Minggu, 23 Januari 2011

SELINTAS SASTRA PASCA ORDE BARU


Oleh Firman Venayaksa


Perkembangan kesusastraan Indonesia tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan di luar teks (karya), mengingat produk kebudayaan yang satu ini penuh dengan pergumulan dan pergulatan intelektual, kendati kita sering bersepakat bahwa karya sastra bersifat imajinatif. Di sisi lain, tak dimungkiri pula, dengan meminjam istilah Lukacs, bahwa karya sastra adalah cermin dari masyarakat. Dengan demikian, mau tak mau, sastra selalu beriringan dengan keseharian yang kita konstruksi bersama dalam ranah yang jauh lebih luas.
Kita bisa membaca kembali spion sejarah kesusastraan kita yang dipenuhi dengan pelbagai intrik, suksesi ideologi hingga pertentangan sengit yang sulit dilerai. Bahkan sastra sebagai sebuah teks yang multitafsir tidak terlalu ditelisik secara serius; yang ada adalah perang terbuka dan angkat pena melalui artikel singkat di media massa hingga perang urat syaraf di seminar dan diskusi-diskusi yang panjang dan melelahkan.
Sejarah kesusastraan kita telah membuktikan bahwa ternyata kita memang lebih suka untuk berkonfrontasi dengan wacana-wacana “bombastis” yang diakhiri dengan sejenis fatwa, mosi, manifesto, bahkan mengklaim kebudayaan tertentu, menjadi ahli waris kebudayaan (lah, mana surat wasiatnya?) dibandingkan bertafakur menelisik secara mendalam akan keterbacaan kita terhadap sastra itu sendiri. Para sastrawan mengelompokan diri menjadi beberapa group besar, melawan group lain yang tak mau kalah banyaknya. Namun demikian, kemunculan polemik di setiap generasi dan angkatan telah membuktikan bahwa justru disitulah kita bisa mengintip kedinamisan sejarah sastra; ruang-ruang kendali semakin baik; kritik-kritik tajam bertebaran mulai dari kajian sok akademis hingga teori-teori sastra jalanan, sehingga kita sebagai penonton sejarah bisa membaca artefak polemik tersebut di arsip-arsip yang dibukukan sambil santai membuka tiap halaman ditemani kopi instan.

Pemicu Polemik
Setelah membaca rentang sejarah sastra Indonesia, kecenderungan polemik yang muncul sebetulnya hanya terdiri atas dua hal yaitu perbedaan ideologi dan perlawanan terhadap hegemoni/ dominasi. Hegemoni/ dominasi ini terkait beberapa persoalan klasik, misalnya pertentangan antara generasi muda dan tua atau perlawanan terhadap komunitas mapan yang memiliki nilai kompromi lebih baik dengan penguasa.
Polemik kebudayaan yang disulut Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 30-an misalnya lebih menitikberatkan pada persoalan kiblat kebudayaan. Secara ekstrim, STA lebih memilih Barat dan melupakan ketimuran. Gaya ekstrim semacam ini tentu akan mendapat perhatian dari pemerhati kebudayaan lainnya. Cara berpikir STA kemudian dilanjutkan dengan “Surat kepercayaan Gelanggang” pada tahun 1950-an yang diinisiasi oleh Chairil Anwar CS yang lebih mengglobalkan lagi cakupannya dan lebih mendunia.[1] Pada bagian lain, mucullah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mempoduksi “Mukadimah” pada acara Kongres Lekra pertama di Solo pada tanggal 22-28 Januari 1959. Secara cepat hal ini direspon oleh kelompok “Humanisme-Universal” melalui “Manifes Kebudayaan” yang tidak sepaham dengan Lekra. Polemik pun berlangsung dengan sangat beringas dan cenderung dikaitkan dengan persoalan politik. Soekarno yang ketika itu dekat dengan PKI lebih memilih Lekra yang dekat dengan paham ideologinya. Namun ketika Soekarno tumbang, giliran orang-orang Lekra yang dikejar dan dipenjara oleh rezim Soeharto; sebuah petualangan sejarah sastra yang tampaknya jauh dari keadiluhungan sastra yang sering digemborkan.


Karya Sastra Pasca Orde Baru
Tumbuhnya kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto sempat merepresi kebebasan individu. Para sastrawan banyak yang tak bisa melakukan kegiatan kesusastraannya secara terang benderang. Selain orang-orang Lekra yang direpresi, para sastrawan lain yang “vokal” dan mengganggu strabilitas pun dicekal. Hal ini terjadi kepada WS Rendra, N. Riantiarno, dan lain-lain. Selain itu, pembredelan media massa pun terjadi. Untuk menyiasati pengebirian yang dilakukan rezim Orba, Seno Gumira mengemukakan semacam kredo yang cukup menarik; “Ketika jurnalistik dibungkam maka sastra bicara.” Kendati demikian, Seno mahfum bahwa para sastrawanpun banyak yang dikebiri, sehingga, di dalam karya-karyanya, Seno lebih banyak bermain-main dengan simbol berdasarkan realitas yang didapat; mencoba untuk mengecoh realitas menjadi imaji yang sangat berbeda.
Hal ini begitu bertolak belakang dengan era pasca Orde Baru dimana keran kebebasan sangat deras terbuka--bahkan terlalu terbuka-- hingga para sastrawan tak lagi malu-malu untuk secara terang-benderang mengemukakan ekspresi dan daya imajinya secara bebas. Tengoklah bagaimana para sastrawan perempuan seperti Ayu Utami dengan novel Saman (1998) Djenar Maesa Ayu dengan kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet (2002), atau Dinar Rahayu dengan novel Ode untuk Leopold van Socher Masoch (2002) yang begitu luar biasa mengeksplorasi tema seksual tanpa takut untuk dicekal, dihujat dan dikebiri ruang ekspresinya. Pada momentum yang serupa, para sastrawan yang tergabung di dalam Forum Lingkar Pena (FLP) ikut juga meramaikan kebebasan ini dengan mengusung tema-tema islami yang secara halus tema-tema ini pun tidak terlampau populer pada zaman Orba.
Satu hal lagi yang penting mendapat perhatian adalah tumbuhnya sastra populer yang sangat menjamur dan disukai publik pembaca, terutama pembaca remaja. Di tambah lagi dengan buku hasil adaptasi dari film maupun sinetron yang laku keras seiring dengan pertumbuhan genre film yang kian massif.
Karya sastra kini tak lagi hanya sebagai sebuah artefak kebudayaan adiluhung, tapi ia juga menghiasi kebudayaan populer yang kian hari kian cepat perkembangannya. Justru ketika keran kebebasan begitu menyeruak, “sastra serius” seperti tak bisa bersaing dengan sastra populer. Novel populer lain yang menggejala dan membuat “demam” para pembaca sastra adalah dengan munculnya dua “penulis besar” yaitu Habiburahman El Shirazy (Ayat-Ayat Cinta, 2004) dan Andrea Hirata (Laskar Pelangi, 2005). Kedua-duanya adalah penulis yang belum pernah didengar sebelumnya di ranah kesusastraan Indonesia tetapi kedua karyanya difilmkan, mencetak rekor best seller, dan mereka mencatatkan dirinya sebagai “orang kaya” dari hasil tulisannya. Jika sejarah sastra di Indonesia lebih banyak mencatat nama-nama para sastrawan serius dengan karya yang serius, maka pada era pasca Orba, hal itu tidak lagi terjadi. Dominasi sastra populer telah “menghilangkan” suara-suara polemik sastra yang dahulu begitu kencang dan ganas. Jika pun ada, maka suara-suara itu hanya kecil bahkan serupa bisikan saja. “Polemik”[2] yang bisa dilihat dari perkembangan era pasca Orba adalah mengenai Sastrawan Ode Kampung[3] versus Komunitas Utan Kayu.

Komunitas Sastra dan Hegemoni pasca Orba
Dewasa ini, hiruk pikuk kesusastraan Indonesia pasca Orba disemarakkan oleh pelbagai komunitas sastra. Pandangan para pengamat sastra dan pelaku sastra pun bervariasi. Sutardji[4] mengungkapkan bahwa kecenderungan yang mewarnai kegiatan kegiatan mereka terutama ditentukan oleh visi sastra dan pandangan hidup dari tokoh-tokoh utamanya serta para pengelolanya. Ada komunitas yang cenderung pada kegiatan-kegiatan penampilan, penerbitan serta diskusi sastra dan seni relijius, ada komunitas yang cenderung agak "sekuler", ada pula yang lebih tertarik pada tradisi atau pada problem-problem setempat. Kemudian ia melanjutkan bahwa karakter individual para pengelolanya mewarnai "karakter" komunitasnya. Ada komunitas terasa sangat serius, terkesan ingin elitis, dan mencoba melakoni citra intelektual. Sebaliknya ada komunitas yang orang-orangnya lebih santai, lebih berupaya menikmati dan mensyukuri hidup dengan cara mencari dan menciptakan sisi gembira dari perih kehidupan, serta selalu bersikap kritis terhadap sesuatu yang berbau intelektual dan karena itu kelihatan sebagai komunitas yang anti-intelektual.
Pengamatan Sutardji terhadap komunitas sastra di Indonesia memang penting untuk dikaji lebih lanjut. Anggaplah ini sebagai paparan awal mengenai seluk beluk komunitas sastra. Sementara itu, Budi Darma memilih sikap yang berbeda dari kelahiran fenomena ini. Setelah melihat maraknya buku-buku antologi puisi yang diterbitkan oleh komunitas-komunitas sastra, ia menyebutnya sebagai ”kesemarakan yang tanpa prestasi estetik.” Lebih garang dari pernyataan Budi Darma, Saut Situmorang mengatakan bahwa komunitas sastra yang ada di negara ini hanya komunitas ”sastra arisanis” belaka. Namanya saja ”komunitas pengarang” tapi orientasi hidupnya bukan mengarang dalam kreatif kata tersebut, melainkan menunggu antrean arisan untuk diundang baca puisi atau baca prosa oleh komunitas sastra lain yang paling dominan kekuasaan uangnya.[5] Pernyataan Saut ini lahir setelah membandingkan dengan komunitas lain dan menekankan pada politik sastra. Ia menegaskan bahwa komunitas pengarang yang sejatinya adalah perkumpulan sekelompok pengarang independen yang berideologi artistik yang sama, seperti yang kita kenal dalam sejarah peradaban Barat pada para pengarang Neo-Klasik, para pengarang Romantik, para pengarang Simbolis, para pengarang Ekspresionis, para pengarang Futuris, para pengarang Imagis, Dada, Surrealis, Absurd, Eksistensialis, Realis-Magis, Beat, L-A-N-G-U-A-G-E, Konkrit, Marxis, Feminis, Pascakolonial, Posmo…Dalam pemahaman lain Melanie Budianta mengakui bahwa kehadiran komunitas sastra pada awalnya terbentuk lebih karena ketidakmampuan mereka menembus mainstream.[6] Dengan tegas ia mengatakan bahwa seorang pengarang tidak harus bergerak melalui komunitas sastra. Pengarang bisa saja bergerak seperti pengarang meteor dengan dukungan promosi yang baik. Pengarang seperti ini hanya dapat dilakukan jika memiliki akses terhadap mainstream.[7]
Komunitas sastra yang tersebar di Indonesia memang memiliki ciri/ karakteristik yang beragam. Sejumlah perbedaan yang dirangkum oleh Tardji bisa benar adanya. Namun ada baiknya jika kita kembalikan dulu persoalan ini pada prinsip-prinsip komunitas yang dianut secara umum. Komunitas diambil dari kata community yang berakar dari dua kata dalam bahasa latin yaitu cum (bersama-sama, di antara satu dan lainnya) dan munus (pemberian, memberi, berbagi). Jika menelusuri dengan pendekatan etimologis, jelas bahwa esensi dari komunitas tak dapat dipisahkan dalam kebersamaan/ berbagi. Konsep semacam ini, dikerucutkan dalam tatanan identitas. Untuk memperjelas hakikat komunitas, maka akan lebih mudah jika dibenturkan dalam hubungannya dengan individu yang berada di komunitas tersebut.
Ada dua sudut pandang argumen yang penting untuk dicermati dalam menyikapi antara hubungan komunitas dengan individu yang dipegang oleh para ahli sosiologi. Pandangan pertama, komunitas pada dasarnya merupakan suatu asosiasi kooperatif dari individu-individu yang terikat melalui suatu ‘kontrak sosial’ (‘social contract’). Dari sudut pandangan ini, individu diletakkan lebih superior daripada komunitas. Manusia pada dasarnya adalah makhluk individualistik. Sementara itu, pandangan yang lain melihat komunitas sebagai suatu entitas organik di mana individu-individu berperan sebagai kandungannya (ingredients). Dalam pengertian yang kedua ini, individual tidak dapat menjadi manusia seutuhnya tanpa menjadi anggota suatu komunitas. Argumen ontologis kedua ini selaras dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya  adalah makhluk sosial. Oleh karenanya, menurut pandangan ini, kita tidak dapat mendahulukan ‘hak’ atau kepentingan individu di depan kepentingan bersama. Individu tidak saja memiliki hak, tetapi juga ‘kewajiban’ sebagai anggota komunitasnya. Dengan kata lain, dalam setiap ‘hak’ terkandung suatu ‘kewajiban’ (rights come with responsibilities).
Jika dikaitkan dengan komunitas sastra di Indonesia, dua teori di atas bisa dua-duanya benar, tergantung konteks seperti apa yang diperlihatkan. Dalam konteks penciptaan karya, seorang sastrawan memiliki hak yang penuh dalam menggapai keluhuran estetik, walaupun individu itu lahir dari sebuah komunitas. Di sini harus ditegaskan bahwa komunitas hanya bisa menghantarkan individu hingga pada pemahaman sastra secara umum. Di dalam pengkhususan, seorang individu memiliki kemerdekaan mutlak. Namun, hal ini pun bisa saja dibantah oleh sudut pandang kedua di mana kelahiran komunitas dilandasi atas kebersamaan dan keberterimaan yang bisa disepakati, termasuk dalam ciri-ciri estetik.
Pertemuan Komunitas Sastra sebagai agenda rutin dari kegiatan “Ode Kampung” yang diinisiasi oleh Komunitas Rumah Dunia di Banten pada tanggal 20-22 Juli 2007 sangat penting untuk menjadi perhatian dalam konstalasi polemik kesusastraan di era pasca Orde Baru. Hal yang menarik dari pertemuan itu adalah dengan munculnya sebuah “Pernyataan Sikap sastrawan Ode Kampung” yang merangkum tiga poin yaitu:
1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.
Pernyataan sikap ini didukung oleh lebih dari 150 sastrawan yang datang pada kegiatan tersebut maupun tidak tetapi memiliki kepedulian yang sama. Secara literer, pernyataan sikap ini sebetulnya tidak mengarah pada komunitas manapun. Hanya saja dalam konteks lain, Saut Situmorang dan Wowok Hesti Prabowo melakukan penciutan ke arah Komunitas Utan Kayu yang dinilai arogan; dan interpretasi semacam itu tentu sangat wajar.
Sebelum kegiatan Temu Komunitas Sastra ini, Wowok memang getol melakukan perlawanan kepada Komunitas Utan Kayu. Istilah yang disodorkan oleh Wowok Hesti Prabowo seperti “sastra imperialis” atau “sastra neoliberalisme” memang sangat rentan untuk diperdebatkan. Dalam kasus ini, selayaknya kita melihat itu dalam konteks perlawanan, istilah-istilah tersebut terlahir berdasarkan respon dari gejolak yang ada. TUK yang dipandang oleh kalangan sastrawan di luar lingkaran TUK sebagai sebuah komunitas yang arogan pastilah mengundang kekesalan tersendiri, mereka telah membuat sastrawan lain merasa diremehkan sekaligus dilecehkan.Selain Wowok, saya kira masih banyak sejumlah nama yang secara terang-terangan  di sejumlah pertemuan atau media memprovokasi agar anti TUK. Bahkan pada Sabtu kemarin (7/7) di Universitas Negeri Tirtayasa-Banten, telah di-launch sebuah jurnal sastra bernama “Bumipoetra: bukan milik pusat antek imperialis” yang semua isinya (esai, cerpen dan puisi) mengolok-olok, menyindir TUK beserta orang-orang di dalamnya dengan gaya yang sangat nyinyir dan teramat pedas. Tengok saja judul esainya “DKJ Cabangnya TUK!” atau “Sastra Tanpa Pusat Sastra” yang ditulis oleh Babat Hutan Kayu. Bahkan singkatan TUK dipelesetkan menjadi “Tempat Umbar Kelamin.” Kehadiran jurnal yang aneh dan nyeleneh ini adalah sebentuk perlawanan lain yang bisa jadi efektif untuk melawan arogansi TUK kendati dalam balutan canda.[8]
Kendati provokasi itu dilakukan secara terus menerus, Goenawan Mohamad dan Komunitas yang didirikannya tidak melakukan counter. Malah pada kesempatan yang berbeda, Goenawan Mohammad mendatangi Rumah Dunia dan mengajak berdiskusi.
Tulisan ini memang belum menelisik secara mendalam mengenai pelbagai hal terutama dalam konteks sastra pasca Orba dan segala macam hal yang menelingkupinya. Hal ini semata-mata dilakukan untuk “mengabsen” dan melanjutan tulisan secara mendalam pada kesempatan lain.




[1] Baca kembali tulisan Asep Sambodja yang dipresentasikan pada seminar HISKI, 12-14 Agustus 2008
[2] Polemik tersebut diberi tanda kutip karena sebetulnya polemic itu tak pernah terjadi. Yang ada adalah perlawanan-perlawanan dari Saut Situmorang, Wowok Hesti Prabowo  CS yang menggugat Goenawan Mohammad dan Komunitas Utan Kayu melalui pelbagai media terbasuk buletin yang mereka buat sendiri (Boemiputra); persoalannya KUK menanggapi ”gugatan” tersebut dengan sangat dingin.
[3] Istilah ini muncul ketika ada kegiatan Ode Kampung 2 ”Temu Komunitas Sastra se-Nusantara” di Rumah Dunia (Banten) pada tanggal 20-22 Juli 2007.
[4] ”Sastra Komunitas” Kompas, 4 Agustus 2000.
[5] Makalah diskusi pada acara Pertemuan Penyair Muda 4 Kota (Padang, Bandung, Jogjakarta, Denpasar) 2-3 Februari 2007 di Jogjakarta.  Pernyataan Saut di atas harus dibaca dalam konteks perlawanan terhadap Komunitas tertentu (Komunitas Utan Kayu) yang menurutnya sangat tidak fair.
[6] Kompas, 1 Juni 2001.
[7] Firman Venayaksa,  ”Komunitas Rumah Dunia dan Regerenerasi Kesusastraan di Banten”  Dipresentasikan dalam acara Konferensi Sastra Internasional di Universitas Indonesia, yang diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (6-8 Agustus 2007)

[8] Firman Venayaksa, “sastra Bumiputra versus Sastra Imperialis”  dimuat di Republika, 8 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar