Sabtu, 29 Januari 2011

KUALAMATKAN SURAT CINTA INI KEPADA AKTIVIS MAHASISWA UNTIRTA

KUALAMATKAN SURAT CINTA INI KEPADA AKTIVIS MAHASISWA UNTIRTA

Oleh Firman Venayaksa

Pada akhirnya aku harus menuliskan kegelisahanku tentang Pemira mahasiswa Untirta yang hingga kini makin tak jelas. Akupun tak tahu mengapa tiba-tiba aku menulis persoalan yang sama sekali tak berhubungan dengan kehidupanku; atau jangan-jangan karena mahasiswa di kampus itu sudah menjadi bagian dalam hidupku sehingga setiap detik kejadian selalu menyeretku pada kepenasaran-pengertian?

Sumpah, aku bukan orang yang begitu senang dengan dunia perpolitikan. Politik kampus dan negara sudah tak ada bedanya. Bahkan tak sedikit mahasiswa yang berbahagia dan membaptis kampus sebagai miniatur negara. Hah, cara pandang macam apa lagi ini? Sudah jelas dengan istilah ini kampus dikerdilkan, kok malah jadi bangga? Aneh. Atas dasar itulah, lantas para aktivis mahasiswa mengikuti segala hal yang terjadi di negara. Dibuatlah konsep-konsep miniatur seperti Presiden Mahasiswa, DPM dan MPM. Lalu agar terkesan mirip negara, maka Presiden mahasiswanya dipilih langsung oleh para mahasiswanya; tapi dewan legislatifnya lupa dipilih mahasiswa? Agar mirip negara, dibuatlah KPU-KPU-an tetapi mereka lupa membuat Panwaslu-Panwaslu-an? Sehingga atas dasar miniatur negara itu, mereka pun ikut-ikutan mempolitisasi apapun yang bisa dipolitisasi, agar seperti para politikus yang kini jadi selebritis di televisi. :Lantas kisruhlah mereka seperti kisruhnya Pilkada di daerah-daerah. Ternyata benar, mereka memang lebih senang disebut miniatur; lalu ikut mini pulakah otak dan mata batinnya? Semoga tidak.

Aku tak mungkin menyalahkan mereka. Aku tak mungkin membenci mereka. Aku terlalu jatuh cinta kepada mereka! Kalau saja aku punya seribu tangan, maka seribu tangan itu akan kuguncangkan kepada pundak mereka lantas kupeluk rapat-rapat mereka di dadaku. Walau terkadang mereka meradang, keras, sulit dikendalikan, tapi aku lebih percaya kepada mahasiswa semacam itu daripada para dosen dan petinggi Untirta. Sudah banyak kasus yang menyeretku pada ketidakpercayaan institusi kampus. Aku dan 80 dosen Untirta protes karena pemotongan dana penelitian, lalu menguap begitu saja. Aku dan puluhan dosen kesal karena ada Profesor yang jelas-jelas plagiat, para senat Untirta dengan gagahnya menyatakan bahwa itu hanya kekeliruan mengutip belaka. Lalu aku malah disebut sebagai dosen pembuat onar dan sering merusak stabilitas kampus. Ah, rumit memang kalau bicara Untirta di masa sekarang. Mau dibawa kemana Untirta, wahai birokrat kampus? Kalian seenaknya menggagas penerimaan mahasiswa Nonreguler yang SPP-nya lebih mahal tapi kalian tak peduli jika listrik tiba-tiba mati ketika dosen dan mahasiswa kuliah di malam hari. Di suatu malam, ketika listrik mati, aku dan mahasiswaku iuran untuk beli lilin. Ya, kami pernah kuliah hanya diterangi lilin! Lalu aku bisiki kepada mahasiswaku,  "lebih baik menyalakan lilin daripada memaki kegelapan." Kubisiki lebih dekat lagi "kalian lihatlah dengan seksama lilin itu. Dia rela menghancurkan dirinya untuk menerangi ruangan ini. Seperti laron yang berpendar mencari titik terang, kita hanya hidup satu kali, maka jadikanlah hidupmu berarti. Mari kita bidik masa depan yang lebih cerah, walau dimulai dari keremangan di malam ini.."

Ya, masa depan. Aku percaya suatu saat nanti Untirta bisa bersejajar dengan kampus-kampus lain yang lebih ternama. Optimisku ini tidak berlebihan kurasa. Ya, dari mahasiswa yang suka meradang, keras, sulit dikendalikan itulah sepertinya Untirta akan bangkit. Aku percaya bahwa para aktivis hari ini akan mewarnai Untirta dikemudian hari; menjadi dosen-dosen yang cerdas, berani dan canggih. Aku percaya bahwa para aktivis sekarang memiliki kelebihan dibanding mahasiswa kupu-kupu; tukang nongkrong dan tak peduli dengan urusan kampus. Mereka yang sekarang sedang terlibat kisruh itulah yang sebetulnya lebih mencintai Untirta dengan segenap hati. Tak mungkin bereka beradu argumen siang malam jika tak menyayangi almamaternya. Sistem yang mereka jalankan mungkin saja salah; cara bertindak mereka mungkin saja gegabah; justru dari kesalahan, kegegabahan dan dicampur dengan sedikit kekurangajaran yang menjengkelkan temannya dan birokrat kampus itulah mereka bisa belajar. Pembelajaran harus dimulai dari kesadaran akan kesalahan dan belajar menerima kekalahan.

Ya, persoalannya di Pemira Untirta sekarang ini para aktivis belum mau belajar dari kesalahan, belum berani menerima kekalahan. Padahal belajar dari kesalahan dan berani menerima kekalahan adalah bagian dari kedewasaan. Padahal kalian memiliki potensi untuk lebih dewasa dari para politikus sungguhan di luar sana karena jiwa kalian masih murni; darah kalian masih suci; otak kalian masih segar. Tak ada kata menyerah untuk menegakkan kebenaran, sekalipun jalannya harus pahit. Biarkanlah kepahitan hari ini menjadi obat peradaban yang bisa kalian tulis dengan gagah di masa mendatang. Jangan mau kalian disamakan dengan para politikus di sana yang patut kita tertawakan dan kita lecehkan. Kalian bukan jawara bayaran yang ditakdirkan untuk menyelesaikan masalah dengan intrik-intrik kekerasan. Jika kekerasan yang kalian lakukan, maka aku bersumpah akan membuatkan ring tinju untuk kalian. Siapa tahu di antara kalian ada yang tersadarkan bahwa kalian lebih pantas menjadi penerus Elias Pical daripada Soekarno, Hatta, Tan Malaka. Janganlah merasa benar sendiri jika masih ada kebenaran kolektif di cakrawala. Jangan buat kalimat-kalimat pembenaran jika kesalahan di depan mata. Selesaikan masalah Pemira ini dengan kepala dingin, bukan kepala batu. Tengoklah jari tanganmu ketika menuding orang lain karena empat jari lainnya justru menudingmu!

Wahai aktivis mahasiswa Untirta, jangan kalian habiskan energi mudamu untuk saling menjatuhkan sementara masih ada rakyat menunggu pikiran dan tenagamu di batas garis kemiskinan.

Untukmu, ya hanya kepadamu kualamatkan surat cinta ini. Kutunggu kau dengan hati berdebar dan nafas yang tertahan.*)



Tanah Air, Sabtu 29 Januari 2011. 02.20 AM
*) Di dalam tahajudku, kudoakan keselamatan kalian.

Senin, 24 Januari 2011

JOHN WOOD: MENJADI MANUSIA BERGUNA

Oleh Firman Venayaksa*)

Penulis: John Wood
Jumlah halaman: ix + 367 hlmn
Penerjemah: Widi Nugroho
Penyunting: Hermawan Aksan, Salman Faridi
Penerbit: Bentang


Gola Gong, seorang penulis sekaligus pendiri komunitas literasi “Rumah Dunia” pernah mengatakan bahwa menjadi orang berguna jauh lebih penting dari pada sekadar menjadi orang penting. Seyogyanya kata-kata ini menarik untuk disimak. Dari sekian banyak waktu yang kita gunakan untuk beraktivitas dan setumpuk rutinitas, agaknya kita harus merenung lebih dalam, jangan-jangan apa yang kita lakukan tidak berguna untuk orang banyak. Di masa kekinian, di mana kita hidup dalam arus pop culture, manusia cenderung seperti mesin; mengulang-ulang pekerjaan, menuntut pelbagai skrup material dan obeng kekuasaan tetapi lupa untuk mengencangkan baut kebergunaan dengan masyarakat.
Jauh hari sebelumnya, Albert Einstein sering dikutip kalimatnya untuk memotivasi banyak orang. Dia mengatakan, “berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.” Titik tekan kebergunaan inilah yang dijadikan muara bagi John Wood, seorang eksekutif di Microsoft yang rela menjadi seorang relawan, mengumpulkan sekaligus membagi-bagikan buku, membangun 3600 perpustakaan. Ketika membaca tulisannya Leaving Microsoft to Change The World saya cukup tercengang sekaligus takjub dengan apa yang dilakukannya. Bayangkan, dia rela untuk meleburkan dirinya membantu mencerdaskan orang-orang. Di mata saya, John Wood adalah orang-orang terpilih dan layak disejajarkan dengan orang-orang gila pemenang nobel itu. Dengan usia yang relatif muda, gagasannya melampaui orang-orang disekelilingnya.
Buku ini dimulai dengan pengalamannya berkelana ke tengah-tengah pegunungan Himalaya dan bertemu dengan Pasuphati yang mengajaknya ke sebuah sekolah yang sudah tak layak jika dikatakan sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Lantas perkataan seorang guru Bahasa Inggris di sekolah itulah yang tiba-tiba mengubah cara pandang dirinya. “Kami mohon, Pak, saat Anda kembali nanti dengan buku-buku, Anda akan disambut gembira. Anak-anak,  kepala mereka akan membentur langit-langit karena melompat-lompat kegirangan.” Walaupun dihadirkan dalam bahasa metafor, ternyata ungkapan tersebut membuat John Wood tergugah hatinya, kemudian memastikan dirinya untuk mengumpulkan buku-buku dan segera mengirimnya ke tempat tersebut.
Buku ini menghadirkan sosok humanis dari seorang John Wood. Padahal jika membaca masa lampaunya sebagai seorang eksekutif muda, agaknya kepedulian dirinya dengan gerakan literasi--apa lagi tergugah dengan keadaan perpustakaan sekolah di Himalaya—begitu terkesan utopis.
Saya adalah mantan seorang spesialis dalam pasar internasional. Sehingga saya selalu mencoba berada di tujuh tempat sekaligus. Ini seperti permainan twister yang dimainkan pada skala global. Berada di Johannesburg pada hari Jumat dan di Taiwan pada hari Minggu siap melakukan presentasi, menghadiri pertemuan dan melakukan wawancara pers. (hal. 7)
Di sinilah letak kenikmatan membaca buku ini. Persoalan memutuskan sesuatu. Menjadi berguna dalam sudut pandang yang ganjil. Bahkan terkesan heroik. Sebagai seorang manusia biasa, John Wood tentu saja berkelahi dengan dirinya sebelum memutuskan sesuatu. Bekerja di sebuah perusahaan raksasa, dengan gaji yang sangat besar, ditambah dengan kepercayaan perusahaan untuk membiayai ke manapun dia pergi adalah pekerjaan yang sangat menggoda siapapun. Sehabis pergulatan batin itulah, seperti seorang rabi tua yang hendak bertobat dikarenakan menggunungnya dosa-dosa dia memilih jalan sunyi, melakukan sebuah pekerjaan baru yang sangat tidak populer sama sekali dan ia sangat sadar bahwa memutuskan memilih berarti (juga) meninggalkan sekelompok orang dan menemukan sekelompok asing.
Namun sekelompok asing yang dia temui bukanlah sekelompok asing dengan kantor bintang lima dan kepribadian bintang nol seperti yang sering ditemuinya ketika di microsoft. Setidaknya mereka memiliki ide yang senada. Lalu merekapun bersepakat membuat roam to read, sebuah “perusahaan” nirlaba yang concern pada dunia sosial, berhasrat membobol uang-uang CSR perusahaan raksasa. Di sinilah konflik kembali terjadi. Jika dulu dia dikejar-kejar oleh perusaha rekanan untuk bernegosiasi, kini dia seperti ikan yang kehabisan air, menjadi lemah dan berusaha meyakinkan kepada para pemegang dana untuk memastikan agar dananya segera cair dan digunakan dengan bijak untuk menjadikan uang tersebut sebagai modal membangun perpustakaan, membawakan pelita aksara kepada ribuan anak di seluruh dunia. Ketika dalam kondisi semacam itu, John Wood tidak patah semangat, dia terus berusaha untuk presentasi ke tempat-tempat lain. Keinginan untuk menjadi orang berguna terus meluap-luap dalam setiap langkahnya.
Agaknya apa yang dilakukan John Wood patut ditiru oleh para penggiat komunitas literasi/ Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Indonesia. Sebagai sebuah negara yang terus berkembang, kini banyak sekali orang-orang yang peduli dengan dunia literasi lalu membangun tempat baca di beberapa tempat. Pemerintahpun tak kalah sigap, bahkan membuat Subdit Budaya Baca di Depdiknas agar menggenjot masyarakat untuk menumbuhkan minat baca yang mengklaim lebih dari 5000 TBM didirikan. Sayangnya hingga kini banyak persoalan yang terjadi. Dana blockgrant yang disebarkan antara 10-50 juta/ TBM tidak tepat sasaran karena penilaian hanya dilihat berdasarkan proposal. Monitoring dan evaluasi dilakukan tidak menyeluruh dan momentumnya lebih karena jika TBM tersebut mendapatkan dana, sehingga yang terjadi adalah menjamurnya TBM-TBM fiktif. Mentalitas semacam ini yang membuat TBM lain, yang memiliki integritas kuat terabaikan. Dan kelemahan lain yang terdapat di pengelola TBM adalah kurangnya kesadaran berjibaku untuk menggandeng perusahaan suasta dalam membantu TBM tersebut seperti apa yang dilakukan John Wood.
Membaca buku ini, kita diajarkan bagaimana caranya mengorganisir diri dari hasrat yang meledak-ledak menjadikannya sebuah modal kekuatan baru. Buku ini juga memberikan kiat-kiat yang tak menggurui agar kita selalu bertanggungjawab ketika memutuskan sebuah perkara dan harus besar jiwa ketika apa yang kita harapkan tak bisa ditangkap sebagai sesuatu yang membanggakan bagi orang lain.
Tanah Air, 2008
*) Penulis adalah Presiden Rumah Dunia dan dosen Jurusan Bahasa dan Sastra-Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.



NOVEL IMPERIA DAN KECENTILAN LITERATUR

Oleh Firman Venayaksa*)

Dalam memaknai sebuah teks, kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan pisau analisis mana yang bisa kita pakai dari sekian jumlah pendekatan yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu maka seyogyanya kita boleh setia dengan satu pilihan, namun bisa juga mencampuradukan beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan sang kritikus dalam membedah keterbacaannya. Kita bisa saja mengaitkan antara teks dengan pengarangnya, bisa pula –benar-benar—hanya memfokuskan pada teks dan “melupakan” sang pengarang.
Roland Barthes adalah seorang pemikir yang memiliki andil cukup besar dalam perkembangan kajian semiotika, bahkan Barthes berani mempertanyakan kembali posisi seorang penulis dengan essainya yang cukup terkenal: “The Death of the Author”. Menurut Barthes, seorang pengarang bukan sekedar manusia dengan kemampuan tertentu, tetapi merupakan subjek yang terkonstruksi secara sosial dan historis. Mengakui pendapat Marx bahwa sejarahlah yang membentuk manusia, dan bukan seperti kata Hegel, manusia yang menciptakan sejarah. Selanjutnya Barthes mengungkapkan bahwa seorang pengarang tidak lebih dulu eksis dari atau di luar bahasa, oleh karena itu seorang pengarang tidak dapat melakukan klaim yang mutlak terhadap teksnya. Para pembaca punya haknya sendiri untuk memberikan penafsiran dan mereguk kesenangan dari teks-teks itu.
Novel Imperia karya Akmal Nasery Basral (Akoer, Juni 2005) adalah sebuah novel pop yang sarat dengan literatur. Nama Imperia sendiri diambil dari sebuah nama patung di sebuah kota kecil bernama Konstanz-Jerman.

Dengan kedua tangannya yang terangkat menghadap langit, dan dua figur berpengaruh di abad pertengahan yang duduk pasrah di kedua telapak tangannya itu membuat Imperia terlihat sebagai maharani yang sedang menikmati kekuasaannya terhadap tanah jajahan. Apalagi kedua tokoh di tangannya itu adalah Raja Sigismund dan Paus Martinus V. Yang satu mewakili negara, yang kedua mewakili lembaga agama (hal. 390).

Dari keterangan di atas, bisa kita tarik sebuah tesis awal bahwa novel ini memakai simbol sebagai sarana untuk menyembunyikan tabir teks yang ada, dan ketika berbicara simbol maka ada makna-makna tersembunyi yang bisa kita kuak keberadaannya karena kode simbolik bersifat tidak stabil dan dapat dimasuki melalui beragam sudut pendekatan.
Barthes menggunakan konsep connotation-nya Hjemslev untuk membongkar makna-makna yang tersembunyi. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yaitu denotatif dan konotatif. Pada tingkat denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, di tahap skunder, muncullah makna yang ideologis (Dahana, 2001: 23). Selanjutnya Barthes mengungkapkan bahwa petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah dan melaluinya, dunia lingkungan menyerbu sistem itu (Kurniawan, 2001: 68).
Pada tingkat denotatif kita melihat sebuah patung, dan dua orang lelaki di tangannya. Tingkat denotatif selesai sampai di sini. Sementara pada tingkat konotatif kita bisa menguak lebih jauh lagi yang dihubungkan dengan tanda-tanda yang ada. Patung perempuan yang kita ketahui dari novel ini adalah seorang pelacur bernama Imperia. Biasanya patung yang disimpan di sebuah kota adalah untuk mengenang seseorang terhadap sejarah yang dibuatnya seperti patung Sudirman di Jakarta misalnya. Yang menarik dari patung Imperia adalah ternyata dia seorang pelacur, bukan seperti R.A Kartini atau perempuan “baik” lainnya yang cukup memberikan kontribusi dalam sejarah. Atau jangan-jangan pelacurpun menjadi penting untuk dikenang dalam rangka mengeksiskan sebuah pemikiran bahwa seorang perempuan “tidak baik” pun bisa membuat sejarah atau menjadi reflektor terhadap yang dilakukannya pada masa silam. Patung Imperia menimbulkan sisi yang menarik ketika kedua tokoh di tangannya itu adalah Raja Sigismund dan Paus Martinus V. Yang satu mewakili negara, yang kedua mewakili lembaga agama. Tangan dalam makna konotatif berarti kuasa atau menguasai. Ini menyiratkan bahwa Imperia bisa memegang lembaga negara  dan lembaga agama.
Lalu mengapa judul novel ini Imperia? Adakah Imperia sebagai simbol keterwakilan dari novel ini?
Melanie Capricia (MC) adalah tokoh yang sangat penting dalam novel ini, bahkan kita bisa bercuriga bahwa Imperia diwakilkan dalam tokoh MC. Dia seorang diva Indonesia yang meroket namanya, karena kontribusi dari media massa yang “mem-blow up” artis terkenal. Sebagaimana halnya para artis yang telah ada, tokoh ini pun memiliki karakter yang standar; kecerdasan yang standar, gaya hidup yang standar, dan persoalan-persoalan hidup yang standar pula. Tidak ada kebaruan yang wah baik ditilik dari sisi sosiologi maupun psikologi. Flat.
Berawal dari lingkungan yang terang benderang alias glamor, maka dalam dunia pop, tema perselingkuhan adalah bagian yang menarik untuk dituliskan. MC berselingkuh dengan Jendral Pur, seorang lelaki setengah baya yang memiliki pengaruh dan kekuatan yang sangat besar. Dari sinilah, novel ini menyuratkan bahwa MC menggenggam dua kekuatan,

.....Barangkali penyanyi itu tak suka disebut Diva, karena merasa dirinya lebih mirip dengan Imperia. Ia sudah menguasai media massa di tangan kanannya, dan seorang tokoh militer berpengaruh di tangan kirinya.  Tapi ternyata, MC pun tak lebih dari sekadar pion yang berada di dalam genggaman seorang Imperia lain yang lebih cerdik, lebih berkuasa – Adel (hal. 414).

Ketika kita menguak keberadaan Imperia sebagai sebuah simbol yang menelingkupi cerita ini, kita bisa mengamati dengan jelas bahwa Imperia yang disangkutpautkan sebagai perwakilan dalam novel ini menjadi tidak ansih adanya.
Jika betul Imperia diwakilkan dalam tokoh MC (dalam hal ini MC sebagai penyanyi sudah disejajarkan dengan Imperia sebagai pelacur?), maka hal tersebut menjadi logika yang tidak sesuai, karena Imperia memegang tokoh agama dan tokoh negara, sementara MC yang dituliskan pada halaman 414, memegang media massa di tangan kanannya dan seorang tokoh militer di tangan kirinya. Persamaan antara MC dan Imperia --jika ingin mengklaim--, bolehlah ada pertautan yaitu sama-sama memegang kekuasaan (Raja Sigismund dan Jendral Pur), tetapi apakah media massa dan Paus Martinus V bisa disejajarkan? Jelas tidak, karena tidak ada korelasi yang signifikan di antara keduanya. Dengan demikian, melalui persepsi pertama, mungkin kita bisa memberikan predikat baru yaitu MC adalah “Setengah Imperia”.
Namun jika kita membaca sampai tuntas novel ini, malah kita tidak akan melihat Imperia diwakilkan dalam tokoh MC, karena MC sama sekali tidak “menggenggam” Jendral Pur, justru sebaliknya, MC telah “dipakai” habis-habisan oleh Jendral Pur untuk menunaikan hasrat seksualnya. Melalui persepsi ke dua ini, tamatlah kebercurigaan kita bahwa MC adalah keterwakilan dari Imperia. Lalu mungkinkah ada tokoh perempuan lain yang bisa menyerupai Imperia? Masih pada halaman 414, Adel disebutkan pula sebagai Imperia, namun jika masih merujuk pada Imperia sebagai tokoh, maka Adel-pun tak bisa mewakili Imperia. Setelah membuka tabir-tabir yang ada, dugaan yang bisa kita maknai adalah bahwa Imperia dalam novel ini bukanlah sebuah sosok atau penjelmaan, tetapi sebagai sebuah karakter yang pada akhirnya membentuk sebuah predikat yaitu “menguasai”.
Jika ingin mengkalisifikasikan, novel ini bisa disebut sebagai novel detektif, karena salah satu kekhasan dari novel detektif adalah hadirnya sebuah tragedi kematian yang dilanjutkan dengan penemuan-penemuan untuk menyelesaikan masalah, siapa detektifnya, siapa yang melakukan pembunuhan dan apa motifnya sehingga terjadi kasus pembunuhan tersebut.
Pada “prolog”, kita sudah diteror dengan kematian Rangga Tohjaya yang mengenaskan. Pembaca dibuat tersentak dan ingin mengetahui keberlanjutan dari cerita ini. Inilah salah satu motif dari cerita detektif yang sering kita baca pada novel-novel detektif yang telah ada (baca “The Davinci Code” karya Dan Brown yang sama-sama memulai “prolog” sebelum masuk pada bab 1). Dalam cerita detektif,  pembunuhan tidak mempunyai aspek yang menyedihkan sebagaimana yang sering kali kita lihat dalam tragedi atau dalam roman biasa; pembunuhan, adanya mayat, malahan menggembirakan pembaca, sebab harapannya sudah terpenuhi (Teeuw, 2003: 84).
 Selanjutnya kita masuk pada tokoh utama (sang detektif) yaitu Wikan, seorang wartawan yang baru saja diterima bekerja di majalah Dimensi dan langsung dihadapkan pada pencarian berita pembunuhan. Tokoh Wikan pada novel ini memiliki kecerdasan di atas rata-rata, jebolan FISIP UI dan memiliki kemampuan di atas manusia biasa yang disebut Extra Sensory Perception seperti telepati, psikokinesis, prekognisi dan clairvoyance (hal. 151). Sayangnya kemampuan seperti ini hanya sebuah tempelan belaka. Kemampuannya tidak dipergunakan untuk menguak keberadaan MC yang dicari para wartawan ketika di bandara, mendalami pikiran Adel yang ternyata melakukan pengkhianatan kepada MC atau ketika mencari MC di Jerman. Kebetulan demi kebetulan yang mempertemukan mereka. Sebagai tokoh yang menjadi detektif, seharusnya tokoh ini bisa menemukan pelbagai kunci peristiwa yang terus “meneror” pembaca.
Biasanya, cerita-cerita detektif memiliki alur cepat dan dinamis, tapi pada novel Imperia, kesan tersebut nampak hilang karena terlalu banyak referensi dan informasi-informasi yang tidak terlalu berguna dalam mendukung penceritaan dan malah terkesan menjauhkan pada rel cerita. Pada novel ini, kecentilan literatur hadir pada dialog-dialog: Ketika Wikan mewawancarai MC, tiba-tiba “bergumam” tentang literatur-literatur dan mengabsen nama-nama orang hebat; Ketika MC berbincang dengan Kresna, wakil Sekjen Partai politik, yang mengajaknya menjadi pendukung parpol tersebut, novel ini bergumam mulai dari pemilu, pemberdayaan ekonomi rakyat, sampai Sea Jazz Festival di Belanda atau Montreux Jazz Festival di Swiss; Ketika MC bertemu dengan Jendral Pur basa-basi tentang Tuhan yang dilanjutkan referensi film-film; Ketika MC dan Marendra kencan, pada akhirnya berbuntut pada perkuliahan 4 SKS tentang ilmu astrologi; ketika Wikan bertemu Stefan dan membincangkan Neo Nazi.
Selain pada dialog, kecentilan literatur ini hadir pula pada objek yang bersangkut-paut dengan tokoh misalnya ketika Wikan menemukan sebuah e-mail dari Zimbabwe (bagi para neter, hal ini sudah tidak asing) atau ketika Hastomo mendapatkan email dari Mark Pesce (tulisan ini diambil dari buku The Soul of Cyberspace). Selain itu sang pencerita sebagai narator ikut-ikutan menceramahi pembaca seperti membincangkan sastrawan-sastrawan dan karya-karya dunia ketika Wikan membeli buku bekas, mengenalkan Jerman secara terperinci ketika Wikan memburu MC, mengenalkan ibu Marendra sang seniman-rupa yang tak ada sangkut pautnya secuilpun dengan fokus cerita detektif ini, atau ketika mengenalkan tokoh Stefan yang hanya mampir alias numpang beken dalam cerita ini tetapi diperkenalkan kepada pembaca dengan sangat komplit, bahkan membincangkan mengenai pengalaman ketika Stefan sekolah di kawasan La Latina. Pada perkenalan Stefan inilah, lagi-lagi kecentilan literatur dimulai: sebuah diagram “Stabat Mater Rossini” tergambar dengan jelas. Hal yang cukup menarik perhatian adalah pada bab 4 mengenai persetubuhan antara Jendral Pur dengan MC. Sekitar 7 halaman untuk mendeskripsikan mengenai persetubuhan. Jelas adegan ini menjadi bertele-tele dan membuat novel detektif ini lebih terkesan diam di tempat.
Kembali pada teori tentang cerita detektif, menurut Teeuw (2003: 84) selain lahirnya pembunuhan dan detektif, konvensi lainnya adalah keraguan yang disengaja tentang watak tokoh: penjahat atau manusia yang tak bersalah?; tentang urutan dan detail –detail waktu, peristiwa dan hal-hal lain (pentingnya alibi!). Selanjutnya Teeuw menegaskan bahwa berbagai-bagai detail yang dalam roman biasa tidak penting mungkin menjadi maha penting dalam roman detektif, sehingga harapan kita sebagai pembaca selalu tegang, kita ragu-ragu apakah hal kecil tertentu penting atau tidak dalam perkembangan plotnya. Pembaca tahu, malahan berharap bahwa dia tetap tertipu oleh teks yang dibacanya; kesimpulannya pasti salah, tetapi justru itulah yang menggembirakan.
Dalam novel Imperia, ketegangan-ketegangan sebetulnya hadir, namun kehadiran tersebut kalah dengan hiruk pikuk informasi yang terlalu banyak, plot yang terlalu melebar dan tokoh-tokoh yang tidak penting kehadirannya sehingga pembaca menjadi tidak konsentrasi pada plot yang sudah terbentuk dengan sangat baik pada bab-bab awal. Selain itu ada tokoh-tokoh yang tidak tuntas penggarapannya seperti Arlen yang sempat bersitegang dengan Wikan, atau tokoh Marendra, istri MC yang seharusnya mampu berbuat sesuatu ternyata tidak melakukan apa-apa. Selain itu tokoh Dosi Lamire yang diketahui ada kerjasama dengan Rangga Tohjaya tidak dimanfaatkan dengan baik untuk lebih mempertegang keadaan. Pada novel ini, disebutkan bahwa Rangga Tohjaya masih memiliki kekerabatan dengan Jendral Pur. Sayangnya Wikan sebagai seorang tokoh detektif yang mencari informasi sama sekali tidak mendatangi atau mengaitkan peristiwa tersebut dengan jendral Pur. Intinya tokoh detektif dalam novel ini tidak bisa memecahkan masalah yang dihadapinya. Tokoh Moorhan yang pada bab akhir diketahui sebagai anak buah Jendral Pur pun lepas dari lingkaran cerita awal yang akan lebih menambah ramai suasana jika dia ambil bagian.
Dalam novel detektif, biasanya sang pembunuh ikut dalam narasi besar, namun dalam Imperia sama sekali tidak digubris siapa pembunuhnya. Hanya Adel yang pada akhirnya mengaku di hadapan Wikan dan MC sebagai dalang dari pembunuhan tersebut dengan menyewa pembunuh bayaran milik Jendral Pur.
Novel ini diakhiri dengan gaya open ending, di mana pembaca disuruh melanjutkan keterbacaannya. Namun jika kita membaca secara menyeluruh, banyak-serpihan-serpihan yang tidak tuntas seperti yang disebutkan di atas sehingga pembaca begitu dibebani banyak potongan-potongan cerita yang harus diselesaikan sendiri. Sangat meletihkan.
Sebetulnya novel Imperia karya Akmal Nasery Basral memiliki potensi yang cukup besar untuk meneror pembaca jika saja bersetia dengan pengaluran dan sedikit lebih bisa menahan diri untuk tidak terlalu banyak mengumbar literatur yang tidak bersinggungan secara langsung dengan cerita yang telah ada. Informasi-informasi yang terkandung dalam novel memang mengagumkan, sekadar untuk menyatakan keseriusan penulis dalam mengumpulkan riset yang ditampung dalam novel Imperia, tapi tiba-tiba karya ini kian hambar ketika presentasi informasi melebihi ruang penceritaan.

Tanah Air, 2005

*) Koordinator Program Rumah Dunia-Banten

untuk redaksi:
Alamat: Jl. Raya Pandeglang km 9,5 Desa Selaraja RT 07/III Kec. Warunggunung Kab. Lebak 42352 Banten
No. Rekening: a.n. Firman Hadiansyah BNI UI Depok 0006067163

Ideologi Sastra dan Sastra Berideologi

Oleh Firman Venayaksa

Manusia adalah makhluk sosial. Dia tidak dapat hidup sendiri dalam masyarakat dan selalu membutuhkan bantuan dari orang lain. Pada hakikatnya, manusia sebagai individu tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut baru dapat dipenuhi apabila ia berada dalam satu kelompok masyarakat dan mengadakan interaksi didalamnya. Dan tak bisa dipungkiri bahwa untuk mendapatkan kebutuhannya itu, manusia harus bersosialisasi.

Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood (1972) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan, bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Lewat penelitian yang ketat mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi, dikatakan, memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu. Ritzer (1975) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, didalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma itu berfungsi untuk menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam interpretasi jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam suatu ilmu pengetahuan dan berfungsi untuk membedakan satu komunitas ilmiah dan komunitas lainnya. Ia menggolongkan, mendefinisikan, menginterelasikan teladan-teladan, teori-teori, metode-metode, dan instrumen-instumen yang terdapat didalamnya.

Sebagai implikasi yang terjadi dalam strata sosial tersebut, maka terdapat karya-karya sastra mencuat, menjadi sebuah sastra sosial (sosiologi sastra). Menurut Wellek dan Warren, setidaknya terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Dibandingkan dengan teori-teori sosial yang lain, teori sosial Marxis menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai sosiologi sastra (John Hall 1979). Sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor yang megakibatkan hal tersebut. Pertama, Marx sendiri pada mulanya adalah seorang sastrawan sehingga teorinya tidak hanya memberikan perhatian khusus pada kesusastraan, melainkan bahkan dipengaruhi oleh pandangan dunia romantik dalam kesusastraan. Kedua, teori sosial Marx tidak hanya merupakan teori yang netral, melainkan mengandung pula ideologi yang pencapiannya terus menerus diusahakan oleh para penganutnya, Ketiga, didalam teori sosial Marx, terbangun suatu totalitas kehidupan secara integral dan sistematik yang didalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah satu lembaga sosial yang tidak berbeda dari lembaga-lembaga sosial lainnya seperti ilmu pengetahuan, agama, politik, dan sebagainya, sebab semuanya tergolong dalam satu kategori sosial, yaitu sebagai aktivitas mental yang dipertentangkan dengan aktivitas metarial manusia.
Didalam kesusastraan Indonesia, (maupun kesuastraan lainnya), ternyata terdapat perpolitikan, yang menurut Ariel, (dalam Faruk, 1999:98) dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu. Bentuk kesusastraan itu menduduki posisi yang hegemonik terlihat dari dominasinya dalam berbagai sektor kehidupan yang bersangkutan dengannya.

Bentuk kesusastraan yang hegemonik demikian oleh Ariel disebut sebagai kesusastraan yang “diresmikan/diabsahkan” Disamping itu terdapat bentuk kesusastraan yang subordinat yang oleh Ariel dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kesusastraan “yang terlarang”  “yang diremehkan” dan “yang dipisahkan”. Kesusastraan yang terlarang merupakan kesusastraan yang dibasmi atau setidaknya dimusuhi oleh lembaga-lembaga resmi pemerintahan dan sering kali juga oleh individu atau lembaga swasta yang tunduk di bawah kekuasaan resmi masyarakat. Keberadaan kesusastraan ini diakui, tetapi bukan keabsahannya, sehingga keberadaan itu hendak diakhiri. Bobot karya ini diakui sebagai sesuatu yang berbahaya secara politis, karena dianggap mengancam status quo kesusastraan atau bahkan kehidupan sosial pada umumnya yang sedang mapan. Sensor, berupa pelarangan resmi dari aparat keamanan dan segala bentuk tekanan kepada penulis atau penerbit untuk menerbitkan kesusastraan jenis ini merupakan bentuk penindasan yang paling lazim. Sebagai contoh yaitu pelarangan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan rekan-rekannya yang berasal dari LEKRA.

Hal ini memang dieksesi oleh faktor-faktor sejarah terdahulu, dimana terdapat “kekalahan” kaum ‘seni untuk rakyat’ oleh kaum ‘seni untuk seni’ Sejak Lekra didirikan pada tahun 1950, anggota pimpinannya dengan getol menyerang paham humanisme universal yang katanya menjadi paham yang dianut oleh para sastrawan dan seniman Indonesia Angkatan 45. Polemik antara H.B. Jassin dengan A.S. Dharta, Aoh K. Hadimadja dengan Bakri Siregar, dan kemudian antara Harijadi S. Hartowardojo dengan Joebaar Ajub melukiskan adanya ketegangan yang permanen dilingkungan para seniman dan budayawan Indonesia. Para sastrawan yang tidak tergabung ke dalam kelompok Lekra, membuat semacam manifes, yang lebih dikenal dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sistematik manifes adalah: Manifes itu yang terdiri dari empat punt, kemudian penjelasannya,yang disusul oleh Literatur Pancasila. Manifes itu ditandatangani pertama-tama oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohammad, dan lain-lain. Sedangkan para seniman Bandung seperti Ajip Rosidi, Ramadan KH, Toto Sudarto Bachtiar dan lain-lain tidak ikut menandatangani Manifes kebudayaan, karena hal tersebut menurut pendapat mereka, para sastrawan telah terjun ke daerah politik praktis yang nantinya akan dimanfaatkan oleh komunitas yang tidak menginginkan PKI bercokol. Seiring berjalannya waktu dan pergolakan politik yang begitu dahsyat, akhirnya Lekra tumbang karena PKI terlibat dalam kudeta Gestapu yang gagal (1965), orang-orang Manifes kebudayaan banyak yang menggabungkan diri dengan kesatuan-kesatuan aksi, tetapi peluang itu sendiri bukanlah hasil perjuangan mereka. Karena itu adanya anggapan dari tokoh Manifes Kebudayaan seakan-akan Lekra hancur karena perjuangan mereka, hanyalah suatu impian romantisme belaka. (Ajip Rosidi, 1995:194)

Alhamdulilah, dengan adanya Era Reformasi saat ini, kita baru bisa menikmati karya-karya Pramoedya dan rakan-rekannya. Kalaupun terdapat penggelinjangan ke daerah sosialis, toh itu bukan masalah bagi para pembaca yang cerdas. Komunikasi antara pembaca dengan buku teks harus benar-benar berjalan, tidak solitude dan naif.

Bagaimana nasib para sastrawan yang ”disyahkan” oleh pemerintah pada zaman orde baru? Tidak bisa dipungkiri, bahwa para sastrawan terdahulu mempunyai dosa yang signifikan terhadap perkembangan kesusastraan di Indonesia. Para pelajar hanya dicekoki ke daerah sastrawan yang menang. Taufik Ismail dan kawan-kawan, menjadi penyair Rambo karena karya-karyanya selalu dibahas oleh para pelajar yang tak pernah mengerti bagaimana pergolakan perjuangan kaum onanioner tersebut memikat pemerintah yang sedang berjaya kala itu. Wallahualam bisowab.

Tanah Air, 2 Mei 2001

Referensi:
- Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Selden, Raman. 1991 Panduan Pembaca Teori sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Wellek, Rene. 1977.Theory of Literature. London:Harcourt Brace Javanovich
- Fokkema, Ibsch.1998. Teori Sastra Abad Keduapuluh. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 


    

Reg (Spasi) Pembodohan Publik

Oleh Firman Venayaksa*)

Tema dari tulisan ini awalnya hanya obrolan kecil para dosen sastra Untirta ketika menunggu buka puasa. Lontaran Wan Anwar yang dikenal sebagai sasrawan ini cukup menggelitik. Ia mengatakan bahwa gejala ”nada tunggu” yang sering dipakai oleh pengguna telepon selular sungguh menafikan daya nalar manusia. Orang-orang yang mengaktifkan ”nada tunggu” dengan harga 9000 rupiah/ bulan: yang tidak pernah kita pegang barangnya, dengan lagu yang tidak tuntas, dan dibayar oleh kita untuk didengar orang lain, benar-benar tak masuk diakal. Lalu ia melanjutkan bahwa fasilitas unknown yang biasa dipakai oleh pengguna telepon untuk menghilangkan identitas supaya tidak diketahui oleh penerima telepon lebih gila lagi. ”Kalau ada yang telepon pakai unknown pasti tidak saya angkat. Apa sih maksudnya?” imbuhnya.
Masih tentang persoalan ini, Odien Rosidin, yang juga dosen, memilih untuk sama sekali tidak memiliki HP. Ia beranggapan bahwa ia bisa lebih bebas menikmati kehidupan tanpa gangguan dari benda mati itu. Konsekuensinya adalah semua kawan dan mahasiswanya tak tahu mesti menghubungi ke mana jika ia tak ada di kantor. Sebagai kawan, saya sangat menghormati keputusan Odien. Di antara orang-orang yang menyematkan diri bahwa HP sangat penting, Odien bersikukuh dengan ideologinya. Di dalam tulisan ini saya menyarankan agar ia memiliki HP. Alasannya cukup manusiawi. Pertama, supaya orang-orang mudah untuk berkomunikasi dengannya. Kedua, supaya tidak ada kesan sebagai dosen yang melarat. Atau mungkin ada alasan lain yang masuk akal, bahwa di kampung Petir, tempat ia bermukim, tak ada sinyal seluler?

Industri Budaya
Di era kekinian, arus teknologi informasi menderas seperti sungai bah. Handphone (HP) yang awalnya dibuat sebagai alat komunikasi, tampaknya sudah mulai disfungsi menjadi populist life style, yang lebih mengutamakan gengsi dan trend. Kian hari--terutama di kalangan remaja-- HP telah menjadi sebuah produk gaul dan penting bagi mereka untuk terus mengikuti perkembangan. Maka tak jarang jika banyak orang yang tak cukup satu HP, sering pindah merk dan type demi sebuah prestise atau hanya sekedar memuaskan kebanggaan yang nisbi. Di beberapa hasil temuan, tak jarang kita mendapatkan blue film ngendon di HP, bahkan tak hanya itu, ada juga yang malah menjadi pelakunya seperti yang pernah terjadi pada pasangan pelajar di Rangkasbitung beberapa waktu silam.
Kejadian ini senada seperti yang dikemukakan oleh Harvey, salah seorang pengamat industri budaya, bahwa ”citraan sering mendominasi narasi.” Argumennya adalah bahwa kita semakin sering mengonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukan manfaatnya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Kita mengonsumsi citra dan tanda karena kesemuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan.
Harus kita akui bahwa kelahiran industri budaya yang salah satu contohnya mengenai fenomena HP ini akan menumbuhkan dan selanjutnya mencengkram konsumen dengan jejaring/ sistem yang dibuat. Pengguna HP mau tak mau harus berlangganan, membeli sejumlah voucher dan terus menerus diupayakan supaya addict. Sejumlah sarana seperti nada tunggu, sms premium, MMS, down load ring tone, adalah cara terbaik supaya pelanggan segera menghabiskan pulsa. Itulah kesejatian industri budaya, di mana konsumen terus diperas dan dibodohi; pembodohan publik yang benar-benar kasat mata.
Menurut Mazhab Frankfrut, industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu. Oleh karena itu, industri budaya berusaha mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan riil atau sejati, konsep-konsep atau teori-teori alternatif dan radikal, serta cara-cara berpikir dan bertindak oposisional politis. Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan hal ini sehingga orang sampai (pura-pura) tak menyadari apa yang telah terjadi.

Reg (spasi) Pembodohan
Salah satu contoh pembodohan/ ketaksadaran publik yang saya maksud adalah ketika ada iklan yang mengajak pengguna HP untuk meregister dengan memanfaatkan keterkenalan seseorang. ”Halo saya Nia Ramadani. Untuk mengetahui keseharian saya, ketik reg (spasi) Nia, kirim ke 9669. Saya akan membalas langsung dari handphone saya.”
Sebagai mana kita ketahui bahwa Nia adalah seorang artis yang sedang naik daun dan digilai banyak penggemarnya. Dengan demikian pastilah banyak orang yang meregister. Namun jika kita berusaha memakai akal sehat, masak sih ada artis yang pekerjaan sehari-harinya membalas sms dari penggemar? Anehnya, kendati tahu bahwa kita dibodohi, kegiatan semacam ini justru semakin digilai oleh pengguna HP.
Selanjutnya banyak pula hal-hal senada dengan contoh ini, misalnya kita harus meregister untuk mendapatkan SMS berupa banyolan-banyolan, kiat-kiat praktis mencintai dan dicintai, atau berita mengenai hasil pertandingan sepak bola. Selain itu ada juga yang mulai condong berbau judi. Reg (spasi) mobil adalah contohnya. Klien yang meregister akan diundi dalam jangka waktu tertentu untuk mendapatkan mobil. Saya sendiri tidak pernah tahu apakah sudah ada yang mendapatkan iming-iming hadiah yang terbilang fantastis itu. Yang jelas kian hari pengguna HP terus dibodohi dan dibuat nyaris tak (hendak) berpikir.
Dari sekian contoh di atas, saya melihat ada upaya lain untuk menjadikan fasilitas ini sebagai cara alternatif meraih simpatik. Di iklan televisi, saya pernah melihat sebuah iklan untuk meregister dai-dai kondang. Cara seperti ini bisa saja terkesan positif. Dengan beberapa ribu rupiah, kita bisa mendapatkan bahasa hikmah yang dikirim langsung melalui SMS. Namun jika kita berpikir kritis dan membongkar makna ini dengan jeli, maka yang terjadi hanyalah pembiusan karakter. Citra baik yang melekat dari ustad-ustad beken itu dijadikan sarana jualan yang canggih. Jika dulu para ustad hanya mendapatkan uang dari yang mengundang untuk berceramah atau dari produk-produk iklan di televisi, kini mereka mendapatkan langsung dari pengguna HP. Betapa mahalnya sebuah hikmah!
Beberapa waktu lalu, ketika satu hari menjelang bulan suci Ramadhan, kampus Untirta kedatangan Glenn Fredly, salah seorang artis yang lagu-lagunya menjadi nada tunggu pada provider nomor satu di Indonesia. Pamflet-pamflet dan umbul-umbul provider itu pun mengepung kampus. Di satu sisi, saya melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang –tentu saja—menggembirakan mahasiswa. Jarang-jarang ada artis yang ditonton secara gratis. Lalu merekapun bertakbir terus menerus, ”Glenn Fredly, I love you.” Namun betapa jiwa dan pikiran kita sudah betul-betul dibunuh, sehingga Ramadhan yang akan diselenggarakan keesokan harinya itu kehilangan ruhnya. Padahal universitas ini menggunakan nama Sultan Agung Tirtayasa yang memiliki citra religius, ditambah nama mesjid Syech Nawawi al-Bantani yang kita banggakan. Tak dinanya, industri budaya telah mengepung sendi-sendi kehidupan kaum intelektual di Banten sehingga memburamkan entitas kebantenan yang konon religius.
Berdasarkan fenomena ini, saya sendiri tak terlampau hirau. Pada akhirnya semua diserahkan kepada pembaca, toh kesadaran untuk menimang sesuatu yang baik dan buruk adalah fitrah. Saya hanya ingin menekankan bahwa industri budaya yang sekarang kita lakoni harusnya disesuaikan dengan keadaan dan kepentingan yang proporsional.


*) Dosen FKIP Untirta, Presiden Rumah Dunia dan anggota Mazhab Pakupatan.


TAMAN BACAAN MASYARAKAT: MASYARAKAT MEMBACA, MEMBACA MASYARAKAT

TAMAN BACAAN MASYARAKAT:
MASYARAKAT MEMBACA, MEMBACA MASYARAKAT [1]
Oleh Firman Venayaksa[2]

Ketika tema “Kiat-kiat Praktis Mengajak Masyarakat Mau dan Mampu Membaca” disodorkan oleh panitia, saya mulai berpikir mengenai batasan-batasan yang hendak saya tulis dalam kertas kerja ini. Yang mampir ke otak saya adalah masyarakat mana yang hendak kita ajak membaca? Siapa yang mengajak Membaca? Jika pertanyaan ini saya jawab dengan hanya mengandalkan intuisi, maka jawaban saya akan merujuk pada masyarakat kelas bawah (grass root) dengan asumsi bahwa “gerakan membaca” memang lebih identik pada masyarakat semacam ini. Asumsi kedua adalah karena Taman Bacaan Masyarakat pun lebih diprioritaskan dan mengada di lingkungan masyarakat pedesaan. Namun demikian, saya akan memulai fokus kertas kerja ini pada persoalan standar yang terjadi di masyarakat Indonesia secara umum.

Budaya Tutur VS budaya Baca-tulis?
Indonesia secara umum bisa dikatakan memegang estafet kebudayaan lisan/ tutur. Hal ini bisa dilihat pada produk-produk budaya tradisi yang ada. Hingga saat ini kita tidak terbiasa memasok bacaan apa lagi tulisan di dalam ruang lingkup keseharian. Imbas dari hal ini pada akhirnya membuat perangkat berpikir kita menjadi lemah dan rentan untuk lupa.
“Mendengar/ menyimak” adalah satu dari empat keterampilan berbahasa yang pasif, karena keterampilan berbahasa ini hanya merespon terhadap orang yang “berbicara.” Menyimak dan berbicara merupakan dua keterampilan berbahasa dalam budaya lisan. Sementara budaya literat (yang kita harapkan) adalah yang lebih mementingkan dua keterampilan berbahasa selanjutnya yaitu “membaca” dan “menulis”. Dalam proses membaca, kita tak hanya mengaktifkan mata sebagai media, tapi juga pikiran, karena keterbacaan akan benar-benar disebut demikian jika pikiran kita aktif. Sementara itu “menulis” juga layak dijadikan sebagai syarat mutlak budaya literat karena proses ini akan menuntut kemahiran yang sistematis. Jika kita merindukan sebuah komunal sosial yang melek huruf (mau baca) secara alamiah, kita tak bisa mengesampingkan keterampilan menulis.
Setelah empat keterampilan berbahasa itu kita pahami, ada baiknya kita mulai mencoba menganalisis tentang masyarakat. Saya tidak akan memulai dengan pendekatan etimologis. Pemahaman masyarakat dari segi teoretis jelas memiliki perbedaan, tergantung sudut pandang masing-masing. Di sini saya lebih melihat klasifikasi yang terjadi dalam masyarakat. Jika melihat dari segi ekonomi-sosial, masyarakat dibagi menjadi tiga sub yaitu kelas atas, menengah dan bawah Dari segi umur kita mengenal masyarakat tua, muda, dan anak-anak  Kegunaan klasifikasi ini adalah untuk memperjelas siapa target masyarakat yang akan kita bidik, karena dalam pendekatan sosiologi, setiap strata adalah unik, sehingga kita harus pintar memakai metode yang sesuai.
TBM dari segi fungsi memang tak jauh beda dengan perpustakaan umum. Ia hadir sebagai pusat dokumentasi, memberikan pelayanan edukasi, informasi dan literasi kendati dengan koleksi yang terbatas. Yang membedakan adalah TBM berfungsi pula sebagai sarana rekreatif. Kita harus sepakat bahwa labelisasi nama akan berimplikasi pula pada karakteritik. “Taman” harus benar-benar difungsikan sebagai sarana rekreatif. Ini menandakan bahwa TBM tak melulu menyajikan bacaan. Disinilah pengelola TBM dituntut lebih cair/ tidak kaku dan menyenangkan.
Sekarang ini TBM harus dapat menjadi fasilitator untuk masyarakat. Saya malah memiliki harapan bahwa TBM menjadi learning center. Di tempat ini TBM bisa berperan dengan fokus yang tak muluk-muluk. TBM harus punya target pengunjung yang jelas. Jika di masyarakat sekitar lebih banyak pekerja sebagai petani, alangkah baiknya jika TBM tersebut lebih memprioritaskan pada buku-buku yang mendukung terhadap pekerjaan masyarakat sebagai tani. Ini membuktikan bahwa kiat-kiat praktispun pada akhirnya harus disesuaikan dengan lingkungan.
Di beberapa TBM yang pernah saya datangi, memang ada yang sudah melangkah sangat jauh, ada juga yang masih jalan di tempat, bahkan belum terlalu menggembirakan. Tentu saja ada banyak faktor yang mengakibatkannya, seperti pengelola yang belum mumpuni, fasilitas yang belum lengkap dan bahan bacaan yang sangat terbatas. Dari pelbagai kekurangan inilah harus diupayakan alternatif, sehingga TBM yang sederhana itu bisa menarik perhatian pengunjung.


Studi Kasus
Saya percaya bahwa “local genius” adalah modal paling sublim untuk mendekatkan antara TBM dengan masyarakat sekitar. TBM akan menarik jika ia hadir dalam pengkhususan. Misalnya TBM berbasis seni dan budaya yang dilakukan Rumah Dunia (RD). Untuk target,  RD hanya membidik anak-anak dan remaja. Target ini diambil dengan asumsi bahwa untuk mengubah Banten yang lebih mementingkan otot dibanding otak, maka diperlukan pangkas generasi. Ketika target sudah jelas, tinggal dilanjutkan dengan fasilitas; terutama bahan bacaan dan media ekspresi, sehinggga paradigma konvensionalpun berubah:
Mengajak anak-anak dan remaja untuk datang ke RD memang tak mudah. Dengan kondisi masyarakat kelas bawah (buruh tani) yang kesehariannya sudah sulit, maka strategi yang diusung pun jelas berbeda. Fokus awal RD adalah anak-anak. Kiat paling praktis mengajak mereka dengan mainan. Pengondisian ini pun membutuhkan waktu yang tak sebentar. Ketika mereka mulai nyaman dengan RD, barulah dilanjutkan dengan membaca dongeng. Di dalam keterampilan berbahasa, proses ini merupakan keterampilan menyimak-berbicara. Sampai sini RD masih mengikuti standar di masyarakat tersebut yang hampir seluruhnya adalah masyarakat dengan kebudayaan tutur yang kuat. Untuk mentransformasi dari budaya tutur (aliterat) menuju budaya baca-tulis (literat) memang perlu pengondisian yang sangat kuat. Mendongeng hanya alternatif saja.
Sementara untuk remaja, RD langsung masuk pada tahap baca-tulis, dengan asmusi bahwa mereka sudah terbiasa dengan dua keterampilan berbahasa selanjutnya (baca-tulis). Relawan RD mengajarkan menulis secara gratis, mulai dari belajar jurnalistik, sastra hingga skenario film. Semenjak awal berdirinya RD memang dibidani oleh para penulis, baik jurnalis maupun sastrawan. Modal inilah yang dikembangkan oleh RD. Lagipula kami sangat percaya bahwa mengajarkan menulis kepada anak muda merupakan cara paling baik untuk mengubah cara berpikir bahwa menulis adalah bagian dari jihad kebudayaan. Dari lima tahun mengajarkan menulis, sudah terbit puluhan buku yang diterbitkan secara indie maupun kerjasama dengan para penerbit nasional.
Dari tulisan sederhana ini saya menyimpulkan bahwa kita-kiat praktis mengajak masyarakat mau dan mampu membaca harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Kiat-kiat praktis atau apapun namanya awalnya memang bertujuan untuk diaplikasikan, dan itu bagus. Namun, di dalam aplikasi ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar kiat, yaitu kita memulai dengan “Plan of Action” (POA). POA adalah suatu garis besar dokumen tertulis dalam bahasa yang sederhana yang menjabarkan tentang rancangan kegiatan apa yang akan dilaksanakan, sumber daya yang tersedia dan tolak ukur yang akan digunakan untuk menjelaskan apakah program telah mencapai sasaran. Tujuan POA disusun  dengan tujuan sebagai berikut:
·                             Sebagai suatu garis besar dokumen tertulis, POA dapat mengembangkan suatu program
·                             Mempertahankan kesinambungan program
·                             Salah satu parameter menentukan keberhasilan program

Dalam membuat POA ini ada lima hal penting yang tak bisa kita abaikan begitu saja, agar kita bisa fokus dengan apa yang akan kita kerjakan. Lima hal itu adalah:
  1. Spesific/ khusus
Pada poin ini, kita akan menjabarkan mengenai siapa target kita, berapa orang dan bagaimana strategi yanga hendak diterapkan. Spesifikasi ini untuk memudahkan kita dalam merancang apa yang akan kita perbuat dalam ruang lingkup pengkhususan.
  1. Measurable/ terukur
Poin kedua mengidentifikasi agar setiap kegiatan yang akan kita lakukan harus bisa dikur keberhasilannya. Tolak ukur ini bisa dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif. Pini ini juga sebagai parameter yang menunjukkan apa yang akan dan telah dicapai.
  1. Achievable/ dapat dicapai
Poin selanjutnya lebih fokus pada kegiatan yang realistis; sederhana, terfokus dan efektif.
  1. Relevant/ kesesuaian
Kegiatan harus disesuaikan dengan SDM pengelola dan kebutuhan masyarakat.
  1. Timely/ memiliki batas waktu
Setiap kegiatan yang kita buat harus memiliki target waktu yang jelas sehingga segala macam yang berhubungan, baik materi maupun non materi bisa kita rancang.
Poin-poin di atas mungkin lebih terkesan teoretis dari pada pencapaian tema yang hendak kita diskusikan, namun penting juga kiranya jika segala yang akan kita praktekkan dimulai dari konsep yang jelas, agar kelak kita tak sampai kehilangan arah.



[1] Makalah ini disampaikan pada acara Temu Nasional Pengembangan Minat dan Budaya Baca tanggal 12-14 Juli 2007 di Hotel Patrajasa, Semarang yang digagas oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
[2] Presiden Rumah Dunia dan dosen FKIP Untirta-Banten.

ANALISIS FILM DEVIL’S ADVOCATE

ANALISIS FILM DEVIL’S ADVOCATE
Oleh Firman Venayaksa

Kejahatan dan kebenaran adalah dua posisi yang selalu dipertentangkan, sekaligus dipertemukan dalam kehidupan di dunia yang fana. Kehadiraan dua posisi yang bertolak belakang ini membuat kehidupan menjadi berwarna. Setiap manusia tak bisa menghindar;  harus merasakan, harus memilih. Kejahatan selalu disimbolkan melalui kegelapan, setan, api, sementara kebenaran biasanya disimbolkan melalui kesucian, malaikat, agama, yang pada akhirnya bersumber pada satu tujuan yaitu mencari jalan menuju Tuhan.
Film Devil’s Advocate yang dibintangi oleh Keanu Reeves (Kevin  Lomax) dan Al Pacino (John Milton) adalah gambaran pertentangan antara kejahatan dan kebenaran. Berbeda dengan film-film bertemakan setan yang cenderung difokuskan pada wajah angker dan menakutkan seperti : zombie, werewolf, dracula, vampire, atau sherwolf, dalam film Devil’s Advocate lebih menitikberatkan pada nilai mental atau perilaku setan.
Seorang pengacara, Kevin Lomax, tidak pernah terkalahkan dalam setiap kasus yang ditanganinya. Ia selalu memenangkan setiap perkara di Gainsville-Alachua Country. Kasus yang ditangani dalam sekuen pertama mengenai kasus pelecehan seksual seorang guru terhadap muridnya. Pada kasus itu sebenarnya Lomax sudah dalam posisi yang kalah karena ia melihat sendiri bagaimana tingkah laku kliennya ketika mendengarkan pengakuan muridnya di pengadilan. Lomax merasa bahwa kliennya memang melakukan pelecehan seksual tersebut. Namun karena ia lebih mementingkan popularitas dan kepentingan reputasinya maka ia abaikan setiap fakta yang ada. Lalu dengan mengesampingkan makna kebenaran, ia memenangkan perkara tersebut dengan kepiawaiannya dalam merebut simpati para juri.
Dengan reputasinya yang cukup baik, sebuah firma terkenal di New York bernama Milton, Chadwick, Waters berniat menyewa Lomax untuk bergabung di firma tersebut dan Lomax tertarik. Ia beserta istrinya (mary Ann) langsung terbang ke New York setelah sebelumnya berpamitan dengan ibunya. Sebetulnya ibu Lomax tidak merestui. Ia beranggapan bahwa kota besar seperti New York adalah representasi dari negeri babilonia yang terdapat dalam kitab injil, negri yang dipenuhi dengan bermacam gemerlapnya keduniawian sehingga mengakibatkan terlena dalam kenikmatan yang nisbi.
Ibu Lomax adalah seorang kristiani yang taat. Ia begitu menyayangi anaknya dan sangat khawatir jika hidup di New York anaknya tersesat jauh dari jalan menuju Tuhan. Tokoh ibu Lomax adalah representasi dari nilai-nilai kebenaran, baik, mempunyai “sifat malaikat” yang suatu saat akan menjadi  juru kunci terhadap cerita ini dan memberikan pencerahan untuk Lomax.
Di New York, Lomax mendapatkan kenikmatan yang ia cari. Kasus demi kasus berhasil ia tangani dengan baik. Awalnya, Mary Ann mengalami hal serupa. Ia begitu menikmati fasilitas apartemen yang diberikan firma tempat suaminya bekerja. Selain ia bisa mendekorasi rumah sesukanya, ia juga bisa berbelanja apa saja. Namun kenikmatan ini hanyalah sesaat setelah Lomax bertemu dengan direktur firma, John Milton.  Ia mengubah segalanya. Lomax begitu berkonsentrasi dengan pekerjaannya yang menumpuk menangani bermacam kasus, sementara Mary Ann ditinggal sendiri, mengalami hari-hari yang sepi dan penuh depresi. Ada banyak sekali keanehan yang dialami oleh Mary Ann seperti melihat wanita yang berubah menjadi wajah yang menakutkan, melihat seorang anak kecil yang berada di apartemennya dan mengambil indung telurnya sehingga ia tak bisa melahirkan seorang anak dari rahimnya. Selain itu ia juga sering mendengar suara-suara yang aneh. Akibat hal-hal ganjil yang ia alami, dengan terpaksa Lomax membawanya ke rumah sakit jiwa yang pada akhirnya Mary Ann menemui ajalnya di tempat tersebut. Kejadian tragis ini adalah sebentuk teror yang dilakukan oleh Milton. Ia berusaha untuk memisahkan antara Lomax dan Mary Ann agar siasat yang ia bangun berjalan dengan mulus.
Kasus pertama yang Lomax tangani adalah tentang kasus pembunuhan domba. Dalam kasus ini, Philippe Moyez, kliennya telah melanggar peraturan kesehatan dan menurutnya ia tak akan bisa memenangkan kasus tersebut. Ketika berkunjung ke tempat Moyez di sebuah ruang bawah tanah, ia melihat sebuah keanehan. Moyez berkata bahwa ia melakukan pembunuhan terhadap binatang dengan hal yang tidak lazim merupakan infestasi dalam bentuk darah dan menganggapnya sebagai mata uang spiritual. Selanjutnya Moyez mengeluarkan sebuah lidah binatang dan beberapa paku, lalu menanyakan nama jaksa yang menuntutnya. Pada sidang tersebut, jaksa penuntut memang sulit sekali berbicara. Moyez telah melakukan sebuah “black magic” yang biasanya meminta bantuan dari setan. Selain itu, Moyez juga memiliki uang 15 juta dollar yang sangat tidak rasional jika dibandingkan dengan pekerjaannya. Keanehan ini tidak terlalu disadari oleh Lomax. Ia hanya berusaha menjalankan tugasnya.
John Milton bukanlah seorang manusia biasa. Dalam film ini ia adalah simbol dari kejahatan yang abadi, setan, penuh dengan ambisi dan kekuasaan serta memiliki kekuatan untuk mempengaruhi.  Ia bisa mengetahui apa yang ada dalam benak manusia. Dengan kekuatannya, ia bisa melakukan apa saja yang diinginkannya termasuk bercinta dengan perempuan dan membunuh. Pertemuannya dengan ibu Lomax telah membongkar sebuah rahasia yang telah bertahun-tahun disimpannya. Rupanya John Milton adalah bapak dari Lomax. Keinginan Milton untuk bertemu dan  mempekerjakan Lomax tidak sekedar memberikan warisan untuk melanjutkan firma yang dibangunnya, namun lebih jauh dari itu. Milton berkeyakinan jika darah keturunannya melakukan hubungan seksual, maka cucunya akan melanjutkan cita-citanya untuk menguasai setiap jiwa manusia, menjadi pemimpin dunia. “Bibitmu adalah kunci untuk mewujudkan dunia baru” itu yang dikatakan Milton untuk meyakinkan Lomax. Milton mengakui bahwa ia memang setan yang berambisi menjadi pemimpin dunia pada abad ke-20 ini.
Namun Lomax mempunyai keputusan sendiri. Ia bunuh diri dengan pistolnya. Akibat kejadian itu, John Milton dan anak perempuannya terbakar dan menjadi abu.  Di sini sang sutradara mencoba untuk membuat sebuah kesan lain. Setelah kejadian tersebut Lomax kembali ke tempatnya semula di daerah Gainsville-Alachua Country dan sedang menyelesaikan perkara pada sekuen pertama tentang pelecehan seksual. Namun kali ini ia mengalah dalam kasus tersebut. Yang lebih mencengangkan, ternyata Milton pun berada di sana yang berubah menjadi wartawan. Pada adegan penutup ini sang sutradara mencoba untuk memberikan sebuah kesan kepada penonton bahwa setan akan selalu menggoda kehidupan kita.
Dari segi naratif film Devil’s Advocate di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa film ini tidak sekedar menyampaikan sebuah gagasan tentang keberadaan setan yang bisa merasuk dalam setiap lini kehidupan manusia, namun setan memiliki fokus yang jelas untuk mencari pengikut-pengikutnya agar bisa tetap bersetia dengannya. Kekayaan, kekuasaan dan bermacam cita-cita besar yang diinginkan setiap manusia terus dibayang-bayangi oleh nilai kesombongan dan sebentuk kesombongan inilah yang sangat disukai oleh setan. “Kesombongan adalah dosa kesukaanku”. Itulah yang kerap kali dikatakan Milton dalam salah satu dialognya dengan Lomax.  Setan dalam film ini tidak diperlihatkan dengan wajah yang menakutkan, tetapi direpresentasikan melalui sifat-sifat yang sangat manusiawi. Kendati demikian kita bisa melihatnya dari segala bentuk ekspresi yang dilakukan Milton. Penggambaran karakternya yang sangat berkuasa, selalu tertawa, memiliki kemampuan menyelesaikan persoalan-persoalan dengan cepat tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran adalah sifat yang sulit untuk disangkal bahwa itu bukanlah sifat setan.
Yang menarik dalam film ini adalah mengenai pengambilan ruang lingkup dunia pengacara. Setidaknya ada pertanyaan yang perlu kita pecahkan, mengapa mengambil ruang lingkup dunia pengacara? Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap pengacara akan membela setiap kliennya. Ia tidak memikirkan apakah klien tersebut bersalah atau tidak. Hal terpenting adalah bagaimana caranya agar pengacara bisa membela mati-matian agar bisa memenangkan perkara tersebut. Tentu saja pembelaan seperti ini menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi setan.
Dari segi sinematografis, kita bisa melihat sebuah permainan warna yang bisa mewakili cerita ini. Gambar dalam film ini terkesan redup, seakan menggambarkan sebuah kekuasaan dunia kegelapan. Di kantor Milton kita akan selalu melihat sebuah perapian. Perapian ini disimbolkan sebagai sebuah kekuasaan kegelapan di mana Milton berkuasa. Berbeda lagi ketika berlatar sebuah gereja. Kita akan melihat gambar yang terang benderang dengan pilihan warna-warna cerah. Untuk pengambilan percepatan waktu, film ini memakai efek mempercepat gambar sehingga terlihat begitu cepat pergantian antara gelap dan terang yang menandakan bergulirnya waktu. Gaya seperti ini dipakai berulang kali dalam film ini. Dalam pengambilan gambar, film ini lebih banyak memakai medium shot jika berada di tempat persidangan dan memakai close up ketika Mary Ann menghadapi histeria atau Milton yang sedang mempengaruhi Lomax.
Fim Devils Advocate berlatar kantor, tempat persidangan dan apartemen. Di antara ketiga tempat tersebut, kantor dan persidangan lebih menonjol, sehingga kita akan bisa merasakan dunia formalitas yang sangat kaku seperti pakaian dan gelagat para tokoh, sedangkan apartemen lebih memfokuskan pada Mary Ann yang merasa tidak nyaman berada di tempat tersebut.
Objek lain yang tak kalah pentingnya yaitu latar musik. Sayangnya back ground musik tidak terlalu dianggap penting dalam film ini dan hal inilah yang membuat film Devils Advocate tidak terasa keteganganya bahkan terkesan datar, padahal ada banyak momen di mana latar musik akan menambah mendukung suasana. Kalaupun ada, musik dibuat tidak terlalu mewah, terkesan begitu minimalis.
Efek gambar yang cukup menarik dalam film ini diperlihatkan ketika Lomax bunuh diri dengan pistolnya. Kejadian itu berdampak pada Milton dan putrinya yang tiba-tiba terbakar oleh api yang datang secara tiba-tiba.
Dari bermacam analisis di atas kita bisa menyimpulkan bahwa film Devils Advocate memiliki keunikan tersendiri yaitu mencoba untuk memberikan gambaran lain dalam penyampaian tentang setan, bahwa ia tak lahir dalam bentuk fisik semata tetapi telah menjelma menjadi sebuah perbuatan.



Tanah Air, 2005



ENDANG RUKMANA SAKIT ½ JIWA

ENDANG RUKMANA SAKIT ½ JIWA
Oleh Firman Venayaksa*)

Membaca peta kesusastraan di Banten kini memang cukup menggairahkan. Jika dulu, peta kesusastraan di Banten hanya dikuasai oleh Gola Gong dan Toto ST Radik, kini ada jamaah sastrawan berikutnya yang begitu rapat mengimani dunia kata-kata. Salah satu jamaah yang menonjol itu bernama Endang Rukmana. Debut pertamanya dimulai dengan membukukan puisi-puisi yang diberi judul “Hanoman Mencari Cinta.” Yang diakuinya sebagai metaforis dari dirinya, Hanoman adalah Endang. Jika Anda membaca buku puisinya itu, Anda akan melihat Endang alias Kori Lawa sebagai seorang penulis puisi yang gagal, selain sebagai pencari cinta yang juga gagal. Tentu saja pernyataan saya ini bisa dipatahkan oleh siapa saja karena subjektivitas saya yang begitu kental. Namun itulah hasil keterbacaan saya terhadap kumpulan puisi perdananya.
Menginjak kuliah di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya-UI, saya sering mengamati Endang sebagai mahasiswa yang begitu besar mulut. Pengamatan saya terhadapnya mungkin melebihi gurunya sendiri yaitu Gola Gong dan Toto ST Radik, karena secara kebetulan saya dan Endang berada di satu almamater yang sama, satu fakultas yang sama dan satu asrama yang sama, kendati beda strata. Besar mulut secara konotatif memang cenderung negatif, tetapi dalam konteks labelisasi terhadap Endang Rukmana, justru menjadi positif. Ia kerap kali mempromosikan dirinya sebagai Mr. Unicef karena ia pernah menjuarai The Young Writers Award pada tahun 2004. Besar mulut berikutnya bisa juga diaplikasikan dalam kinerjanya sebagai seorang penjual nasi uduk. Setiap pagi ia selalu menggedor pintu-pintu asrama dan berteriak dengan lantang “nasi uduk, nasi uduk, minumnya boleh apa saja, makannya tetap nasi uduk.” Atau teriakan lainnya, “Dengan membeli nasi uduk, dijamin mahasiswa UI bakal cerdas-cerdas.” Dan itu dilakukan terus menerus tiap pagi, sehingga saya yang susah bangun tidur itu tak usah lagi memakai alarm supaya bagun pagi karena ada Endang, sang alarm asrama.
Awalnya saya begitu kecewa dengan dirinya karena semenjak menjadi  penjual nasi uduk, waktunya habis untuk mencari uang. Tak ada lagi tulisan-tulisan yang bisa saya baca dari pemikirannya. Bahkan ketika diajak bergabung dalam Komunitas Rumput Liar (KRL-Sastra) dan Komunitas Orang Susah Tidur (KOST-Filsafat) yang saya dirikan, ia tak merespon sedikitpun. Setelah saya keluar dari asrama, saya mencoret nama Endang Rukmana sebagai sastrawan Benten dalam benak saya. Namun ketika saya sedang berbincang-bincang dengan Prof. Apsanti di kantin sastra (Kansas), tempat nongkrong Dian Sastro, ia tiba-tiba menghampiri dan langsung mengeluarkan buku “Sakit ½ jiwa” yang diterbitkan oleh Gagas Media. “Ini karya saya”. Dengan gaya besar mulutnya ia pun memporomiskan buku tersebut kepada Prof. Apsanti dan langsung membelinya. Lalu ia menuliskan di depan buku yang ia dedikasikan kepada saya, “apa yang kini dan akan saya lakukan, adalah sekadar respon alamiah terhadap kondisi yang saya alami.”
Rupanya, di sela-sela kesibukannya sebagai penjual nasi uduk, ia masih juga menulis. Bahkan pada bulan selanjutnya, ia mengeluarkan novel berikutnya “Gotcha” yang diadaptasi dari film layar lebar yang sekarang sedang ditayangkan di bioskop-bioskop.
***
Novel “Sakit ½ Jiwa” adalah novel petualangan dengan tokoh utama bernama Bobi, dengan segi fisik berrambut botak, agak sedikit jail dan nyeni yang suka bertualang. Dulu, saya sempat memergoki Endang dengan membotaki rambutnya sampai ludes dan ikut Mapala UI, bertualang ke beberapa tempat. Tapi saya benar-benar tak menduga jika hal tersebut merupakan proses kreatifnya untuk mendalami tokoh Bobi dalam rangka menuntaskan novelnya.
Jika Anda membaca novel ini, maka akan terlihat sebuah intertekstualitas dengan novel “Balada Si Roy” yang ditulis Gola Gong. Begitu pula dengan latar belakang setting Banten (Baduy) yang sangat kental. Tapi di dalam novel “Sakit ½ Jiwa” Endang Rukmana mencoba untuk mendekonstruksi Roy yang berrambut gondrong dan “serius” dengan tokoh Bobi yang botak dan kocak, walaupun dari sisi lain, Endang Rukmana tidak mengubah tokoh Roy yang digilai wanita dan penyandang playboy cap kutil. Di dalam novel ini, Endang juga memasukkan   tokoh Rys Revolta, seorang wartawan, yang secara real  memang sempat mengada di daerah Banten sebagai wartawan Radar Banten sekaligus penyair yang kini telah almarhum. Sayangnya alasan tokoh Bobi bertualang ke Baduy dikarenakan ingin menemukan ari-arinya di daerah Sasaka Domas setelah mendapatkan wangsit  dari seorang kakek gaul yang menyelinap ke dalam hidupnya dengan cara yang ngawur dan unrealis, sehingga pembaca tidak dibawa pada pergumulan logika, tapi lebih ke ritme mistis  yang secara pemikiran sulit untuk dipaparkan. Tapi Endang memang Sakit ½ jiwa, wajar jika mau dikungkung logika.
Kelebihan dari novel ini tentu saja pembaca diajak untuk terus tertawa, dan mungkin inilah yang dibidik oleh Endang. Selain itu dengan sampul buku yang imajinatif dan nongkrongnya komentar Tora Sudiro di depan buku pasti menarik minat pembaca untuk membeli.

Tanah Air, 2006
*) Presiden Rumah Dunia dan pengajar di FKIP Untirta.

DEMOKRASI POP KULTUR


DEMOKRASI POP KULTUR

Oleh Firman Venayaksa


Acta est fabula, plaudite! (Sandiwara telah usai, bertepuktanganlah!) Begitulah istilah latin yang sering kita dengar ketika perhelatan telah usai. Hal ini pun terlihat dengan begitu dramatis pada perhelatan pemilihan menuju Demokrat I yang berakhir dengan kemenangan total untuk Anas Urbaningrum. Di televisi, kita melihat ada sesuatu yang unik terjadi. Tiba-tiba kita melihat Anas menyunggingkan senyum. Padahal selama ini ciri khas senyum/ tawa lebih sering diumbar rivalnya yaitu Andi Mallarangeng. Ketika itu, senyum AM menjadi sangat mahal. Sementara di sisi yang lain, kita menjadi saksi bagaimana Marzuki Ali yang konon warga senior di Partai Demokrat, termenung-menung penuh gelisah, seolah ia ingin segera pergi dari mimpi buruk di malam bolong itu.
Kemenangan Anas tentu tidak hanya bisa kita lihat dari ranah politik yang  begitu hingar bingar diperbincangkan di media. Jika mereka membincangkan pada tataran panggung Broadway yang sesak dengan segala commonsense dan  pseudocode-nya, saya akan lebih melihat pada perspektif di pinggiran Broadway, mengamati dari layar televisi sambil mengunyah kacang rebus dan segelas kopi hangat. Ya, saya dan mungkin para penonton televisi lainnya lebih melihat perhelatan itu tak berbeda dengan tontonan sinetron Raam Punjabi style yang penuh dengan intrik, tangisan dan ejakulasi rasa haru.
Pada prinsipnya, saya melihat ada beberapa tanda-tanda kecil yang bisa dibahas dari hasil tontonan itu. Pertama, di dalam perhelatan menuju Demokrat I, kita sebagai penonton dan pembaca media telah diteror habis-habisan oleh kubu Andi Mallarangeng. Teror visual itu sangat membuat kita jengah, padahal selaku penonton yang tak punya suara dalam kongres tersebut, kita tak perlulah diajak serta. Di media massa, di billboard, di tempat-tempat keramaian, AM selalu datang tanpa diundang dalam keseharian kita. Bahkan di tempat kongrespun, masyarakat diserang oleh umbul-umbul, pamflet bahkan balon udara. Jika mungkin kubu AM punya pesawat tempur, pastilah pesawat tersebut akan demo di udara dan menuliskan namanya di langit Bandung.
Kekalahan telak AM pada putaran pertama pemilihan yang hanya bisa meraup 82 suara tentu bisa kita maknai lebih dalam. Pada konteks ini, bagi Partai Demokrat yang konon disinyalir sebagai partai modern jelaslah bahwa media bukan segalanya. Iklan-iklan persuasif itu ternyata tak lagi bisa bertaring. Ibas yang seolah dijadikan simbol yang identik dengan Cikeaspun tak terlalu berarti. Buruknya gaya semacam ini jelas akan merusak citra demokrasi. Kita mahfum bahwa pada wilayah popculture, iklan masif di media massa akan memiliki pengaruh. Namun pentinglah juga kiranya ia mengerti bahwa yang dibidik bukanlah masyarakat luas. Penggunaan patronase dan penguasaan media sebagai senjata agaknya harus disimpan pada perang politik lain.
Kesalahan target bidik inilah yang pada akhirnya menghancurkan logika politik yang dibangun kubu AM. Pada akhirnya kita pun menjadi saksi dari kegelian yang dipertontonkan di televisi. Mas Udin, penjual buku yang sama-sama menonton acara live pun ikut komentar “Lha wong Bang Andi Mallarangeng sudah kalah di ronde pertama, kok iklan si sipit dan si belo itu masih diputar di televisi. Punya banyak duit kali ya.” Nah lho.
Tontonan kedua yang bisa kita saksikan adalah bagaimana posisi Anas Urbaningrum ketika diapit oleh dua rivalnya. Anas berada di posisi tengah dengan adegan sedang merangkul AM dan MA. Kendati perhitungan belum beres, Anas seolah ingin memperlihatkan sandiwara ini kepada publik. Sebagai politisi yang sering mejeng di televisi, tentu ia sangat sadar kamera. Pilihan posisi semacam itu pun saya yakin didasari atas kesadaran selebritasnya. Ada beberapa tafsir yang muncul dalam adegan yang ditonton oleh jutaan pemirsa televisi. Rangkulan sering diidentikan sebagai kehangatan, persaudaraan atau keharmonisan. Pada wilayah citraan ini, tentu akan menjadi sangat elegan. Tafsir pertama menjadi ideal bagi Partai Demokrat yang sekarang ini memang sedang membius banyak masyarakat. Setidaknya begitulah yang bisa kita ambil simpulannya.
Namun tafsir adalah logika nakal yang bisa jadi diada-adakan atau dikait-kaitkan. Sebagai sebuah ilmu, tafsir memang sangat terbuka akan kemungkinan-kemungkinan lain. Pada tafsir kedua, kita bisa menyaksikan bagaimana posisi Anas ingin mengatakan kepada pemirsa bahwa ia adalah “anak muda” yang bisa memperlihatkan taringnya. Ia bisa mengalahkan AM dan MA dengan sangat smooth, buktinya sehabis “peperangan” dua orang ini bisa dipegang dan tidak melakukan reaksi berlebihan. Tidak sedikit sebetulnya, sehabis pemilihan apapun, orang-orang kalah melakukan pengingkaran terhadap kekalahannya dan kemudian menghasut yang lain agar melakukan “blokade demokrasi”. Disinilah hebatnya Anas. Dengan gayanya, ia bisa membuat hal itu menjadi tak terjadi.
Ketiga, selain subjek pelaku “peperangan” tersebut, ada satu tanda lagi yang bisa kita maknai dari kemunculan media di dalam perhelatan itu. Kita mahfum benar bahwa metrotv dan tvone adalah dua media sejenis yang sekarang ini sedang gencar-gencarnya berseteru untuk menyediakan informasi yang cepat. Pada posisi ini, persaingan positif menjadi tak terbantahkan. Kita sebagai penonton adegan itu diberikan tontonan segar ketika melihat Tina Talisa langsung menyeruduk massa yang mengelilingi tiga kontenstan tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana metrotv dan stasiun televisi lain kebakaran jenggot ketika Tina, dengan wajah letih dan makeup-nya yang kacau balau tiba-tiba berada di tengah kerumunan dan berhasil mengambil statement pertama kali dari ketiga kontestan. Tvone telah memeragakan kehebatannya dengan mencuri adegan di tengah hiruk pikuk pesta kemenangan. Jika Anas berkata bahwa kongres kali ini adalah kemenangan dari seluruh partai demokrat, maka bagi tvone, inipun menjadi kemenangan mereka.
Acta est fabula, plaudite!


Tanah Air, 2010

MEMBACA KUMCER GADIS BUKAN PERAWAN KARYA JENNY ERVINA


DARI REALITAS MENUJU FIKSI
Oleh Firman Venayaksa

Pada akhirnya, esensi hidup kita sebagai manusia adalah “berkehendak” dan “memilih”. Sebagai makhluk yang diberi akal, seyogyanya manusia tentu ingin memilih kehendak yang ideal; ingin lebih baik dari sekarang, ingin menggapai cita-cita setinggi langit, dan seterusnya. Dinamika kehidupan sosialpun tak bisa lekang dari hiruk pikuk libido emosional ini. Sebagai manusia yang normal, kita tentu saja selalu ingin merasa lebih dari orang lain di sekeliling kita. Nampaknya begitulah potret manusia selama berabad-abad lamanya dan tidak akan pernah tergantikan.
Salahkah? Tentu tidak. Jika ditimang-timang, sudah bisa dipastikan bahwa berkehendak dan memilih seperti sepasang gambar dari sisi uang logam. Permasalahannya, kadang kehendak menjadi berwujud beda ketika muncul dalam realitas, karena kehendak biasanya lebih sering menggenang dalam angan-angan. Perlu tenaga yang meronta untuk menggapai kehendak itu mewujud, sehingga hanya orang-orang pilihanlah yang bisa membulatkan kehendak
Selanjutnya, jika kehendak itu telah tumpul dan tak bisa tampil utuh dalam realitas, kita sebagai orang yang harus terus melanjutkan hidup, sudi tak sudi, harus belajar memilih dari apa yang tersaji di hadapan kita, sekalipun bertolak belakang dengan kehendak ideal itu. Dunia realitas itu kadang jahat sekaligus menggemaskan sehingga pilihan-pilihan yang didapatpun harus juga diperjuangkan. Namun pada sisi tertentu, ada dunia lain yang bisa mewujudkan kehendak ideal itu menjadi bulat. Kita menyebutnya sebagai fiksi. Pada posisi ini, seorang penulis bisa sesuka hati menciptakan banyak hal. Penulis bisa dengan gampang mewujudkan dirinya menjadi Cinderella, bisa menghancurkan musuhnya dengan sekali tiup, bisa melaksanakan cita-citanya dengan hebat dan meyakinkan. Disinilah titik kompromi genangan ideal dan realitas. Dengan menulis karya fiksi, sisi posotif manusia bisa tetap hidup kendati hanya dalam bentuk khayali; “berkehendak” menjadi , “pilihan-pilihan” bisa tercipta dengan indah.
Pada dasarnya, setiap karya sastra memang tak bisa lepas dari realitas, seperti juga kita tak bisa menafikkan bahwa dalam membuat realitas, pada dasarnya berawal dari mimpi. Jika Soekarno dan orang-orang yang se-zaman dengannya tak memiliki mimpi untuk berdaulat dan bernegara, maka mustahil kita bisa menjadi manusia-manusia merdeka di tanah kelahiran sendiri. Jika para ilmuwan tak mengepakan sayap imajinya, saya kira kita tak pernah mengenal produk-produk ilmuwan hingga kini. Dengan demikian, seyogyanya kita jangan lagi menihilkan kekuatan imaji.
Apa yang saya kemukakan tersebut tentu bukan hanya basa-basi. Hal ini berkaitan dengan cerpen-cerpen yang diciptakan oleh Jenny Ervina. Di dalam karya-karyanya, Jenny berusaha untuk bermain-main dengan realitas dihadapannya. Ia lincah sekali bertutur tentang keadaan sekelilingnya, berusaha membangun wilayah estetis yang etis dari hasil pengalaman dan pengamatannya di dalam dunia realitas. Sosok Jenny, dengan pelbagai pertimbangan, layak diapresiasi dengan baik. Pembangunan karakter tokoh di dalam cerpen-cerpennya pun penting untuk dianalisis. Secara umum, Jenny bisa menjadi tokoh pembantu, bisa juga menjadi seorang majikan. Kondisi ini tentu tak hanya bermodal imajinasi belaka. Dalam konteks ini, saya kira, sang penulis telah berhasil meruncingkan kilatan-kilatan  anasir antara realitas dengan fiksi.
Awalnya, saya tahu Jenny dari Gol A Gong. “Ada buruh migran asal Petir-Serang yang menulis cerpen.” Berita semacam itu, bagi para politisi dan sejenisnya mungkin bukan warta yang menggembirakan. Tapi bagi saya dan teman-teman di komunitas, apa yang diwartakan tersebut sangat membuat saya bergairah. Apa lagi ketika mengetahui pekerjaannya di Taiwan yang hanya sekadar ‘pembantu’.
Image pembantu rumah tangga yang hadir dalam kepala kita tentu bukanlah pekerjaan yang keren. Pembantu diidentikan sebagai orang yang tersubordinasi dari kehidupan. Ia hanyalah “kacung” yang dilihat sebelah mata, kampungan, dekil dan seterusnya. Disinilah kita bisa melihat bagaimana penghakiman dari ranah sosial yang sangat kontraproduktf. Padahal salah satu penyumbang devisa negara justru dari para TKW.
Saya jadi membayangkan bagaimana Jenny berusaha meluangkan waktu untuk menulis dari rutinitas pekerjaannya yang sudah pasti melelahkan. saya juga mengimajinasikan—dari hasil bacaan terhadap cerpen-cerpennya--bagaiamana posisi hidupnya yang “asing” di tengah suasana kebatinannya. Membaca cerpen-cerpen Jenny kita seolah-olah dibawa pada ranah yang realis sekaligus fiktif secara bersamaan. Padahal, dua wilayah itu, tentu memiliki ciri khas masing-masing.
Pada cerpen “Bukan TKW biasa” saya betul-betul merasakan sebuah drama perjalanan yang sangat realis. Pada cerpen ini dikisahkan bagaimana tokoh Rini yang sudah membulatkan tekad menjadi seorang TKW. Sebelum benar-benar ke Taiwan, negara tempatnya bekerja, tokoh Rini menjelaskan bahwa ada banyak hal mengapa mereka menjadi seorang TKW.
“Semuanya rela meninggalkan rumah, anak, suami, bahkan keluarga yang sangat mereka cintai. Ada yang pergi karena patah hati, yang bosan dengan kemelaratan, bahkan yang kabur dan hanya menjadikan penampungan sebagai tempat persembunyian. Sementara aku, punya visi dan misi tersendiri kenapa mau sejauh ini malakukannya. Demi mimpi, demi sebuah cita-cita. Demi hikmah yang akan kudapat setelahnya. ”
Ternyata, alasan para TKW tersebut begitu banyak dan bukan saja melulu persoalan materi. Disinilah fungsi estetis sebuah karya sastra. “Kabar” yang dimunculkan disini seperti ingin menggambarkan persoalan humanis seorang TKW. Tokoh Rini menjadi perwakilan bagi para TKW lain bahwa menjadi seorang pekerja di luar negeri adalah upaya untuk mewujudkan mimpi. Sekali lagi, mimpi ternyata menjadi ikhtiar berkepanjangan dari perwujudan realitas.
Jika cerpen “Bukan TKW biasa” memakai sudut pandang orang Indonesia, pada cerpen “Persembahan untuk Ina” justru sebaliknya. Saya sangat tertarik membaca cerpen ini. Jenny dengan sangat rapi memakai sudut pandang sang majikan berusia 87 tahun menurut tanggalan China. Dari sudut pandang sang majikan, kita bisa merasakan bagaimana beratnya pekerjaan seorang pembantu (tokoh Ina), apa lagi untuk merawat seorang kakek renta yang tinggal menunggu kematian.
Deskripsi yang dimunculkan dalam cerpen ini bisa mengajak kita mengindera dengan cermat. Mulai dari pagi hingga malam, tokoh Ina disibukkan dengan majikannya. Memapah dari dan menuju pembaringan, memandikan, menyiapkan obat, menyiapkan sarapan, membersihkan kotoran, membereskan rumah bahkan mengganti pampers yang sudah basah. Sebagai seorang pembantu, tokoh Ina adalah tokoh yang sangat cekatan. Majikan yang dijadikan sebagai sudut pandang, seakan-akan menuturkan kepada pembaca bagaimana baiknya tokoh Ina, kendati dalam beberapa hal, sang majikanpun tahu jika pada waktu tertentu ia membuat Ina kesal dengan sifatnya yang manula. Selain itu, Ina juga seorang yang teguh dalam memegang akidahnya. Ina masih menyempatkan untuk melakukan ritinitas religius yang sebetulnya bertolak belakang dengan sang majikan yang tak percaya akan adanya Tuhan.
Cerpen lain yang tak kalah menarik dan masih membahas mengenai sang burug migran adalah “Upik Abu Ketemu Pangeran.” Cerpen selanjutnya ini lebih menitikberatkan pada tema Cinderela syndrom dimana seorang pembantu jatuh cinta kepada seorang dokter yang menangani majikan rentanya itu. Pada akhir cerita, sang dokter itu melamar sang pembantu menjadi istrinya. Sungguh sebuah angan-angan ideal bagi seorang pembantu. Pada cerpen ini, Jenny berusaha untuk “memamerkan” sisi kepenulisannya. Terbukti, mimpinya menikahi seorang kaya raya terkabul sudah.
Saya tidak akan membahas mengenai cerita cerpen ini yang menurut saya terlalu mengharu biru dan menjual mimpi. Konteks lain yang menarik adalah bagaimana antara cerpen  “Persembahan untuk Ina” dan “Upik Abu Ketemu Pangeran” memiliki kesamaan dari penggambaran tokohnya. Sifat sang pembantu dan sang majikan terlihat begitu identik dalam kedua cerpen ini. Hal ini semakin mempertegas bahwa realitas dan imaji di dalam benak penulisnya memang saling bertautan. Hampir bisa dipastikan bahwa Jenny benar-benar bekerja dengan lelaki tua yang disebut Ama itu.
Hal ini kian mempertegas bahwa karya yang ditulis oleh sastrawan tidak bisa lepas dari keadaan sosial yang menelingkupinya. Sastrawan bisa saja berkelit dalam dunia realitas, tapi pembaca bisa menemukan “ideologi terselubung” dari tanda-tanda yang ditimbulkan dalam karyanya.
Sebagai sebuah bukti bahwa pembantu adalah manusia biasa yang memiliki emosi tertentu, kita bisa mengamati bagaimana diksi-diksi ironi kepada sang majikan pun muncul seperti “jam wekker manual” yang diperuntukan bagi sang majikan perempuan yang sangat bawel dan sering marah-marah atau superintendent yang melihat sang majikan sebagai orang superior yang selalu mengawasi dan tak terbantahkan. Diksi semacam ini jelas memberikan sebuah pemahaman bahwa pada waktu tertentu, seorang pekerja kecil sekalipun bisa saja protes dan marah dengan cara mereka sendiri. Sekali lagi, kita bisa membayangkan bagaiamana seorang pembantu, selain harus cekatan dan “tak boleh salah” juga harus memiliki kesabaran yang maha.
Gambaran TKW yang muram muncul pula di dalam cerpen “Gadis Bukan Perawan”. Alur campuran yang dimainkan dengan sangat baik oleh Jenny membuat cerpen ini tersaji dengan istimewa. Cerita dimulai ketika tokoh gadis menikah dengan Bayu. Lazimnya sepasang manusia yang sudah menikah, tentu malam pertama adalah malam yang sangat menggairahkan dan ditunggu-tunggu. Namun Jenny dengan begitu pintar mengajak pembaca masuk pada alur flashback tiga tahun sebelum pernikahan. Tokoh Gadis ternyata adalah bekas TKW yang sangat perih hidupnya. Di Taiwan, ia rela menanggalkan keperawanannya demi membahagiakan keluarganya di kampung.
Selanjutnya Jenny mengajak kembali pembaca menuju malam berikutnya di hari pernikahan. Tokoh Bayu yang sepertinya baik dan menerima gadis apa adanya dibuat diam akan kejujuran Gadis dengan mengatakan bahwa ia tak lagi perawan. Ending pada cerpen ini dibuat menggantung. Pembaca pun dibuat bertanya-tanya mengenai kelanjutan cerita ini. Sebagai sebuah cerpen populer, Jenny telah berhasil menjerat pembacanya tanpa terjebak pada wilayah-wilayah klise.
Selain cerpen-cerpen dengan tema buruh migran, sebetulnya ada beberapa tema lain, terutama mengenai silang sengkarut percintaan. Sayangnya, masih ada cerpen-cerpen yang sepertinya belum terlampau kuat. Beberapa cerita terkesan mengambang dan masih pincang. Setelah membaca keseluruhan dari antologi cerpen ini, saya kira Jenny harusnya berani untuk mengeksplorasi lebih dalam lagi tentang kehidupan buruh migran. Tema-tema buruh migran yang muncul di dalam cerpen-cerpennya jauh lebih kuat dibandingkan dengan cerpen “Korban Mode” “My Broken V’day” apalagi cerpen “Jerawat” yang kurang tereksplorasi dengan baik.
Jika saja Jenny konsisten dengan tema-tema buruh migran saya punya keyakinan bahwa karya-karyanya akan jauh lebih menggoda. Secara psikologis, tema-tema tersebut lebih memunculkan kegairahan tersendiri. Kendati demikian, sebagai sebuah awalan, Jenny telah berhasil membawa dirinya untuk menciptakan pilihan-pilihan dari kehendak yang ingin dilampauinya.   

Tanah Air, 2010