Sabtu, 11 Juni 2011

AKADEMISI DURHAKA

“AKADEMISI DURHAKA”
Oleh Firman Venayaksa

Kehidupan manusia, selain berkehendak menjadi khalifah di muka bumi ini adalah berkehendak untuk dikenang. Tidak salah jika Chairil Anwar di dalam sajak “Aku” menegaskan posisi ini “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Dengan menulis puisi hal itu kini terbukti. Dengan menulis karya-karya yang monumental, hingga saat ini ia dikenang sepanjang masa. Jelas sudah bahwa menulis merupakan hal yang paling mungkin untuk melanggengkan umur manusia yang berbatas itu. Umur Chairil bahkan bisa lebih dari seribu tahun, menjadi panjang, karena karya-karyanya terdokumentasikan dalam bentuk tulisan sehingga bisa dikenang oleh pembacanya.

Gutenberg dan Internetisasi
Disinilah kekuatan sebuah artefak tertulis yang tidak mungkin dimiliki oleh budaya lisan. Apa lagi ketika Johannes Gutenberg pada tahun 1450-an menciptakan alat cetak sehingga tulisan menjadi lebih abadi dan diproduksi secara masif. Pada titik inilah ledakan informasi menggelegar dengan hebat di Eropa. Zaman Renaisans menjadi lebih dahsyat. Proses transformasi ilmu pengetahuan yang sangat cepat dan tidak terelakkan menjadikan manusia-manusia pada zaman itu (termasuk para akademisi di dalamnya) lebih ambisius untuk menciptakan penemuan-penemuan yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya. Wajah duniapun berubah.
Saya berani mengatakan bahwa kondisi pada zaman Renaisans, terjadi kembali detik ini ketika internet mewabah di hampir pelosok dunia. Apa yang terjadi di kutub utara, dalam hitungan detik bisa diketahui di kutub selatan. Akses informasi menjadi sangat mutakhir sehingga siapapun yang tak hendak terlindas oleh zaman seyogianya mesti terlibat menjadi bagian di dalamnya. Jika dulu para akademisi mendatangi perpustakaan untuk mengakses ilmu/ referensi, maka sekarang ini, dengan mengakses internet, perpustakaan digital sudah berada di depan mata yang berisi jutaan informasi keilmuan dan siap diunduh kapanpun kita berkehendak. 
Namun proses koneksi-informasi semacam ini tak bisa lepas dari kendala. Dengan mudahnya kita mendapatkan informasi, dengan mudah pula kita mengklaim sesuatu yang mungkin bukan milik kita. Pada akhirnya istilah plagiat di kalangan akademisi kian dekat di telinga. Semenjak  zaman Gutenberg hingga internetisasi kini, proses plagiasi justru kian mewabah. Para akademisi yang diidentikkan dengan idealisme, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan moralitaspun bobol. Malah mereka menjadi bagian yang sering terkena cap plagiat. Hal ini menjadi sangat menggelikan.

Produk Hukum
Atas penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Cipta, Negara kita telah ambil bagian dengan membuat Undang-Undang Republik Indonesia No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang memuat 78 pasal.
Secara umum, Hak Cipta lebih banyak berurusan dengan dunia seni. Di antara 12 jenis karya yang termuat pada pasal 12, yang berkaitan dengan wilayah akademik berupa karya-karya tertulis. Kemudian untuk memperkuat Undang-undang tersebut, Depdiknas (sekarang Kemdiknas)  membuat beberapa surat dan Permendiknas terutama yang berkaitan dengan upaya pencegahan tindakan plagiat.
1.      Surat Dirjen Dikti no. 3298/D/T/99 tentang Upaya pencegahan tindakan plagiat
2.      Permendiknas no. 17 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di PT
3.      Surat Dirjen Dikti No. 1311/D/C/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat
4.      Surat Dirjen Dikti No. 190/D/T/2011 tentang Validasi Karya Ilmiah

Bahkan dengan memakai momentum Hari Pendidikan Nasional, pada tanggal 4 Mei 2011, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh beserta Pemimpin Perguruan Tinggi dan Koordinator Kopertis seluruh Indonesia mendeklarasikan gerakan anti mencontek dan anti plagiat. Bisa jadi hal ini dikarenakan terdapat beberapa pemberitaan mengenai dugaan plagiasi yang dilakukan sejumlah sivitas akademika. Menurut pantauan Tempo www.tempointeraktif.com yang dirilis pada tanggal 16 April 2010, setidaknya ada empat kasus besar yang muncul ke permukaan terkait dugaan plagiasi. Kasus tersebut secara maraton terjadi pada bulan Februari 2010 (2 Februari melibatkan dosen Universitas Mataram, 4 Februari melibatkan dosen Unpar Bandung, 16 Februari melibatkan dosen Untirta dan 17 Februari yang melibatkan dua calon Profesor dari Kopertis V Yogyakarta)
Dengan memanfaatkan kecanggihan software anti-plagiat di pelbagai situs, para plagiator itu sebetulnya sudah tak mungkin bisa berkutik, sehebat apapun ia berkilah. Tulisan-tulisan yang kental dengan plagiasi akan sangat mudah terdeteksi. Kendati demikian, ketika pelbagai produk hukum yang disertai sanksi telah termaktub dan menjamurnya software pendeteksi anti-pagiat di mana-mana, mengapa kasus plagiat di kalangan akademisi selalu muncul dan tidak membuat plagiator itu kapok? Jawaban paling purna sebetulnya dikembalikan pada wilayah etika.

Akademisi Durhaka
Memahami konsep kehidupan manusia adalah belajar memahami prinsip-prinsip sosial yang ada di sekeliling kita. Sebagai makhluk sosial, kita tak bisa hanya sekadar hidup dan mementingkan ke-diri-an. Perlu ada semacam negosiasi antara kita sebagai manusia yang memiliki domain  pribadi dan kita yang secara alamiah membutuhkan interaksi. Negosiasi menjadi kepastian di dalam proses ini karena dalam ranah tersebut ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertimbangan yang paling sering dipakai di dalam interaksi tersebut adalah etika. Siapapun orang pasti berkeinginan diberi label beretika, sebaliknya orang-orang yang dicap sebagai manusia tak beretika sudah bisa dipastikan akan hidup pada wilayah marginal, sulit berbaur dengan sekelilingnya dan akan lebih sering dikelompokkan pada sifat-sifat antagonis. Pada akhirnya, manusia yang berlabel tak beretika tersebut akan mendapatkan istilah lain seperti orang yang tak bermoral, tak beradab dan seterusnya.
Ternyata begitu penting label etika di masyarakat kita, sehingga mau tak mau interaksi kehidupan ini sering menjadi nisbi, setengah hati dan terkadang dibuat-buat agar tampak sebagai manusia beretika yang diformulasikan dalam konsep tata krama dan atribut-atribut berpakaian. Pada tataran ini, etika ternyata tak hanya melahirkan manusia yang bernegosiasi dengan keadaan; lebih jauh dari itu, atas dasar ketakutan terhadap cap tak beretika, etika lambat laun melahirkan juga manusia-manusia yang tak jujur, penuh dengan muslihat dan begitu banyak basa-basi.
Bagi manusia timur seperti kita, etika tidak hanya sebuah negosiasi dalam interaksi sosial, tetapi telah berubah menjadi sebentuk feodalisme (postivistik). Stereotipe relasi antara orangtua dan anak akan bisa terlihat pada kehidupan sehari-hari. Seorang anak harus patuh dan tidak boleh membantah terhadap segala perintah orangtua. Sikap dan perilaku seorang anak harus terjaga. Di dalam cerita rakyat yang berkembang, seorang anak yang tidak patuh kepada orangtuanya bisa dilaknat dan diberi label sebagai anak durhaka. Hal itu tergambar di dalam cerita Malin Kundang misalnya.
Istilah durhaka yang muncul dari relasi orangtua-anak ini lebih ditekankan pada inisitaif “balas-jasa.” Seorang anak tidak boleh melupakan jasa orangtuanya. Dalam konteks ilmu pengetahuan, seorang akademisi tidak mungkin membuat sebuah temuan atau penelitian  tanpa membaca teks-teks terdahulu, sehingga memunculkan kutipan adalah hal yang wajar untuk memperlihatkan proses “balas-jasa” itu.
Terkait dengan persoalan ini, sebetulnya masyarakat akademik sangat terbuka dan bahkan menjadi “komunitas” penjaga etika. Munculnya plagiasi di kalangan akademik  adalah dosa yang sangat besar dan sulit untuk diampuni. Di dalam dunia akademik, orang-orang yang melakukan plagiasi adalah akademisi yang tidak beretika, bahkan bolehlah kita menamainya sebagai “akademisi durhaka”
Masyarakat akademik adalah “orang-orang terpilih.” Mereka tak hanya berfungsi untuk kampusnya, tetapi juga harus memiliki kepedulian untuk menyebarkan sisi-sisi keilmuan agar masyarakat lain merasakan manfaat mereka. Munculnya deklarasi anti plagiasi oleh Mendiknas dan diikuti oleh pelbagai Perguruan Tinggi di daerah semoga tak berhenti pada ranah seremonial belaka karena “akademisi durhaka” itu mungkin saja ada di sekeliling kita. Atau jangan-jangan si Malin Kundang itu adalah kita.

*) Penulis adalah dosen Untirta dan Tim Teknis Pengembangan Budaya Baca, Kementerian Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar