Sabtu, 29 Januari 2011

KUALAMATKAN SURAT CINTA INI KEPADA AKTIVIS MAHASISWA UNTIRTA

KUALAMATKAN SURAT CINTA INI KEPADA AKTIVIS MAHASISWA UNTIRTA

Oleh Firman Venayaksa

Pada akhirnya aku harus menuliskan kegelisahanku tentang Pemira mahasiswa Untirta yang hingga kini makin tak jelas. Akupun tak tahu mengapa tiba-tiba aku menulis persoalan yang sama sekali tak berhubungan dengan kehidupanku; atau jangan-jangan karena mahasiswa di kampus itu sudah menjadi bagian dalam hidupku sehingga setiap detik kejadian selalu menyeretku pada kepenasaran-pengertian?

Sumpah, aku bukan orang yang begitu senang dengan dunia perpolitikan. Politik kampus dan negara sudah tak ada bedanya. Bahkan tak sedikit mahasiswa yang berbahagia dan membaptis kampus sebagai miniatur negara. Hah, cara pandang macam apa lagi ini? Sudah jelas dengan istilah ini kampus dikerdilkan, kok malah jadi bangga? Aneh. Atas dasar itulah, lantas para aktivis mahasiswa mengikuti segala hal yang terjadi di negara. Dibuatlah konsep-konsep miniatur seperti Presiden Mahasiswa, DPM dan MPM. Lalu agar terkesan mirip negara, maka Presiden mahasiswanya dipilih langsung oleh para mahasiswanya; tapi dewan legislatifnya lupa dipilih mahasiswa? Agar mirip negara, dibuatlah KPU-KPU-an tetapi mereka lupa membuat Panwaslu-Panwaslu-an? Sehingga atas dasar miniatur negara itu, mereka pun ikut-ikutan mempolitisasi apapun yang bisa dipolitisasi, agar seperti para politikus yang kini jadi selebritis di televisi. :Lantas kisruhlah mereka seperti kisruhnya Pilkada di daerah-daerah. Ternyata benar, mereka memang lebih senang disebut miniatur; lalu ikut mini pulakah otak dan mata batinnya? Semoga tidak.

Aku tak mungkin menyalahkan mereka. Aku tak mungkin membenci mereka. Aku terlalu jatuh cinta kepada mereka! Kalau saja aku punya seribu tangan, maka seribu tangan itu akan kuguncangkan kepada pundak mereka lantas kupeluk rapat-rapat mereka di dadaku. Walau terkadang mereka meradang, keras, sulit dikendalikan, tapi aku lebih percaya kepada mahasiswa semacam itu daripada para dosen dan petinggi Untirta. Sudah banyak kasus yang menyeretku pada ketidakpercayaan institusi kampus. Aku dan 80 dosen Untirta protes karena pemotongan dana penelitian, lalu menguap begitu saja. Aku dan puluhan dosen kesal karena ada Profesor yang jelas-jelas plagiat, para senat Untirta dengan gagahnya menyatakan bahwa itu hanya kekeliruan mengutip belaka. Lalu aku malah disebut sebagai dosen pembuat onar dan sering merusak stabilitas kampus. Ah, rumit memang kalau bicara Untirta di masa sekarang. Mau dibawa kemana Untirta, wahai birokrat kampus? Kalian seenaknya menggagas penerimaan mahasiswa Nonreguler yang SPP-nya lebih mahal tapi kalian tak peduli jika listrik tiba-tiba mati ketika dosen dan mahasiswa kuliah di malam hari. Di suatu malam, ketika listrik mati, aku dan mahasiswaku iuran untuk beli lilin. Ya, kami pernah kuliah hanya diterangi lilin! Lalu aku bisiki kepada mahasiswaku,  "lebih baik menyalakan lilin daripada memaki kegelapan." Kubisiki lebih dekat lagi "kalian lihatlah dengan seksama lilin itu. Dia rela menghancurkan dirinya untuk menerangi ruangan ini. Seperti laron yang berpendar mencari titik terang, kita hanya hidup satu kali, maka jadikanlah hidupmu berarti. Mari kita bidik masa depan yang lebih cerah, walau dimulai dari keremangan di malam ini.."

Ya, masa depan. Aku percaya suatu saat nanti Untirta bisa bersejajar dengan kampus-kampus lain yang lebih ternama. Optimisku ini tidak berlebihan kurasa. Ya, dari mahasiswa yang suka meradang, keras, sulit dikendalikan itulah sepertinya Untirta akan bangkit. Aku percaya bahwa para aktivis hari ini akan mewarnai Untirta dikemudian hari; menjadi dosen-dosen yang cerdas, berani dan canggih. Aku percaya bahwa para aktivis sekarang memiliki kelebihan dibanding mahasiswa kupu-kupu; tukang nongkrong dan tak peduli dengan urusan kampus. Mereka yang sekarang sedang terlibat kisruh itulah yang sebetulnya lebih mencintai Untirta dengan segenap hati. Tak mungkin bereka beradu argumen siang malam jika tak menyayangi almamaternya. Sistem yang mereka jalankan mungkin saja salah; cara bertindak mereka mungkin saja gegabah; justru dari kesalahan, kegegabahan dan dicampur dengan sedikit kekurangajaran yang menjengkelkan temannya dan birokrat kampus itulah mereka bisa belajar. Pembelajaran harus dimulai dari kesadaran akan kesalahan dan belajar menerima kekalahan.

Ya, persoalannya di Pemira Untirta sekarang ini para aktivis belum mau belajar dari kesalahan, belum berani menerima kekalahan. Padahal belajar dari kesalahan dan berani menerima kekalahan adalah bagian dari kedewasaan. Padahal kalian memiliki potensi untuk lebih dewasa dari para politikus sungguhan di luar sana karena jiwa kalian masih murni; darah kalian masih suci; otak kalian masih segar. Tak ada kata menyerah untuk menegakkan kebenaran, sekalipun jalannya harus pahit. Biarkanlah kepahitan hari ini menjadi obat peradaban yang bisa kalian tulis dengan gagah di masa mendatang. Jangan mau kalian disamakan dengan para politikus di sana yang patut kita tertawakan dan kita lecehkan. Kalian bukan jawara bayaran yang ditakdirkan untuk menyelesaikan masalah dengan intrik-intrik kekerasan. Jika kekerasan yang kalian lakukan, maka aku bersumpah akan membuatkan ring tinju untuk kalian. Siapa tahu di antara kalian ada yang tersadarkan bahwa kalian lebih pantas menjadi penerus Elias Pical daripada Soekarno, Hatta, Tan Malaka. Janganlah merasa benar sendiri jika masih ada kebenaran kolektif di cakrawala. Jangan buat kalimat-kalimat pembenaran jika kesalahan di depan mata. Selesaikan masalah Pemira ini dengan kepala dingin, bukan kepala batu. Tengoklah jari tanganmu ketika menuding orang lain karena empat jari lainnya justru menudingmu!

Wahai aktivis mahasiswa Untirta, jangan kalian habiskan energi mudamu untuk saling menjatuhkan sementara masih ada rakyat menunggu pikiran dan tenagamu di batas garis kemiskinan.

Untukmu, ya hanya kepadamu kualamatkan surat cinta ini. Kutunggu kau dengan hati berdebar dan nafas yang tertahan.*)



Tanah Air, Sabtu 29 Januari 2011. 02.20 AM
*) Di dalam tahajudku, kudoakan keselamatan kalian.