Rabu, 30 November 2011

Catatan Perjalanan Dari Talaud-Sulut

Salam Damai dari Talaud
: Sebuah Catatan Visitasi Kawasan Tertinggal dan Terpencil
Oleh FirmanVenayaksa

Talaud adalah sebuah kabupaten kepulauan yang berada di provinsi Sulawesi Utara dan berbatasan langsung dengan Philipina. Awalnya, Talaud bersatu dengan Sangihe sebagai sebuah kabupaten. Semenjak Tahun 2002, Talaud berdiri sendiri dan menjadi kabupaten kepulauan yang sangat penting untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pantainya yang masih segar, wilayahnya yang masih hijau, ditambah dengan masyarakat sekitar yang ramah, sangat potensial untuk berkembang. Belum lagi Sumber Daya Alam yang melimpah, menambah kekayaan tersendiri bagi masyarakat Talaud.
Namun geopolitik yang sempat mengemuka di kabupaten ini, terutama pada kasus Bupati Talaud yang dipenjara tujuh tahun karena terlibat melakukan korupsi, membuat kabupaten ini masih mencari bentuk. Begitupun dengan alat transportasi yang sangat terbatas dan kapal pemasok BBM yang hanya dua minggu sekali menjambangi Talaud, membuat segala aktivitas terhambat. Bayangkan, harga normal bensin di sini bisa mencapai Rp. 12.000/ liter dan bisa sampai dikisaran Rp. 25.000 jika pasokan BBM terlambat datang.
Imbas dari hal tersebut membuat transportasi menjadi sangat mahal. Padahal sebagai sebuah kabupaten dengan beberapa pulau yang tersebar di kawasan ini, speed boat sebagai alat transportasi yang sering di pakai masyarakat Talaud, sangat krusial. Dikarenakan BBM yang mahal, hanya orang-orang tertentu  saja yang memakainya. Sebagai ilustrasi, menuju kecamatan Nanusa, sebagai gugusan pula terluar dari kabupaten Talaud, Anda harus mengeluarkan dana sekitar 5 juta untuk menyewa speed boat bermesin dua. Itupun jika cuaca sedang bersahabat. Jika cuaca sedang tidak ramah seperti sekarang ini, speed boat bermesin dua jelas tidak mungkin bertenaga untuk melawan gelombang pasifik yang “brutal”. Jika Anda tetap memaksa menyewanya, tak sedikit yang kemudian terhempas gelombang hingga ke negara Philipina. Akan lebih aman  jika Anda menyewa speed boat bermesin empat, walaupun konsekuensinya Anda harus mengeluarkan uang di atas 10 juta rupiah. Jika mengandalkan kapal perintis yang hanya dua minggu sekali dari Kabupaten Talaud menuju Kecamatan Nanusa dengan jarak 9 mil, tentu itu menjadi persoalan tersendiri.
***
Anda mungkin tidak akan percaya jika belum sampai di tempat ini, namun begitulah yang terjadi. Ketika pertama kali saya diminta untuk mendatangi wilayah ini bersama Lucy, yang bekerja di Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat (Bindikmas), saya langsung meng-iya-kan. Sebagai Tim Teknis di Bindikmas, tentu tak ada alasan bagi saya untuk menolak. Ketika Lucy mencari informasi mengenai Talaud dari Dinas Pendidikan di Manado, ia langsung mengundurkan diri. “Saya tak berani datang ke sana. Medannya nggak cocok untuk perempuan,” katanya. Akhirnya Ia digantikan oleh Franky Albert yang menjadi staf di kantor yang sama.
Perjalanan menuju Manado dimulai pada hari Minggu malam (21/11/2011). Kami sengaja mengambil waktu tersebut karena hari Senin pagi pukul 10.00 adalah jadwal penerbangan menuju Kabupaten Talaud, tempat yang kami tuju itu. Saya mendapatkan tiket tersebut atas bantuan dari Arther Panther Olli, seorang sastrawan asal Manado. Tiba di bandara Sam Ratulangi, kami dijemput oleh Yenni, Kasie dari BPKP Manado. Keesokan harinya, setelah bertandang ke Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Utara, kami langsung menuju Bandara, ditemani Yenni dan dua orang staff yang ditugasi menemani perjalanan.
Perjalanan dari Menado menuju Talaud ditempuh sekitar satu jam. Tiba di bandara yang kecil itu, kami disambut oleh Max, ketua SKB dan langsung diajak bertemu dengan Pade, Kabid PNFI Dinas Pendidikan Kab Kepulauan Talaud. Di kantornya kami menjelaskan tujuan kami dengan penuh antusias. Namun Pade menghela nafas beberapa kali dan menjelaskan betapa sulitnya menuju Kakarotan-Nanusa. Pade menjelaskan mengenai informasi yang saya tulis di atas dan ia pun tak bisa berbuat banyak. Sebetulnya kendala ini sempat didiskusikan di Dikmas, terutama mengenai anggaran perjalanan menuju Nanusa yang harus menyewa speedboat. Solusinya, karena memang tak ada dana untuk menyewa, akhirnya kami ditugaskan untuk mencari informasi seefektif mungkin walau tak sampai ke tempat yang dituju.
Tak selesai hingga obrolan di kantor Dinas Pendidikan, kami mencoba untuk membuktikan dengan mata kepala kami sendiri mendatangi dermaga. Kami langsung ngobrol dengan pemilik speed boat. Alhasil, tak ada perbedaan informasi. Masih di tempat tersebut, secara tidak sengaja, saya berjumpa dengan seorang teman. Ia adalah peneliti dari IPB yang juga akan pergi ke pulau yang tak jauh dari tujuan kami. Hampir saja kami bisa “nebeng”. Persoalannya jadwal kepulangan tim kami dengan mereka berbeda, sementara tiket pesawat PP sudah tak bisa di cancel. Dengan penuh kecewa kamipun pergi dari dermaga itu dan mencari alternatif lain agar bisa tetap menghimpun data akurat untuk dilaporkan.
***
Setelah mendapat realitas bahwa kami tak bisa ke PKBM Rano di Desa Karatung Selatan, Kecamatan Nanusa, akhirnya kami memutuskan untuk menelusuri beberapa dokumen dan melakukan wawancara. Informan awal, tentu dimulai dari Kres Pade, Kabid PNFI Talaud yang memang membawahi kegiatan Pendidikan Masyarakat, termasuk PKBM Rano. Menurutnya Program Kawasan Tertinggal dan Terpencil (KTT) sangat bagus, terutama bagi kabupaten kepulauan. “Terus terang atas program KTT ini kami merasa diperhatikan oleh pemerintah pusat, namun karena pelbagai kendala teknis, di tingkat kabupaten, kami belum bisa terlibat begitu banyak, terutama dalam dana pendampingan.” Pade menjelaskan bahwa Pendidikan Masyarakat yang telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan pada tahun 2010 kepada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah pelatihan-pelatihan tenaga pendidik dan kependidikan. “Kami mengumpulkan para pengelola PKBM untuk dilatihan hal-hal yang berkenaan dengan kemampuan SDM.”
Selain itu, kendala yang dihadapi oleh Dinas Pendidikan setempat untuk melakukan monitoring kegiatan-kegiatan PKBM adalah terkait transportasi. “Harga bensin perliter saja bisa 25 ribu. Ke Nanusa bahkan harus menyiapkan 10 juta jika ingin sampai ke sana, sementara dana teknis untuk perjalanan masih sulit. Jadi alternatifnya adalah jika ada kegiatan, ya sekaligus mengumpulkan informasi terkait PKBM yang sudah dijalankan. Begitulah cara kami memonitoring PKBM hingga saat ini.”
Secara umum, kegiatan yang dikembangkan PKBM di Talaud lebih diarahkan pada Kewirausahaan Desa, Keaksaraan Usaha Mandiri, terutama menyangkut life skill. “Fokus dari PKBM adalah pusat kegiatan masyarakat, sehingga manfaat dari lembaga ini harus jelas dan memiliki dampak yang bagus kepada masyarakat sekitar. Kegiatan ekonomi dan kecakapan hidup lebih kami angkat agar masyarakat bisa berdaya. Dengan begitu kelak mereka bisa mandiri,” ujarnya. Terkait dengan Program KTT, Pade menambahkan, “pada tahun 2010 Kemdiknas (kini Kemdikbud) memberikan dana untuk keaksaraan komunitas khusus dan Menkokesra membantu parabola untuk komunikasi. Pada tahun 2011, Kemsos membangun 40 unit rumah dan 40 KK di Desa Kakorotan mendapat jatah beras 30 kg/ bulan. Bantuan ini sangat berguna untuk masyarakat. Kedepan kami berharap agar bantuan ini bisa ditingkatkan, terutama untuk memfasilitasi akomodasi-transportasi agar kegiatan monitoring dan evaluasi bisa kami lakukan setiap saat.”
Keesokan harinya kami mewawancarai penyelenggara PKBM Rano, Asher Gahansa dan warga belajar PKBM, Kres Talau. Sebagai penyelenggara, Asher menjelaskan penggunaan dana yang didapat dari Bindikmas sebanyak 92 juta. “Kami melakukan pelatihan pengolahan ikan asin kadar garam rendah. Kegiatan tersebut diberi nama Keasksaraan Usaha Mandiri (KUM). Peserta pelatihan ada sekitar 200 orang asli dari Desa kakorotan.” Program tersebut dibantu oleh pihak stakeholder terkait seperti dosen Unsrat Manado, tenaga ekonomi dan lain-lain. Sementara itu, Asher Hagansa selaku peserta merasa terbantu dengan pelatihan semacam ini. Ia tertarik untuk ikut karena ingin mendalami kegiatan ekonomi. “Setelah diberikan pelatihan, saya jadi bisa mengembangkan di tempat sendiri. Pelatihannya tidak terlalu sulit jadi mudah untuk diikuti.” Ia menambahkan, “kalau bisa, setelah selesai pelatihan, dilanjutkan dengan bantuan pendanaan. Kami lemah untuk urusan itu karena kami masyarakat miskin. Semoga ke depan pihak pemerintah pusat bisa mengucurkan dananya.”  
Program Kawasan Tertinggal dan Terpencil (KTT) yang diinisiasi oleh pelbagai kementerian ini adalah terobosan yang menarik. Dengan lintas sektoral semacam ini diharapkan agar kawasan tertinggal dan terpencil bisa mengejar ketertinggalan dari wilayah lain yang sudah mulai menggeliat dengan segala macam pembangunan.

*) Tim Teknis Subdit Sarana dan Prasarana Bindikmas dan Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten.