Sabtu, 05 Februari 2011

RELASI CERITA RAKYAT DAN KEHIDUPAN SOSIAL PADA MASYARAKAT BADUY[1]

RELASI CERITA RAKYAT DAN KEHIDUPAN SOSIAL
PADA MASYARAKAT BADUY[1]

Oleh Firman Venayaksa[2]

ABSTRAK
Sebagai sebuah komunitas yang masih memegang teguh tradisi, masyarakat Baduy sering diteliti baik dari kehidupan dan relasi sosialnya, hukum-hukum adat, hingga penelusuran sejarahnya. Namun tak banyak yang mengupas mengenai cerita rakyat yang berkembang di wilayah tersebut.

Tulisan ini akan membahas mengenai cerita rakyat di daerah Baduy; membahas perihal motif-motif cerita serta kaitannya dengan unsur-unsur larangan yang selalu muncul di dalam hukum-hukum tradisi Baduy. Seperti diketahui bahwa hukum adat di Baduy tidak tertulis, tetapi disepakati dalam konsep-konsep larangan (lisan) yang dikenal dengan pikukuh baduy.

Cerita rakyat yang didapatkan dari masyarakat Baduy didekati secara sosiologis untuk menemukan fungsi estetis cerita rakyat terhadap kehidupan sosial di masyarakat Baduy pada umumnya.

Kata kunci: pikukuh, sosiologi sastra, folklor, transformasi.


Pendahuluan
Tingginya peradaban sebuah masyarakat di wilayah tertentu tidak bisa lepas dari kesusastraan. Hanya saja, dalam beberapa hal, kesusastraan memiliki nilai estetika yang khas. Sebuah bangunan yang bisa terindera secara kasat mata (tangible) seperti candi, menhir, dolmen dan seterusnya lebih sering diminati oleh para arkeolog, sejarawan dan peneliti serumpun lainnya dibandingkan dengan penggalian estetika sastra (lisan). Ketika kita menengok kembali sejarah kesusastraan kita, kita terbentur akan banyak hal, salah satunya adalah artefak; karena kita mahfum betul bahwa tidak semua karya sastra (dan folklor pada umumnya) ditransformasi ke dalam bentuk teks.
Menurut Jakob Sumardjo,[3] sastra sebagai pembentuk peradaban, mengisyaratkan adanya relasi nilai antara karya sastra dan masyarakatnya. Alam pikiran dan tata nilai dalam sastra dibutuhkan untuk pedoman hidup bersama mereka. Dalam masyarakat yang homogen, kelompok etnik, peran sastra yang demikian itu amat signifikan, tetapi dalam masyarakat modern perkotaan yang heterogen, kebutuhan tata nilai dapat berbeda-beda untuk setiap kelompok sosialnya. Kalau dalam masyarakat pra-modern hanya dibutuhkan satu jenis sastra, dalam masyarakat modern dibutuhkan banyak jenis sastra.
Kutipan tersebut sedikit banyak menjelaskan kepada kita bahwa tata nilai yang dikaitkan dengan sastra memiliki perbedaan tergantung dari kelompok sosialnya. Penggalian sastra lisan lebih banyak didapatkan di daerah perkampungan tertentu yang relatif homogen dan masih belum terlalu intens bersentuhan langsung dengan modernitas. Namun demikian, sastra lisan di dalam perkembangan dan penyebarannya tidak semudah yang dikira.
Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para peneliti untuk mengggali secara mendalam mengenai kesusastraan (lisan) kita di masa lampau. Cara yang biasa dilakukan oleh para peneliti adalah dengan menggali kembali kesusastraan yang tak tertulis (intangible) itu kepada masyarakat yang masih ingat dengan cerita rakyat yang pernah didengarnya. Biasanya kita menemukan sastra lisan tersebut dari orangtua yang pernah diceritakan oleh pendahulunya. Namun persoalan justru muncul. Pertama, sekuat apa ingatan orangtua itu karena ingatan manusia relatif pelupa? Kedua, sejauh mana nilai orisinalitas cerita rakyat yang kita temukan mengingat cerita tersebut didapatkan secara turun-temurun dan lisan? Jika cerita yang kita temukan diragukan orisinalitasnya, lantas jangan-jangan kita hanya mendapatkan sebuah “cerita baru” yang lepas dari masa lampunya, lalu sia-siakah yang kita lakukan untuk mendalami masa lampau dari cerita-cerita yang ada di masyarakat itu?
Inilah dilema tersendiri di dalam menelusuri sastra lisan. Di satu sisi, kita ingin mencoba untuk menelusurinya secara cermat, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, di sisi lain peneliti banyak bertemu dengan cerita rakyat dalam new addition. Namun demikian, hal tersebut sebetulnya menjadi sebuah kelaziman. Karya sastra mampu berubah bentuk, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang menuntut banyak perubahan. Misalnya, tak sedikit karya sastra ditransformasi ke dalam bentuk film dan menumbuhkan perdebatan baik dari sisi orisinalitas maupun cakrawala harapan pembaca yang berbeda dengan teks sastra awal yang dibacanya. Disitulah menariknya sifat sastra yang bisa fleksibel dan menyesuaikan dengan zamannya. Jadi, dalam konteks tersebut, berdasarkan diskusi dengan Sapardi Djoko Damono, bahwa yang perlu digali di dalam sebuah sastra lisan bukanlah persoalan orisinalitas yang dalam banyak hal tidak mungkin terjadi. Kepentingan para peneliti sastra lisan adalah untuk menggali nilai-nilai pada suatu zaman dan merevitalisasi untuk masa di kemudian hari. Lagi pula jika kita merunut paham modern yang kita jalani sekarang ini, tentu tak bisa dilepaskan dari “ideologi” dan cara pandang masa lampau.
Rusyana (1981: 17) mengemukakan ciri dasar sastra lisan yaitu: (1) sastra lisan tergantung kepada penutur, pendengar, ruang dan waktu; (2) antara penutur dan pendengar terjadi kontak fisik, sarana komunikasi dilengkapi paralinguistik; dan (3) bersifat anonim.
Dilihat dari cara pewarisan dan penyebaran yang dilakukan secara tradisional dan lisan, maka sastra lisan adalah bagian dari folklor. Menurut Alan (dalam Danandjaja, 1997: 1) folklor adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri folklor yang dikemukakan oleh Danandjaja (1994: 2-4) dengan merujuk beberapa pendapat, mengemukakan ciri pengenalnya, yaitu:
  1. penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan atau disertai gerak isyarat dan alat pembantu pengingat;
  2. bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar, disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi);
  3. berada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda;
  4. bersifat anonim;
  5. biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola;
  6. mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif;
  7. bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum;
  8. menjadi milik bersama kolektif tertentu, setiap anggota kolektif yang
  9. bersangkutan merasa memilikinya; dan pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali tampak kasar, dan terlalu spontan.

Baduy dan Pikukuh
Masyarakat Baduy dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh tradisi yang ditransformasikan secara turun temurun. Kurnia dan Sihabudin (2010: 16) yang langsung mewawancarai beberapa “kokolot” Baduy menjelaskan bahwa Baduy sebenarnya adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu, yaitu sungai Cibaduy yang mengalir di sekitar tempat tinggal mereka, juga berdasarkan nama salah satu  bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka yaitu bukit baduy. Saat ini, jumlah penduduk suku Baduy  pada bulan Januari 2010 tercatat 11.172 jiwa. Sekitar 303 KK (1.170 jiwa) hidup di Baduy dalam.
Konsep hidup masyarakat Baduy berbeda dengan masyarakat umum. Mereka memiliki ciri khas tertentu seperti sistem sosial, organisasi sosial, kepemimpinan, lembaga adat, upacara, sistem religi dan interaksi sosial. Masyarakat Baduy tidak mengenal budaya tulis sehingga segala macam hal “diabadikan” dalam tradisi lisan, termasuk hukum-hukum tradisi kehidupan mereka secara menyeluruh. Dari budaya lisan itulah pada akhirnya masyarakat Baduy terkonstruksi oleh masyarakat umum sebagai masyarakat “terpinggirkan” atau masyarakat yang mengasingkan diri.
Konsep hidup yang dipilih oleh masyarakat Baduy yang sarat dengan  kesederhanaan, memilih untuk membatasi diri dari keduniawian, tidak bisa lepas dari amanat para leluhurnya yang dituliskan sebagai berikut.

Amanat Buyut

Buyut nu dititipkeun ka puun
Nagara satelung puluh telu
Bangawan sawidak lima
Pancer salawe nagara
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirusak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun
Nu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun

Artinya

Buyut yang dititipkan kepada puun
Negara tigapuluh tiga
Sungai enampuluh lima
Pusat duapuluh lima negara
Gunung tak boleh dihancurkan
Lembah tak boleh dirusak
Larangan tak boleh dilanggar
Buyut tak boleh diubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditiadakan
Yang jangan harus dinafikan
Yang benar harus dibenarkan

Amanat Buyut ini tetap dipegang oleh masyarakat Baduy dan bisa terlihat dari hal ikhwal pergaulan hidup dan sosial di komunitas tersebut. Mereka melaksanakan amanat tersebut dengan kukuh, tegas dan ketat. Lembaga adat (perangkat adat tangtu tilu jaro tujuh) mememiliki kewajiban untuk mengawasi, sekaligus memberikan “hukuman”  jika masyarakatnya tidak bisa mengikuti amanat tersebut. Namun siapapun di antara mereka diberikan keleluasaan untuk keluar dari komunitas tersebut jika tidak sanggup untuk melaksanakan hukum-hukum adat yang ada dan mereka tidak diperkenankan kembali menjadi warga Baduy jika sudah keluar atau dikeluarkan.
Masyarakat Baduy terdiri atas dua kelompok besar yaitu Baduy Dalam (sakral) dan Baduy Luar (profan). Masyarakat Baduy Dalam (Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik) memiliki kepatuhan hukum yang lebih kuat dan tegas. Mereka  ditugaskan untuk bertapa bagi kesejahteraan dan keselamatan pusat dunia dan alam semesta. Hal tersebut berbeda dengan Baduy Luar yang lebih longgar di dalam penerapan hukum-hukum adat. Baduy Luar langsung berhadapan dengan “Luar Baduy” sehingga perubahan-perubahan lebih mudah dilihat. Sebagai konsekuensi logis dari pertemuan dua kutub kebudayaan yang lambat laun saling mempengaruhi, tak sedikit orang-orang Baduy Luar yang mulai memakai HP, membuka warung, bahkan sudah banyak yang belajar mengendarai motor.
Pengaruh modernisasi sebetulnya sudah dirasakan oleh warga Baduy, seperti yang diungkapkan oleh Ayah Mursid, wakil jaro tangtu sebagai berikut.
“Kami tijauhna keneh geus waspada jeung sadar, yen zaman pasti robah, tantangan keur masyarakat adat mingkin dieu mingkin beurat, ti berbagai sudut perkampungan perbatasan geus teu katadah ku kamajuan hirup, tap kami tetep teguh patuh keur ngalaksanakeun amanat wiwitan jeung kami tetep yakin Baduy tetep ayem tengtrem nu penting ulah ngaganggu atawa diganggu jeung ulah ngarugikeun jeung komo deui dirugikeun. Kami siap kerjasama jeung sasaha oge tapi aya nu mangpaat kana kasalametan hirup balarea, kami mah patuh kana hukumj eung kahayang alam nu diciptakeun ku maha kawasa.” (Kurnia, 2010: 12)

Dari kutipan tersebut, dengan jelas Ayah Mursid memahami bahwa zaman sudah pasti berubah. Namun ia juga meyakini bahwa masyarakat Baduy akan tetap memegang teguh tradisi yang selama ini mereka emban. Menurut Riyanto, (1990: 97-98) secara garis besar ada dua faktor penyebab perubahan sosial yaitu sebab-sebab yang bersmber dalam masyarakat sendiri dan dari luar masyarakat yang bersangkutan. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat sendiri ialah: (1) bertambah atau berkurangnya penduduk; (2) rekaan (invention) dan penemuan baru (discovery) baik berupa gagasan maupun alat yang selanjutnya melahirkan inovasi (innovation); (3) Terjadi pemberontakan (revolusi) dalam tubuh masyarakat.
Sebab-sebab yang bersumber dari luar masyarakat yang bersangkutan ialah (a) lingkungan alam fisik di sekitar manusia; (b) Peperangan dengan negara lain; (c) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain yang dapat berupa akulturasi (kontak budaya), asimilasi (pembaharuan unsur-unsur kebudayaan), difusi (penyebaran unsur-unsur kebudayaan, pemasukan secara damai (penetration pecifique) dan paksaan.   
Faktor-faktor penyebab perubahan sosial di atas “ditanggulangi” melalui penguatan-penguatan terhadap pentingnya menjalankan pikukuh tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satu penyebarannya adalah melalui sastra lisan. Hal ini diperkuat oleh William R. Bascom (dalam Danandjaja, 1994: 19) mengemukakan fungsi folklor, terutama folklor lisan, adalah (1) sebagai sitem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan anak, dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Sastra lisan tidak bisa hanya dijadikan sebagai media hiburan belaka seperti yang banyak digambarkan di dalam sastra populer sekarang ini. Kehadiran sastra lisan sangat penting untuk menyebarkan kepatuhan terhadap masyarakat adat Baduy. Kutipan dari Wellek dan Warren di bawah ini sebagai bukti akan pentingnya sebuah kesusastraan. Mereka mengatakan bahwa sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif, kita tidak dapat membedakan puisi dari ritual, sihir, kerja atau bermain. Sastra mempunyai fungsi sosial dan “manfaat” yang tidak sepenuhnya pribadi. Jadi, permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial: masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol dan mitos (Wellek dan Waren, 1995: 108).
Atas dasar itulah penulis mencoba untuk mendedahkan relasi antara cerita rakyat yang ada di masyarakat Baduy yang dikaitkan dengan kehidupan sosial masyarakat Baduy, terutama untuk memperkuat hukum-hukum adat.

Relasi Cerita “Budak Buncir” dan Masyarakat Baduy
Budak Buncir hanya salah satu sastra lisan yang ada di masyarakat Baduy. Sebagian masyarakat Baduy mengetahui cerita ini. Hanya saja ada beberapa fase cerita yang tidak bisa dituturkan kepada masyarakat di luar Baduy, terutama jika ada kaitannya dengan persoalan adat/ wiwitan.
 Cerita ini mengisahkan tentang seorang anak yang terlahir ke alam dunia di dekat batu agung/ sakral di tanah adat Kanekes. Tidak dijelaskan apakah ia lahir dari rahim ibunya dan bagaimana ia dibesarkan. Ia datang untuk memberi kesadaran bagi para petapa dan untuk membangun negara. Seperti yang dikisahkan oleh Ayah Mursid, wakil jaro tangtu, budak buncir dikenal juga sebagai budak sakti. Walaupun dia dihadirkan di dalam cerita ini sebagai seorang anak, tetapi dia memiliki kesaktian yang tidak bisa dimiliki oleh manusia pada umumnya. Kemudian dia juga diidentifikasi sebagai tokoh yang bisa “bertransformasi” ke dalam wujud/ tokoh lain. Ayah Mursid mengistilahkannya dengan “mancala putra mancala putri.” Budak Buncir bisa berpindah-pindah sesuai dengan laku lampah yang harus dijalaninya untuk membangun peradaban. Cerita Budak Buncir cukup panjang dan berkaitan dengan sejarah kerajaan-kerajaan (ratu tujuh) pada zaman dulu seperti Pajajaran, Majapahit, Mataram, Galuh, Sumedang Larang,  Malayu dan Banten.

Menghormati Alam
Secara umum, kisah Budak Buncir lebih banyak meneguhkan tradisi (pikukuh) untuk dijalankan bagi warga Baduy. Konsep berpegang teguh terhadap pikukuh itu misalnya terdapat pada sifat dari Budak Buncir yang sangat menghargai lingkungan/ alam sebagai penghormatan kepada Sang Pencipta. Ia tidak pernah merusak alam dan selalu menjaganya. Latar penceritaan Budak Buncirpun tak lepas dari alam sekitar seperti gunung, sungai, tanah.
Pikukuh  Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak secara tersirat muncul di dalam cerita ini. Kalimat pertama gunung teu meunang dilebur ada kaitannya secara langsung dengan kalimat kedua lebak teu meunang diruksak. Teeuw mengungkapkan bahwa interpretasi keseluruhan tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian mengandaikan lebih dahulu pemahaman bagian-bagiannya (1984: 123). Dengan demikian, dalam proses pemahaman terhadap karya sastra, sejumlah konvensi yang melingkupinya (konvensi bahasa, sastra, dan budaya) harus benar-benar diperhatikan.
Kedekatan Baduy dengan alam seperti gunung dan lebak (lembah) menjadikan komunitas mereka harus menjaga dua wilayah tersebut kendati terdengar kontras. Gunung dan lembah tidak boleh dihancurkan karena jika itu terjadi maka musnahlah segara kehidupan mereka. Dari letak geografis, Baduy berada di dua wilayah itu. Dengan demikian mereka harus memeliharanya sebagai bagian dari keseimbangan kehidupan. Konsep oposisi biner, secara intertekstual mengindikasikan perbedaan, namun di dalam konsep hidup justru memperlihatkan keseimbangan karena konsep kosmos ini terbentuk dan dibentuk dari proses keseimbangan. Di dalam konsep Cina kita mengenal yin dan yang. Secara alamiah, kita juga menemukan konsep perbedaan untuk menjaga keseimbangan itu di dalam tatanan realitas seperti laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kaya dan miskin, begitu seterusnya. Konsep pikukuh Baduy menegaskan bahwa di dalam perbedaan itu tetap harus dijaga, dipelihara dan tidak dirusak/ diubah.
Sekaitan dengan itu, dua kalimat selanjutnya juga memiliki konsep yang seirama yaitu lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.
Keseimbangan hidup yang ditonjolkan oleh masyarakat Baduy sangat terlihat dari konsep hidup yang sederhana dan tidak diperbolehkan untuk menimbun kekayaan yang diluar batas kewajaran. Mereka bersepakat untuk menjadikan alam sebagai sahabat. Ketergantungan manusia tehadap alam dijelaskan di dalam pikukuh Baduy secara nampak dan jelas, dengan demikian sudah sewajarnya jika proses “menjaga” menjadi hal yang tak bisa dinafikkan.
Kealamiahan yang menjadi titik tekan dalam kehidupan bermasyarakat di komunitas Baduy bisa terlihat dari realitas sehari-hari. Mereka tidak diperkenankan untuk memakai zat-zat kimiawi seperti sabun, deodorant dan alat-alat kecantikan. Kemudian, dari pembuatan rumah misalnya (terutama di baduy dalam) mereka tidak memakai paku untuk menyangga kayu dan konstruksi rumah harus menyesuaikan dengan tipografi tanah, bukan sebaliknya (Hadiansyah, 2010)

Taat Kepada Orangtua/ Pemimpin Adat
Di dalam cerita Budak Buncir, terdapat cerita antara Budak Buncir (anak) dan Aki (orangtua). Relasi orangtua dan anak di dalam cerita ini tergolong unik. Tokoh Aki yang secara strata sosial lebih tinggi dibanding budak buncir, sering menyuruh budak buncir untuk mencari makanan. Dengan segala kesaktiannya, Budak Buncir selalu berhasil mendapatkan apa yang disuruh oleh Aki. Namun ketika selesai mendapatkan makanan, Aki tidak pernah memberinya. Walaupun Budak Buncir kesal dan marah, namun ia pasrah dan selalu menerima perlakuan tersebut.
Ketaatan terhadap orangtua/ pemimpin ditransformasikan ke dalam kehidupan masyarakat Baduy. Mereka selalu taat kepada orangtua dan tidak diperbolehkan untuk melawan segala perintah/ titah. Untuk memperkuat penghormatan tersebut, seorang bapak biasanya memakaikan nama anak laki-lakinya seperti Ayah Mursid (nama aslinya Alim). Hal ini dilakukan untuk memperkuat penghormatan anak kepada orangtua.
Penghormatan kepada orangtua (orang yang dituakan) bisa terlihat dari tata cara mereka melakukan perjalanan. Tidak diperkenankan bagi orang yang lebih muda mendahului orangtua bahkan berjalan sejajar sekalipun. Orangtua harus berjalan paling depan lalu diikuti oleh orang yang lebih muda dan seterusnya. Jika makan bersama, orang yang lebih muda harus menunggu orangtua terlebih dahulu mengambil makanan, dan seterusnya.
Relasi orangtua dan anak bisa juga diasosiasikan antara masyarakat dan pemimpin adat. Di dalam menyelesaikan sebuah persengketaan dan kegiatan sosial lainnya, masyarakat Baduy harus mengkomunikasikan dan menyelesaikan perkaranya melalui perangkat adat. Perangkat adat harus dihormati dan menjadi suri tauladan.

Menjaga Silaturahmi
Di dalam Budak Buncir dikisahkan bahwa ia ngalalakon ke berbagai tempat. Namun pada suatu kesempatan, ia tidak pernah melupakan Desa Kanekes sebagai tempat pertama kali ia “dihadirkan” ke muka bumi. Proses silaturahmi budak buncir menuju “dunia rame” terlihat dari relasi masyarakat Baduy dengan mereka sendiri maupun dengan masyarakat di luar Baduy. Pada waktu tertentu mereka pergi dari Desa Kanekes untuk mendatangi orang-orang yang dikenalnya. Selain itu tak sedikit dari mereka “ngalalakon” untuk menjual kekayaan alam mereka seperti madu, gula merah, durian dan lain-lain. Proses interaksi ini sangat dipegang oleh mereka. Dalam melakukan perjalanan, masyarakat Baduy dalam tidak diperkenankan untuk memakai kendaraan. Sejauh apapun tujuan mereka, mereka diwajibkan untuk jalan kaki. Sementara warga Baduy Luar memiliki kelonggaran untuk memakai kendaraan.
Silaturahmi itu tidak hanya terbatas pada relasi antarindividu. Mereka juga memiliki adat yang disebut dengan seba yang dilakukan secara kolektif. Mereka mendatangi “Bapak Gede” seperti Bupati Lebak dan Pandeglang, Serang serta Gubernur Banten. Mereka datang membawa hasil alam untuk diberikan kepada “Bapak Gede”. Tradisi ini dilakukan setiap tahun, setelah sebelumnya mereka melaksanakan tradisi kawalu dan ngalaksa.
Tradisi seba adalah kegiatan keagamaan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh warga Baduy Dalam mapun Baduy Luar. Esensi seba sebetulnya  terlatak pada proses silaturahmi antara warga Baduy dan pemerintahan sebagai cara untuk saling menghormati, menitipkan, mengingatkan dan mendoakan agar kehidupan di dunia terhindar dari malapetaka. Tradisi seba juga dilakukan sebagai cara untuk memberikan aspirasi dari warga baduy sehingga pada setiap seba memiliki tema dan misi yang berbeda setiap tahunnya. Di dalam cerita Budak Buncir, cerita tradisi seba juga muncul.


Simpulan
Di Baduy, sastra lisan adalah salah satu media untuk memperkuat ajaran dan norma-norma adat agar tetap dijalankan dan terpelihara sebagaimana mestinya. Perubahan sosial akan selalu terjadi dimanapun, namun pada masyarakat Baduy perubahan-perubahan tersebut terjadi secara evolutif. Hal ini terjadi karena warga Baduy memiliki dan melaksanakan  pikukuh sebagai dasar acuan masyarakatnya. Berdasarkan pembahasan di atas, terdapat keterkaitan antara cerita Budak Buncir dengan kehidupan sosial masyarakat Baduy pada umumnya terutama dari segi ketaatan untuk menghormati alam, orangtua/ pemimpin dan menjaga silaturahmi.






Daftar Rujukan

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Garna, Judistira. K. 1985. Masyarakat Baduy dan Kebudayaannya. Bandung: Pusat Kajian dan Pengembangan Sosial Budaya.
Hadiansyah, Firman. 2010. “Pendekatan Ecocriticism atas Pikukuh Adat Baduy dalam Menjaga Keselarasan Alam dan Manusia” makalah Asosiasi Tradisi Lisan VII di Pangkal Pinang 19-22 November 2010.
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi Aksara dan Untirta.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riyanto, Astim. 1990. Ilmu-ilmu Sosial Dasar (Basic Social Sciences). Bandung:  Yayasan Pembangunan Indonesia.
Teeuw, A. 2005. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. .1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Diterjemahkan oleh Melanie Budianta.



[1] Dipresentasikan pada seminar internasional “Reformulasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda” pada tanggal 9-10 Februari 2011 di Fakultas Sastra Unpad Bandung.
[2] Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Untirta Banten.
[3] (http://www.bentarabudaya.com/wacana.php?id=31 diunduh pada tanggal 15 Januari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar