas dan memiliki dampak yang bagus kepada masyarakat sekitar. Kegiatan ekonomi dan kecakapan hidup lebih kami angkat agar masyarakat bisa berdaya. Dengan begitu kelak mereka bisa mandiri,” ujarnya. Terkait dengan Program KTT, Pade menambahkan, “pada tahun 2010 Kemdiknas (kini Kemdikbud) memberikan dana untuk keaksaraan komunitas khusus dan Menkokesra membantu parabola untuk komunikasi. Pada tahun 2011, Kemsos membangun 40 unit rumah dan 40 KK di Desa Kakorotan mendapat jatah beras 30 kg/ bulan. Bantuan ini sangat berguna untuk masyarakat. Kedepan kami berharap agar bantuan ini bisa ditingkatkan, terutama untuk memfasilitasi akomodasi-transportasi agar kegiatan monitoring dan evaluasi bisa kami lakukan setiap saat.”
Keesokan harinya kami mewawancarai penyelenggara PKBM Rano, Asher Gahansa dan warga belajar PKBM, Kres Talau. Sebagai penyelenggara, Asher menjelaskan penggunaan dana yang didapat dari Bindikmas sebanyak 92 juta. “Kami melakukan pelatihan pengolahan ikan asin kadar garam rendah. Kegiatan tersebut diberi nama Keasksaraan Usaha Mandiri (KUM). Peserta pelatihan ada sekitar 200 orang asli dari Desa kakorotan.” Program tersebut dibantu oleh pihak stakeholder terkait seperti dosen Unsrat Manado, tenaga ekonomi dan lain-lain. Sementara itu, Asher Hagansa selaku peserta merasa terbantu dengan pelatihan semacam ini. Ia tertarik untuk ikut karena ingin mendalami kegiatan ekonomi. “Setelah diberikan pelatihan, saya jadi bisa mengembangkan di tempat sendiri. Pelatihannya tidak terlalu sulit jadi mudah untuk diikuti.” Ia menambahkan, “kalau bisa, setelah selesai pelatihan, dilanjutkan dengan bantuan pendanaan. Kami lemah untuk urusan itu karena kami masyarakat miskin. Semoga ke depan pihak pemerintah pusat bisa mengucurkan dananya.”  
Program Kawasan Tertinggal dan Terpencil (KTT) yang diinisiasi oleh pelbagai kementerian ini adalah terobosan yang menarik. Dengan lintas sektoral semacam ini diharapkan agar kawasan tertinggal dan terpencil bisa mengejar ketertinggalan dari wilayah lain yang sudah mulai menggeliat dengan segala macam pembangunan.

*) Tim Teknis Subdit Sarana dan Prasarana Bindikmas dan Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten.

Minggu, 20 November 2011

Berburu Taman Bacaan Masyarakat di Bali

Oleh Firman Venayaksa

Siapa yang tak tahu Bali? Sebuah pulau yang sangat terkenal di dunia ini tidak hanya ramai dikunjungi pada hari libur. Pada hari-hari biasapun, terutama wisatawan dari luar negeri, sering ditemukan. Di Kuta, para wisatawan luar negeri  yang berusia muda bahkan mendominasi beberapa tempat hiburan. Kian malam, suara musik kian menghentak. Kendati bukan hari libur, mulai dari hotel paling mahal hingga hotel termurah didominasi oleh wisatawan. Bali memang surga dunia.

Jika Anda melihat dalam kacamata Anda sebagai seorang Indonesia, mungkin perasaan sedikit inferior akan melanda jika berjumpa wisatawan asing. Bagaimana tidak, Bali seakan-akan tak lagi menjadi milik kita. Semua didominasi oleh orang-orang bule itu. Mulai dari pertokoan yang menjual pernak-pernik, penyewaan kendaraan baik mobil, motor ataupun sepeda, hingga menu makanan betul-betul seperti (hanya) diperuntukkan untuk mereka. Di wilayah wisata, jangan harap Anda bertemu dengan makanan kaki lima atau pernak-pernik Bali dengan harga miring. Jangankan itu, bahkan bahasa Indonesia yang seharusnya muncul di tiap aksesoris pertokoan seakan lenyap dan digantikan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia. Tak terbantahkan; Bali memang milik dunia. Para wisatawan itu benar-benar menikmati hari-hari di Bali. Mereka bisa nongkrong di depan pantai sesukanya dengan tubuh yang begitu terbuka. Mereka seperti tidak punya persoalan seperti warga lokal pada umumnya. Orang-orang bule itu begitu superior dan kita warga Indonesia lebih banyak menjadi pelayan di negeri sendiri.

Namun, ternyata apa yang terlihat secara kasat mata itu seakan sirna ketika menjumpai seorang perempuan asal Brisbhone Australia bernama Sheldene Menere. Di sebuah tempat seluas 7x8 meter persegi,  Sheldene bersama 20-an anak-anak Bali sedang asyik bercengkrama. Ia mendongeng dengan bahasa Inggris, kemudian mengajak mereka membaca dan menggambar.

Rambutnya yang keemasan sesekali ia usap dengan tangannya. Keringat yang berbutir-butir ia seka. Maklum siang itu sekitar pukul 13.30 cuaca di Bali sangat panas, namun sepertinya tak ia hiraukan. Ia larut bersama anak-anak yang sesekali keluar nakalnya. Dengan penuh perhatian, Sheldene menegur dan memberitahu, lengkap dengan senyumnya yang ramah.

Sheldene tak sendiri. Setidaknya dalam waktu  senin-jumat, sekitar pukul 13.30-15.00 secara bergilir ia “mengajar”  di tempat itu bersama tiga orang lagi bernama Michelle Kinsella, Rachel dan Kara Dona. Semua dari Australia dan semua mengajar dengan kesadaran dan tanpa pamrih.

“Mereka adalah ibu-ibu yang anaknya sekolah di Bali International School (BIS). Sambil menunggu anak mereka pulang, mereka meluangkan waktu sekitar 1-2 jam untuk mengajar disini. Mereka sama sekali tak dibayar,” ungkap Kradnynaawati, pengelola Taman Bacaan Danau Buyan yang sekaligus pustakawan di BIS. Selain anak-anak, pada hari Jumat, guru-guru yang berada di sekitar Taman Bacaan juga sering kesini. Mereka belajar Bahasa Inggris,” tambahnya.

Tempat tersebut memang tidak terlampau luas, namun ada sekitar 4000 koleksi buku yang lumayan lengkap  teronggok dengan rapi, terutama buku-buku bergambar, baik berbahasa Indonesia maupun Inggris. Selain itu ada juga alat-alat permainan yang bisa memancing anak-anak untuk datang. Tempat ini juga dilengkapi dengan komputer dan beberapa sarana baca, lengkap dengan kursi dan meja. Karpet yang sengaja disediakan untuk para pembaca sepertinya menjadi tempat favorit mereka yang berkunjung ke tempat ini.

Taman Bacaan Danau Buyan yang dinamai sesuai dengan nama jalan di tempat tersebut, awalnya didirikan atas inisiatif siswa-siswa di BIS. Pada momen tertentu, siswa di sekolah tersebut memang diwajibkan untuk membuat program sosial yang berimplikasi langsung dengan masyarakat. Pada tahun 2005, mereka membuat program Taman Bacaan dan masih berdiri hingga sekarang. Taman Bacaan danau Buyan tidak hanya menyediakan bacaan saja, mereka pernah juga menyelenggarakan poerty reading,story telling bahkan pernah mengajak para pengunjungnya mendatangi radio untuk menambah pengalaman. Sayangnya, tempat Taman Bacaan Danau Buyan masih menyewa. “semoga ke depan tempat ini bisa terus dirawat dan makin banyak relawan yang mau bersinergi. Kami tidak bisa sendirian mengelolanya,” kata Ibu Agung, pustakawan BIS itu berharap.

Selesai kegiatan di Taman Bacaan Danau Buyan, Sheldene mengajak anak-anak untuk berjalan sekitar 100 meter. Mereka masuk ke perpustakaan Bali International School (BIS). Berbeda dengan Taman Bacaan yang berada di depan jalan, perpustakaan BIS jauh lebih menarik. Koleksi buku dari pelbagai negara dilengkapi dengan pendingin AC menambah nyaman perpustakaan ini. Ketika mereka masuk, ternyata mereka sudah ditunggu oleh belasan siswa dari beberapa negara yang berbeda. Maklum, BIS adalah salah satu sekolah termahal di Bali. Banyak anak dari mancanegara yang sekolah tempat ini. “Hari ini adalah program read buddy. Siswa disini membaca dongeng dengan Bahasa Inggris kepada anak-anak Bali.” Ungkap Yusi Laman, seorang penggerak literasi di Bali yang juga ibu dari siswa yang sekolah di BIS.

Awalnya mereka sedikit canggung, tapi berkat Sheldene dan dibantu relawan lain, interaksipun mulai mencair. Ada yang tertawa, ada yang spontan memegang jidat, ada juga yang memakai bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Semua dilakukan atas dasar penghormatan satu sama lain.

Menyediakan Buku
Taman Bacaan Danau Buyan yang beralamat di Jl. Danau Buyan IV no 15 Sanur Denpasar ini memang cukup ideal. Namun ketika saya mengunjungi beberapa Taman Bacaan Masyarakat yang direkomendasikan Dinas Pendidikan setempat, seperti di Kabupaten Badung, saya mendapati suasana yang jauh dari ideal seperti di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Widya Sentana. TBM ini menyatu dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Sebagaimana kita ketahui di PKBM tidak hanya TBM, ada juga kegiatan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Kejar Paket A, B dan C, program kursus dan lain-lain. Banyaknya kegiatan di PKBM menjadikan TBM hanya sekadar semacam “perpustakaan” seperti di sekolah formal. Dengan tempat yang tak terlampau besar, buku-bukunya pun terbilang minim, kurang variatif dan lebih banyak mengandalkan pasokan koleksi buku dari Dinas Pendidikan.

Bahkan di TBM Insani yang menyatu dengan PKBM Widya Pramana, saya bertemu dengan koleksi buku yang masih digembok di sebuah lemari besi yang sulit dijangkau. Padahal TBM tersebut mendapatkan suntikan dana dari Dinas Pendidikan setempat. Suasana TBM semacam itu dijumpai juga di PKBM Niti Mandala Club dan IMI. Hal yang cukup menarik adalah ketika saya menjambangi PKBM Agung yang berada di belakang terminal/ pasar Kreneng. “Sebetulnya saya memulai kegiatan nonformal dari memberikan pelatihan kursus. Saya memulainya semenjak tahun 1979” ucap Agung, seorang perempuan Bali yang sempat diberi kesempatan menghias SBY dan Ani Yudhoyono ini. “Saya tak menyebut ini sebagai Taman Bacaan. Saya simpan saja koleksi buku-buku di PKBM ini. Biasanya sekitar sore sampai malam hari, orang-orang yang bekerja di pasar berdatangan untuk membaca.”

Di waktu lain, saya juga menyempatkan diri untuk surfing di internet, mencari Taman Bacaan di sekitar Bali. Lalu saya menemukan di www.kompas.com yang dirilis pada tanggal 18 Maret 2011. Berita tersebut menginformasikan bahwa telah diresmikan sebuah Taman Bacaan bernama “NyuGading” atas inisiatif dari Kompas Muda, Komunitas NyuGading dan Museum Sidik Jari. Lalu sayapun bertandang ke tempat tersebut yang berdekatan dengan toko buku Toga Mas dengan berbunga-bunga. Alhasil, tak ditemukan Taman Bacaan yang dimaksud. Ketika saya bertanya kepada seorang perempuan yang menjaga tempat tersebut, ia malah tak mengetahui bahwa ada Taman Bacaan. “Kalau mau baca masuk aja ke toko buku Toga Mas,” katanya. Saya mengerutkan dahi lantas langsung berpamitan.

Setelah saya mencari informasi kepada beberapa sastrawan dan akademisi di Bali, Taman Bacaan memang tidak terlampau populer. Alix Lindmann, seorang wanita berkebangsaan Jerman yang sudah lama tinggal di Bali pun tidak tahu. Sahabat saya itu menjelaskan, “saya kira public space seperti Taman Bacaan yang ada  
 di Rumah Dunia sulit ditemukan di sini. Memang ada beberapa komunitas, tetapi sangat eksklusif. Hal ini sangat disayangkan, padahal di Bali ada upacara hari saraswati, hari ilmu pengetahuan yang akan dirayakan lusa (baca: sabtu, 20 November 2011) dan biasanya di dalam perayaan tersebut ada semacam seremoni pada lontar (tulisan).” Hal itu juga yang membuat Yusi Laman, seorang praktisi literasi, yang berkeliling dengan mobil pribadi bertuliskan “perpustakaan keliling” dan mengangkut ratusan buku ke desa-desa agar bisa diakses masyarakat.

Sudah tiga tahun Yusi Laman mengerjakan pekerjaan mulia ini yang semua bukunya diperoleh dari biaya sendiri. Yusi berargumentasi bahwa apa yang dikerjakannya sebetulnya sesuatu yang biasa saja. “Saya ingin melakukan apa yang bisa saya lakukan, dan pekerjaan semacam ini sebetulnya bisa dilakukan oleh semua orang asal dana niat yang kuat. Selain itu, kenapa saya lebih suka menjemput bola, mendatangi langsung masyarakat, karena disini sulit sekali mencari transportasi.”  

Orang seperti Yusi Laman mungkin tidak banyak. Pekerjaan sebagai relawan literasi, bahkan berkeliling mendatangi masyarakat, bisa jadi tak terpikirkan oleh kebanyakan orang, apalagi di Bali. Dunia pariwisata di Bali yang hingar-bingar itu tidak sepadan  jika Anda mencari Taman Bacaan Masyarakat. Mungkin hal ini adalah imbas dari dunia pariwisata yang setiap saat harus dibuntuti dengan urusan yang sangat transaksional. Jikapun bertemu dengan pajangan buku-buku, lebih banyak ditemukan tempat penyewaan dibandingkan dengan TBM yang biasanya diperuntukkan bagi masyarakat umum secara gratis. Yusi Laman, Taman Bacaan Danau Buyan, termasuk Sheldene Menere, adalah orang-orang pilihan di Bali, yang begitu rela menyediakan waktunya untuk berbagi harapan dengan siapa saja***

Sabtu, 13 Agustus 2011

VENAYAKSA: REKTOR DAN PLAGIATOR (Koran Tempo, 11 Agustus 2011...

VENAYAKSA: REKTOR DAN PLAGIATOR (Koran Tempo, 11 Agustus 2011...: "Deklarasi Anti Plagiat Belum lekang dalam ingatan, pada peringatan Hardiknas 2011, Menteri Pendidikan Nasional berserta para pemimpin P..."

ANALISIS KASUS PLAGIAT PROF. DR. SHOLEH HIDAYAT

STOP PLAGIARISM!


ANALISIS SEDERHANA TERKAIT DUGAAN PLAGIASI:
MEMBANDINGKAN ARTIKEL PROF. DR. SHOLEH HIDAYAT, M. PD “UNTIRTA MENUJU KELAS DUNIA” DI FAJAR BANTEN, 29-30 JANUARI 2010 DAN ARTIKEL LA ODE M. ASLAN “IMPIAN MENDORONG UNHALU TAHUN 2025 SEBAGAI WORLD CLASS UNIVERSITY” DI KENDARI POST 24 FEBRUARI 2009


Plagiasi bukan merupakan hal baru dalam ranah akademis kita. Namun, dengan kian mudahnya kita mengakses internet, kian lupa pula kita bahwa setiap tulisan yang diambil dari dunia maya dan kita publikasikan, akan dengan mudah dilacak. Dalam posisi ini, internet adalah media yang memudahkan kita mendapatkan informasi sekaligus media pembongkar plagiasi. Dengan memunculkan satu kalimat saja, dalam hitungan detik, kita akan dibawa pada blog dan laman yang memunculkan kalimat yang kita ketik di google misalnya.

Pada tahap ini, kita harus terus memunculkan kesadaran bahwa dunia sekarang adalah dunia yang berjejaring. Boleh saja kita berada di kampung namun bukan berarti kita tidak bisa mengakses belahan dunia.

Pada tulisan ini, saya ingin mencoba untuk menganalisis persoalan yang berlarut-larut mengenai dugaan plagiasi yang dilakukan oleh Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd. Hal ini menjadi sangat penting, setidaknya untuk saya, dan umumnya untuk civitas akademika Untirta yang mulai terasa memanas, risau penuh swasangka, saling tuding, bahkan mengarah pada praktik-praktik teror. Seyogyanya, jika bermula dari teks, alangkah baiknya jika kita kembali pada teks. Betapa rumitnya cara berpikir kita ketika persoalan teks (baca: artikel plagiasi) merembet pada Undang-Undang ITE bahkan isu politisasi Pemilihan Rektor 2011.

Ketika seorang wartawan bertanya kepada saya mengenai kasus ini, dengan terang benderang saya katakan bahwa ini murni plagiat (Barayapost, 15 Februari 2010). Saya berani mengatakan hal semacam itu tentu bukan tanpa sebab. Lagi pula betapa lugunya saya jika mengatakan ini sebagai plagiat tanpa mempertimbangkan pelbagai hal. Sebelumnya saya sudah mendapatkan PDF ini dari Boyke Pribadi selaku Humas yang mendapatkan informasi dari salah seorang wartawan. Ia merujuk saya untuk menanyakan persoalan plagiasi, karena saya salah satu dosen yang juga suka menulis di media. Setelah membaca dengan seksama dan melacak keaslian dari sumber pembanding, dengan objektif saya katakan apa adanya.

Ternyata apa yang saya katakan kepada wartawan membuahkan hasil yang kontraproduktif. Beberapa rekan dosen bertanya kepada saya mengapa dengan begitu beraninya mengatakan di media bahwa hal tersebut plagiat? Apa kamu tak malu, jika kasus ini mencuat maka kampus kita juga yang kena getahnya? Saya tetap pada pendirian saya. Saya bukan orang baru dalam dunia kepenulisan. Membaca sekilas saja, orang awam pun akan tahu mana yang mencontek mana yang tidak. Bagi saya, ini bukan persoalan nama baik, ini persoalan jati diri akademik yang harus ditegakan.

Lantas, pemberitaan di koran lokal pun makin deras. Setidaknya ada sekitar tujuh berita yang terus melansir kasus ini. Saya tidak mengkliping berita-berita tersebut dengan baik. Hal yang paling mudah, tentu saja saya melihat laman online. Di Banten, lama online tidak banyak. www.radarbanten.com adalah salah satunya. Kutipan-kutipan ini pun saya ambil dari laman tersebut.

Pada tanggal 16 Februari 2010 di Radar Banten, Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., mengatakan, “Definisi plagiat itu seperti apa, lihat dulu konteksnya secara hukum. Kalau mengambil beberapa bagian dari artikel lain, sebagai bentuk kejujuran saya tampilkan dalam daftar pustaka. Saya pikir di media tidak biasa mencantumkan daftar pustaka itu,” kata Sholeh kepada Radar Banten, Senin (15/2). Kemudian ia menambahkan, “Apabila menulis buku atau jurnal, saya selalu menuliskan sumber tulisan. Dalam tulisan opini di media memang tidak lazim memuat daftar pustaka, tapi mengenai tulisan saya yang diduga plagiat, saya punya catatan daftar pustakanya,” ujarnya.

Setelah membaca perkembangan berita-berita perihal kasus ini, Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., selalu menjelasakan kepada media bahwa ia mempunyai/ mencantumkan catatan daftar pustaka. Kemudian ia pun dengan sadar mengatakan bahwa di dalam opini/ artikel di media massa tidak lazim memuat daftar pustaka. Pertanyaan pun kemudian berkembang, lantas mengapa hal itu dilakukan? Tentu akan sia-sia jika mencantumkan daftar pustaka karena memang tak mungkin dimuat! Hingga saat ini saya belum pernah melihat satu media massapun yang mencantumkan daftar pustaka, kalaupun ada, maka itulah sebodoh-bodohnya media massa (media cetak harian). Namun, untuk memunculkan kejujuran bagi setiap penulis, ada hal lain yang bisa dilakukan yaitu memakai kutipan perut (baik kutipan langsung maupun tidak). Nah, persoalannya, apakah Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., tidak mengerti, tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu bahwa media massa memberikan alternatif semacam itu? Saya sangat yakin bahwa Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., sangat mengetahuinya. Ia bukan orang yang pertama kali menulis di media massa. Sebagai seorang dosen, saya tahu persis bahwa ia salah seorang dosen yang sangat produktif menulis di media massa lokal di Banten.

Untuk memperkuat asusmi tersebut, saya akan mengutip artikel Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., yang dimuat di Radar Banten pada tanggal 24 Oktober 2007 dengan judul “Homeschooling, Alternatif Pendidikan Sekolah”

.....(6) orang tua memiliki keyakinan bahwa sistem yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga yang dipegangnya, (7) orang tua merasa`terpanggil untuk mendidiksendiri anak-anaknya (Sumardiono: 2007)


Untuk lebih memantapkan bahwa Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., mengerti bagaimana mengutip dengan baik, saya sertakan tulisan pada tanggal 2 Mei 2007 berjudul “Menuju Sekolah Mandiri”

Yang dimaksud dengan sekolah kategori mandiri (SKM) adalah sekolah yang mampu mengoptimasikan pencapaian tujuan pendidikan, potensi dan sumber daya yang dmiliki untuk melaksanakan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas (Dit. Pembinaan SMA:2007).


Dua artikel tersebut adalah tulisan dari Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., yang saya telusuri dari laman www.radarbanten.com Hal ini penting untuk dimunculkan sebagai upaya penegasan bahwa Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., sangat mahfum bagaimana caranya memunculkan kutipan dan untuk mematahkan pernyataannya di media massa baru-baru ini. Dengan demikian, pernyataannya yang dilansir Radar Banten pada tanggal 25 Februari 2010 sebagai berikut tentu bukan kekeliruan yang beralasan.

“Bukti rujukan tersebut ada di media yang menampilkan tulisan saya. Jika metode tulisan saya salah, saya minta maaf dan akan memperbaikinya. Tapi sangat menyedihkan, jika ada kalangan yang menjustifikasi saya melakukan plagiat,” ujarnya.
Sholeh meminta agar semua pihak tidak mempolitisasi kasusnya menuju pemilihan Rektor Untirta 2011. “Saya pernah tanya mahasiswa, kenapa saya disudutkan, dicari kesalahan, dan menuduh saya melakukan plagiat. Kata mereka, saya ini dianggap calon rektor terkuat, padahal belum tentu saya mau jadi rektor. Tak perlu menuding dan membunuh karakter orang,” tegasnya. (run)


Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., melakukan kesalahan-kesalahan fatal: 1) ia telah melakukan kesalahan dengan tidak mencantumkan kutipan di media massa. 2) ia telah membohongi publik karena ia tahu ilmu mengutip namun yang dimunculkan di dalam pemberitaan adalah ia menyertakan daftar pustaka yang jelas-jelas tak mungkin dimunculkan di media massa. sehingga seolah-olah ia menyalahkan media massa karena tak memunculkan daftar pustakanya 3) berdasarkan temuan tersebut, ia tidak memiliki kepercayaan diri untuk meminta maaf kepada publik. Malah ia melakukan intimidasi kepada orang-orang tertentu akan menggugat dengan UU ITE dan membelokan perkara menjadi Pemilihan Rektor 2011.


Bedah Teks
Jika Anda  telah membaca PDF yang disebar di media internet atas nama Agus H, saya yakin tak seorangpun akan menyangkal bahwa Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., adalah seorang plagiat. Di dalam PDF tersebut, dengan lengkap dibandingkan antara tulisan Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., dan tulisan yang diplagiatnya. Bahkan Agus H juga menstabilo tulisan-tulisan mana saja yang diambil oleh Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd. Namun karena tak semua mendapatkan PDF tersebut, sekiranya apa yang saya lakukan akan memperjelas gambaran ini.

Saya akan mulai membandingkan tulisan yang diduga plagiat ini dengan sumber pertama yang ditulis oleh La Ode M. Aslan yang diterbitkan di Kendari Pos pada tanggal 24 Februari 2009 dengan judul “Impian Mendorong Unhalu Tahun 2025 Sebagai World Class University”. Tulisan La Ode M. Aslan memuat 17 paragraf, sedangkan tulisan Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., memuat 29 paragraf di artikel bagian ke-1 pada hari Jumat, 29 Januari 2010 dan 18 paragraf di artikel bagian ke-2 yang dimuat pada hari Sabtu, 30 Januari 2010. Dari 17 Paragraf milik Aslan, 15 paragraf diambil oleh SH. Berikut adalah perbandingan dari kedua tulisan tersebut.

1. Pada paragraf pertama, Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., membuka tulisan dengan menjelaskan mengenai Untirta yang menyelenggarakan seminar.
Di penghujung tahun 2009, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menyelenggarakan seminar bertajuk “Menatap realita, menatap masa depan menuju world class university...”

Sementara, tulisan Aslan memulai tulisan dengan membincangkan Rapat Kerja Daerah di Unhalu.

Rapat Kerja Daerah (RAKERDA) yang merupakan hajatan tahunan semua unit dalam lingkup Universitas Haluoleo (UNHALU) baru saja usai minggu lalu...

Dari segi bahasa maupun tulisan, tidak ada persamaan yang membuat tulisan ini plagiasi. Tulisan Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., dimulai dengan seminar, sementara Aslan dimulai dari Rakedra. Kendati dua tulisan tersebut berbeda, namun dua-duanya sama-sama membincangkan perihal “diskusi wacana” mengenai World Class University. Adakah yang salah? Tentu saja tidak. Kalimat selanjutnyalah yang membuat semua orang terhenyak.

2. Pada bagian inilah dua tulisan yang berbeda penulis mulai memperlihatkan kesamaannya. Simaklah kalimat di paragraf ke-2 (p. 2) dari tulisan Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd.

Mungkinkah 20 atau 30 tahun kedepan nati akan terwujud? Barangkali, ini memang mimpi di siang bolong! Sama dengan mimpi besarnya PSSI merencanakan menggelar Piala Dunia 2022 di Indonesia. Wah, tentu ini mimpi besar. Tetapi apakah Untirta yang sudah berumur 28 tahun dan baru 8 tahun sebagai PTN perlu bermimpi ke mana arah ke depan.


Bandingkan dengan paragraf ke-1 (p. 1) dari tulisan Aslan.

Mungkinkah di tahun 2025 nanti? Barangkali, ini memang mimpi di siang bolong!
Sama dengan mimpi besarnya PSSI merencanakan menggelar Piala Dunia 2022 di
Indonesia. Wah, tentu ini mimpi besar. Tetapi bukankah UNHALU sudah berumur
28 tahun dan perlu ber “mimpi” ke mana arah UNHALU akan dibawa ke depan.


Tulisan Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., dengan Aslan memiliki kemiripan, termasuk tanda seru dan idiom penulis seperti “wah.” Dengan tidak dimunculkan kutipan di dalam tulisan Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd , tentu ini adalah plagiasi. Jika memang Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd mengutip hal ini, pertanyaan saya, apa menariknya mengutip kalimat yang sama sekali tak ada makna yang kuat? Lagi pula kita mengutip sesuatu karena ada hal “mewah” yang orang lain penting untuk tahu.

Perbedaannya, pada kalimat awal, tulisan SH memberikan rentang waktu 20-30 tahun, sedangkan tulisan Aslan menulis tahun 2025. Kemudian Unhalu diganti Untirta.

3. Pada p.3 dan p.4 di dalam tulisan SH dan p.2 di dalam tulisan Aslan, kita berjumpa lagi dengan paragraf yang identik.

p. 3 SH:
Hal yang wajar jika semua warga Untirta memiliki mimpi besar, mulai dari para pemimpinnya dan seluruh sivitas akademikanya. Walaupun mimpi Untirta sebagai World Class University kemungkinan besar akan jadi nostalgia bagi para sivitas akademika, tetapi akan menjadi catatan dan prasasti sejarah besar untuk para pemimpin yang sekarang. Pasalnya, mereka mulai merintis walaupun tidak ikut menikmati langsung.

p. 4 SH:
Terinspirasi dengan istilah yang dipopulerkan oleh seorang aktivis pergerakan di Amerika Serikat, Martin Luther King, yang sangat terkenal yaitu “I have a dream”.

p.2 Aslan:

Wajar rasanya semua warga UNHALU rindu akan mimpi besar nan indah dari
para pemimpinnya dan seluruh civitas akademikanya. Walaupun mimpi UNHALU
sebagai World Class University kemungkinan besar akan jadi nostalgia bagi para
civitas akademika UNHALU tetapi akan menjadi catatan dan prasasti sejarah besar
buat para pemimpin UNHALU yang ada sekarang dan telah mulai merintisnya
walaupun bakal hanya akan dinikmati oleh para cucu kita semua nantinya. Saya
memang selalu teringat dengan istilah yang dipopulerkan oleh seorang aktivis
pergerakan di Amerika Serikat, Martin Luther King, yang sangat terkenal “ I have a
dream”.

Seperti pada paragraf sebelumnya, akronim “Unhalu” diganti menjadi “Untirta.”  “Wajar rasanya” diubah menjadi “hal yang wajar”. Beberapa kata dihilangkan namun esensinya tak berubah. Sementara itu perubahan lain yang muncul, SH menambah satu paragraf lagi pada bagian akhir kalimat dalam p.2 milik Aslan. Padahal, jika membaca p.4 SH dan menilik norma pembuatan paragraf, tentu p.4 SH bukanlah paragraf yang baik karena hanya memunculkan satu kalimat dan satu kalimat itu pun tidak juga merepresentasikan kalimat yang utuh karena tak jelas subjek dan predikatnya.

4. Pada p. 5 dalam tulisan SH dan p.3 dalam tulisan Aslan, makin teranglah persamaan-persamaannya. Simaklah p.5 SH:

Tantangan ke depan dalam menghadapi persaingan global adalah kemampuan Untirta menempatkan diri sejajar dengan universitas-universitas terkemuka di dunia. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka segenap system nilai yang menjadi kunci untuk mencapai tingkatan Untirta sebagai universitas bertaraf internasional (world class university) harus dikembangkan dengan sungguh-sungguh, baik instrumen legal sampai terbangunnya budaya berkualitas global dari setiap elemen yang ada.

p.3 Aslan:

Tantangan ke depan dalam menghadapi persaingan global adalah kemampuan
UNHALU menempatkan diri sejajar dengan universitas-universitas terkemuka di
dunia. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka segenap sistem nilai yang
menjadi kunci untuk mencapai tingkatan UNHALU sebagai universitas bertaraf
internasional (world class university) harus dikembangkan dengan sungguh-sungguh,
baik instrumen legal sampai terbentuknya budaya berkualitas global dari setiap
komponen yang ada.

Kedua paragraf ini jelas-jelas menunjukkan kesamaan. Seperti biasa, yang diubah adalah akronim ”Unhalu” menjadi ”Untirta”. Hal yang lebih menggelikan adalah mengubah kata ”komponen” menjadi ”elemen”.

5. Pada p.4 Aslan dan p.6 SH tidak menunjukkan perbedaan. Hanya ”Unhalu” yang berubah menjadi ”Untirta” kata ”segalanya” ditambah menjadi ”segala-galanya”

p.6 SH:

Memang, world class university, tentu bukan segala-galanya dalam kriteria pendidikan tinggi di Negara berkembang, karena tuntutan peran dalam pengembangan kesejahteraan rakyat menjadi sangat mendesak. Tetapi, persaingan global memerlukan kemampuan segenap unsur sivitas akademika di Untirta sudah saatnya menggerakkan seluruh kemampuan dan upayanya untuk mencapai beberapa langkah secara sinergis.

p.4 Aslan:
Memang, world class university, tentu bukan segalanya dalam kriteria pendidikan
tinggi di negara berkembang karena tuntutan peran dalam pengembangan
kesejahteraan rakyat menjadi sangat mendesak. Tetapi, persaingan global
memerlukan kemampuan segenap unsur civitas akademika di UNHALU sudah
saatnya menggerakkan seluruh kemampuan dan  upayanya untuk mencapai
beberapa langkah secara sinergis.

6. Pada analisis paragraf selanjutnya, ada temuan yang cukup menarik. Silahkan membaca tulisan p. 7 SH berikut ini.

Kiranya perlu menjadi catatan khusus pernyataan Profesor Kai-Ming Cheng, seorang dosen University of Hongkong yang menyatakan World Class University Are Not Build Overnight. But If We don’t Start Today, They Would Never Come by”. Terjemahan bebasnya kira-kirai “bahwa dalam mewujudkan suatu universitas berkelas dunia tidak dapat dilakukan dengan sekejap. Namun kalau kita tidak merencanakan sejak sekarang maka universitas kita tidak akan dapat menggapai level sebagai universitas kelas dunia”.


P.5 Aslan:
Pernyataan Professor Kai-Ming Cheng, seorang dosen di University of Hongkong
perlu menjadi catatan khusus yang berbunyi“World Class University Are Not Build
Overnight. But If We don’t Start Today, They Would Never Come by ” yang kalau
saya terjemahkan kira kira berarti “ bahwa dalam mewujudkan suatu universitas berkelas dunia tidak dapat dilakukan dengan sekejap, namun kalau kita tidak merencanakan sejak sekarang maka universitas kita tidak akan dapat menggapai level sebagai universitas kelas dunia.

Perubahannya terdapat pada kalimat awal yang dibolak-balik. Kemudian ”berbunyi” diganti menjadi ”pernyataan”. Kalimat ”yang kalau  saya terjemahkan kira kira berarti” diubah menjadi ”terjemahan bebasnya kira-kira” .

Di internet, kutipan ini sebetulnya tidak hanya terdapat dalam tulisan Aslan. Saya berani memastikan bahwa Aslanpun mengutip dari tulisan lain yang juga tak disertakan kutipan dari mana.

7. Pada p. 8 SH dan p.6 Aslan, tak nampak perbedaan kecuali akronim ”Unhalu” berubah menjadi ”Untirta” Kemudian kata ”(tiga)” tidak nampak dalam tulisan SH.

p. 8 SH:
Ada 3 hal yang perlu diketahui dalam mendorong mimpi Untirta ke depan. Pertama, apa criteria dari istilah world class university itu? Kedua, apakah memang perlu Untirta mengerja taraf universitas kelas dunia ini? Ketiga, bagaimana cara mencapainya?

p. 6 Aslan:
Ada 3 (tiga) hal yang perlu diketahui dalam mendorong mimpi UNHALU ke depan. Pertama, apa kriteria dari istilah World Class University itu? Kedua, apakah memang perlu UNHALU mengejar taraf universitas kelas dunia ini? Ketiga, bagaimana cara mencapainya?

8. P.7 tulisan Aslan dipecah menjadi dua paragraf (p.9 dan p.10). Namun tidak ada perubahan yang berarti kecuali mengubah akronim kampus. Kata ”diantaranya” berubah menjadi ”antara lain” ”mahasiswa pasca” menjadi ”mahasiswa pascasarjana” istilah ”student body” dihilangkan. Kalimat ”maupun peran pendidikan tinggi dalam menghasilkan iptek yang bermafaat bagi kesejahteraan rakyatnya.” dihilangkan.

p.9 SH:
Kriteria world class university antara lain adalah 40% tenaga pendidik bergelar doctor atau Ph.D (S3), memiliki publikasi internasional dua (2) papers/dosen/tahun. Sementara jumlah mahasiswa pascasarjana 40% dari total populasi mahasiswa, anggaran riset minimal US$1300/staff/tahun, jumlah mahasiswa asing lebih dari 20%, dan Information Communication Technology (ICT) 10 KB/mahasiswa.

p.10 SH:
Kriteria tersebut tentu tidak 100% sesuai dengan kondisi Indonesia, termasuk di Untirta saat ini yang sedang memperjuangkan anggaran pendidikan yang memadai serta terbatasnya kursi bagi mahasiswa dalam negeri yang kemampuan ekonominya rendah. Namun, ukuran-ukuran tersebut penting sebagai dasar bagi referensi kesejajaran Untirta dengan universitas lainnya yang bertaraf internasional.

p.7 Aslan:
Kriteria world class university diantaranya adalah 40 % tenaga pendidik bergelar
Ph.D, memiliki publikasi internasional 2 papers/dosen/tahun, jumlah mahasiswa pasca 40% dari total populasi mahasiswa (student body), anggaran riset minimal US$ 1300/staff/tahun, jumlah mahasiswa asing lebih dari 20%, dan Information
Communication Technology (ICT) 10 KB/mahasiswa. Kriteria tersebut tentu tidak
100% sesuai dengan kondisi Indonesia termasuk di UNHALU  saat ini yang sedang memperjuangkan anggaran pendidikan yang memadai, terbatasnya kursi bagi mahasiswa dalam negeri yang kemampuan ekonominya rendah, maupun peran pendidikan tinggi dalam menghasilkan iptek yang bermafaat bagi kesejahteraan
rakyatnya. Namun ukuran-ukuran tersebut penting sebagai dasar bagi referensi
kesejajaran UNHALU  dengan universitas lainnya yang bertaraf internasional.

9. P 11 SH hingga p. 20 tidak terdapat dalam tulisan Aslan. Hal ini dikarenakan pada paragraf-paragraf tersebut lebih membincangkan perihal Untirta dan hal normatif. Saya tak berani memastikan apakah tulisan ini hasil dari pemikiran SH atau juga hasil kutipan (yang tak jelas mengutip dari mana). Kecenderungan mengutip dari sumber lain sangat dimungkinkan mengingat pada beberapa paragraf antara p.11 sampai dengan p. 20 banyak berbicara mengenai data. Namun, dalam tulisan ini saya tak bisa melacaknya.

10. Pada p. 8 Aslan, terjadi empat pemecahan paragraf (P. 21 sampai dengan p. 24)

Pada p. 21, SH kembali berkiblat pada tulisan Aslan. Pada paragraf ini, SH hanya menambah kata “sebagai” sebelum kata “solusi”

P.21 SH:
Melihat kondisi kriteria di atas, mungkin yang memberatkan adalah anggaran riset minimal US$ 1300/-staff/tahun. Sebagai solusinya dapat disimak pengalaman Prof. Kai-Ming Cheng di atas dimana jika kita perhatikan Brand Top 100 Universitas di dunia yang dirilis pada tahun 2007 oleh Times Higher Education Supplement, University of Hongkong berada pada urutan 18 besar berdekatan dengan universitas-universitas seperti Hardvard, Yale, Oxford, Cambridge, Massachusetts institute of Technology.

Pada p. 22 SH, kata “beliau” berubah menjadi “ia”

p. 22 SH:
Professor Kai-Ming adalah menjadi bagian dari kesuksesan ini. Ia adalah salah satu konseptor dari ide menuju World Class University di Univercity of Hongkong. Ia duduk sebaai dekan ilmu kependidikan dan pernah menjadi wakil rector di sana. Saat ini Profesor Kai-Ming adalah juga direktur filantropy di Hongkong yag bertanggung jawab untuk Fund raising di bidang pendidikan. Lembaga ini baru berumur 8 tahun.

Pada p. 23 kata “setengah waktu” diganti menjadi “separuh waktu” kemudian kata “beliau” diubah menjadi Profesor Kai-Ming.

p. 23 SH:
Walaupun masih muda, lembaga ini telah berhasil mengumpulkan uang 100 juta dolar Amerika per tahun. Untuk kawasan Asia Timur ini merupakan jumlah yang fantastis. Oleh karena itu, separuh waktu ia disibukkan sebagai profesor dan separuh waktunya lagi sebagai direktur filantropy ini. Disamping itu Profesor Kai adalah juga konsultan UNESCO, World Bank dan berbagai institusi di dunia untuk bidang pendidikan, mulai dari Negara-negara besar sampai Negara-negara kecil.

Pada P. 24 SH  “pengalaman lapangan” berubah menjadi “pengalaman empirik” “networks” berubah menjadi “networking”

p.24 SH:
Apa yang disampaikan oleh Profesor Kai di atas adalah berdasarkan pengalaman empirik, bukan sekedar refleksi teoritis semata. Tentu langkah ini bisa ditiru dengan
mempercepat pendirian unit unit income generator di Untirta. Selain itu para dosen
Untirta yang memiliki kemampuan membina jaringan (networks) ke luar negeri
dimatangkan untuk menjadi agent of fund raiser. Sikap dan kesigapan dalam
mengambil keputusan yang tepat dari para pejabat di Untirta, dan lingkup
fakultas sudah sangat diperlukan. Mengapa? Karena perubahan global terjadi
demikian cepatnya.

Sementara itu beberapa kalimat yang menjelaskan mengenai contoh kota Kendari tidak dimunculkan dalam paragraf ini.

p.8 Aslan:

Melihat kondisi kriteria di atas, mungkin yang memberatkan adalah anggaran riset
minimal US$ 1300/staff/tahun. Solusinya dapat kita simak pengalaman Prof. Kai-
Ming Cheng di atas dimana jika kita perhatikan Brand Top 100 Universtitas di dunia
yang dirilis pada 2007 oleh Times Higher Education Supplement, maka University of
Hongkong berada pada urutan 18 besar berdekatan dengan universitas-universitas
seperti Harvard, Yale, Oxford, Cambridge, Massachusetts institute of Technology.

Profesor Kai-Ming adalah menjadi bagian dari kesuksesan ini. Beliau adalah salah
satu konseptor dari ide menuju World Class University di University of Hongkong.
Dia duduk sebagai dekan ilmu kependidikan dan pernah menjadi wakil rector di sana.
Saat ini Profesor Kai-Ming adalah juga direktur filanropy di Hongkong yang
bertanggung jawab untuk Fund raising di bidang pendidikan. Lembaga ini baru
berumur 8 tahun. Walaupun masih muda, lembaga ini berhasil mengumpulkan uang
100 juta dolar Amerika per tahun. Untuk kawasan Asia Timur ini merupakan jumlah
yang fantastis. Oleh karena itu, setengah waktu beliau disibukkan sebagai professor
dan setengahnya lagi sebagai direktur filantropi ini. Disamping itu beliau adalah juga
konsultan untuk UNESCO, World Bank dan berbagai institusi di dunia untuk bidang
pendidikan, mulai dari Negara-negara besar sampai Negara-negara kecil. Apa yang
disampaikan oleh Profesor Kai di atas adalah berdasarkan pengalaman lapangan,
bukan sekedar refleksi teoritis semata. Tentu langkah ini bisa ditiru dengan
mempercepat pendirian unit unit income generator di UNHALU. Selain itu para dosen
UNHALU yang memiliki kemampuan membina jaringan (networks) ke luar negeri
dimatangkan untuk menjadi agent of fund raiser. Sikap dan kesigapan dalam
mengambil kepuepattusan yang tepat dari para pejabat di UNHALU, dan lingkup
fakultas sudah sangat diperlukan. Mengapa? Karena perubahan global terjadi
demikian cepatnya. Contoh kecil, adalah belajar dari pengalaman prediksi
perkembangan kota Kendari yang jauh lebih cepat dari prediksi para pakar tata kota.
Prediksi kebutuhan listrik yang jauh melambung di atas ramalan para pakar listrik
merupakan contoh kecil yang nyata. Di sisi lain, dalam hal distribusi barang
(customized product) dan jasa sudah tidak mengenal batas batas negara termasuk
ekspektasi ke depan.


11. p. 25 SH sama persis dengan p. 9 Aslan. SH menambahkan kata “pula” sebelum “bahwa”

p. 25 SH:

Prof. Kai menambahkan pula bahwa kalau dulu hanya dikenal Panasonic saja merek rice cooker, sekarang sudah ada kurang lebih 300 merek. Fungsinya sama, menanak nasi dengan kualitas yang sama, tapi orang butuh sesuatu yang berbeda. Karena produsen tidak lagi memproduksi volume missal, tapi dalam bentuk yang unik dan kreatif. Produk-produk terus mengalami pergantian yang begitu cepat.

p. 9 Aslan:

Prof. Kai menambahkan bahwa kalau dulu hanya dikenal Panasonic saja merek rice
cooker, sekarang sudah ada kurang lebih 300 merek. Fungsinya sama, menanak nasi
dengan kualitas yang sama, tapi orang butuh sesuatu yang beda. Karenanya produsen tidak lagi memproduksi dalam volume massal, tapi dalam bentuk yang unik dankreatif. Produk-produk terus mengalami pergantian yang begitu cepat.

12.  Pada paragraf ini sama sekali tidak ada perbedaan termasuk tanda baca. Yang membedakan hanya di akhir kata; ”tim kerja” diganti menjadi ”tim work”

p. 26 SH:
Pada aras organisasi, tidak lagi berbentuk piramida besar, tapi perusahaan/asosiasi kecil; orang tidak lagi procedur-centered, tapi client centered; tidak lagi departementalisasi, tapi berbentuk tim; tidak hirarki, tapi datar; tidak lagi struktur yang rumit, melainkan longgar dan cair. Perubahan drastis juga mengikis model pengaturan pekerjaan. Tidak lagi pembagian tugas, tapi sudah solusi total. Sudah ketinggalan cara-cara kerja individual terspesialisasi, sekarang sudah dalam bentuk team work.

p. 10 Aslan:
Pada aras organisasi, tidak lagi berbentuk piramida besar, tapi perusahan/asosiasi
kecil; orang tidak lagi producer-centered, tapi client centered; tidak lagi
departementalisasi, tapi berbentuk tim; tidak hirarki, tapi datar; tidak lagi struktur
yang rumit, melainkan longgar dan cair. Perubahan drastis juga mengikis model
pengaturan pekerjaan. Tidak lagi pembagian tugas, tapi sudah solusi total. Sudah
ketinggalan cara-cara kerja individual terspesialisasi, sekarang sudah dalam bentuk
tim kerja.

13. p. 27 SH dan p. 11 Aslan memiliki kesamaan kecuali dibagian kalimat akhir.”Tim kerja” diganti ”tim work” ”kepribadian yang bagus” menjadi :kepribadian yang baik”  Akronim ”Unhalu” menjadi ”Untirta” Kalimat akhir pada p. 11 Aslan menjadi kalimat awal pada p. 28 SH.

p. 27 SH:

Sikap Individu seharusnya dapat mengikuti gerak perubahan yaitu bisa bekerja
dalam tipe apa saja baik kelompok kecil/tim work, memiliki motivasi tinggi, memiliki
kepribadian yang baik, memiliki skill yang berlapis, kreatif, berani mengambil
resiko. Oleh karena itu di Untirta sudah perlu difikirkan paradigm multiple career
bukan lagi life long career and loyality.


p. 11 Aslan:
Sikap Individu seharusnya dapat mengikuti gerak perubahan yaitu bisa bekerja
dalam tipe apa saja baik kelompok kecil/tim kerja, memiliki motivasi tinggi, memiliki
kepribadian yang bagus, memiliki skill yang berlapis, kreatif, berani mengambil
resiko. Oleh karena itu di UNHALU sudah perlu difikirkan paradigm multiple career
bukan lagi life long career and loyality. Lulusan yang dihasilkan UNHALU harus
memiliki daya saing global

14. Perubahan p. 28 SH dan p. 12 Aslan hanya terletak pada akronim dan kalimat awal.

p. 28 SH:

Lulusan yang dihasilkan Untirta  harus memiliki daya saing global.Oleh karena itu, menjawab pertanyaan kedua, Untirta tidak punya pilihan lain, kecuali mendongkrak kualitas dan sistim pendidikannya agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang begitu cepat itu. Salah satunya adalah dengan mendisain Untirta menjadi PT berkelas dunia.

p. 12 Aslan:
Oleh karena itu, menjawab pertanyaan kedua, UNHALU tidak punya pilihan lain,
kecuali mendongkrak kualitas dan sistim pendidikannya agar bisa menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang begitu cepat itu. Salah satunya adalah dengan
mendisain UNHALU menjadi PT berkelas dunia.

15. p. 29 SH adalah paragraf terakhir di dalam edisi pertama di Fajar Banten 29 Januari 2010. Pada akhir paragraf di edisi pertama ini ada satu kalimat yang menggantung ”Kalau Universitas..” Ini jelas kalimat yang aneh! Merujuk pada p. 13 Aslan, ternyata ada kelanjutannya yaitu ”Univ. Indonesia....” Kerancuan ini telah membuktikan bahwa memang kecenderungan plagiasi ini bukanlah sekadar dugaan semata. Pada edisi pertama ini, SH tidak memplagiat semua. Tiga paragraf terakhir tulisan Aslan, ia tahan untuk sementara dan akan muncul di edisi kedua pada tanggal 30 Januari. SH mengambil tulisan lain berupa reportase yang dilakukan oleh mahasiswa Fikom Unpad (Ratih, rezeki) yang dirilis di www.djatinangor.com pada tanggal 21 Juni 2009.

p. 29 SH:
Beberapa prasyarat dan komitmen yang tidak bisa ditawar untuk mudah diterapkan
di Untirta adalah: pertama, pembangunan sistim pendidikan tinggi hingga output
dan target yang jelas sebagai prioritas; kedua, harus memperhatikan sumberdaya
manusia khususnya dosen dan staf; ketiga, sudah punya identifikasi / kompetensi
institusi berupa keunggulan atau ciri dari UNHALU. Kalau Universitas.

p. 13 Aslan
Beberapa prasyarat dan komitmen yang tidak bisa ditawar untuk mudah diterapkan
di UNHALU adalah: pertama, pembangunan sistim pendidikan tinggi hingga output
dan target yang jelas sebagai prioritas; kedua, harus memperhatikan sumberdaya
manusia khususnya dosen dan staf; ketiga, sudah punya identifikasi / kompetensi
institusi berupa keunggulan atau ciri dari UNHALU. Kalau Univ. Indonesia terkenal
dengan kedokterannya, UGM terkenal karena Fakultas Hukumnya, maka UNHALU
akan dikenal karena Fakultas/ Program Studi apanya?; keempat, rekrutmen akademisi; kelima, mengembangkan sumberdaya; dan keenam, melakukan reformasi tatakelola di UNHALU.

p.14 Aslan:
Bagaimana sumberdaya finansialnya? ada tiga hal yang secara simultan bisa
dilakukan yaitu pendanaan melalui APBN; donasi pihak PEMDA dan swasta dan
peran lembaga-lembaga pilantropy yang ada di Indonesia maupun di luar negeri.


Agar tetap fokus maka saya tak akan membandingkan dengan tulisan kedua (Ratih, Rezeki) yang banyak muncul di edisi ke-2 pada tanggal 30 Januari 2010. saya akan tetap memfokuskan perbandingan ini pada tulisan La Ode M. Aslan. Dari 16 paragraf yang ditulis oleh La Ode M. Aslan ini, 13 paragraf diambil mentah-mentah oleh SH dan 2 paragraf lainnya muncul di edisi ke-2. Seperti biasa, SH hanya memodifikasi hal-hal remeh dan yang sudah pasti, mengubah akronim Unhalu menjadi Untirta. Berikut kutipannya.

SH:

Last but not least, program-program pembinaan mahasiswa yang cukup kaya mutlak dipersiapkan dengan matang. Misalnya program yang mahasiswa-mahasiswanya diasuh oleh tokoh masyarakat/guru-guru besar/profesor, tidak harus dalam mata kuliah yang sama untuk pengayaan wawasan.

Dengan demikian, ada kepercayaan diri dalam mengantisipasi semua persoalan di masyarakat. Program kuliah kerja mahasiswa dana kuliah kerja profesi/magang juga tetap menjadi program prioritas, sehingga mahasiswa tahu bermasyarakat dan masyarakat merasa membutuhkan mahasiswa; mahasiswa-mahasiswa juga diasramakan. Mereka yang mengatur kehidupan asrama sendiri dan 25% dari mereka dikirim ke luar negeri untuk mendapatkan pengalaman.

p.15 Aslan:
Last but not least, Program-program pembinaan mahasiswa yang cukup kaya
mutlak dipersiapkan dengan matang. Misalnya program di mana mahasiswa-
mahasiswanya diasuh oleh tokoh masyarakat/guru-guru besar, tidak harus di bidang
studi yang sama untuk pengayaan wawasan sehingga ada kepercayaan diri dalam
mengantisipasi semua persoalan di masyarakat. Program kuliah kerja profesi juga
tetap menjadi program prioritas, sehingga mahasiswa tahu bermasyarakat dan
masyarakat merasa membutuhkan mahasiswa; mahasiswa-mahasiswa juga
diasramakan (UNHALU juga sudah membangun asrama), mereka yang mengatur
kehidupan asrama sendiri dan 25 % dari mereka dikirim ke luar negeri untuk
mendapatkan pengalaman.


SH:
Perlu menggalakkan pemassalan penguasaan minimal satu (1) bahasa asing maka minimal akan terbentuklah atmosfir internasional minded pada seluruh kalang sivitas akademika di Untirta yang ke depan akan mudah mengarahkan untuk bermitra dengan peneliti internasional.

Di sisi lain, untuk meningkatkan jumlah tulisan berkualitas maka mungkin ada baiknya seluruh dosen perlu dipersyaratkan minimal pernah lolos 1 penelitian kompetitif setara hibah bersaing atau RISTEK, terutama yang ingin naik jabatan fungsionalnya termasuk pernah minimal menulis di jurnal terakreditasi.

Singkatnya, untuk transfer pengetahuan kepada mahasiswa, perlu perubahan paradigm baru di Untirta yang mendasar dalam pembelajaran berupa sudah saatnya Untirta meninggalkan pola transfer of knowledge, menuju pada paradigm batu. Yakni, student active learning atau student center leraning.

Dalam setiap unit kerja di Untirta sudah dirancang (grand design-nya), yaitu reputasi internsional; prestasi penelitian bermutu; lulusan yang terkemuka; dan partisipasi Internasional yang kualified.

Jika keempat hal tersebut di atas terpenuhi, insya Allah Untirta menjadi world class university pada 20 atau 30 tahun nanti merubah dari sebuah mimpi menjadi kenyataan. Amin.***


p.16 Aslan:

Rektor UNHALU Perlu menggalakkan pemassalan pengusaan minimal 1 bahasa
asing baik pada dosen (khususnya dosen baru) maupun mahasiswa seluruh
UNHALU (diganti untirta) dengan standar TOEFL atau IELTS . Dengan pemassalan
berbahasa asing maka minimal akan terbentuklah international minded pada seluruh
kalangan civitas akademika di UNHALU (diganti untirta) yang ke depan akan mudah
mengarahkan untuk bermitra dengan peneliti global. Di sisi lain, untuk meningkatkan
jumlah tulisan berkualitas maka mungkin ada baiknya seluruh dosen perlu
dipersyaratkan minimal pernah lolos 1 penelitian kompetitif setara hibah bersaing atau
RISTEK utamanya yang ingin naik jabatan fungsionalnya termasuk pernah minimal
menulis di jurnal terakreditasi. Singkatnya, untuk transfer pengetahuan ke mahasiswa,
perlu perubahan paradigma baru di UNHALU\ yang mendasar dalam pembelajaran
berupa sudah saatnya UNHALU meninggalkan pola transfer of knowledge, menuju
pada paradigm baru yaitu: student active learning.

p.17 Aslan:
Sehingga dalam setiap satuan pendidikan di UNHALU sudah dirancang (Grand
Design-nya) yaitu reputasi internasional; prestasi penelitian bermutu; lulusan yang
terkemuka; dan Partisipasi Internasional yang kualified. Kalau empat hal ini terpenuhi insya Allah UNHALU sudah bisa menjadi universitas kelas dunia tahun 2025 nanti. Amin.

Dari tulisan  La Ode M. Aslan yang berjumlah 17 paragraf ini  hanya ada 2 paragraf saja yang tak diambil yaitu paragraf ke-1 dan ke-14. Artinya, ada 15 paragraf, diambil oleh SH dan dimunculkan di dalam tulisannya. Temuan ini mengindikasikan bahwa dengan syah, SH telah melakukan praktik plagiasi yang sangat haram dilakukan oleh seorang dosen, apa lagi yang memiliki gelar profesor.

Analisis sederhana ini saya buat bukan berdasarkan landasan yang aneh-aneh, apa lagi merusak citra Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd. Sebagai dosen yang juga satu fakultas dengan Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd, tentu saya pun bergembira jika ada yang menjadi rektor dari Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan kelak. Saya membuat analisis sederhana ini karena keterpanggilan saya melihat situasi di Untirta yang tak jelas arahnya. Kemudian, apa yang dilakukan mahasiswa dengan tuntutannya beberapa waktu yang lalu harusnya ditanggapi secara positif, bukan bertanya kepada mereka ”Siapa yang menunggangi kalian?” Jika mahasiswa saja sampai dicurigai, apa lagi dengan dosen?

Terus terang, selama bergulirnya persoalan ini di media massa, saya mendapatkan perlakuan yang ajaib, bahkan dari teman sejawat sendiri. SMS sindiran yang dialamatkan seperti ”Selamat kepada 2 mahasiswa yang berani mengungkap kebenaran dan menjunjung tinggi kejujuran. Tapi sayang, mereka hanya dapat sanjungan dari orang-orang pengecut!” membuat saya teramat takjub membacanya. Apa salahnya mereka mengeluarkan pendapatnya tentang dugaan plagiasi dosen Untirta di TV One pada tanggal 15 Februari 2010? Menjelekkan citra Untirta? Citra mana yang dijelekkan?

Kepada Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., saya sama sekali tak bermaksud menggurui, namun penting kiranya kita mengingat kembali bahwa kepentingan daftar rujukan/ daftar pustaka dimunculkan pada akhir tulisan adalah untuk menjelaskan kutipan-kutipan yang dimunculkan di dalam isi tulisan. Jadi, sekiranya Prof. Dr. Sholeh, M. Pd., mencantumkan daftar pustaka, seperti yang diakuinya di pemberitaan media massa, yang terjadi bukanlah untuk menjernihkan persoalan, tetapi menambah masalah baru karena kepentingan daftar pustaka menjadi bias dan kacau. Lagi pula, saya kira Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., sangat mahfum bahwa sia-sia mengatakan kepada publik bahwa ada yang namanya daftar pustaka tetapi artikel Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M. Pd., telah muncul di Fajar Banten beberapa waktu lamanya. Saya kira, daripada berbelit-belit dan menumbuhkan swasangka, lebih baik Prof. Dr. Sholeh Hidayat meminta maaf kepada civitas akademika Untirta dan masyarakat Banten pada umumnya karena telah melakukan plagiasi. Itu lebih bermartabat daripada berlindung dibalik datra pustaka, Undang-Undang ITE dan politisasi pemilihan rektor yang masih satu tahun itu.

Kepada rektor dan senat Untirta, saya berharap tulisan sederhana ini bisa menjadi masukan. Kendati tidak ilmiah, seyogyanya apa yang saya kemukakan membuat persoalan ini menjadi terang benderang. Sebagai konsekuensi logis dari munculnya tulisan ini, saya dengan senang hati mempertanggungjawabkan hasil analisis ini. Bila berkenan, saya meminta agar dibuat semacam seminar atau diskusi terbuka bersama Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd. Akan lebih menarik, jika mendatangkan guru besar lain yang memiliki kompetensi di bidang linguistik/ karya tulis atau redaktur media massa sehingga kita bisa mendapatkan cakrawala akademik yang lebih objektif.


Atas nama Allah SWT dan dalam rangka menjunjung nilai-nilai akademisi, maka saya buat tulisan ini tanpa ada tendensi merusak citra apapun dan siapapun.



Salam,



Firman Venayaksa/ Firman Hadiansyah.