Senin, 24 Januari 2011

KEBUN SATWA INDONESIA


KEBUN SATWA INDONESIA
Oleh Firman Venayaksa

Pergulatan wacana keindonesiaan akhir-akhir ini tampaknya tak lepas dari persoalan nama-nama satwa. Marilah kita absen satwa-satwa yang kerap muncul di benak kita dewasa ini. Belum lama kita disuguhi dengan istilah cicak dan buaya (vis a vis KPK dan Polri), lantas kita diajak bertamasya menuju gurita Cikeas beberapa minggu lamanya. Tak lama berselang ketika satwa-satwa itu kehilangan pamornya, muncul pula binatang lain bernama SiBuYa yang ikut berdemonstasi.
Cicak dan buaya, gurita dan kerbau adalah binatang-binatang yang sekarang sedang naik daun. Pada generasi sebelumnya kita sudah tak asing mendengar nama cecunguk, tikus politik, kucing garong dan seterusnya. Ternyata wacana keindonesiaan kita memang dipenuhi dengan istilah-istilah kebinatangan. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita, mengapa kita begitu dekat dengan istilah-istilah semacam ini? Jangan-jangan, gara-gara kita hidup di wilayah tropis maka kita begitu gandrung dengan satwa. Dengan kerap kali kita memunculkan istilah satwa dalam wacana keindonesiaan ini, seharusnya orang-orang Green Peace mulai berpikir menganugerahi negara kita sebagai negara pencinta satwa.

Simbol dan Manusia
Cicak yang mewakili KPK dan buaya yang mewakili Polri adalah simbol yang harus kita telan mentah-mentah sebagai masyarakat yang haus informasi. Susno Duaji dengan tiba-tiba telah menjerat opini publik dan tidak sedikitpun memberikan peluang kepada kita untuk berpikir kritis. Di dalam sejarah kebinatangan, tentu tak pernah kedua binatang itu bertemu apa lagi berkelahi; akan beda rasanya jika simbol yang dimunculkan itu tikus dan kucing. Sifat dua satwa ini tentu masih bisa dipertanggungjawabkan. Dengan arogansi Susno yang ketika itu masih menjabat sebagai orang ketiga di kepolisian, adalah wajar jika ia ingin mencitrakan bahwa kepolisian jauh lebih gagah, hebat dan segala-galanya dibandingkan KPK yang masih belajar merangkak di tembok rumah bernama Indonesia dan sesekali “memakan nyamuk” yang tak seberapa jumlahnya. Pada kasus ini, simbolisasi menjadi cacat karena hanya menitikberatkan pada sifat arbitrer tanpa memikirkan konvensi yang ada di masyarakat. Kemunculan istilah cicak dan buaya ini pada akhirnya (mengikuti gaya Menkeu) berdampak sistemik terhadap anasir-anasir tafsir yang seharusnya mencuat di kalangan masyarakat.
Tak terkecuali, keunikan simbolisasi ini diperagakan juga oleh Aditjondro, pembuat buku “Gurita Cikeas”. Secara denotatif, gurita adalah jenis binatang laut yang memiliki tubuh besar. Hal paling penting dari gurita adalah memiliki tangan (atau kaki? Maaf, saya bukan pencinta gurita) yang sangat banyak. Dilihat dari segi konotatif, gurita diasosiasikan dengan keserakahan, sementara Cikeas sebagai nama wilayah menjadi totem pro parte dari keluarga Presiden. Kemunculan idiom ini tentu menjadi perbincangan yang sangat hangat. Bukunya betul-betul menjadi gurita di masyarakat. Sayangnya, tak sedikit juga orang-orang yang tersudutkan dengan data-data yang dimunculkan dalam buku tersebut. Keberatan dari pelbagai pihak malah membuat penulisnya sibuk menangkis respon-respon luar biasa itu. Ternyata malah kini gurita melilitnya dan menenggelamkan nama Aditjondro sendiri.
Satwa selanjutnya yang hingga kini masih menjadi obrolan hangat adalah ketika ada pendemo yang membawa kerbau sebagai simbolisasi. Presiden SBY bahkan secara langsung menginterpretasikan maksud dari para pendemo tersebut. Intinya ia merasa tak nyaman atas demo-demo yang menurutnya tidak beretika dan jauh dari estetika. Bahkan SBY dengan serta-merta menjelaskan makna-makna yang muncul dan menyudutkan dirinya seperti gemuk, lamban dan seterusnya.
Simbolisasi yang dimunculkan oleh para pendemo tersebut tentu bukan tanpa alasan. Ikhwal yang paling jelas adalah bagaimana agar target (yang didemo) merespon. Jadi, simbol-simbol yang dihadirkan tersebut memiliki nilai ideologi yang jelas. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bakhtin bahwa ideologi adalah sebuah tanda. Hal ini diperkuat oleh Roland Barthes bahwa pada tingkat konotatif, di tahap skunder, akan muncul makna ideologis. Mengutip pendapat tersebut, jelaslah bawa mendatangkan kerbau sebagai sebuah simbol ternyata menjadi sangat efektif untuk “memediasi” antara simbol dan yang diwakilinya.
Di dalam kasus semacam ini, tentu SBY dibuat gerah, tetapi kemunculan tafsir yang langsung dari dirinya malah akan menutup tafsir-tafsir lain. Tentu saja konteks dan atribut lain seperti foto SBY (ikonik) yang ditempelkan di belakang kerbau atau kerbau tersebut yang diberi nama SiBuYa yang secara jelas memunculkan tiga huruf S-B-Y memang mempersempit tafsir lain. Tetapi, sebagai sebuah simbol, sah-sah saja jika ada tafsir lain.
Dalam konteks perpolitikan kita, kerbau/ banteng sebetulnya lebih kuat disandang oleh PDI Perjuangan. Dengan demikian, tafsir simbolik itu bisa saja mengindikasikan bahwa PDI Perjuangan “ditunggangi oleh” orang-orang SBY, apa lagi jika dikaitkan dengan opini yang berkembang mengenai Century-gate yang mengarah pada pemakzulan. Dengan demikian, simbol ini pun bisa ditafsirkan sebagai media komunikasi kepada masyarakat dalam menyikapi hal-ikhwal ketidakberesan dan inkonsistensi para politikus. Memaknai simbol adalah memunculkan ruang-ruang kritis. Pemaknaan tidak bisa hanya kita dengar orang-orang tertentu yang secara geer ingin dicitrakan sebagai orang yang terdzalimi.

Satwa dan Kita
 Sebetulnya di dalam keseharian kita, nama-nama satwa sudah begitu dekat. Bahkan jika kita menilik dalam sejarah kita, tak sedikit nama-nama raja/ patih diambil dari nama sastwa; Hayam Wuruk dan Gajah Mada misalnya. Perlambang yang diangkat dari nama satwa bukanlah hal baru. Ia bisa menjadi perekat rakyat dalam simbolisasi kenegaraan, bahkan bisa juga menjadi nama-nama julukan untuk memunculkan citra tertentu secara personal.
Pada masyarakat Sunda, untuk memunculkan kesan berteman akrab misalnya, nama anjing bahkan menjadi pengganti orang pertama untuk sapaan (hal ini berlaku pada bahasa sunda kasar dan pada pengguna tertentu). Bahkan di Lebak dan Pandeglang, menurut asumsi beberapa peneliti bahasa, partkel –jing yang secara masif  dipakai oleh semua lapisan pengguna bahasa tersebut disinyalir diambil dari kata anjing dengan alasan untuk memunculkan egaliterian dan keakraban.
Persoalannya, nama-nama (simbol) satwa ini menjadi ganjalan dan menghadirkan kesan ketidaksopanan dewasa ini terutama jika dikaitkan dengan pengguna bahasa dan konteks sosial yang sedang terjadi. Situasi politik yang rentan  dan tidak sehat seperti di Indonesia jelas hanya akan memunculkan friksi-friksi yang lebih menitikberatkan pada pergunjingan simbol tetapi melupakan esensi yang hendak dibidik dari kemunculan simbol tersebut. Situasi yang tidak sehat hanya akan memproduksi makna-makna yang tidak bersahabat.

Tanah Air, 2010

*) Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Untirta, Presiden Rumah Dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar