Senin, 24 Januari 2011

Pikukuh Adat Baduy dalam Menjaga Keselarasan Alam dan Manusia



 oleh Firman Venayaksa


Pendahuluan
Bencana alam di Indonesia yang terjadi secara beruntun belum lama ini seperti bencana air bah di Wasior, meletusnya gunung Merapi di Jogjakarta dan bencana gelombang Tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, telah membuat Indonesia berduka. Orang-orang meninggal dalam sekejap, ribuan penduduk menjadi pengungsi di barak-barak, jutaan lainnya resah atas ketakutan yang mungkin bisa terjadi di lingkungannya. Keadaan ini menjadikan Indonesia sebagai “laboratorium bencana” karena disinyalir oleh sejumlah peneliti, masih banyak tempat-tempat lain yang diprediksi akan mengalami hal serupa. Bencana alam yang beruntun itu telah menjadikan kepanikan di pelbagai wilayah di negara ini.
Keprihatinan berkepanjangan tersebut seyogianya menjadikan manusia-manusia Indonesia mengevaluasi diri mengenai pelbagai aspek yang berkait-kelindan dengan lingkungan kita. Selain struktur dan konstruksi geografis Indonesia yang memang rentan dengan bencana alam, masyarakat sebagai pemakai sekaligus penikmat alam ini harus memiliki kesadaran yang utuh akan keberadaan bumi yang kian menua. Eksploitasi alam yang berlebihan sebagai salah satu faktor terjadinya mencana alam, kerakusan dan ketamakan umat manusia telah direspon oleh bumi secara cepat dan tak terduga. Teknologi yang diagung-agungkan oleh manusia sebagai puncak ilmu pengetahuan rupanya tak bisa membendung “kemarahan” alam. Realitas ini telah menjadikan Indonesia—dan umat manusia di muka bumi dengan segala perangainya—tak hanya diteror oleh bencana alam yang tak terduga itu, namun lebih mengerikan lagi, kita juga diteror oleh bencana sosial yang tak pernah kita antisipasi.
Bencana sosial yang dimaksud adalah perangai konstruksi sosial kita yang akut dan kerap melanggar etika/ norma-norma alamiah seperti korupsi, kecurigaan yang berlebihan terhadap sesama, saling menghancurkan antarkomunitas,  mementingkan diri sendiri dan seterusnya. Imbas bencana sosial tentu ada implikasinya terhadap ruang lingkup alam. Asumsinya, interaksi sesama manusia saja tidak diindahkan apalagi hendak menjaga alam sebagai fitrah kita sebagai penduduk bumi. Jadi kelahiran bencana alam erat kaitannya dengan bencana sosial dewasa ini.
Respon etika manusia terhadap alam dewasa ini menjadi tidak wajar. Selain itu, kebudayaan populer sebagai salah satu pembentuk karakteristik dan etika manusia-kekinian, telah menjadikan nilai-nilai instan sebagai pondasi peradaban. Alur percepatan (instanisasi) ini mengakibatkan bumi hanya menjadi subordinat dari issu global village. Semua orang hendak terkoneksi secara cepat dan ingin serba mudah. Alih-alih, terciptalah produk-produk tertentu untuk mendukung instanisasi ini seperti pertambangan, gadget, kosmetik, plastik hingga makanan instan.  Akibatnya produk-produk teknologi yang dibuat untuk memudahkan koneksi antarmanusia itu tidak didukung oleh langkah antisipasi terhadap kerusakan alam, sehingga—dari stimulan negatif secara terus menerus---pada titik tertentu, alam akan merespon juga secara negatif. Sampah-sampah dari instanisasi itulah yang menghancurkan alam dan pada akhirnya (juga) menghancurkan tata kehidupan manusia.
Untuk mengatasi masalah lingkungan hidup yang terancam dengan segala sub-sistem yang menelingkupinya, pada tahun 1972, diadakanlah sebuah konferensi tentang lingkungan hidup di Stockholm. Konferensi ini yang pada akhirnya menjadikan masalah lingkungan sebagai masalah internasional (baca Kristanto, 2004: 140) Dari sinilah para pemikir, teorisi dunia dan relawan lingkungan memulai gerakannya. Isu “selamatkan bumi” terus dilakukan. Diskusi dan seminar gencar dilaksanakan. Pelbagai kesepakatan mengenai penyelamatan bumi antarkepala negara ditandatangani, begitupun dengan elemen masyarakat lainnya, termasuk wilayah sastra dan kebudayaan. Pada wilayah ini, muncullah istilah ecocriticism.



Ecocriticism dan Folklor
Ecocriticism atau sastra hijau adalah kritik sastra yang mengkaji karya sastra dari perspektif ekologis. Sebagai sebuah metode pendekatan kritis, ecocriticism pertamakali dipakai pada akhir 1980 di Amerika dan awal tahun 1990 di Inggris dengan istilah green studies. Berkembangnya ecocriticism di Amerika Serikat, ditandai dengan berdirinya The Association for The Study of Literature and Environment (ASLE) pada tahun 1992 yang secara rutin mengadakan pertemuan untuk mencari kemungkinan kerjasama antara peneliti sastra dengan para aktivis gerakan lingkungan. Pada perkembangan terkini, ecocriticism mengalami perkembangan pesat di Amerika Serikat ketika isu pemanasan global mulai menjadi isu internasional. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh paradigma yang salah dalam memandang alam (Maimunah, 2009: 5).
Pada umumnya, teori sastra mempelajari hubungan antara teks, pengarang dan dunia (dalam pengertian kehidupan sosial masyarakat), sedangkan green studies meluaskan dunia itu tidak sekadar kehidupan human, tetapi juga mencakupi nonhuman, yaitu lingkungan fisik. Ecocriticism mentransformasikan konsep ini menjadi gerakan sosial yang akan membawa manusia pada munculnya kesetaraan antara manusia dan lingkungannya dan tidak lagi menempatkannya dalam oposisi biner antara yang menguasai dan dikuasai, ecocriticism mendorong perubahan kanonisasi sastra dengan memasukkan karya-karya yang mengangkat isu-isu lingkungan, tidak hanya sebagai sebuah pendekatan, tetapi sebagai alat pedagogis, dan menghubungkan studi sastra dengan bumi untuk melihat bagaimana hubungan manusia dengan bumi tempatnya berpijak (Glotfelty, 1996: xix, Maemunah, 2009: 15-18).
Secara umum konsep Ecocriticism lebih dititikberatkan pada teks sastra (tertulis) sebagai sebuah objek penelitian. Namun dari beberapa kriteria yang muncul setelah mendalami pendekatan ini, folkor yang berkembang di masyarakat juga memiliki potensi untuk “dibaca” oleh Ecocriticism. Hal ini dimungkinkan mengingat folklor lahir dari masyarakat lisan yang “dekat dengan alam.” dan terlibat secara penuh di dalam penciptaannya. Kendati demikian, kita harus memilih folkor yang sesuai secara tematis dengan tema lingkungan, mengingat begitu luasnya ruang lingkup folklor tersebut. Agar lebih jelas, penulis mendedahkan kembali batasan dan ciri-ciri folklor.
Menurut Alan (dalam Danandjaja, 1997: 1) folklor adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri folklor yang dikemukakan oleh Danandjaja (1994: 2-4) dengan merujuk beberapa pendapat, mengemukakan ciri pengenalnya, yaitu:
  1. penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan atau disertai gerak isyarat dan alat pembantu pengingat;
  2. bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar, disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi);
  3. berada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda;
  4. bersifat anonim;
  5. biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola;
  6. mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif;
  7. bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum;
  8. menjadi milik bersama kolektif tertentu, setiap anggota kolektif yang
  9. bersangkutan merasa memilikinya; dan
  10. pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali tampak
  11. kasar, dan terlalu spontan.


Refleksi terhadap Pikukuh Baduy
Objek yang akan dianalisis dari tulisan ini adalah mengenai “pikukuh” yang berkembang di masyarakat Baduy. “Pikukuh” adalah sebuah tata cara kehidupan masyarakat Baduy dengan konsep tanpa perubahan. Artinya mereka memegang teguh kealamiahan untuk menjaga keseimbangan hidup antara alam dan manusia. Kendati hukum-hukum itu tidak dimunculkan secara tertulis, akan tetapi “pikukuh” tersebut tetap menjadi pedoman bagi masyarakat Baduy. Untuk menjaga “pikukuh” tersebut, maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut “buyut.” (dalam bahasa Indonesia berarti tabu atau larangan).
Suku Baduy adalah masyarakat adat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sebutan Urang Baduy bagi seluruh penduduk Kanekes yang tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu bukanlah berasal dari sebutan mereka sendiri. Orang Belanda menyebut mereka badoe'i, badoei, badoewi, Kanekes dan Rawayan (van Hoevel,1845; Jacob and Meijer, 1891; Pennings,1902; Pleyte, 1909; van Tricht, 1929; dan geise, 1952). Penduduk Islam Banten juga menyebut mereka Urang Baduy (orang Baduy), yang besar kemungkinan disebabkan oleh anggapan yang menyamakan dengan kelompok masyarakat pengembara di Arab, orang Badawi. Kemungkinan lain ialah sebutan diri itu diambil dari nama Sungai Cibaduy atau Gunung Baduy yang berada di wilayah mereka. Adapun sebutan diri yang biasa mereka lakukan ialah mengacu kepada asal kampung, atau paroh masyarakat dari ruang mereka menjadi bagian dari padanya; seperti urang Kanekes (Inner dan Outer Baduy), Urang Panamping (outer Baduy), Urang Girang (Inner Baduy), urang Kaduketug (menyebut asal kampung) (Garna, 1992).
Penelusuran penamaan ini diperkuat oleh Kurnia dan Sihabudin (2010: 16) yang langsung mewawancarai beberapa “kokolot” Baduy bahwa Baduy sebenarnya adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu, yaitu sungai Cibaduy yang mengalir di sekitar tempat tinggal mereka, juga berdasarkan nama salah satu  bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka yaitu bukit baduy. Saat ini, jumlah penduduk suku Baduy  pada bulan Januari 2010 tercatat 11.172 jiwa. Sekitar 303 KK (1.170 jiwa) hidup di Baduy dalam.
Konsep hidup masyarakat Baduy berbeda dengan masyarakat umum. Mereka memiliki ciri khas tertentu seperti sistem sosial, organisasi sosial, kepemimpinan, lembaga adat, upacara, sistem religi dan interaksi sosial. Masyarakat Baduy tidak mengenal budaya tulis sehingga segala macam hal “diabadikan” dalam tradisi lisan, termasuk hukum-hukum tradisi kehidupan mereka secara menyeluruh. Dari budaya lisan itulah pada akhirnya masyarakat Baduy terkonstruksi oleh masyarakat umum sebagai masyarakat “terpinggirkan.”
Dari hasil wawancara Kurnia dengan beberapa petinggi adat Baduy (2010: 130) disusunlah delapan klasifikasi “pepatah” yang ada di Baduy dan menjadi buyut yang tak boleh dilanggar. Kedelapan klasifikasi “pepatah” itu adalah taat pada hukum, penegakan hukum, pemeliharaan terhadap alam, pepatah untuk pemimpin, tolong-menolong, hidup/ bekerja, kebersamaan, pepatah pertanggungjawaban. Konsep lisan yang muncul di dalam kehidupan masyarakat Baduy mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dari “pepatah” tersebut. Kemudian, Kurnia, di dalam mengklasifikasi “pepatah” masih bisa diperdebatkan karena beberapa klasifikasi itu bisa juga bertalian dengan klasifikasi yang lain.
 Untuk memfokuskan tulisan ini dengan tema yang diusung, maka hanya dianalisis pepatah (baca: buyut) mengenai pemeliharaan terhadap alam. Berikut isi dari buyut tersebut yang berisi empat konsep larangan.

gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang diruksak,

lojor teu meunang dipotong,
pendek teu meunang disambung.

gunung tidak boleh dihancurkan,
lembah tidak boleh dirusak

panjang tidak boleh dipotong
pendek tidak boleh disambung

Secara umum, kalimat-kalimat yang dimunculkan di dalam pikukuh ini cenderung memakai oposisi biner, seperti gunung-lembah dan panjang-pendek. Ciri lainnya cenderung memunculkan kata “teu meunang” (tidak boleh). William R. Bascom (Danandjaja, 1994: 19) mengemukakan fungsi folklor, terutama folklor lisan, adalah (1) sebagai sitem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan anak, dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Dalam konteks ini, kutipan di atas sangat relevan terhadap keadaan di komunitas Baduy, terutama pada poin 4. Pukukuh yang muncul di tempat ini tidak hanya terkonstruksi secara lisan tetapi menjadi semacam undang-undang (way of life) di dalam setiap kehidupan mereka, sehingga kata “teu meunang” cenderung muncul di dalam pikukuh (larangan) tersebut. Konsep “larangan” sebetulnya tidak hanya terjadi di komunitas Baduy. Salah satu motifeme (baca: rangka-rangka) yang didapat oleh Alan Dundles  setelah selesai meneliti dongeng Indian-Amerika adalah interdiction (larangan) (Danandjaya, 1994:96).
Kalimat pertama gunung teu meunang dilebur ada kaitannya secara langsung dengan kalimat kedua lebak teu meunang diruksak.  Teeuw mengungkapkan bahwa interpretasi keseluruhan tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian mengandaikan lebih dahulu pemahaman bagian-bagiannya (1984: 123). Dengan demikian, dalam proses pemahaman terhadap karya sastra, sejumlah konvensi yang melingkupinya (konvensi bahasa, sastra, dan budaya) harus benar-benar diperhatikan.
Kedekatan Baduy dengan alam seperti gunung dan lebak (lembah) menjadikan komunitas mereka harus menjaga dua wilayah tersebut kendati terdengar kontras. Gunung dan lembah tidak boleh dihancurkan karena jika itu terjadi maka musnahlah segara kehidupan mereka. Dari letak geografis, Baduy berada di dua wilayah itu. Dengan demikian mereka harus memeliharanya sebagai bagian dari keseimbangan kehidupan. Konsep oposisi biner, secara intertekstual mengindikasikan perbedaan, namun di dalam konsep hidup justru memperlihatkan keseimbangan karena konsep kosmos ini terbentuk dan dibentuk dari proses keseimbangan. Di dalam konsep Cina kita mengenal yin dan yang. Secara alamiah, kita juga menemukan konsep perbedaan untuk menjaga keseimbangan itu di dalam tatanan realitas seperti laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kaya dan miskin, begitu seterusnya. Konsep pikukuh Baduy menegaskan bahwa di dalam perbedaan itu tetap harus dijaga, dipelihara dan tidak dirusak/ diubah.
Sekaitan dengan itu, dua kalimat selanjutnya juga memiliki konsep yang seirama yaitu lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.
Keseimbangan hidup yang ditonjolkan oleh masyarakat Baduy sangat terlihat dari konsep hidup yang sederhana dan tidak diperbolehkan untuk menimbun kekayaan yang diluar batas kewajaran. Mereka bersepakat untuk menjadikan alam sebagai sahabat. Ketergantungan manusia tehadap alam dijelaskan di dalam pikukuh Baduy secara nampak dan jelas, dengan demikian sudah sewajarnya jika proses “menjaga” menjadi hal yang tak bisa dinafikkan.
Kealamiahan yang menjadi titik tekan dalam kehidupan bermasyarakat di komunitas Baduy bisa terlihat dari realitas sehari-hari. Mereka tidak diperkenankan untuk memakai zat-zat kimiawi seperti sabun, deodorant dan alat-alat kecantikan. Kemudian, dari pembuatan rumah misalnya (terutama di baduy dalam) mereka tidak memakai paku untuk menyangga kayu.
Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah. Dari tulisan ini, seyogianya kita bisa bercermin terhadap masyarakat Baduy yang begitu menjaga keseimbangan alam. Proses hidup “kembali ke alam” sangat penting untuk terapkan, minimal kita mengurangi hal-hal yang bisa merusak alam untuk kehidupan bersama.





Daftar Rujukan

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. 2004.  Membuka Tabir Kehidupan Tradisi Budaya Masyarakat Baduy dan Cisungsang Serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug.  Lebak. 
Garna, Judistira. K. 1985. Masyarakat Baduy dan Kebudayaannya. Bandung: Pusat kajian dan Pengembangan Sosial Budaya.
Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI.
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi Aksara dan Untirta.
Maemunah dan Arimbi, Diah Arini. 2009. “Meningkatkan Kesadaran Lingkungan Melalui Kritik Sastra Berprespektif Lingkungan (Ecocriticism)”. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.
Teeuw, A. 2005. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Yani, Ahmad. 2008. Etnografi Suku Baduy. Banten: Himpunan Pramuwisata Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar