Senin, 24 Januari 2011

BUKU VERSUS MUSIK


BUKU VERSUS MUSIK?[1]
Oleh Frman Venayaksa[2]

Tema pesanan semacam ini, seperti juga tema yang mengada pada seminar, workshop, talkshow dan apapun namanya, kadang membuat saya tergelitik. Tak mengapa jika tema yang diusung panitia sepakat dengan apa yang saya pikirkan, malah saya akan sangat terpacu untuk mengonsepnya secara serius. Yang menjadi masalah kecil adalah ketika tema yang disodorkan malah kontraproduktif dengan apa yang sedang saya inisiasi dalam beberapa bulan ini. Pada perayaan World Book Day 2009 inilah saya berada dalam posisi pilihan yang rumitJ.
Bagi saya, buku dan musik tak layak untuk di-versus-kan. Saya melihat bahwa dikotomi ini terlalu aneh, penyandingan dua kutub yang susah untuk disejajarkan. Buku adalah media (yang sejajar dengan unsur bendawi), sementara musik adalah jenis kesenian (yang mungkin bisa disejajarkan dengan pemikiran). Akan lebih mudah jika temanya diubah menjadi “buku versus kaset,” atau “sastra versus musik.” Namun justru dengan tema yang sedikit “nyeleneh” ini, saya malah makin ingin menelusurinya, membuat tulisan kendati terseok dan perlu imaji yang tinggi untuk mendedahkannya.

Musik dan Pop Culture
Horatius, seorang filososf pada zaman masa lampau dan sering dikutip oleh para seniman hingga masa kini, menegaskan bahwa seniman bertugas untuk decore dan delectare, memberikan ajaran dan kenikmatan. Dua kategori ini menjadi bagian yang sangat penting untuk memulai tema ini. Jika kita sepakat dengan pendapat Horatius, maka sudah sewajarnya nilai ajar (pendidikan) dan kenikmatan (hiburan) menjadi dua hal yang seyogyanya terus beriringan. Bahkan Horatius menambahkan dengan istilah movere, menggerakan penikmat seni ke arah kegiatan yang bertanggungjawab. Selain itu seni juga harus menggabungkan sifat utile dan dulce; bermanfaat dan manis.
Melihat perkembangan seni, terutama musik yang sekarang menjadi objek yang kita perbincangkan, saya melihat musik di Indonesia lebih mengedepankan unsur hiburan dibandingkan dengan pendidikannya. Dalam ranah musik pop terutama, kecenderungan untuk “mengeksploitasi” dan meninabobokan pendengar kerap selalu menjadi pilihan yang oportunis. Demi meraup pangsa pasar seluas mungkin, musikalitas dan syairnya jelas hanya mengusung nilai hiburan semata. Dalam posisi ini, seniman sering hanya dianggap sebagai mesin yang harus membuat lagu semenarik mungkin agar lagu tersebut laku keras. Dalam ranah pop culture, tentu hal ini sangat masuk akal. Musik menjadi varian seni yang sangat digandrungi dibanding cabang seni yang lain. Pada akhirnya, industri musik adalah pilihan yang tak bisa dimungkiri. Sementara di sisi yang lain, nilai ajar, semakin tipis terdengar, untuk tidak menyatakan hilang dari dunia musik pop di Indonesia.
Jika kita membongkar dari segi pragmatik, menjadi seorang musisi terkenal dan sering muncul di televisi menjadi daya tarik luar biasa. Para remaja akan sangat gandrung dan tentu mencita-citakan menjadi musisi terkenal, karena dengan keterkenalan, ia bisa mewujudkan apa yang mimpikannya, bahkan dengan keterkenalan, ia memiliki efek domino yang lain, misalnya tandatangan anehnya tiba-tiba diburu penggemarnya. Senyumnya bisa dipakai untuk iklan pasta gigi, bahkan tak jarang para politikus melamarnya untuk menjadi calo(n) legislatif. Industri telah mengubah paradigma berpikir dan dari wilayah pragmatik, kian banyaklah orang-orang mengapresiasi musik, kendati hanya beli kaset dan CD bajakan. Yang penting gaul, yang penting selalu merasa terlibat.

Membumikan Buku
Berbeda dengan musik yang sangat menyebar mulai dari orang-orang urban hingga pelosok perkampungan, buku sebagai ikonisitas dari kebudayaan literat (literasi), memang masih terseok dan jauh dari harapan. Dengan harga yang relatif mahal, buku terbilang jauh dari peradaban kita. Saya tidak akan memakai data statistik tertentu untuk mengatakan bahwa budaya baca kita masih rendah dibandingkan dengan apresiasi musik kita yang menurut saya sudah sangat luar biasa. Parameter yang mungkin terbilang aneh yang akan saya pakai adalah ‘pembajakan’. Ya, dalam ranah pop culture pembajakan adalah parameter unik yang bisa kita pakai. Semakin banyak produk yang dibajak, maka saya yakin produk tersebut laku di pasaran. Jika banyak musisi marah-marah karena karyanya dibajak, sebetulnya dalam sisi yang lain, musisi itu juga harusnya berbahagia, karena dengan musiknya dibajak, maka saya berani menjamin, bahwa musiknya memang digemari dan dicari. Di wilayah Indonesia yang terkenal sebagai negara berkembang dalam segala aspek, perkembangan pembajakan adalah bukti bahwa negera kita memang betul-betul berkembang. Di wilayah perbukuan, buku-buku yang paling sering dibajak adalah kamus Bahasa Inggris. Ini juga sebentuk pembuktian bahwa kamus Bahasa Inggris sangat digemari, dan jika kita percaya dengan semiotika ala Roland Barthes, itu juga bagian dari pembuktian bahwa masyarakat kita bermasalah dengan bahasa Inggris walaupun kita juga senang membajak segala asesoris yang keinggris-inggrisan.
Membumikan buku menurut saya adalah bagaimana kita harus berkaca pada industri musik. Setiap hari, kita tidak pernah alfa untuk mendengarkan musik karena telinga kita memang dikepung oleh media musik. Radio dimana-mana, toko musik tersebar, radio-radio mengepung, televisi memutar setiap saat. Jika ingin buku menjadi bagian dari keseharian kita maka tak ada lagi pilihan selain kita harus membuka perpustakaan dimana-mana, adakan bedah buku di kampung-kampung, seperti juga pegoyang dangdut yang tak henti berikhtiar. Buatlah komunitas-komunitas kutu buku dengan relawan yang radikal, seperti para punk-rock, untuk memantapkan bahwa kita memang eksis kendati hanya beberapa saja. Bagaimana mungkin kita menginginkan masyarakat kita berbudaya baca sementara buku jauh dari keseharian kita?

Musik dan Puisi
Dari pertanyaan inilah maka Gola Gong, saya dan relawan lainnya menginisiasi Rumah Dunia, sebuah madrasah kebudayaan yang menjadikan buku sebagai bagian tak terpisahkan. Selain diadakan Kelas Menulis, Kelas Teater dan sebagainya, sekarang Rumah Dunia mempunyai sebuah divisi musik. Di dalamnya terdapat sebuah komunitas musikalisasi puisi bernama “Ki Amuk”. Konsep yang diusung adalah musikalisasi puisi. Harapannya agar  kelak ada koneksivitas antara para apresiator musik dan buku (puisi). Kami sadar bahwa para pembaca sastra, apa lagi puisi masih sangat jarang, dan penggabungan musikalisasi puisi ini seyogyanya memiliki efek simbiosis mutualisme. Orang-orang yang senang musik akan juga terlibat secara tidak langsung dengan puisi, begitupun sebaliknya. Musikalisasi puisi ini adalah alternatif lain yang kami coba. Kebudayaan literasi memang masih menjadi sesuatu yang kita damba. Sekarang ini, masyakarat kita lebih menyukai budaya tonton dan lisan. Tentu hal ini bukan untuk diversuskan, malah menjadi salah satu kekayaan tak ternilai. Akan lebih cerdik memang jika kita mencoba masuk ke wilayah literasi tanpa menghancurkan budaya yang selama ini sudah tertanam rapih di wilayah kesadaran masyarakat kita.


Tanah Air, 2009
  


[1] Tulisan ini dipresentasikan dalam acara World Book Day, Gedung Museum Bank Mandiri, Jakarta pada tanggal 26 April 2009.
[2] Presiden Rumah Dunia-Serang, Banten. Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar