Senin, 24 Januari 2011

JOHN WOOD: MENJADI MANUSIA BERGUNA

Oleh Firman Venayaksa*)

Penulis: John Wood
Jumlah halaman: ix + 367 hlmn
Penerjemah: Widi Nugroho
Penyunting: Hermawan Aksan, Salman Faridi
Penerbit: Bentang


Gola Gong, seorang penulis sekaligus pendiri komunitas literasi “Rumah Dunia” pernah mengatakan bahwa menjadi orang berguna jauh lebih penting dari pada sekadar menjadi orang penting. Seyogyanya kata-kata ini menarik untuk disimak. Dari sekian banyak waktu yang kita gunakan untuk beraktivitas dan setumpuk rutinitas, agaknya kita harus merenung lebih dalam, jangan-jangan apa yang kita lakukan tidak berguna untuk orang banyak. Di masa kekinian, di mana kita hidup dalam arus pop culture, manusia cenderung seperti mesin; mengulang-ulang pekerjaan, menuntut pelbagai skrup material dan obeng kekuasaan tetapi lupa untuk mengencangkan baut kebergunaan dengan masyarakat.
Jauh hari sebelumnya, Albert Einstein sering dikutip kalimatnya untuk memotivasi banyak orang. Dia mengatakan, “berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.” Titik tekan kebergunaan inilah yang dijadikan muara bagi John Wood, seorang eksekutif di Microsoft yang rela menjadi seorang relawan, mengumpulkan sekaligus membagi-bagikan buku, membangun 3600 perpustakaan. Ketika membaca tulisannya Leaving Microsoft to Change The World saya cukup tercengang sekaligus takjub dengan apa yang dilakukannya. Bayangkan, dia rela untuk meleburkan dirinya membantu mencerdaskan orang-orang. Di mata saya, John Wood adalah orang-orang terpilih dan layak disejajarkan dengan orang-orang gila pemenang nobel itu. Dengan usia yang relatif muda, gagasannya melampaui orang-orang disekelilingnya.
Buku ini dimulai dengan pengalamannya berkelana ke tengah-tengah pegunungan Himalaya dan bertemu dengan Pasuphati yang mengajaknya ke sebuah sekolah yang sudah tak layak jika dikatakan sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Lantas perkataan seorang guru Bahasa Inggris di sekolah itulah yang tiba-tiba mengubah cara pandang dirinya. “Kami mohon, Pak, saat Anda kembali nanti dengan buku-buku, Anda akan disambut gembira. Anak-anak,  kepala mereka akan membentur langit-langit karena melompat-lompat kegirangan.” Walaupun dihadirkan dalam bahasa metafor, ternyata ungkapan tersebut membuat John Wood tergugah hatinya, kemudian memastikan dirinya untuk mengumpulkan buku-buku dan segera mengirimnya ke tempat tersebut.
Buku ini menghadirkan sosok humanis dari seorang John Wood. Padahal jika membaca masa lampaunya sebagai seorang eksekutif muda, agaknya kepedulian dirinya dengan gerakan literasi--apa lagi tergugah dengan keadaan perpustakaan sekolah di Himalaya—begitu terkesan utopis.
Saya adalah mantan seorang spesialis dalam pasar internasional. Sehingga saya selalu mencoba berada di tujuh tempat sekaligus. Ini seperti permainan twister yang dimainkan pada skala global. Berada di Johannesburg pada hari Jumat dan di Taiwan pada hari Minggu siap melakukan presentasi, menghadiri pertemuan dan melakukan wawancara pers. (hal. 7)
Di sinilah letak kenikmatan membaca buku ini. Persoalan memutuskan sesuatu. Menjadi berguna dalam sudut pandang yang ganjil. Bahkan terkesan heroik. Sebagai seorang manusia biasa, John Wood tentu saja berkelahi dengan dirinya sebelum memutuskan sesuatu. Bekerja di sebuah perusahaan raksasa, dengan gaji yang sangat besar, ditambah dengan kepercayaan perusahaan untuk membiayai ke manapun dia pergi adalah pekerjaan yang sangat menggoda siapapun. Sehabis pergulatan batin itulah, seperti seorang rabi tua yang hendak bertobat dikarenakan menggunungnya dosa-dosa dia memilih jalan sunyi, melakukan sebuah pekerjaan baru yang sangat tidak populer sama sekali dan ia sangat sadar bahwa memutuskan memilih berarti (juga) meninggalkan sekelompok orang dan menemukan sekelompok asing.
Namun sekelompok asing yang dia temui bukanlah sekelompok asing dengan kantor bintang lima dan kepribadian bintang nol seperti yang sering ditemuinya ketika di microsoft. Setidaknya mereka memiliki ide yang senada. Lalu merekapun bersepakat membuat roam to read, sebuah “perusahaan” nirlaba yang concern pada dunia sosial, berhasrat membobol uang-uang CSR perusahaan raksasa. Di sinilah konflik kembali terjadi. Jika dulu dia dikejar-kejar oleh perusaha rekanan untuk bernegosiasi, kini dia seperti ikan yang kehabisan air, menjadi lemah dan berusaha meyakinkan kepada para pemegang dana untuk memastikan agar dananya segera cair dan digunakan dengan bijak untuk menjadikan uang tersebut sebagai modal membangun perpustakaan, membawakan pelita aksara kepada ribuan anak di seluruh dunia. Ketika dalam kondisi semacam itu, John Wood tidak patah semangat, dia terus berusaha untuk presentasi ke tempat-tempat lain. Keinginan untuk menjadi orang berguna terus meluap-luap dalam setiap langkahnya.
Agaknya apa yang dilakukan John Wood patut ditiru oleh para penggiat komunitas literasi/ Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Indonesia. Sebagai sebuah negara yang terus berkembang, kini banyak sekali orang-orang yang peduli dengan dunia literasi lalu membangun tempat baca di beberapa tempat. Pemerintahpun tak kalah sigap, bahkan membuat Subdit Budaya Baca di Depdiknas agar menggenjot masyarakat untuk menumbuhkan minat baca yang mengklaim lebih dari 5000 TBM didirikan. Sayangnya hingga kini banyak persoalan yang terjadi. Dana blockgrant yang disebarkan antara 10-50 juta/ TBM tidak tepat sasaran karena penilaian hanya dilihat berdasarkan proposal. Monitoring dan evaluasi dilakukan tidak menyeluruh dan momentumnya lebih karena jika TBM tersebut mendapatkan dana, sehingga yang terjadi adalah menjamurnya TBM-TBM fiktif. Mentalitas semacam ini yang membuat TBM lain, yang memiliki integritas kuat terabaikan. Dan kelemahan lain yang terdapat di pengelola TBM adalah kurangnya kesadaran berjibaku untuk menggandeng perusahaan suasta dalam membantu TBM tersebut seperti apa yang dilakukan John Wood.
Membaca buku ini, kita diajarkan bagaimana caranya mengorganisir diri dari hasrat yang meledak-ledak menjadikannya sebuah modal kekuatan baru. Buku ini juga memberikan kiat-kiat yang tak menggurui agar kita selalu bertanggungjawab ketika memutuskan sebuah perkara dan harus besar jiwa ketika apa yang kita harapkan tak bisa ditangkap sebagai sesuatu yang membanggakan bagi orang lain.
Tanah Air, 2008
*) Penulis adalah Presiden Rumah Dunia dan dosen Jurusan Bahasa dan Sastra-Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar