Senin, 21 Februari 2011

LIGA PEMBACA SASTRA: KETIKA SEPAKBOLA DIBUNGKAM MAKA SASTRA BICARA

Setelah program Kelas Menulis Rumah Dunia yang diasuh Gol a Gong bergulir  tiap Minggu sore dan Majelis Puisi  yang diinisiasi oleh Toto ST Radik pada Minggu pagi, kini Rumah Dunia membuat program tambahan di Minggu malam. Program tersebut dinamai Liga Pembaca Sastra.  Firman Venayaksa menjadi penyelenggara program ini sekaligus menjadi wasit untuk leg berikutnya.

“Liga Pembaca Sastra adalah sebuah perlawanan terhadap Nurdin Halid yang mencoba merusak tatanan sportivitas persepakbolaan di Indonesia. Persepakbolaan kita terancam sehingga sebagai orang sastra, kita harus melakukan perlawanan!” ungkapnya bercanda. Kemudian Firman melanjutkan. “Dengan memahami sejarah sastra, kita bisa mengenal dan menemukan ruh dari diskusi LPS ini.”

Liga Pembaca Sastra adalah sebuah diskusi  sastra yang dikaitkan antara sastra sebagai sebuah karya dengan tokohnya yang tak bisa lepas dari sastra. “Di universitas besar seperti UI, tokoh dan pokok sastra diajarkan mengingat disinilah awal mula calon sastrawan dan kritikus sastra memulai debutnya. Tak sedikit para penulis yang lupa atau pura-pura lupa untuk membaca sekaligus mengetahui sejarah sastra Indonesia dan ini sangat berbahaya. “ lanjut Firman.

Liga Pembaca sastra dimulai pada malam tadi (20 Februari 2010) dan diakhiri pada minggu ke-13. Setiap Minggu mereka akan membahas. Malam pertama mereka membahas mengenai Sutan Takdir Alisjahbana.  LPS memulai perhelatannya dengan pembacaan puisi STA dari para peserta, menonton film dokumenter STA baru dilanjutkan dengan diskusi seputar STA, mengenai polemic kebudayaan hingga hal-hal yang berurusan dengan pribadi STA.

Anas, salah seorang relawan Rumah Dunia cukup terinspirasi dengan STA. “Jadi mulai sekarang kalau beli buku, saya akan mengikuti gaya STA. saya akan beli tiga buku. Satu buku disimpan buat koleksi pribadi, dua lagi dijual untuk menutupi buku yang dibeli.”

Mingggu depan LPS akan melanjutkan diskusi dengan membahas tokoh AA Navis. Pembicaranya Harir Baldan, tukang gorengan yang kini menjadi wartawan dan Abdul Salam, anak SMA yang sedang gandrung menulis puisi.