Sabtu, 11 Juni 2011

PILREK ATAU PIL KB?

PILREK ATAU PIL KB?
Oleh Firman Venayaksa

Pemilihan Rektor (Pilrek) yang diselenggarakan di Untirta ternyata menumbuhkan kenikmatan tersendiri. Ada sivitas akademika yang melihat hal ini secara sinis ada juga yang begitu serius menjalani hari-harinya sebagai tim sukses dadakan. Bagi yang sinis tentu hal ini bisa ditangkap sebagai sesuatu yang wajar, mereka lebih memilih untuk apatis dan tidak memihak. Apa lagi melihat perkembangan Untirta yang masih terseok-seok; fasilitas yang serba minim ditambah pengelolaan kampus yang amburadul tentu tak akan membuat Anda berbetah-betah nongkrong di kampus. Jika Anda datang ke Untirta, akan Anda temui WC yang tak jelas kunci pintunya, genset yang dibiarkan teronggok di belakang gedung dan tempat karcis parkir yang tak jadi difungsikan karena takut didemo warga kampus. Padahal barang-barang itu tentu saja tidak dibeli dari kocek sendiri.
Namun bagi orang-orang yang serius dengan perhelatan ini, Anda bisa menjadi selebritis dadakan. Bagaimana tidak? Anda bisa menjadi tim sukses yang serius dan digandrungi banyak pengikut. Setiap hari Anda bisa meeting di restoran dan sedikit banya bisa melupakan pekerjaan sebagai staf administrasi atau dosen dengan pekerjaan yang menumpuk. Menjadi bawahan memang tidak menarik sama sekali. Disinilah waktunya Anda bisa memainkan peran. Siapa tahu calon yang Anda idamkan bisa jadi rektor sehingga Anda bisa mengubah nasib hidup Anda dengan cepat. Jika kalah toh tak mungkin dipecat. Paling-paling dikucilkan dari peradaban kampus.
Bagi aktivis mahasiswa, tentu hal ini juga menjadi berkah yang dahsyat. Setidaknya mereka bisa ikut jadi penumpang gerbong kereta api kendati tak pernah mengerti siapa masinisnya dan mau dibawa ke mana kendaraan itu ditambatkan. Bagi mahasiswa yang oportunis, hal ini bisa dijadikan sebagai daya tawar untuk dapat beasiswa atau minimal bisa membereskan IPK-nya yang jeblok gara-gara jarang kuliah. Bagi para dosen, hal ini menjadi kian eksotik. Setidaknya mereka bisa menjual suara mahasiswa yang sedang diajarnya (tentu ditambah embel-embel dapat nilai A jika memilih calon yang digadang-gadangnya). Katakanlah jika seorang dosen mengajar lima kelas, satu kelas terdiri atas 40 mahasiswa, maka ia akan mengatakan kepada salah satu calon rektor bahwa ia bisa menggiring 200 mahasiswanya untuk mencoblos dalam proses uji popularitas calon Rektor. Jadi dibanding mudaratnya sebetulnya perhelatan Pilrek ini lebih banyak manfaatnya. Setiap sivitas akademika bisa saling silaturahmi gagasan, menjual gosip-gosip, merekayasa isu-isu murahan sekaligus mengasah bakat terpendam sebagai tim sukses dadakan.
Dari kejadian ini, segala macam anekdot pun berhimpitan di antara hiruk pikuk dukung-mendukung. Setelah membaca harian Radar Banten (9/6/11) berjudul “Dosen dan Mahasiswa terpecah” seorang dosen yang tak akan pernah mau disebut namanya seumur hidupnya berseloroh dengan pertanyaan retoris seperti ini, “apa persamaan antara Pilrek dan Pil KB? Jawabannya sama-sama alat kontrasepsi. Jika pil KB menekan agar tak banyak anak, jika pilrek menekan agar tak banyak calon.” Nah lho!
Awalnya mungkin anekdot ini terkesan serampangan dan tak bisa dipertanggungjawabkan secara literer. Hal ini sebagai konsekuensi dari berkembangnya keinginan sebagian pihak agar tidak menggubris calon dai luar Untirta.  Namun ketika kita merujuk pada Tata Tertib yang disahkan oleh Senat Universitas, hal ini nampaknya tak lagi menjadi guyonan tetapi justru membuat kita menjadi begitu kerdil. Kerdil karena kita merasa bahwa Untirta adalah milik orang-orang yang bekerja di institusi tersebut. Kerdil karena seolah-olah kita tak berani bertanding dengan orang yang di luar Untirta. Kerdil karena cara pandang yang sempit dan sesaat, persis seperti alat kontrasepsi.
Untirta sebagai sebuah institusi adalah bagian dari pemerintah. Dengan demikian, kita harus mengacu pada gaya “demokrasi ala pemerintah” yang salah satunya sekitar 35 persen Menteri Pendidikan Nasional punya saham di senat. Di dalam Permendiknas no 24 tahun 2010 dengan sangat terang dan jelas dideskripsikan mengenai kriteria menjadi seorang rektor. Hingga saat ini tak tertera secuilpun bahwa yang berhak menjadi rektor adalah dosen yang bekerja tetap di kampus itu. Disinilah justru setiap dosen dan sivitas akademika lainnya berperan aktif sekaligus menguji kemampuan dirinya untuk berani bersejajar dengan produk dari kampus lain di luar Untirta.  
Proses semacam ini adalah keniscayaan bagi siapapun yang menjadi dosen. Setiap saat kita “berlomba” untuk membuat penelitian, mengasah kecerdasan intelektual melalui jurnal nasional dan internasional atau berperang gagasan melalui seminar-seminar terbuka. Itulah sejatinya dosen. Anda bisa bayangkan jika dosen tak terbiasa melakukan itu; bagaimana ia bisa mempertanggungjawabkan tridarma Perguruan Tinggi yang sudah harus menjadi konsensus dalam setiap tindakan dan perilakunya? Betapa malunya kita kepada mahasiswa dan masyarakat luas ketika kita tak berani menengadahkan kepala berjumpa dengan akademisi lainnya di luar Untirta. Tentu tak seorang pun mau disebut sebagai akademisi kurung batokeun.
Sebaiknya sivitas akademika yang sedemikian harus segera bertobat dan mengubah paradigmanya sebelum kesesatan kian menjadi labirin. Hal ini sangat mengganggu apabila suatu saat ada dosen Untirta dengan kemampuan istimewa lalu dilamar oleh universitas lain untuk ikut bersaing di luar kampusnya. Cara pandang ini jelas telah mengerdilkan institusi Untirta yang dengan jumawa hendak meraih Wor(l)d Class University. Bagaimana mau menjadi kelas dunia jika dengan universitas tetangga saja tak hendak berkompetisi dengan segala argumen latah dan centil gaya Pilkada itu?
Pilrek seyogyanya harus dibedakan dengan Pilkada yang sekarang ini berhembus kencang mengganggu pondasi kemanusiaan kita. Janganlah membuat oposisi biner antara calon dari luar dan dalam kampus. Dikotomi semacam itu hanya akan menambah citra penggumamnya menjadi sosok yang tak mengerti banyak hal mengenai tabiat kampus yang egaliter. Justru dengan hadirnya Pilrek dalam waktu yang hampir bersamaan, kita harus berani membuktikan kepada masyarakat Banten bahwa Untirta sebagai subordinat dari institusi dan pemikiran dunia harus memberikan pencerahan, bukan justru sebaliknya kita mengadopsi hal-hal aneh yang terjadi di Pilkada. Saya tidak yakin, dari sekian ribu sivitas akademika di Untirta bisa diperlakukan sama seperti Pilkada. Warga kampus adalah warga yang elit-egaliter, cerdas dan punya karakter.
Siapapun calon rektor yang berani mendaftar saat ini harus dilihat sebagai keberkahan tersendiri untuk kampus. Dengan munculnya sepuluh kandidat yang siap berjibaku memimpin Untirta ke depan, berarti ada sepuluh kemungkinan sivitas akademika berubah dan berbuah. Cara berpikir konstruktif semacam inilah yang dibutuhkan kampus, bukan cara berpikir gaya Pil KB yang setiap saat mematikan sel-sel sperma untuk tumbuh dan berkembang.

Penulis adalah Dosen Jurusan Pendidikan  Bahasa dan Seni dan Koordinator Forum Perubahan Untirta.

AKADEMISI DURHAKA

“AKADEMISI DURHAKA”
Oleh Firman Venayaksa

Kehidupan manusia, selain berkehendak menjadi khalifah di muka bumi ini adalah berkehendak untuk dikenang. Tidak salah jika Chairil Anwar di dalam sajak “Aku” menegaskan posisi ini “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Dengan menulis puisi hal itu kini terbukti. Dengan menulis karya-karya yang monumental, hingga saat ini ia dikenang sepanjang masa. Jelas sudah bahwa menulis merupakan hal yang paling mungkin untuk melanggengkan umur manusia yang berbatas itu. Umur Chairil bahkan bisa lebih dari seribu tahun, menjadi panjang, karena karya-karyanya terdokumentasikan dalam bentuk tulisan sehingga bisa dikenang oleh pembacanya.

Gutenberg dan Internetisasi
Disinilah kekuatan sebuah artefak tertulis yang tidak mungkin dimiliki oleh budaya lisan. Apa lagi ketika Johannes Gutenberg pada tahun 1450-an menciptakan alat cetak sehingga tulisan menjadi lebih abadi dan diproduksi secara masif. Pada titik inilah ledakan informasi menggelegar dengan hebat di Eropa. Zaman Renaisans menjadi lebih dahsyat. Proses transformasi ilmu pengetahuan yang sangat cepat dan tidak terelakkan menjadikan manusia-manusia pada zaman itu (termasuk para akademisi di dalamnya) lebih ambisius untuk menciptakan penemuan-penemuan yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya. Wajah duniapun berubah.
Saya berani mengatakan bahwa kondisi pada zaman Renaisans, terjadi kembali detik ini ketika internet mewabah di hampir pelosok dunia. Apa yang terjadi di kutub utara, dalam hitungan detik bisa diketahui di kutub selatan. Akses informasi menjadi sangat mutakhir sehingga siapapun yang tak hendak terlindas oleh zaman seyogianya mesti terlibat menjadi bagian di dalamnya. Jika dulu para akademisi mendatangi perpustakaan untuk mengakses ilmu/ referensi, maka sekarang ini, dengan mengakses internet, perpustakaan digital sudah berada di depan mata yang berisi jutaan informasi keilmuan dan siap diunduh kapanpun kita berkehendak. 
Namun proses koneksi-informasi semacam ini tak bisa lepas dari kendala. Dengan mudahnya kita mendapatkan informasi, dengan mudah pula kita mengklaim sesuatu yang mungkin bukan milik kita. Pada akhirnya istilah plagiat di kalangan akademisi kian dekat di telinga. Semenjak  zaman Gutenberg hingga internetisasi kini, proses plagiasi justru kian mewabah. Para akademisi yang diidentikkan dengan idealisme, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan moralitaspun bobol. Malah mereka menjadi bagian yang sering terkena cap plagiat. Hal ini menjadi sangat menggelikan.

Produk Hukum
Atas penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Cipta, Negara kita telah ambil bagian dengan membuat Undang-Undang Republik Indonesia No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang memuat 78 pasal.
Secara umum, Hak Cipta lebih banyak berurusan dengan dunia seni. Di antara 12 jenis karya yang termuat pada pasal 12, yang berkaitan dengan wilayah akademik berupa karya-karya tertulis. Kemudian untuk memperkuat Undang-undang tersebut, Depdiknas (sekarang Kemdiknas)  membuat beberapa surat dan Permendiknas terutama yang berkaitan dengan upaya pencegahan tindakan plagiat.
1.      Surat Dirjen Dikti no. 3298/D/T/99 tentang Upaya pencegahan tindakan plagiat
2.      Permendiknas no. 17 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di PT
3.      Surat Dirjen Dikti No. 1311/D/C/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat
4.      Surat Dirjen Dikti No. 190/D/T/2011 tentang Validasi Karya Ilmiah

Bahkan dengan memakai momentum Hari Pendidikan Nasional, pada tanggal 4 Mei 2011, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh beserta Pemimpin Perguruan Tinggi dan Koordinator Kopertis seluruh Indonesia mendeklarasikan gerakan anti mencontek dan anti plagiat. Bisa jadi hal ini dikarenakan terdapat beberapa pemberitaan mengenai dugaan plagiasi yang dilakukan sejumlah sivitas akademika. Menurut pantauan Tempo www.tempointeraktif.com yang dirilis pada tanggal 16 April 2010, setidaknya ada empat kasus besar yang muncul ke permukaan terkait dugaan plagiasi. Kasus tersebut secara maraton terjadi pada bulan Februari 2010 (2 Februari melibatkan dosen Universitas Mataram, 4 Februari melibatkan dosen Unpar Bandung, 16 Februari melibatkan dosen Untirta dan 17 Februari yang melibatkan dua calon Profesor dari Kopertis V Yogyakarta)
Dengan memanfaatkan kecanggihan software anti-plagiat di pelbagai situs, para plagiator itu sebetulnya sudah tak mungkin bisa berkutik, sehebat apapun ia berkilah. Tulisan-tulisan yang kental dengan plagiasi akan sangat mudah terdeteksi. Kendati demikian, ketika pelbagai produk hukum yang disertai sanksi telah termaktub dan menjamurnya software pendeteksi anti-pagiat di mana-mana, mengapa kasus plagiat di kalangan akademisi selalu muncul dan tidak membuat plagiator itu kapok? Jawaban paling purna sebetulnya dikembalikan pada wilayah etika.

Akademisi Durhaka
Memahami konsep kehidupan manusia adalah belajar memahami prinsip-prinsip sosial yang ada di sekeliling kita. Sebagai makhluk sosial, kita tak bisa hanya sekadar hidup dan mementingkan ke-diri-an. Perlu ada semacam negosiasi antara kita sebagai manusia yang memiliki domain  pribadi dan kita yang secara alamiah membutuhkan interaksi. Negosiasi menjadi kepastian di dalam proses ini karena dalam ranah tersebut ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertimbangan yang paling sering dipakai di dalam interaksi tersebut adalah etika. Siapapun orang pasti berkeinginan diberi label beretika, sebaliknya orang-orang yang dicap sebagai manusia tak beretika sudah bisa dipastikan akan hidup pada wilayah marginal, sulit berbaur dengan sekelilingnya dan akan lebih sering dikelompokkan pada sifat-sifat antagonis. Pada akhirnya, manusia yang berlabel tak beretika tersebut akan mendapatkan istilah lain seperti orang yang tak bermoral, tak beradab dan seterusnya.
Ternyata begitu penting label etika di masyarakat kita, sehingga mau tak mau interaksi kehidupan ini sering menjadi nisbi, setengah hati dan terkadang dibuat-buat agar tampak sebagai manusia beretika yang diformulasikan dalam konsep tata krama dan atribut-atribut berpakaian. Pada tataran ini, etika ternyata tak hanya melahirkan manusia yang bernegosiasi dengan keadaan; lebih jauh dari itu, atas dasar ketakutan terhadap cap tak beretika, etika lambat laun melahirkan juga manusia-manusia yang tak jujur, penuh dengan muslihat dan begitu banyak basa-basi.
Bagi manusia timur seperti kita, etika tidak hanya sebuah negosiasi dalam interaksi sosial, tetapi telah berubah menjadi sebentuk feodalisme (postivistik). Stereotipe relasi antara orangtua dan anak akan bisa terlihat pada kehidupan sehari-hari. Seorang anak harus patuh dan tidak boleh membantah terhadap segala perintah orangtua. Sikap dan perilaku seorang anak harus terjaga. Di dalam cerita rakyat yang berkembang, seorang anak yang tidak patuh kepada orangtuanya bisa dilaknat dan diberi label sebagai anak durhaka. Hal itu tergambar di dalam cerita Malin Kundang misalnya.
Istilah durhaka yang muncul dari relasi orangtua-anak ini lebih ditekankan pada inisitaif “balas-jasa.” Seorang anak tidak boleh melupakan jasa orangtuanya. Dalam konteks ilmu pengetahuan, seorang akademisi tidak mungkin membuat sebuah temuan atau penelitian  tanpa membaca teks-teks terdahulu, sehingga memunculkan kutipan adalah hal yang wajar untuk memperlihatkan proses “balas-jasa” itu.
Terkait dengan persoalan ini, sebetulnya masyarakat akademik sangat terbuka dan bahkan menjadi “komunitas” penjaga etika. Munculnya plagiasi di kalangan akademik  adalah dosa yang sangat besar dan sulit untuk diampuni. Di dalam dunia akademik, orang-orang yang melakukan plagiasi adalah akademisi yang tidak beretika, bahkan bolehlah kita menamainya sebagai “akademisi durhaka”
Masyarakat akademik adalah “orang-orang terpilih.” Mereka tak hanya berfungsi untuk kampusnya, tetapi juga harus memiliki kepedulian untuk menyebarkan sisi-sisi keilmuan agar masyarakat lain merasakan manfaat mereka. Munculnya deklarasi anti plagiasi oleh Mendiknas dan diikuti oleh pelbagai Perguruan Tinggi di daerah semoga tak berhenti pada ranah seremonial belaka karena “akademisi durhaka” itu mungkin saja ada di sekeliling kita. Atau jangan-jangan si Malin Kundang itu adalah kita.

*) Penulis adalah dosen Untirta dan Tim Teknis Pengembangan Budaya Baca, Kementerian Pendidikan Nasional.