Minggu, 13 Februari 2011

(puisi) SADIM

SADIM

Harihari menjadi curam dan sangsi. Di antara ketiak malam kala itu, engkau mengembara ke dasar kata, menanggalkan kain blacu, nafas dan igauan di bukit baduy. Gesekan daundaun meratapi hatimu. Sasaka domas diamdiam meramalkan kepergian.

Tinggalah bayangbayang menyelinap, membatin, menjelma ganas harimau. Cakarcakar seperti kilat waktu. Aumlah ia menerkam lunglai sukmamu.  Engkau berrontak dalam diam. Matamu menghunus mimpimimpi di kegelapan. Tibatiba sejumlah kerabat, istri dan anakanak berduyun menghela nafas sambil tak henti mengucap mantra.

Panjang teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung. Panjang teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung. Panjang teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung.

Sadim, ingatlah janji di hadapan utara. Sudah lebih dari waktu yang tentu; mengapa ingkar begitu cair di matamu?

Tanah Air, 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar