Senin, 24 Januari 2011

DRAMA TERLARANG PADA REZIM ORDE BARU



 Seni dan Kekuasaan
Kelahiran drama Indonesia memiliki tempat khusus dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa. Menurut Saini, (dalam Sahid 2000:45) drama Indonesia adalah salah satu refleksi dari kelahiran dan pertumbuhan sebuah bangsa Indonesia.Tengok saja misalnya dalam masa pergerakan, pengolahan tema-temanya lebih mengekspresikan kesadaran-kesadaran dan aspirasi-aspirasi  kebangsaan. Setelah Indonesia menyelamatkan kemerdekaannya, tema-tema itu bergeser pada ekspresi penderitaan maupun kegembiraan dari pertumbuhan sebuah bangsa yang masih dalam proses membangun.
Ketakterpisahan antara seni modern Indonesia (drama) dengan proses keindonesiaan kita, dalam sejarahnya --mengalami hubungan dengan politik (kekuasaan), terkadang ada masa konflik dan pertikaian terjadi. Sebagaimana dipetakan Dahana ( 2001:2-3), dalam demokrasi liberal Soekarno, di mana banyak organisasi kesenian yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik tertentu, seperti Lekra-PKI, Lesbumi-NU, LKN-PNI. Konflik yang pada akhirnya sampai pada tingkat fisik, dalam arti terjadinya konsekuensi-konsekuansi material seperti pelarangan, pemutusan hubungan kerja dan lain-lain.
 Pada zaman Orde Baru, hubungan negatif dan dampak fisik semacam di atas masih menjadi kecenderungan yang kuat dalam kehidupan politik dan kesenian kita. Untuk beberapa contoh: pelarangan pertunjukan Sepatu Nomor Satu Emha Ainun Najib di Yogya tahun 1986; Pembacaan puisi dan pentas drama Bengkel Teater Rendra dilarang sepanjang 1986-1990; belum terhitung pameran-pameren seni rupa dan buku-buku sastra yang dilarang diedarkan, semacam karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan pengarang Lekra lainnya.
Hubungan Negara dengan karya seni (drama) yang diwarnai penuh konflik dalam bentuk pencekalan atau pelarangan seperti  kasus-kasus di atas, menimbulkan sejumlah pertanyaan: mengapa Negara begitu ketakutan berhadapan dengan eskpresi seni? Apa kesenian memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi opini publik? Seberapa jauh korelasi yang signifikan terjadi antara dunia politik dengan dunia kesenian?
Sebuah pretensi, kecemasan negara terhadap seni, semata-mata karena seni (sastra drama) tidak hanya berfungsi estetik tetapi juga sebagai fungsi sosial yang tidak sepenuhnya pribadi. Permasalahan yang diungkap dalam sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial. Menurut Goldmann (dalam Faruk 1999: 17) sastra merupakan ekspresi pandangan dunia imajiner, dalam usaha mengekspresikan pandangan dunia. Teeuw (dalam Pradopo, 1990: 125) mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat lepas dari pengarang dalam masyarakatnya, karena karya satra tidak hadir dari kekosongan budaya, karya satra tidak dapat lepas dari pengarang yang menulisnya. Pengarang tidak tercerabut dari pikiran/ pandangan dunia dan perkembangan zaman. Pengarang akan menyuarakan kritikannya lewat karya-karyanya bila dalam kehidupan penuh ketimpangan.
Sayangnya, budaya kritik itu dipersepsi Orde Baru tidak dalam bingkai demokrasi seperti yang dikatakan ahli politik Dr Alfian (Kleden: 2001:71)  bahwa demokrasi adalah interaksi dan bahkan dialektik antara konsensus dan konflik.  Suatu dialektika pada dasarnya mengandaikan adanya kontradiksi, di mana kontradiksi tidak dipandang sebagai aib dan membahayakan, tetapi semestinya diterima sebagai suatu energi yang dapat dimanfaatkan secara produktif.
 Pengalaman panjang sebelum Reformasi 1998, yang berkaitan dengan pembredelan izin pentas, menunjukan dengan jelas suatu kecenderungan dalam watak budaya politik kita, di mana kontradiksi tidak pernah bisa ditolerir kehadirannya. Dalam pandangan kebudayaan, kehadiran kontadiksi ini penting sekali untuk dapat memahami kebudayaan sebagai suatu konstruksi sosial. Tanpa adanya kontradiksi kebudayaan akan diterima sebagai nasib, semacam takdir, tidak memberi kesempatan kepada manusia memberi bentuk pada kebudayaannya. Dengan demikian kata Kleden  (2001:172), teks kebudayaan tidak dipahami secara prosais tunggal makna tetapi penuh ambivalensi sebagai teks puisi, di mana setiap orang dapat memahaminya untuk kepentingan sendiri-sendiri yang tak jarang berbenturan dengan kepentingan orang lain yang hidup dalam kebudayaan yang sama.

N. Riantiarno dan Opera Kecoa
Menurut Saini KM, (2000:44)  N. Riantiarno adalah seorang pelopor teater modern Indonesia, seorang penulis naskah, aktor dan sutradara yang paling getol berurusan dengan Orde Baru. Nano lebih konsen dan kerap mengangkat problem-problem dalam negeri, pertentangan-pertentangan sosial dalam gaya Brechtian. Naskah-naskah dan arahan yang terkenal adalah Opera Ikan Asin, Opera Kecoa, Bom Waktu, Wanita-wanita Parlemen, Suksesi, Sampek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Rumah Sakit Jiwa, Opera Primadona, Tiga Dewa dan Kupu-Kupu, Tanda Cinta, Republik Togog, Maaf.Maaf.Maaf, Republik Bagong, Raja Ubu dan sebagainya.  Naskah-naskah yang berupa adaptasi atau karya asli kental dengan kombinasi humor dan punya karakter pada protes-protes sosial dapat menarik perhatian publik, ditandai dengan berjubel dan selalu habisnya tiket pertunjukan Teater Koma. Selain menarik perhatian publik, juga menarik perhatian penguasa (baca: negara), yang akhirnya melalui tangan aparatur keamanan—beberapa naskah dibredelnya.
Menurut pengakuan Riantiarno (2007:34), dia ketemu dengan seorang Mayor pensiunan yang pernah “menyidang” atas karya-karyanya, dapat disimpulkan bahwa Riantiarno dan Teater Koma sama sekali tidak berbahaya dan bukan orang jahat, dia hanya nakal. Demikianlah pembacaan subjektif sang Mayor sebagai tangan Orde Baru memandang Riantiarno dan karya-karyanya.
Drama Opera Kecoa adalah salah satu karya Riantiarno yang menarik untuk dijadikan ukuran, betapa kerasnya tekanan dan pelarangan terhadap drama ini. Drama ini, pada tahun 1985 pernah dipentaskan di  Taman Ismail Marzuki selama 14 hari dengan penonton membludak dengan rela membeli tiket catutan yang harganya tiga kali lipat. Hari pertunjukan ditambah dua hari dengan penonton tetap meluber. Opera Kecoa, ketika dipentaskan di Bandung menerima ancaman bom lewat telepon. Penelepon gelap mengatakan bahwa bom sudah dipasang di gedung pertunjukan. Pertunjukan terus berjalan dan bom tak terbukti. Dan pada tahun 1990  pada saat pentas uji coba untuk persiapan ke Jepang dibubarpaksa polisi kerena Teater Koma tak termasuk teater yang mendapat list izin pentas di gedung TIM. Tak ayal perizinan untuk pentas di Jepang pun tak mendapatkannya, sehingga pentas keliling di empat kota di Jepang dibatalkan. Persiapan untuk produksi ini kurang lebih dua tahun, sebuah persiapan yang panjang dan matang, lebih-lebih seluruh produksi ditanggung pihak Jepang. Dengan berbagai persitiwa dan fenomena yang menimpa Opera Kecoa sangat menarik untuk dijadikan instrumen penelitian ini.
Alasan pemilihan drama Opera Kecoa sebagai objek penelitian selain hal-hal di atas juga karena mempertimbangkan isi dan kisahnya. Opera Kecoa berkisah tentang seorang kaum miskin urban yang diwakili waria, pelacur, gelandangan dan para bandit yang mencari penghidupan di kota. Mereka digusur, ditembaki dan perkampungannya dibakar, keadilan tidak berpihak kepadanya, yang satu kecoa yang lainnya garuda. Kaum miskin pinggiran  sebuah kelas sosial yang termarginalkan oleh negara. Negara memperlakukan waria masih diskriminatif, baik secara politik atau pun hukum.
Berdasar pada posisi atau latar belakang masalah di atas, penulis hendak melihat atau mencari sejauh mana hubungan yang tercipta atau terjadi antara karya drama dengan dunia poltik yang ada di sekitarnya. Mengikuti pikiran Word Keller (dalam Dahana, 2001: 8) bagaimana sebuah teks sastra drama, dapat menjalin hubungan yang terdiri atas elemen-elemen estetika, ideologi dan sosiologi. Lebih jelasnya, bagaimana sebuah naskah drama dapat mengekspresikan atau menyingkap masalah dimensi politis yang tersembunyi di dalamnya. Bagaimana penggunaan simbol  dalam naskah Opera Kecoa dapat memperlihatkan adanya sebuah ideologi politik tertentu di baliknya.
Pada penelitian deskriptif ini, analisis data dilakukan secara induktif. Data penelitian berupa kata, kalimat, dialog, monolog, situasi dan lingkungan yang merupakan bagian simbol dalam struktur drama Opera Kecoa diamati pemakaiannya. Pengamatan berikutnya, pengamatan yang mendalam pada pola interaksi para tokoh sebagai simbol untuk mendapatkan gambaran perlawanan masyarakat marginal (yang diwakili waria) terhadap negara.Di samping itu, penulis juga  melakukan analisis simbol pada latar sosial. Dalam hal ini, ideologi politik dalam simbol-simbol yang dioperasikan, ditafsirkan maknanya dalam perspektif nilai sosial, budaya dan politik sebagai representasi  modus politik Orde Baru.
Untuk memberi arah yang jelas dalam hasil dan tujuan penelitian ini, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1)      Seperti apakah simbol-simbol dioperasikan dan “bekerja” dalam drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno?
2)      Ideologi politik apa yang terdapat dalam simbol-simbol drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno, sehingga Orde Baru melarang drama tersebut dipentaskan? 
 Jawaban permasalahan yang diajukan tersebut di atas, diharapkan menjadi titik berangkat dan fokus untuk mencapai tujuan penelitian setepat-tepatnya.

Pendekatan Semiotik
Untuk “membongkar” teks Opera Kecoa, penulis memakai pendekatan semiotik. Semiotik didefinisikan oleh Ferdinan de Saussure di dalam Course in General Linguistics, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit, dalam definisi itu adalah prinsip, bahwa semiotika menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehinga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Penggunaan metoda semiotik sebagai pendekatan pembacaan dalam penelitian karya sastra (drama) didasarkan pada pengertian tentang tanda, cara kerjanya, dan penggunaannya. Menurut Peirce (dalam Sahid, 2004: 5) tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Manusia memiliki  kemungkinan yang sangat luas dalam penerapan tanda-tanda, diantaranya tanda-tanda dengan kategori linguistik.
Charles Sander Peirce mengelompokan tipologi tanda, hubungan antara tanda dengan acuannya dibedakan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks dan simbol (Piliang, 2003:271). Indeks adalah tanda yang hubungan antara penada (bentuk, ekspresi) dan petanda (makna, konsep) di dalamnya bersifat kausal, misalnya hubungan antara asap dan api. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat keserupaan. Misalnya, foto Soekarno yang merupakan tiruan dua dimensi dari Soekarno. Sementara, simbol adalah tanda yang berhubungan antara pananda dan petandanya seakan-akan bersifat arbitrer. Tentang simbol yang merupakan objek kajian dalam teks drama,  dikupas lebih jauh di bawah ini.

Simbol
Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti  melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko dan Rahmanto, 1998:133). Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahuikan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10). Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimia, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya. Simbol juga metafora, pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana, 2001:136-138).
Konsep yang diungkapkan Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol dengan penanda dengan petanda sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Dengan demikian, sebuah simbol dapat berdiri untuk sesuatu institusi, cara berpikir, ide, harapan, aspirasi, sikap dan banyak hal lain (Sobur, 2003:163). Simbol dapat berupa kata-kata (verbal) perilaku nonverbal dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di depan rumah sebagai tanda cinta terhadap negara.
Pada dasarnya, naskah drama merupakan  kumpulan simbol. Sebagai simbol, karya drama akan berarti jika penikmatannya berada pada konvensi yang sama. Jadi, sudah ada persetujuan antara pemakai simbol tentang hubungan simbol dengan acuannya. Yang unik adalah drama memberi kebebasan yang lebih besar pada penafsir simbol daripada simbol-simbol lain yang lebih terbatas, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
Dalam penelitian ini akan disingkap bagaimana simbol-simbol dalam drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno dioperasikan dan bekerja untuk menyuarakan suara kritis sehingga terbongkar makna ideologis dibaliknya.

Struktur Simbol Drama dalam Kerangka Semiotik
Dalam perspektif semiotik,  lakon atau naskah drama sebagai objek kajiannya menurut Aston & Savona, struktur simbol dapat mendasarkan analisisnya pada 4 unsur, yaitu konstruksi plot, karakter (tokoh), dialog dan stage direction (Sahid, 2004:30). Pengarang baik secara eksplist atau implisit meletakan simbol dalam struktur drama. Berikut akan dijelaskan perihal empat unsur tersebut secara singkat:
a. Simbol dalam Konstruksi Plot
Secara umum cerita merangkai banyak peristiwa, dan peristiwa-peristiwa saling mempunyai hubungan. Forster  mengatakan bahwa hubungan kausalitas anatara peristiwa dalam sebuah cerita bukanlah urutan biasa, plot merupakan rangkaian persitiwa yang dijalin berdasarkan hubungan sebab akibat dan merupakan pola kaitan yang menggunakan jalan cerita ke arah pertikaian dan penyelesaian (Sahid, 2004:30). Plot drama yang baik mengandung unsur ketegangan dan kejutan.
Suyatna Anirun (2002:131) membagi struktur plot dalam eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks, dan resolusi. Konvensi pembagian plot yang dikemukakan para pakar tersebut memberikan kontribusi ke arah pembentukan dan penunjukan kesatuan awal, tengah dan akhir drama. Hal ini seperti yang dikemukakan Aristoteles dalam deskripsi drama taregedi komedi drama Yunani yang terdiri tiga babak: bagian awal, tengah dan dan bagian akhir.
b. Simbol dalam Karakter
Semiotik karakter yang dikembangankan Ubersfeld (dalam Sahid, 2004:44) mencakup karakter sebagai leksem (aktan, metonimia, metafora, referen dan konotasi )  dan karakter sebagai ensambel semiotik  (individualisasi dan kolektivitas)
c. Simbol dalam Dialog
Secara umum, dialog dalam teks drama berfungsi untuk menetapkan karakter, ruang dan lakuan. Selain itu berfungsi juga sebagai sistem penggiliran. Seorang tokoh berbicara dan tokoh lainnya mendengarkan dan selanjutnya menjawab sehingga pada gilirannya menjadi pembicara. Dualiatas interaksi peran pembicara-pendengar merupakan suatu modus dasar dialog drama. Terjadinya dialog untuk menciptakan suatu dialektik interpersonal di dalam waktu dan lokasi wacana
d. Simbol dalam Stage Direction (Petunjuk Pementasan)
Stage direction adalah bagian drama berupa narasi yang memberikan penjelasan penjelasan kepada pembaca—sutradara, artistisk, aktor mengenai keadaan suasana, persitiwa atau perbuatan dan sifat tokoh cerita. Stage direction biasa juga disebut petunjuk pengarang atau petunjuk pementasan. Penulisan dibedakan dengan penulisan dialog, biasanya dimiringkan atau dalam tanda kurung.

Makna Ideologi dalam Simbol
Salah satu pengertian ideologi seperti yang dikemukakan Jorge Larrain (dalam Sunarto, 2000:31), yakni pandangan dunia yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingannya. Atau pendapat Franz Magnes Suseno (1992:230) yang menyatakan ideologi sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan.
Ideologi di sini tidak berada dalam wilayah makna  teroritis dan filosofis yang besar “sebagai sebuah ilmu tentang gagasan”. Atau sebagaimana perkembangannya setelah masa Pencerahan, di mana ideologi menjadi “studi tentang asal mula gagasan” dan yang membebaskan diri dari prasangka religius dan metafisis.
Ideologi dipahami sebagai titik tolak interpreatsi, titik tolak dalam memproduksi simbol, di mana dengannya kita dapat terhindar dari bahaya kekeliruan. Dari titik tolak inilah pula, menurut Zoest, dimungkinkan tersingkapnya tabir prasangka, juga yang berasal dari simbol-simbol naskah drama (Sudjiman, 1996:104).
Lakon atau naskah drama merupakan hasil konstruksi simbol-simbol. Karya drama diejawantahkan atau bekerja dengan mengoperasikan  sejumlah simbol estetik. Penelitian ini mencoba melihat dan mengidentifikasi simbol-simbol “yang bekerja” dioperasikan dalam drama Opera Kecoa karya N. Riantiarno, juga akan dilihat bagaimana simbol-simbol dalam naskah drama itu memperlihatkan adanya ideologi tertentu yang diekspresikan (Dahana, 2001:8). Sebuah makna ideologi yang turut berkerja dan memberi pengaruh pada cara dan bentuk hasil produsi simbol-simbol. Terjadikah subordinasi nilai-nilai politik, khususnya dalam pengejewantahan simbol-simbol yang dikonstruksi dalam naskah drama?
Untuk menganalisis hal tersebut, penulis menggunakan semiotik Barthes dalam model analisisnya, yaitu menggunakan konsep connotationnya- Hjemselev untuk menyingkap makna-makna yang tersembunyi. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat promitif, yakni denotatif dan konotatif. Pada tingkat denotatif, tanda simbol sebagai makna primer, alamiah. Pada tingkat konotatif, ditahap sekunder, muncullah makna ideologis. Menurut Barthes, simbol dalam naskah drama berposisi sebagai meta-language, bentuk bahasa kedua yang berperan sebagi corong atau juru bicara ideologi (politik) yang menempati language objek atau bahasa pertama (Dahana, 2001:23-24)  Dalam istilah Barthes, struktur simbol yang permanen (language) dibalik parole (bentuk pengucapan) dalam drama Opera Kecoa, bukan hanya dikosntruksi oleh kesadaran umum yang ada diabstraksi masyarakat, tapi berkemungkinan merupakan suara kelompok minoritas.
Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis, sebagai bentuk tafsir pemahaman ulang, penulis merekonstruksi makna dalam teks. Gambaran makna dan pengertian dalam teks tersebut, penulis secara detail melihat hubungan jalinan anasir-anasir struktur drama itu sebagai suatu sistemik, sehingga keutuhan makna idologis itu bukan hasil analisis yang sepenggal-sepenggal tetapi hasil pandangan secara keseluruhan jalinan struktur drama.
Dalam mendapatkan interpretasi makna ideologis simbolik yang menyeluruh, dan tidak kehilangan kontekstualitasnya dengan semesta, di samping melakukan analisis model Barthes, penulis juga melakukan analisis latar sosial politiknya. Dalam hal ini diamati atau diuraikan persamaan dan hubungan simbolik antara simbol-simbol yang muncul secara eksplisit dan implisit dicarikan acuannya pada kebijakan  politik Orde Baru.
           
Analisis Drama Opera Kecoa
Simbol-Simbol yang “Dioperasikan dan Bekerja”
Dalam mengidentifikasi simbol yang “dioperasikan dan bekerja” dalam drama Opera Kecoa dimulai dengan diinventarisir  melalui bagaimana simbol itu melekat atau muncul, implisit atau eskplisit dalam struktur drama, yakni konstruksi plot, karakter, dialog dan stage direction.

Ø      Simbol dalam Konstruksi Plot
Seperti perlakuan dalam drama-drama komedi klasik, dalam memetakan analisis strukutur plot, Suyatna Anirun membagi  konstruksi plot dalam lima bagian, yakni eksposisi, konflik, komplikasi, klimak (krisis) dan resolusi. dalam eksposisi akan dideskripsikan tentang gambaran awal sosok-sosok yang terlibat dan ruang persitiwa kejadian; konflik berisi mula pertama terjadinya insiden, komplikasi akan nampak bagaimana persoalan baru dan watak berkembang menuju masalah yang kompleks; klimaks adalah sebagai puncak pertentangan dan resolusi merupakan falling action, penyelesaian persoalan.
Berikut konstruksi plot dalam drama Opera Kecoa dan simbol-simbol yang dioperasikan dalam konstruksi plot tersebut.
1)      Eksposisi
Dalam eksposisi digambarkan secara visual sisi lain suasana tentang peradaban kota yang gemerlap. Tentang kehidupan para kecoa yang berhimpitan dalam lorong-lorong yang gelap dibalik kemegahan gedung-gedung tinggi, monumen. Di balik kota,  banyak derita, kelaparan, kemiskinan dan tragedi. Yang satu menjadi kecoa dan yang lain menjadi garuda. Bumi bergetar, rentetan bunyi tembakan. Nyanyian dan tangisan.
 Begitulah gambaran suasana yang menjadi latar peristiwa diperkenalkan sebagai pembuka adegan. Lain halnya dengan sosok-sosok yang terlibat. Roima membopong mayat Julini yang terbungkus kain putih. Julini adalah sosok korban. Dapat disimak kesaksian Roima dalam solilokuinya.
Roima: Dia hanya ingin hidup, dia tak mengganggu orang, tak pernah memaksa. Apa yang selama ini dia lakukan hanyalah upaya agar dia tidak kelaparan  Coba tunjukan cara lain untuk bisa memperoleh penghasilan. Coba tunjukan, tunjukan. Tak pernah ada jawaban. Yang ada hanya pidato, pidato dan pidato. Apa hanya dengan pidato-pidato saja, dia kami, bisa kenyang? Dia bekerja, banting tulang memeras keringat. Kemudian dia dapat uang.
   Dia memang cabo, itu karena dia tidak mungkin jadi sekertaris. Keahliannya cuma memijat. Dia memang cabo, tapi bukan berarti dia tak ingin menjadi sekertaris. Nasib melemparkan ke dalam got, berhimpitan dengan kutu dan kecoa. Kami orang-orang kecil. Masalah kami hanyalah masalah perut. Tapi mengapa dia harus ditembak mati? Dia memang cabo, tapi banyak orang yang membutuhkannya. Tapi dia yang kemudian dikejar-kejar, bukan mereka bukan orang-orang yang datang. Jika ada jalan untuk jadi baik, kami akan ikutan jalan itu. Asal jangan jalan yang penuh pelor dan bedil.

Dunia tragedi Julini dan Roima direspon  semesta, bumi bergetar, menggeletar, selaput bumi berwarna merah terkelupas dengan hebat, Roima dan Julini terseret ke bangku-bangku plaza monumen. Terbentanglah dua pemandangan yang kontras. Pemandangan pertama, sebuah kota yang penuh bangunan dan berbagai monumen, dan pemandangan yang kedua  rumah-rumah reyot saling berhimpit, got-got yang kotor, sepetak tanah tempat anak main kelereng, ibu-ibu di depan rumah saling mencari kutu. Kompleks rumah tangga yang baik-baik dan kompleks pelacuran. 
Kontruksi adegan dalam eksposisi ini menggunakan teknis flash back. Adegan berikutnya, dimulai dengan pergeseran waktu dan tempat; Julini dan Roima kembali ke kota setelah lima tahun dia tinggalkan.
2)      Konflik
Pertama terjadinya insiden, dimulai dari Julini dan Roima dikejar-kejar Satpam ketika sedang mencari teman-teman lamanya, Tarsih, Jumini dan Tarkana. Begitupun penghuni perkampungan kumuh selalu dalam pengawasan satpam.
Tarsih dalam kecemasan, sekalipun rumah pelacuran yang dikelolanya dengan sertifikat hak milik, selalu terancam batu peringatan penggusuran, di samping pemerasan dengan mengatasnamakan uang keamanan.
Di perumahan kumuh terjadi percekcokan, Asnah dengan seorang rentenir dan Tukang Sulap menjaja dagangannya obat anti kecoa. Konflik berikutnya antara Tarsih dengan Julini. Tarsih yang sudah kaya dan memiliki komplek pelacuran yang maju, tidak menerima Julini sebagai sahabat lamanya. Cara hidup di kota besar, tidak gampangan. Kehadiran Julini dipandang Tarsih jika bergabung kembali dengannya hanya akan menjadi beban saja, karena Julini sudah dianggap tidak akan “produktif”. Adagan berikutnya, dari konflik ini menjadi berkembang dan komplikasi.
3)      Komplikasi
Dalam tahap komplikasi, dari konfkik yang dideskripsikan di atas, masalah menjadi berkembang, rising action. Dimulai dari persoalan baru hingga watak pun berkembang. Dengan sikap Tarsih yang curiga pada Julini, Juilini dan Roima kian berat tantangannya, dari masalah tempat tinggal hingga pekerjaan. Pajak pelacuran yang kian tinggi, Tarsih harus mengamankan dari ancaman penggusuran dengan memasang badan Tuminah, dengan memanfaatkan kekuasaan salah satu pejabat yang manjadi langgangan tetapnya Tuminah. Tukang sulap kian gencar tentang promosinya obat kecoa, Julini bergabung dengan perumahan pelacuran kelas bawah dan kelompok banci-banci, Roima mendapat pekerjaan dengan menggabungkan diri dengan komplotan bandit yang dipimpin Kumis dan Bleki dengan bantuan Tuminah. Pejabat semakin ketagihan “bersenang-senang” di pelacuran Tarsih dengan membawa tamu-tamu asing, sebagai servis proyek-proyek bantuan dengan mengatasnamakan pembangunan. 
Hubungan Roima dengan Tuminah kian intens, gingga Julini merasa kehilangan Roima. Roima jarang pulang, dia sibuk dengan dunia kerjanya dan menghabiskan waktu dengan Tuminah. Julin cemburu berat.  
4)      Klimaks
Dari permasalahan yang kian kompleks dan perkembangan karakter terjadilah puncak pertentangan, krisis. Julini dengan Roima bertengkar luar biasa setelah Julini mengetahui bahwa Roima berselingkunh dengan Tuminah, Julini lari meninggal Tuminah hingga Julini tertembak di tengah banci-banci yang sedang melawan petugas, karena banci-banci  merasa terhina kemanusiaannya oleh isi pidato petugas yang sudah merendahkan harga dirinya. Julini tertembak satpam yang sedang mengamankan situasi.
Begitupun Kumis dibunuh Tibal, kakaknya Tuminah. Tibal balas dendam, karena Kumis sudah menghacurkan masa depan Tuminah, hingga Tuminah manjadi bagian dunia gelap pelacuran.
Adegan berikutnya adalah kebakarannya kompleks pelacuran milik Tarsih dan daerah kumuh terbakar ludes. Tarsih tragis, untuk menyelematkan sertifikat dan surat-surat penting, Tarsih dengan memasuki rumahnya yang sedang dilahap api. Dia mati terpanggang.
Yang menjadi klimak dari Opera Kecoa adalah Julini mati tertembak, Komplek pelacuran dan perkampungan kumuh terbakar, dan kematian Tarsih. Inilah tragedi kemanusiaan.
5)                              Resolusi
Dalam resolusi tergambarkan melalui tindakan Roima. Dengan kematian Julini, Roima menuntut pejabat agar dibuatkan monumen Julini untuk menghargai perjuangannya, dan pejabat mengabulkannya. Patung Julini dapat diterima oleh patung-patung monumen lainnya yang sudah lebih awal didirikan. Lain halnya ketika Roima mengadukan masalah kompleks yang kebakaran, Roima membawa masa yang beringas ingin meminta pertanggungjawaban pejabat atas petaka itu.
Rombongan masa beringas yang dipimpin Roima, yang melihat pejabat dipagari dengan pasukan anti huru-hara dengan persenjataan yang lengkap, Roima memilih mundur dan mengendurkan otot-otot. Pejabat dan pasukannya sudah menantang dan Roima menenangkan massa untuk tidak terjebak pada anarkisme dan menghindari dari korban yang akan berjatuhan. Orang-orang dengan diam beranjak kembali ke got-got dengan menyanyikan “Jula-Juli Anjing Bringas”.

Ø      Simbol dalam Karakter:
 Tokoh atau Karakter sebagai Leksem
Model aktan Greimas dapat diaplikasikan dengan mudah pada lakon Opera Kecoa yang memiliki basis peran-peran aktan tempat tokoh-tokoh dan kekuatan kekuatan yang terlibat. Karakter memiliki suatu fungsi gramatikal dalam struktur drama dan satu profil aktan untuk satu karakter yang bisa ditetapkan. Greimas mendasarkan analisisnya pada tata bahasa naratif, analisis semantik pada struktrur kalimat. Gagasan terletak pada tokoh subjek bergulir bersama problematika yang dihadapinya.
Aplikasinya dalam drama Opera Kecoa, Kemiskinan dan perlakuan negara terhadap kaum miskin urban tidak mencerminkan pada hukum dan rasa keadilan sosial  berfungsi sebagai pengirim sehingga bisa beraksi atas “Subjek” yang diduduki Julini mencari “objek” berupa hidup layak secara ekonomi, hukum dan sosial untuk kepentingan para kaum urban miskin semisal, pelacur, para waria, gelandangan, bandit dan bromocorah lainnya sebagai “penerima”. Dalam hal ini “subjek” dibantu oleh Roima, Asnah, Wartawan dan Waria. Sebaliknya dalam usahanya itu mendapat rintangan dari Pejabat, Petugas, Satpam, Tamu Asing, Pasukan Anti Huru-hara, Rentenir dan Tukang Sulap sebagai “Lawan”. Berikut enam fungsi aktansial karakter yang diperlukan dalam bentuk skema:



Karakter sebagai Ensambel Semiotik
1)  Individualisasi
Penggunaan karakteristik-karakteristik yang menetapkan perbedaan bisa mensignifikasikan suatu perhatian terhadap karakter individual. Penamaan para tokoh bisa mengisyaratkan hal ini. Peran individu juga bisa mensignifikasikan entri ke dalam suatu konteks sosial kritisnya. Dalam Opera Kecoa, Roima, Julini, Tarsih, Tuminah, Asnah, Kasijah, dari segi kultural ia adalah nama-nama orang desa, orang-orang kampung. Bukan dari kultur perkotaan.
2)  Kolektivitas
Representasi karakter-karakter bisa beroperasi versus suatu perhatian  terhadap karakter yang sebenarnya. Tokoh berfungsi sebagai peran yang terkodifikasi, yakni peran yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai abstraksi sosio-kulturalnya. Julini dan Roiman terkodifikiasi sebagai pejuang kaum miskin urban untuk menuntut penghidupan yang secara ekonomi dan politik, Pejabat adalah peran yang terkodifikasi sebagai tokoh penjahat yang arogan dengan kekuasaannya, tak berprikemanusiaan dan berkeadilan.

Ø      Simbol dalam Dialog
Untuk menganalisis simbol dalam dialog drama Opera Kecoa dapat dilihat dalam tiga hal yakni, penggunaan bahasa, bentuk tuturan, dan dialog yang bermakna. 
Penggunaan Bahasa
Jan Van Luxemberg dkk (1991:59-69) mengatakan bahwa penggunaan simbol dapat dilihat dalam tiga bidang yakni pilihan kata, pola kalimat dan bentuk sintaksis, dan bentuk semantis. Sebagai contoh, penulis akan memaparkan dalam bidang bentuk semantik.
Bentuk semantik ini merujuk pada pamakaian majas dalam mengkonstruksi simbol. Dalam lakon Opera Kecoa, simbol dibentuk oleh majas metafora, metonomia (lihat dalam simbol yang berkaitan dengan Karakter) di atas. Ada juga ironi semisal, Pejabat dan Tamu-nya membicarakan kesejahteraan rakyat di tengah lapangan golf; kecoa melawan garuda. Selain itu, bagaimana mempersonifikasikan para bandit dengan anjing-anjing beringas. Para gembel diasosiasikan dengan kumpulan tai dan babi.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
Bentuk Tuturan
Dialog dituturkan dengan sifat pertukaran “saya-kamu” antara kedua tokoh dalam konteks “waktu sekarang dan di sini” tampak jelas. Kondisi-kondisi :sekarang dan di sini yang menjadi topik utama pembicaraan, tampak sering ditunjukan Julini, Roima, Tuminah, Pejabat, Tarsih, Kumis, dan Tukang Sulap. Dalam bentuk solilokui tampak diawal dalam adegan  dua yang dibawakan Roima.
Selain dalam bentuk percakapan seperti, dialog juga dibawakan dengan dinyanyikan, misalnya Julini, Pejabat, Penghuni (Orang-orang), para bandit, dan para Waria. 
Dialog yang Bermakna
Mengenai diaog yang bermakna, simbol pun dikemas dalam dialog yang bermakna dengan syarat percakapan yang bermakna seperti kuantitas, dialog tidak bertele-tele, informatif sesuai dengan keperluan, tidak berlebihan dan tidak cerewet. Dialog padat, tidak menggurui dan menjelas-jelaskan yang tidak perlu.Dalam tingkat kualitas, dialog menyampaikan kebenaran-kebanaran sastrawi dengan data-data kuat. Masalah relasinya, yakni menyampaikan apa-apa yang relevan. Dan yang terakhir masalah sikap, para pembicara (tokoh-tokoh) menghindari ambiguitas dan kesamaran ucapan. Untuk contok bisa dilihat dalam kutipan-kutipan dialog di atas.

Ø      Simbol dalam Stage Direction
Simbol dalam stage direction lebih menggambarkan latar suasana tempat, waktu dan latar sosial. Simbol stage direction juga menjadi keterangan-keterangan lakuan para tokoh. Terutama tentang performance tokoh seperti dalam bodi gerak dan kinesik dan juga untuk menjelaskan paralinguistik (nada).
Stage direction digambarkan dengan detail dan lengkap sehingga menerjemahkan dalam visual panggung, hal-hal yang menyulitkan dapat diminimalisir, misalnya komplek pelacuran, perkampungan kumuh yang penuh gubuk-gubuk, monumen-monumen dan tempat pejabat. Semua area latar untuk kepentingan blocking dapat terbaca.

Analisis dan Makna Ideologi Simbol
Dalam tahap analisis simbol dan membongkar makna ideologis dibalik simbol itu, penulis melakukan analisis dengan melihat unsur-unsur atau struktur-struktur drama yang saling mengait. Bukan anasir-anasir yang terpecah dan terpisah. Hal ini dilakukan untuk menemukan keutuhan makna ideologis dan kontekstualnya.
Dengan model analisis Roland Barthes maka prosedur analisis dapat dimulai dari tingkat pemaknaan pertama atau primer. Dalam tingkat pertama ini, sistem Barthes ditandai dengan Ekspresi (E1), Relasi (R1) dan Isi (C1)> Bentuk tingkat pertama adalah makna-makna politis ditingkat denotatif. Dan menggunakan prosedur yang serupa (R2), makna denotatif ditempatkan sebagai tanda tingkat kedua (E2) untuk menyingkap keberadaan suatu ideoilogi politik tertentu ditingkat konotatif (C2).
Beriku ini adalah simbol-simbol yang ditemukan dalam lakon Opera Kecoa karya N. Riantiarno.
Analisis Simbol
1)      Kecoa (E1) memperlihatkan (denotates R1) hidup liar malam hari di dalam got yang kotor, mencari makan, mencari penghidupan (E1). Di atas tanda denotatif (E1-R1-C1) implisit terdapat isi yang lain (C2), kecoa bila disandingkan dengan kata “opera” adalah nyanyian kaum pinggiran, suara-suara atau perjuangan kaum pinggiran, yakni kehidupan para pekerja seks, bromo corah, banci, gembel, orang yang sakit jiwa, bandit kelas teri yang tinggal digubuk-gubuk reyot, perkampungan kumuh. Kaum urban miskin perkotaan menggambarkan kehidupan yang sulit di tengah hangar bingar, kegaduhan dan kegemerlapan kota. Kaum urban miskin yang morat-marit hidupnya ditengah kekuasaan pejabat pemerintahan yang korup dan hidup mewah. Di sini semacam ada ketidakadilan.
2)      Julini dan Roima (E1) digambarkan (R1) dari desa kembali ke kota untuk mencari penghidupan (C1). Di atas denotatif ini terdapat tafsir implisit, (C2), bahwa kota tetap merupakan daya tarik, sekalipun hidup di kota membutuhkan perjuangan yang keras. Kota adalah impian, kota adalah harapan.
3)      Roima, para Waria dan orang-orang (E1) menemui (R1) Pejabat untuk meminta pertanggung jawaban ketika petugas menembak Julini dan mempertanyakan tentang rumahan Tarsih yang kebakaran begitu juga dalam waktu bersamaan  daerah kumuh itu kebakaran C1). Di atas tanda denotatif itu dapat ditafsirkan Roima dan kawan-kawan sebagai wakil orang pinggiran yang seringkali tidak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Dalam sistem demokrasi, semua orang berhak hendak menyampaikan pendapatnya. Pelacur, gembel, bandit mempunyai hak-hak politik yang sama (C2).
4)      Pejabat (E1) ditampilkan dengan (R1) sering mengunjungi tempat pelacuran, bermain golf, berbagi prosentasi proyek-proyek pembangunan, membuat monumen, dilindungi oleh petugas anti huru hara dan menyuruh menembaki dengan bedil ketika Roima dan teman-temnannya berdemo(C1). Dalam makna konotatifnya dapat ditafsirkan (C2), pejabat itu tidak memiliki integritas moral yang tinggi, hidup dalam kemewahan, kolutif dan korupsi, megalomania, tidak memiliki rasa empati untuk sebuah keadilan, menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan senjata.
5)      Petugas menghina menyadarkan ban-banci dengan nada menghina sehingga mereka memprotesnya(E1) untuk menghadang itu ia menggunakan (R1) pistol sehingga salah satu dari mereka, Julini, tersungkur dan mati tertembak (C1). Di atas denotatif itu, dapat dimaknai, petugas lemah dalam metodologi mempersuasi para banci untuk mengubah hidupnya, pesan-pesan doktriner tidak tepat. Petugas selalu menyelesaikan masalahnya dengan arogan, yakni dengan kekuasaan peluru dan pelor. Cara-cara menangai demonstrasi seperti itu adalah cara-cara yang barbar (C2).
6)      Rumah Tarsih, perumahan daerah kumuh (E1) tidak terduga kebakaran (C1). Makna konotatif ini bisa ditafsir pembakaran itu adalah salah satu teknik penggusuran. Lokalisasi dibumihanguskan dan para penghuni kocar-kacir. Bentuk penggusuran yang paling kasar dengan membakar seluruh isinya. Rumah Tarsih tidak akan dapat ganti rugi karena sertifikatnyapun ludes terbakar (C2).
7)      Tempat Pelacuran Tuminah (E1) diiklankan (R2) dalam Pos Kota dengan hadiahnya segala dan dapurnya memakai kompor gas (C1). Hal ini dapat dimaknai dengan tempat pelacuran Tarsih bukan kelas teri banyak perubahan di banding lima tahun yang lalu. Tarsih sudah kaya dan bersikaf selektif dalam menerima orang. Termasuk ditolaknya  kedatangan Julini, sekiranya mesti jadi beban. Hidup di kota tidak gampang, butuh keahlian dan Julini dipandang tarsih tidak produktif lagi. 
8)      Julini (E1) digambarkan (R1) dalam kecemasan dan cemburu luar biasa ketika Roima tidak sering pulang ke rumah apalagi nampak mesra-mesraan dengan Tuminah (C1). Di atas denotatif ini dapat ditafsirkan C2), Julini sangat menyayangi Roima, sangat mencintai Roima sekalipun tidak diikat dengan tali perkawinan yang sah.
9)      Tuminah (E1) diperlihatkan (R1) sebagai seorang pelacur yang selalu diantri dan diminati pejabat dan tamunya (C1). Di atas makna denotatif itu dapat ditafsirkan konotatifnya (C2), Tuminah, pelacur paling cantik, paling profesional dalam melayani tamu-tamunya, terutama gaya-gaya “permaianannya”. Tuminah paling pandai memuaskan tamu-tamunya sehingga pejabat selalu berkunjung dan berkunjung.
10)   Roima (E1) mengendurkan (R1) keinginan para banci dan teman-temannya untuk melawan pejabat dengan kekerasan. Roima lebih memilih jalan penyelesaian “aman” dan mundur kembali ke got, desa (C1). Tindakan Roima ini dapat ditafsirkan makna konotatifnya, yaitu (C2), Roima berpikir panjang dan sudah menghitung kekuatan, senjata tidak bisa dilawan dengan tangan kosong. Anarkisme hanya akan menimbulkan jatuh korban lebih banyak. Senjata hanya akan dikalahkan dengan pikiran dan trategi yang cerdas. Roima memiliki modal kultural hidup yang besar, seperti ketabahan, kesabaran, ada impian dan harapan di hari esok, optimis di hari depan ada perubahan dan semuanya ditanggung dengan tidak mengeluh. Roima lebih berpikir strategis dan mengedepankan pendekatan kultural, misalnya dengan meyakini pakem Jayabaya, akan datangnya ratu adil yang membawa harapan baru. Meyakini pakem jaya baya itu, adalah modal kultural bagi jenis masyarakat seperti itu, gerakan mesianis dan sinkretisme pada tingkat mereka kemungkinannya mendarah daging. Mesianis dipandang sebagai filsafat sejarah, mengandung gagasan-gagasan mengenai gerakan sejarah manusia yang linier, yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru.
11)   Bahasa pertunjukkan (E1) disampaikan (R1) tidak hanya dalam bentuk dialog tetapi juga dalam bentuk nyanyian dan gerak(C1). Bentuk lakon Nano demikian, dapat ditafsirkan adalah pertunjukan opera yang diharapkan pembacanya dapat terhibur dan dipahami dengan mudah, komunikatif. Sehingga persoalan-persoalan yang diangkat dalam naskat tersebut dapat dimengerti berbagai kalangan.
12)   Petugas (E1) menganggap (R1) banci dan para pelacur perlu dienyahkan dari kota, disemprot obat anti kecoa (C1), di atas tanda denotatif itu, dapat ditafsirkan (C2) bahwa cara pandang petugas itu bertolak pada moralitas, padahal mereka melacur bukan karena tidak bermoral tetapi lebih karena persoalan ekonomi dan jiwa. Mereka tidak punya keterampilan hidup, seperti dalam dialog Roima ketika Julini tertembak, “dia bukan tidak ingin menjadi sekretaris dan direktis, mereka hanya punya keahlian sebatas memijat”.
13)   Pemilihan nama tokoh, kaum pinggiran diwakili oleh nama-nama yang jelas seperti Julini, Roima, Tarsih, Tuiminah, Kumis, Bleki, Asnah, Kasijah (E1) dipertentangkan (R1) dengan Pejabat, Petugas, Tukang Sulap,  Satpam, sebuah nama dan identitas yang terbuka (C1). Di atas simbol itu, dapat ditafsirkan makna konotatifnya (C2), Nano ingin menyamarkan identitas pejabat, biar longgar dan kabur. Nano akan terhindar ketika dilihat secara mimetik. Nano akan di dalam posisi aman. Pejebat adalah identitas abu-abu. 
14)   Kaum urban miskin, kaum marginal.pinggiran, kaum kecoa (E1) memperjuangkan (R1) demokrasi dan  kesejahteraan ekonomi (C1). Di atas tanda denotatif itu implisit terdapat isi lain (C2), Demokrasi memerlukan landasan kesejahteraan ekonomi. Demokrasi tanpa kesejahteraan adalah rapuh. Demokrasi dapat beresiko jika pondasi ekomoni masih rendah. Demokrasi bisa roboh seketika oleh ketidak sabaran memikul dan menahan sakitnya dera kemiskinan. Di atas kemiskinan memang tipis sekali jarak antara demokrasi dan revolusi. Telah dibuktikan oleh Roima dengan menyerukan sabar, dan tabah, mengendurkan otot dan mengedapankan pikiran dan akal tidak terjadi anarkisme sekalipun pejabat sudah menodongkan pelor dan bedil. Nano memberikan solusi yang tepat diakhir cerita ini.Dia berpihak pada demokratisasi dan perjuangan kesejahteraan ekonomi.
      
Ideologi Simbol
Dimulai dengan mengidentifikasi simbol. Lakon Opera Kecoa karya N. Riantiarno ini, struktur simbolnya dibongkar untuk diketahui seperti apa dan bagaimana simbol itu diopersikan atau “atau simbol yang bekerja”. Kemudian simbol itu dimaknai secara denotatif untuk selanjutnya dikembangkan dalam makna konotatif sesuai dengan prosedur metode analisis Roland Barthes.
Pemilihan elemen simbol menjadi data yang perlu dianalisis, karena keberadaan simbol seperti diakui dalam proses kreatif seniman dapat menjadi variabel untuk membaca dan melihat sikap politiknya. Dengan demikian, simbol adalah representasi pandangan politik problematika seniman terhadap semesta yang dilihatnya.
Simbol yang dioperasikan Nano dalam drama Opera Kecoa telah membawa pencerahan dan pandangan lain terhadap kaum urban miskin, kaum  pingggiran, kaum yang dimetaforakan hanyalah kecoa.Dalam pandangan umum, seperti pelacur, waria, gelandangan, bandit kelas teri, bromocorah, cabo, germo  adalah “sampah masyarakat”. Lain halnya Nano, sebagai seniman memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan umum itu. Ia sangat dalam posisi sebagai seniman teater bagaimana lakon menjadi penting untuk menyuarakan kontrol sosial di masyarakatnya. 
Dalam drama Opera Kecoa, orang-orang pinggiran ini diposisikan sebagai pejuang, sebagai pahlawan. Tema demokrasi, tuntutan keadilan, kemiskinan, pemerintah yang adil, isu perempuan, adat perkawinan, diskriminasi rasial dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat mendomasi isi tubuh lakon Opera Kecoa.
Suara Nano adalah suara kaum urban kota, pinggiran. Keberpihakan dia kepada kaum pinggiran sendiri juga sudah menjadi pesan tersendiri. Suara-suara kritik sosial, ekonomi  dan politik, terutama dalam menyoal kasus-kasus (1) penggusuran dengan dengan membumihanguskan perumahan pelacuran dan daerah kumuh; (2)  membubarkan masa yang demonstrasi dengan kekuasaan pelor dan bedil; (3) pejabat yang tidak memiliki integritas moral yang baik terbukti dengan sering “main” di lokalisasi. Selain itu pejabat juga korupsi dan kolutif; (4) Nano memberikan pembelajaran demokratisasi  politik terhadap institusi-institusi partai politik sebagai saluran aspirasi. Institusi kaum pinggiran lebih beradab dalam menyuarakan politiknya, tidak barbar seperri partai politik yang sering menggalang masa untuk menekan lawan politiknya hingga sampai terjadi anarkisme. Nano seperti sedang melakukan dekonstruksi terhadap institusi yang menyokong demokrasi. Nano sedang mengejek dan meledek demokrasi yang dijalankan oleh golongan yang berdiri di atas kaki politikus dan merasa atau seolah-olah golongan intelektual.
Ketika kaum pinggiran memperjuangkan demokrasi dengan etika-etika politik dan strategi yang cerdas, dengan memaksimalkan modal kultural yang diimbangi dengan kerja keras mencari penghidupan, hal ini dimaknai demokrasi bisa dipertahankan dengan dimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang tumbuh dan berkeadilan, berpihak kepada rakyat bukan monopoli pemilik alat-alat produksi atau kaum oligarki, yang berlindung dibalik regulasi yang dikeluarkan pejabat.
Konflik kaum pinggiran dengan Pejabat, Petugas dan Satpam sebagai metafor pertentangan Nano dengan Pejabat Orde Baru ketika melaksanakan kebijakan politiknya. Orde baru dikritik dan diserang Nano dengan babak belur. Ia menguliti kejahatan politik Orde baru dalam representasi teater. Kerasnya Nano menghajar Orde Baru, sekeras Orde Baru melarang Opera Kecoa  untuk dipentaskan. Begitulah sebuah hukum Archimides bekerja. Kritik Nano terhadap Orde Baru berbanding lurus dengan politik pelarangan itu. Demokrasi dan keadilan ekonomi yang diperjuangkan Nano berbanding lurus dengan tidak berjalannya demokrasi politik dan ekonomi dalam Orde Baru.
Selain itu, ketika Nano memilih institusi kaum pinggiran untuk menyuarakan aspirasi politik demokrasi dan politik ekonomi adalah sebuah pesan ideologis juga, bukan untuk sebuah tindakan yang artifisial. 
Kaum pinggiran ini melawan budaya dominan yang digenggam kuasa Pejabat, Petugas, Satpam, Petugas Anti Huru-Hara, Rentenir dan Tukang Sulap. Kaum pinggiran di tangan Nano menjadi berdaya secara politik, yang sementara pandangan umum selalu berpandangan picik, pinggiran adalah orang kecil, orang lemah, miskin dan bodoh. Kaum pinggiran berhadapan dengan kekuasaan (budaya dominan) merupakan sikap budaya tanding yang menolak tunduk pada kekuasaan, kekuasaan adalah represif.

Kesimpulan
Penulis berhasil menemukan simbol, seperti apa dioperasikan Nano dalam naskah lakon Opera Kecoa. Selain itu juga membongkar makna ideologisnya. Berikut ini adalah temuan-temuan yang penulis maksud.
1)            Simbol dideskripsikan dalam perstiwa-peristiwa yang satu sama lain berhubungan dengan longgar, urutan peristiwa-peristiwa dan adegan-adegan tidak diikat dengan ketat oleh hukum sebab akibat. Dengan kata lain, konstruksi plot dalam lakon ini pada umumnya, dari adegan ke adegannya bersifat episodik.
2)            Simbol tersebar dalam konstruksi plot dari mulai eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks dan resolusi.
3)            Simbol dapat dilihat dalam tokoh melalui umur, jenis kelamin, penampilan, kepribadian, tingkah laku, perbuatan dan latar sosialnya.
4)            Dalam skema aktansial, peta simbol dapat dibaca dengan distinateur (pengirim): kemiskinan dan perlakuan negara terhadap kaum miskin urban tidak mencerminkan rasa keadilan sosial dan hukum,  berfungsi sebagai pengirim sehingga “Subjek” yang diduduki Julini beraksi mencari “objek” berupa hidup layak secara ekonomi, hukum dan sosial dalam rel demokrasi untuk kepentingan para kaum urban miskin semisal, pelacur, para waria, gelandangan, bandit dan bromocorah lainnya sebagai “penerima”. Dalam hal ini “subjek” dibantu oleh Roima, Asnah, Wartawan dan Waria. Sebaliknya dalam usahanya itu mendapat rintangan dari Pejabat, Petugas, Satpam, Tamu Asing, Pasukan Anti Huru-hara, Rentenir dan Tukang Sulap sebagai “lawan” atau opposant.
5)            Simbol-simbol dalam karakter lakon Opera Kecoa, selain sebagi leksem dalam aktans juga berupa fungsi metonomi, metafora, referen dan konotasi. 
6)            Simbol-simbol dikonstruksi dengan diksi-diksi yang konkret dan khusus, tidak bahasa resmi, jargon dan didominasi kata benda  juga sifat; pola kalimatnya pendek, kecenderungan kalimat tunggal, sifat kalimatnya (pernyataan, pertanyaan, seruan dan perintah), rancang bangun kalimatnya berupa pengulangan dan penghilangan; gaya semantisnya pada majas metafor, metonomi, dan ironi.
7)            Simbol menggunakan diksi dialog dengan bahasa keseharian sehingga mencerminkan kewajaraan.
8)            Simbol tertata dalam dialog yang bermakna pada tingkat kuantitas, kualitas, relasi dan sikap.
9)            Simbol dalam stage direction menggambarkan latar suasana tempat, waktu dan latar sosial. Selain itu, menjadi keterangan-keterangan lakuan para tokoh. Terutama  performance tokoh dalam bodi gerak dan kinesik dan stage direction dapat menjelaskan paralinguistik (nada).
10)         Makna ideologis dalam drama Opera Kecoa adalah (1) berpihak pada kaum urbanmiskin/kaum pinggiran, (2) mendorong politik demokratisasi dan kritik sosial ekonomi, (3) kuam pinggiran sebagai pahlawan, (4) diskriminasi rasial dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat. (5) lakon/ drama bisa digunakan untuk memberdayakan orang-orang pinggiran dan menyoroti perjuangannya supaya masyarakat umum bisa mengerti kehidupan yang lebih baik dan dapat membantu kondisi sosialnya.
11)         Adanya korelasi langsung antara kehidupan politik dengan lakon  yang diungkap dalam penelitian ini, pemahaman posisi seniman dan penguasa poltik bahwa keduanya dalam  satu wacana simbolik.
12)         Opera Kecoa adalah ekspresi politik masyarakatnya untuk melawan kekuatan penguasa dan keadaan sosial yang tak adil.

Nandang Aradea, Dosen Prodi Diksatrasia, FKIP Untirta. S-1 di IKIP Bandung (UPI). Menulis beberapa naskah drama, sekaligus menjadi sutradara. Tulisannya tersebar di berbagai media seperti The Jakarta Post, Media Indonesia, Pikiran Rakyat,......Pernah menggali ilmu di Australia dan Rusia. Menjadi pemakalah nasional dan internasional. Setelah sukses mementaskan “Bicaralah Tanah” di berbagai tempat, kini sedang menyiapkan pementasan selanjutnya “Perempuan Gerabah?”

Firman “Venayaksa” H, Dosen Prodi Diksatrasia, FKIP Untirta. S-1 di UPI, S-2 di UI. Menulis ratusan artikel/karya sastra dan dimuat di beberapa media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Sabili, Anida, Lampung Post, dll. Menjadi pemakalah nasional dan Internasional. Buku Terakhir, “Merdeka di Negeri Jawara” (Lumbung Banten, Nop 2007) Semenjak tahun 2003 menjadi relawan di Rumah Dunia. 

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Aston, Elain & George Savona. 1991. Theatre As Sign-System: A Simiotics of Text and Performance, Routledge: London.
Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS.
Christomy (ed). 2004. Semiotka Budaya. Depok: Pusat Penelitian dan Budaya. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.
Culler, Jonathan. 2003. Barthes. (terj. Ruslani).Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Dahana, Radhar Panca. 2000. Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia. Magelang: IndonesiaTera
Damono, Sapardi Djoko dkk. 2006. Antologi Drama Indonesia 1989-2000, Jilid 4. Jakarta: Amanah Lontar. 
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampoai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------  1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik dan Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1998. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Herusatoto, Budiono.2000.Simbolisme dalam Bahasa Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kridalaksana, Harimurti.2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowidjoyo. 1987. Transformasi masyarakat Budaya. Jakarta: Sinar Harapan.
Kurniawan.2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Luxemburg, Jan Van. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Miles, B. Matthew dan A. Michel Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada Univerity Perss.
Riantiarno. N. 2007. Di Dalam dan Di Luar Panggung (dalam booklet pementasan naskah Kunjungan Cinta) Jakarta.
Sahid, Nur. 2004. Semiotika Teater. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI.
Saini KM, Nur Sahid (Ed). 2000. Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia
Satoto, S; Zaenudin Fanani (Ed). 2000. Sastra Ideologi Politik dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiah University Press
Sitorus, Eka D. 2002. The Art of Acting. Jakarta: Gramedia.
Sunarto.2000. Analisis wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak. Semarang: Penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya serta Ford Foundation.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar