Minggu, 30 Desember 2012

Puisi Multimedia dan Apresiasi Puisi*)





Oleh Firman Venayaksa

Sebelum menjelaskan perihal pembelajaran sastra kita di sekolah, saya kembali teringat pada sebuah film “Dead Poets Society” yang dirilis pada tahun 1989. Film ini menceritakan tentang seorang guru sastra (diperankan oleh Robin Williams) yang cukup progresif, atarktif dan unik. Cara mengajarnya yang melawan hegemoni konvensional itu membekas di mata para siswanya. Melalui puisi, para siswa itu diajarkan untuk mencicipi kebebasan melalui puisi setelah sekian lama terkerangkeng oleh prinsip-prinsip akademik yang kaku. Namun tak demikian dengan lembaga sekolah yang mengusung prinsip ortodoks. Cara mengajarnya “yang aneh” membuat sang guru itu terpaksa harus angkat kaki dari sekolah.
Film ini mengingatkan kembali pada realitas pembelajaran sastra di sekolah-sekolah kita hari ini. Seorang guru tidak boleh “nyeni.” Ia harus berpakaian kemeja dan kain katun, mengajarkan tata krama, dan berjarak dengan para siswa agar timbul penghormatan. Kebekuan karakter ini yang kemudian menjalar pada tata cara mengajarkan puisi di sekolah. Puisi tak ubahnya ilmu pasti, yang harus jelas dan terukur, mampu untuk memberikan pencerahan layaknya kitab suci. Hal ini jelas bertentangan dengan puisi sebagai bagian dari ranah kesenian dan sangat interpretatif. Puisi tidaklah kaku dan terus berubah seiring perubahan zaman dan guru sebagai ujung tombak pembelajaran sastra di sekolah, idealnya mengikuti sesuai dengan ilmu yang dianutnya. Film “Dead Poets Society” juga mengajarkan kepada kita bahwa tak selamanya puisi sebagai salah satu jenis sastra bisa diterima oleh khalayak.

Puisi dan Institusi Sekolah
Horatius, seorang filosof pada zaman masa lampau dan sering dikutip oleh para seniman hingga masa kini, menegaskan bahwa seniman bertugas untuk decore dan delectare, memberikan ajaran dan kenikmatan. Dua kategori ini menjadi bagian yang sangat penting untuk memulai tema ini. Jika kita sepakat dengan pendapat Horatius, maka sudah sewajarnya nilai ajar (pendidikan) dan kenikmatan (hiburan) menjadi dua hal yang seyogyanya terus beriringan. Bahkan Horatius menambahkan dengan istilah movere, menggerakan penikmat seni ke arah kegiatan yang bertanggungjawab. Selain itu seni juga harus menggabungkan sifat utile dan dulce; bermanfaat dan manis. Dari sinilah letak awal keterkaitan antara seni (termasuk puisi) dan dunia pendidikan.
Puisi hadir dalam institusi sekolah terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Artinya, guru Bahasa dan Sastra Indonesia tidak sekadar mengajarkan puisi. Ia juga harus mengajarkan bahasa. Dengan demikian, porsi pembelajaran puisi memang sangat kecil. Apa lagi puisi harus dicacah dengan aliran sastra lain seperti prosa fiksi dan drama.
Hal ini diperparah dengan fenomena sang guru yang kadang enggan untuk menjelajahi dan mengakses puisi-puisi yang berkembang cukup cepat, sehingga yang diajarkan oleh guru kembali pada puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah atau Taufiq Ismail. Kecenderungan ini mengakibatkan tidak teraksesnya puisi-puisi dari para penyair kekinian. Sebetulnya konsep majalah Horison—sebagai sebuah contoh-- dengan mendatangkan para sastrawan ke sekolah-sekolah sudah cukup baik. Setidaknya kejadian tersebut sedikit banyak mengubah paradigma siswa (sekaligus guru) yang hanya mengenal sastrawan berdasarkan teks yang dikenalkan guru di sekolah. Namun dengan pendanaan yang terbatas dan kemampuan pihak Horison yang juga berbatas, mengakibatkan project semacam ini terpaksa terhenti.
Ataukah keengganaan guru untuk mencari puisi-puisi terbebani dengan persoalan kurikulum dengan segala macam standar kompetensi yang harus dikejarnya? Berikut adalah standar kompetensi (KTSP) dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
1.    Sebagai sarana peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa
2.    Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
3.    Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengambangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4.    Sebagai sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan
5.    Sebagai sarana pengembangan penalaran; dan
6.    Sebagai sarana keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah sastra Indonesia.

Jika kita membaca standar kompetensi di atas, beban kerja guru Bahasa dan Sastra Indonesia memang sangat berat. Selain harus menjelaskan perihal ilmu tentang bahasa dan sastra; mereka juga dibebani dengan berbagai peningkatan-peningkatan yang muluk dan terkesan hanya berhenti di ranah slogan semata. Selain itu, tuntutan guru Bahasa dan Sastra Indonesia jauh lebih berat karena ada urusan dengan Ujian Nasional yang sering menjadi hantu pendidikan. Fakta inilah yang kemudian berimplikasi pada proses pembelajaran yang hanya mengejar wilayah kognitif. Banyak guru yang terjebak dengan urusan “yang penting lulus” sehingga melupakan sisi psikomotorik; wiayah-wilayah yang jauh lebih ekspresif dan estetik.
Namun lain halnya jika kita melihat dalam kacamata siswa. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain di sekolah, pelajaran sastra memiliki potensi untuk lebih digandrungi dibandingkan dengan mata pelajaran lain karena sastra (puisi) secara konsep tidak hanya berhenti pada ilmu pengetahuan (science) tapi juga seni (art). Hal ini yang tak boleh dilupakan oleh guru dalam proses pembelajarannya. Atas dasar ini maka tugas guru bukan hanya selesai pada urusan mentransfer ilmu-ilmu sastra baik teori maupun sejarah kesusastraan; tapi ia juga pengajar seni.
Pernyataan ini diperkuat oleh Anwar (2011: 121) yang menyatakan bahwa meskipun kurikulum berganti-ganti, secara teoretis tujuan pembelajaran sastra pada dasarnya meliputi dua hal pokok: pengetahuan sastra dan pengalaman bersastra. Tujuan pertama mengacu pada perolehan wawasan mengenai segi-segi pengetahuan (sejarah dan unsur-unsur sastra misalnya) dan tujuan kedua mengacu pada pemerolehan pengalaman langsung bersastra (membaca, menulis, menggelarkan karya sastra misalnya). Problematika yang dihadapi guru dalam pembelajaran di sekolah lebih merujuk pada hal pokok kedua karena kurangnya kreatifitas guru. Berbeda dengan pokok pertama yang lebih menekankan pada wilayah keilmuan, pokok kedua sangat bergantung pada kemampuan guru untuk merangsang siswa dengan membuat media alternatif pembelajaran puisi sehingga dengan cara semacam ini, pembelajaran puisi tidak membosankan.

Puisi Multimedia
Menelisik perkembangan puisi dari zaman ke zaman, kita akan menemukan pelbagai mozaik yang menjadi penanda zaman. Mulai dari bentuk puisi hingga estetika dan daya ungkap bisa kita telusuri. Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena perkembangan sosial-politik, kontak kebudayaan bahkan ada kaitannya dengan teknologi.
Pada awal tahun 2000, ketika para sastrawan memanfaatkan teknologi internet dan dibukanya situs www.cybersastra.net muncullah beragam kontak dialogis yang cukup meriah. Perdebatan begitu sengit terjadi. Istilah-sitilah seperti “sastra sampah” atau “sastra alternatif” menjadi dikenal publik sastra. Di antara perdebatan yang mengemuka itu, ada satu hal yang menurut saya menjadi semacam keywords yaitu akses. Ketika keran akses dibuka, sekarang ini kita begitu mudah untuk melacak puisi-puisi di dunia maya. Perkembangan puisi tidak lagi terfokus pada perayaan rubrik sastra seminggu sekali di media massa. Kini puisi bisa dirayakan oleh siapapun dengan kemungkinan estetika sebebas apapun. Dalam hal ini, media memiliki peranan penting dalam menyebarluaskan puisi.
Sekaitan dengan hal tersebut, maka puisi sebagai salah satu jenis aliran seni sudah sewajarnya “berdialog” dengan jenis seni lainnya seperti musik, teater atau film. Puisi tidak saja bisa dinikmati dengan gaya ortodoks seperti membaca teks, tetapi bisa juga diapresiasi dengan audio-visual. Atas “negosiasi” antara puisi dengan aliran seni lain, maka istilah-istilah pun berkembang seperti musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, filmisasi puisi, puisi multimedia dan seterusnya. Esensi dari “negosiasi” tersebut sebetulnya ingin menciptakan ruang saji yang berbeda dari biasanya. Proses memadukan ini tidak terlepas dari kesadaran penyair agar bisa meraup apresiator sebanyak mungkin dan yang paling penting adalah menumbuhkan ruang alternatif dalam mengekspresikan karya-karyanya.

Belajar dari Puisi Multimedia Asrizal Nur
Pada perhelatan pertemuan-pertemuan penyair yang di dalamnya sering menggelar acara apresiasi berupa pembacaan karya dari para penyair; setidaknya ada tiga jenis penyair yang merespons. Pertama, penyair yang “rindu panggung.” Ia akan sangat siap jika diminta untuk membacakan puisi. Selain ia sudah terbiasa, ia piawai melakukan aksi yang demonstratif. Kedua, ia tak memiliki kemampuan membaca puisi yang baik. Dengan penuh keterpaksaan, ia lantas memaksakan diri. Ketiga, adalah penyair yang memang tak bisa membaca puisi dengan baik dan ia memilih membaca biasa saja.
Konsep pembacaan di panggung tentu berbeda dengan pembacaan biasa yang tidak ditonton oleh khalayak. Ketidaksiapan penyair (apalagi yang tidak memiliki background pemanggungan) akan terlihat seadanya sehingga tak menemukan kesan. Ketika puisi dibacakan, seperti yang diungkapkan oleh Toto ST Radik, sebetulnya puisi menjadi tunduk pada hukum-hukum panggung. Tempat pemanggungan, musik, lighting bahkan bisa jadi urusan durasi memiliki posisi yang juga penting bersanding dengan puisi sebagai teks yang menjiwai pementasan.
Asrizal Nur adalah salah satu penyair yang bisa dengan piawai mengkomunikasikan puisi yang berupa teks untuk dipanggungkan. Tak semua penyair bisa memadukannya. Berbekal keapikan memilih tema dalam puisi-puisinya, ditambah dengan predikatnya sebagai deklamator yang sering memenangkan lomba-lomba pembacaan puisi bergengsi di Tanah Air, Asrizal Nur kerap kali menghipnotis para penonton dengan konsep Puisi Multimedia.
Konser Puisi Multimedia yang dikenalkan oleh Asrizal Nur pada tahun 2009 di Taman Ismail Marzuki menyedot perhatian publik dengan ditonton tak kurang oleh 800 orang. Konser tersebut dibantu oleh Dindon Ws (penata laku), Yasier Arafat (live music), Dika dan Adi (penata musik program), Eeng Koti (penata tari), Dody (penata video), M. Aidil Usman (penata cahaya), dan Joko Mulyadi (penata panggung). Kini konser puisi multimedia tersebut bisa didapatkan oleh apresiator melalui DVD.
Puisi multimedia yang dimaksud disini adalah sejumlah perangkat teknologi yang menjadi pendukung pembacaan puisi. Perangkat teknologi tersebut diramu; mulai dari musik hingga klip (animasi) dan dikompres dalam bentuk CD. Asrizal Nur harus menyesuaikan antara pembacaan puisi dengan video klip yang diputar dan diperbesar di layar lebar sehingga bisa ditonton secara luas. Proses semacam ini jelas membutuhkan latihan yang sangat intens. Pembaca puisi harus belajar dalam hitungan detik untuk menyesuaikan dengan irama dan ruh dari puisi itu sendiri. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari puisi multimedia berjudul “Kuda” yang berdurasi 1 menit 50 detik. Secara visual, klip “Kuda” hanya memerlihatkan sekumpulan kuda yang sedang berlari kencang yang dibantu dengan audio berupa suara derapan kuda yang terus menerus menghentak mengikuti pembacaan puisi yang dilakukan oleh penyairnya. Keberhasilan dari sesi ini adalah terjalinnya suasana antara media pendukung dan pembacaannya.
Saya membayangkan jika proses puisi multimedia yang diciptakan oleh Asrizal Nur bisa diadaptasi dan dikembangkan dalam proses pembelajaran apresiasi puisi di sekolah-sekolah. Secara kuantitas, siswa di kelas cukup banyak dan ini adalah modal utama dalam berkolaborasi. Tinggal proses pembuatan puisi multimedia lebih disederhanakan dan disesuaikan dengan kemampuan sekolah dengan memanfaatkan perangkat yang ada. klip bisa dibuat berdasarkan foto-foto yang diambil melalui perangkat handphone misalnya lalu ditayangkan melalui infokus yang disesuaikan dengan kebutuhan puisi yang telah dipilih oleh siswa. Untuk audio, siswa bisa merekam dari hasil ciptaan sendiri atau memanfaatkan ilustrasi musik instrumental. Yang paling penting dari semua itu adalah proses berkolaborasi sehingga tercipta suasana kolektif yang menyenangkan.

  
*) Kertas kerja ini disampikan pada perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi 30 Desember 2012 

Minggu, 30 September 2012

PUTRI SULTAN SERDANG DIRIKAN TAMAN BACAAN MASYARAKAT




Workshop Blog dan Media Sosial bagi pengelola TBM yang diselenggarakan di Medan oleh Forum Taman Bacaan Masyarakat bekerjasama dengan PPTK Paudni berakhir pagi itu. Kegiatan tersebut dilaksanakan mulai 26-29 Sptember 2012. Pikiran terasa beku dan untuk mencairkannya para peserta berburu oleh-oleh atau mendatangi tempat-tempat wisata. Sebagian ada yang sudah pulang mengejar pesawat.

Pagi itu, saya, Tarmizi dari TBM Rumah Hitam-Batam dan Dedi dari TBM Kedai Proses-Lebak, memilih untuk berilaturahmi ke Taman Budaya Medan. Di sana kami disambut oleh para aktivis kesenian, baik sastrawan, perupa, pemain teater bahkan fotografer. Diskusi seputar kesenian pun bergulir ditemani kopi pekat. Lalu diskusi merambat pada kegiatan Taman Bacaan.

“Di sini TBM-nya hebat-hebat. Tadi malam kami mendatangi TBM Mas Raden yang menggabungkan antara TBM dan warung jamu. Sebelumnya kami berkunjung ke TBM Shell Power yang pernah mendapatkan penghargaan dari Menteri Kemdikbud pada tahun 2011.” Ujar Tarmizi menjelaskan kepada beberapa kawan seniman.

“Ada juga TBM yang dahsyat di sini.” Kata Yondik Tanto, aktivis teater. “Namanya TBM Tengku Luckman Sinar. Pengelolanya Mira. Di TBM itu ada ribuan buku referensi tentang sejarah Medan. Luckman Sinar adalah sultan kerajaan Serdang yang meninggal tahun 2011. Putrinya, Mira, membuka Taman Bacaan karena buku-buku di sana luar biasa banyaknya.”

Tarmizi dan saya beradu pandang. Tanpa berpikir panjang, kami langsung menanyakan alamat TBM tersebut. Sayang sekali rasanya jika tak mengunjungi TBM unik itu. “Putri Sultan Serdang mendirikan TBM, mana mungkin kita melewatkannya begitu saja?” Senyum Tarmizi mengembang. Yondik Tanto pun mengerti. Lalu ia menelepon seseorang. “Cepat kau datang sini. Ada order buat kau nih” Tak berapa lama seseorang berperawakan ceking dengan rambut gondrong mendatangi kami. Namanya Gusti yang berproses sebagai perupa. Namun belakangan ini ia menambahkan profesi barunya sebagai tukang ojek motorbecak.
   
Kami bertiga langsung menuju lokasi yang dituju. Di tempat tersebut kami berjumpa dengan Tengku Mira Sinar setelah menunggu sekitar 15 menit. Dalam proses menunggu itu, saya meneroka beberapa buku lama yang masih terrawat. Buku di tempat ini lebih banyak mengarah pada buku referensi sejarah. Sebagian berbahasa asing seperti Belanda dan Inggris. Sebagian lagi buku-buku sastra. Bahkan di depan lokasi,  terlihat ribuan novel-novel koboi dan peperangan. Semua berbahasa Inggris.

“Mohon maaf menunggu lama. Saya tadi sedang mengajar tari di sanggar,” ucap wanita anggun yang berusia sekitar 40-an itu. Bahasanya begitu halus dan terjaga. Wajahnya selalu mengembangkan senyum terbaiknya.
Ia menjelaskan perihal kenapa ia membuka Taman Bacaan Masyarakat. Awalnya dimulai dari kegemaran ayahnya membaca buku. “Ayah tak pernah ketinggalan membawa buku koboi dan peperangan kemanapun ia pergi. Lihat saja, ada ribuan buku di depan. Selain itu ia memang pembaca buku-buku sejarah. Sebagian ia dapat dari Belanda,” ujarnya. 

Selain sebagai Sultan Serdang (2001-2011), Tuanku Luckman Sinar Basar Shah juga menjadi dosen tamu di USU. “Banyak yang datang kesini untuk mencari buku referensi mulai dari para peneliti hingga mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, tesis maupun disertasi.” Ungkap Mira. Menurut Mira, setelah ayahanda meninggal, harta warisan yang paling berharga dan paling dicintai ayahnya adalah buku. Atas dasar itu ia kemudian membuat TBM.  “tetapi buku ini kebanyakan buku referensi, sehingga kami harus menjaganya. Ke depan, saya ingin sekali membuat TBM untuk anak-anak. Tempatnya sudah disediakan di bawah. Rak-rak buku juga sudah siap. Semoga saja ada bantuan buku-buku dari pihak-pihak yang peduli,” tambahnya. TBM Tengku Luckman Sinar didirikan di rumah pribadi beralamat di jalan Abdullah Lubis No. 42/47 Medan.

Ketika ditanya perihal perhatian pemerintah, Mira menjelaskan bahwa selama ini Perpustakaan Daerah sudah mulai membantu. Bahkan TBM-nya dinobatkan sebagai TBM terbaik di provinsi ini.
“Bagaimana dengan Dinas Pendidikan?” tanya saya. Mira menghela nafas sejenak. “Ini yang saya aneh. Dua bulan lalu saya sudah mengajukan surat izin operasional kepada pihak Dinas Pendidikan. Mereka juga sudah datang mem-verifikasi tempat, menanyakan yayasan dan lain-lain. Semua persayaratan sudah saya ikuti. Tapi sampai sekarang tak jelas duduk pangkalnya.” Kata Mira sambil mengerutkan dahi. Namun Mira tetap optimis bahwa warisan harta ayahnya ini akan sangat berguna untuk masyarakat.

Tak terasa waktu merambat cepat. Kamipun pamit meninggalkan TBM Luckman Sinar. Tetap semangat, Mira! (FV)

Kamis, 06 September 2012

BEHIND THE SCENE SUMBANG BUKU UNTIRTA





Sumbang Buku dari Untirta bagi saya selaku dosen yang juga aktivis Taman Bacaan adalah sesuatu yang luar biasa. Bahkan Gol A Gong pendiri Rumah Dunia sekaligus Ketua Umum Forum TBM seakan tidak percaya bahwa Untirta bisa menyumbang 2500 buku dari mahasiswa baru.

Sebetulnya ide tersebut muncul dari obrolan santai saya dengan Presiden Mahasiswa Untirta, Adam Marifat. Seperti biasa, jika ada waktu luang, saya sering nongkrong di UKM Kafe ide, semacam komunitas teater bagi para mahasiswa. Waktu itu, seperti biasa, Adam Marifat curhat mengenai betapa lelahnya ia menjadi pemimpin Ormawa, lalu ia juga membicarakan betapa rumitnya menyiapkan kegiatan Pekan Pengenalan Kehidupan Kampus (P2KK). “Diskusi dengan pejabat Untirta malah berhenti pada urusan pendanaan yang tak kunjung beres. Kasihan mahasiswa baru. Sudah bayar, malah dipungut biaya lai-lain dan saya tak bisa berbuat banyak, Pak.” Ucapnya. “Yang penting kamu sudah berusaha. Itu lebih baik daripada diam sama sekali,” saya memberi semangat. Lalu saya lontarkan gagasan tersebut. “Saya kira akan jauh lebih menarik jika mahasiswa baru itu menyumbang buku. Nanti sumbangan itu akan disampaikan kepada para pengelola Taman Bacaan Masyarakat seluruh Indonesia.” Adam langsung menyambar ide itu. “Iya, pak, ide semacam itu yang menarik. Yang saya aneh, kenapa tidak terlontar dari para pejabat atau minimal kepala perpustakaan Untirta ya?” Saya hanya tersenyum kecil.


Beberapa Minggupun menjelang. Saya melihat kegiatan P2KK berjalan. Sayangnya yang muncul di pemberitaan koran lokal justru diberitakan terjadi kekisruhan, terutama persoalan manajemen yang semrawut antara pihak Universitas dan Fakultas. Saya hanya bisa mengelus dada. Permainan elite semacam ini jelas sangat tak masuk akal dan imbasnya mahasiswa yang terbelah. Ah, kasihan mereka.
Untunglah proyek pengumpulan buku berjalan dengan lancar. Ada sekitar 2500 buku yang disumbang para mahasiswa baru. Adam dan panitia bermaksud menyerahkan secara simbolik pada acara penutupan P2KK pada hari Jumat, 31 Agustus 2012. “Bapak siap ya ke depan. Ngasih testimoni di hadapan para pejabat.” Ucap Adam yang sedikit menggebu-gebu. Sebagai anak muda, saya tahu dia ingin membuktikan sesuatu kepada para pejabat Untira. Tapi saya berusaha untuk menanyakan lagi niat baik itu. “Dam, coba tanya Rektor melalui MC acara. Berkenan nggak saya ke depan podium?” Adam menjawab. “Sudah oke, Pak.” Katanya sambil berlalu entah ke mana. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, salah seorang panitia memberitahu kepada saya bahwa pada acara penutupan itu tidak jadi diadakan seremonial. Apapun alasannya, saya tak mau memperpanjang. Saya SMS Adam. “Dam, nggak jadi. Rektor tak berkenan.” Lalu dia balik bertanya, “Terus harus gimana dong, Pak?” Saya jawab lagi, “Tanya sama rektormu.”


Penutupan P2KK “formal” pun berakhir. Para pejabat Untirta meninggalkan podium. Saya juga tak masalah sebetulnya jika proses simbolik pemberian buku itu tidak dilakukan. Toh buku-buku sudah ada dan niat baik itu sudah terjadi. Tinggal dibawa saja. Namun ketika para pejabat itu pergi, saya diminta oleh para mahasiswa untuk ke depan dan proses simbolik pemberian sumbangan buku pun terjadi. Saya diminta sedikit memberikan testimoni. Saya mengucapkan terimakasih kepada mereka dan saya jelaskan bahwa sumbangan buku ini sangat berharga bagi masyarakat yang rindu bacaan.

Sekarang, buku-buku itu sudah ada di Rumah Dunia. Akan kami simpan dan pada tanggal 31 Oktober nanti, akan kami serahkan kepada para pengelola TBM dalam acara Festival TBM se-Indonesia di Kemdikbud. Terimakasih Adam, terimakasih para mahasiswa Untirta.


Rabu, 05 September 2012

Mahasiswa Untirta Sumbang 2500 Buku


Banten Raya Post, 3 September 2012


Pekan Kegiatan Kehidupan Kampus (P2KK) yang diselenggarakan oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten selama lima hari diakhiri dengan sumbangan buku kepada Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat. Adam Marifat, selaku Presiden Mahasiswa Untirta menjelaskan bahwa sumbangan buku dari mahasiswa baru ini adalah simbol bahwa mahasiswa harus dekat dengan kegiatan literasi. “Akan aneh jika para mahasiswa tidak dekat dengan buku, oleh karena itu salah satu cara untuk mengkampanyekan budaya baca, harus dimulai dari lingkungan kampus dan momen semacam ini sangat tepat.”

Sementara itu Firman Venayaksa selaku Ketua 1 Pengurus Pusat Forum TBM yang mewakili penyerahan buku tersebut menjelaskan bahwa 2500 buku ini akan disebar ke Taman Bacaan Masyarakat yang ada di Indonesia. “Kebetulan pada tanggal 31 Oktober sampai 3 November 2012 akan diselenggarakan Festival TBM se-Indonesia yang bertempat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam kegiatan tersebut ada pengumpulan buku untuk Indonesia. Jadi buku ini akan disatukan dengan sumbangan buku dari partisipan yang lain. Hingga saat ini sudah lebih dari 5000 buku yang terkumpul.”

Ditanya mengenai sumbangan buku dari Untirta ini, Firman merespons baik. “Justru ide semacam ini yang kami tunggu. Kami sangat bahagia ketika para mahasiswa Untirta punya kepedulian yang tinggi pada gerakan literasi. Semoga apa yang dilakukan kali ini bisa dicontoh oleh universitas lain,” ujarnya. Firman menambahkan,  “saya berharap suatu saat mahasiswa tidak hanya menyumbang buku, tetapi terlibat menjadi relawan literasi di 6000 TBM yang tersebar seluruh Indonesia.”

Kamis, 09 Agustus 2012

Resensi Tingbating di Pikiran Rakyat (8-08-2012)

                                                                   Judul: Tingbating 
Penulis: Firman Venayaksa
Penerbit: Gong Publishing
Halaman: 122 hal

Kabadi kata orang Banten. Kabadi adalah semacam kutukan (kwalat) yang dipercaya bisa menimpa seseorang jika melakukan sesuatu yang tidak wajar. Pernah ada satu cerita, seorang lelaki membacok ular tepat di mulutnya. Mulut ular itu sampai putus. Di saat yang bersamaan, istri si lelaki tengah hamil tua. Dan ketika lahir, anak yang dilahirkan berbibir sumbing, persis ular yang bibirnya habis dibacok. Orang-orang menyalahkan perilaku si lelaki. Kata mereka, apa yang terjadi pada si anak adalah kabadi oray, alias kutukan dari ular yang dibacok hingga sumbing bibirnya.

Ada satu “mantra” yang dipercaya bisa melepaskan kabadi itu. Di Banten, “mantra” ini sering dipakai oleh orang-orang tatkala mereka melakukan sesuatu yang tak wajar atau bahkan sekadar menjumpainya. Mantra tersebut berbunyi Tingbating! Di sebagian daerah lain—masih di Banten—mantra ini ditambahi menjadi Tingbating torek! atau Bating kubating! 

Selain sebagai mantra agar terhindar dari efek kabadi, Tingbating!, di Banten, juga menjadi simbol dari sebuah ketidaksukaan, kemuakkan, kejijikkan, atas sesuatu yang abnormal. Secara tak langsung, Tingbating! merupakan simbol kesadaran seseorang akan sesuatu yang tidak layak untuk dipertontonkan atau dilakukan.

Firman Venayaksa, sastrawan asal Banten, memilih Tingbating sebagai judul kumpulan cerpennya. Kumcer yang berisi 19 buah cerpen ini dibuat dari tahun 1999 hingga 2005. Sebagian besar, kumcer ini bertemakan kritik sosial akan fenomena yang ada. Seperti pemimpin yang sering obral sekaligus ingkar janji, wakil rakyat yang tak merakyat, birokrasi yang curang, plagiarism, polisi culas, dosen yang menjual nilai, dan lain-lain. Lewat tema yang diangkat ini, Firman seolah menegaskan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang abnormal, yang menjijikkan, sehingga ada potensi untuk kita terpapar kabadi. Inilah, menurut saya, yang membuat Firman menjuduli kumcernya Tingbating. Seolah, dengan membaca kumcer ini, kita kembali diingatkan untuk sadar, selanjutnya mengutuk balik kejadian tersebut agar efek kabadi tidak menimpa kita.

Selain menjadi judul utama, di dalam kumcer ini, Tingbating merupakan satu tokoh yang punya sifat seenaknya. Dia adalah tokoh yang dilahirkan entah dari rahim siapa. Ayahnya pun tak jelas. Singkatnya, tokoh Tingbating seperti begitu saja ada di bumi. Dan Firman melakukan satu eksperimen lewat cerpen ini, dimana dirinya (sebagai penulis) terlibat dengan ketokohan Tingbating, bahkan Firman didebat oleh Tingbating yang ngawur tapi sok tahu.

Sejatinya, kumcer ini adalah sastra yang memiliki misi kritis. Cerpen-cerpen yang termuat di kumcer ini bermuatan kritik terhadap fenomena yang telah, sedang, dan—mungkin—akan terjadi. Cerpen Fragmen Alam Gaib misalnya, Firman menggambarkan 5 jin yang terlibat dalam aksi “Memburu Hantu” ala program televisi sebagai tipikal lima orang yang pernah menjadi pemimpin Indonesia. Firman mendemonstrasikan pandangannya tentang kelima presiden Indonesia lewat tokoh 5 jin, lengkap dengan perilakunya yang sudah terkooptasi kebencian dan keserakahan.

Selain kritik, beberapa cerpen Firman juga bermuatan pesan relijius. Cerpen Mencari Istri Sempurna misalnya. Firman menggambarkan satu pencarian yang dilakukan oleh sang tokoh. Dia mencari sosok yang ingin dia jadikan pendamping. Tokoh ini menemui merpati, menemui mawar, namun dari mereka sang tokoh mendapatkan kekecewaan. Kemudian, Firman mengentak kita, bahwa istri sempurna yang akan menemani kita adalah amal-amal kita. Amal kebajikan yang akan menyerupa bidadari yang menemani kita di alam barzakh. Kiranya, cerpen ini seolah berkata, bahwa di balik kritik-kritik pedasnya, Firman masih memiliki nurani. Atau paling tidak, Firman sedang menunjukkan bahwa kritik-kritik sarkastiknya merupakan manifestasi dari jiwanya yang lembut.

Itulah Firman Venayaksa. Itulah caranya menyampaikan kritik atas fenomena yang dilihat dan—mungkin—dialaminya. Firman memilih jalan yang seksi dalam menyuarakan nuraninya. Dia mengajak kita untuk sadar bahwa segala yang dipertunjukkan oleh pemimpin-pemimpin kita adalah sesuatu yang memuakkan. Firman menuntun kita, setidaknya bala yang ditimbulkan pemimpin-pemimpin durhaka itu tidak memapar kita. Firman ingin agar kita tidak kabadi, lewat jampi sakti berbunyi, “Tingbating!”

Fatih Zam
*muat di HU Pikiran Rakyat, suplemen Kampus, halaman 30 (9/8)

Sabtu, 04 Agustus 2012

Call for Papers The 22nd International Conference on Literature

Kepada Yth.
Bapak/ Ibu calon pemakalah dan peserta 
 
Bersama email ini diberitahukan bahwa Universitas Negeri Yogyakarta dan HISKI, akan menyelenggarakan The 22nd International Conference on Literature
Kegiatan tersebut direncanakan akan diselenggarakan pada hari Rabu-Jumat,  7 – 9 November 2012
Important Dates:
  1. Call for Papers                      : 1 July 2012
  2. Abstract submission          : 1 September 2012
  3. Notification                           : 10 September 2012
  4. Complete Papers                 : 22 October 2012
  5. Due Date                                  : 7 – 9 November 2012

Call for Papers

Keynote Speakers

  1. Prof. Madya Gabriel Syarmani, Ph.D. (Malaysia)
  2. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti
  3. Dr. Haryatmoko
  4. Radhar Panca Dahana
  5. Rudy Kohler (Belgium)
  6. Bertrand de Hartingh, Ph.D. 

Conference Venue

Rectorate courtroom Yogyakarta State University (UNY)
Address: Karangmalang, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281

Fee

The Registration Fees are :
  1. Members of HISKI                                        : Rp. 350.000,-
  2. Speakers (members of HISKI)                 : Rp. 450.000,-
  3. Standard rate for Indonesian                    : Rp. 450.000,-
  4. Speakers from Indonesia                            : Rp. 550.000,-
  5. Speakers from aboard                                  : U$: 75
  6. Standard rate for aboard                             : U$: 65
 
*Please note that the fee does not include hotel and transportation.
The payment can be made to this account :
0039155177
Bank BNI UGM Yogyakarta
Under the name of
Hesti Mulyani
Contact: Venny I. E.:        indiewara@yahoo.com                       (+6281328736806)
Suwardi:            suwardi_endraswara@yahoo.com (+628156805293).
Indraningsih:     amourviolette@yahoo.com               
The underlying background of organizing this International Conference is a concern for the nation’s problems which are complex and impact on the never-ending and insolvable social problems. Recently, the people’s voice is no longer heard and its recognition is running low. Humans lost their identity and they are no longer able to distinguish what is right and what is not morally correct. The people’s participation in national life is getting low and limited. Therefore, this nation needs channels to discover its identity.
What can literature do on this? It can facilitate the process of self discovery and to bring back the identity of the nation’s narrative. This narrative identity (Haryatmoko, 2010: 121) are all characteristics that allow to re-identify a nation loyal to its ideals. Narrative identity is constructed from stories which in turn will establish the identity of history. Though always changing, it will always be trusted and counted.
Due to this, we welcome papers addressing issues The Role of Literature in Enhancing Humanity and National Identity. The sub themes of this conference are:
1. Literature as a narrative identity
2. Literature and the problem of nation and society
3. Literature and sustainable development
4. Literature and the environmental problem
5. The role of literature in moral and character education
6. The role of literature in Enhancing self-determination
7. Promoting children’s literature to improve reading habit
8. Merging literary studies and economic studies
9. Literature, culture, and sub-culture
10. Literature in facing the risk society
Note: Abstract and Papers may be written in Indonesian or foreign languages in accordance with the state of origin. The abstract submission will open in 1 st July 2012 and end on 1st September 2012. Submitters will be notified of the acceptance or rejection of the abstract on 15th September 2012. All accepted abstract will be published on the conference website. Abstracts consist of 350 – 400 words and can be submitted via fax number (0274) 548207 or by post to be addressed to: Dr. Suwardi at Clumps of Letters FBS UNY, Karangmalang Yogyakarta 55281, or sent via e-mail:nikenanggraeni@yahoo.com or indiewara@yahoo.com
Partisipasi Bapak/ Ibu sangat kami nantikan. Untuk keterangan lebih lanjut dan update informasi seputar konferensi internasional, silahkan layari http://conferenceonliteratureuny2012.wordpress.com/

Terima kasih.
Salam hormat,

Venny Indria Ekowati
Prodi Pendidikan Bahasa Jawa, Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas Bahasa dan Seni UNY

KRITERIA PENERIMAAN MAKALAH SELEKSI SEMINAR INTERNASIONAL PPN-VI JAMBI 2012

 Kepada
Yth. Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara:
Di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand,
Philipina, Vietnam, Laos, Kamboja, Timor Leste, dan Myanmar.

Dengan Hormat,
Kami beritahukan bahwa Pertemuan Penyair Nusantara-VI (PPN) Jambi akan dilaksanakan di Jambi, Sumatra, pada 29-31 Desember 2012. PPN-VI Jambi bertema “Perpuisian Nusantara dalam Perspektif Historis, Filosofis, dan Eksistensial". Salah satu kegiatan ini PPN-VI Jambi adalah Seminar Internasional yang terbagi dalam tujuh sesi diskusi.

Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk menyajikan makalah sebagai pemakalah pendamping yang terseleksi dengan ketentuan bahwa makalah-makalah yang diterima panitia akan diseleksi oleh kurator makalah dan segera diinformasikan untuk disajikan dalam sidang pleno.

Syarat-Syarat Penerimaan Makalah PPN-VI Jambi

a. Makalah ditulis sesuai sub tema seminar (terlampir).
b. Abstrak maksimum 200 karakter telah diterima oleh panitia paling lambat 5 Agustus 2012. Pukul 00.00. Dikirim kepada Panitia Pertemuan Penyair Nusantara VI ke alamat: ppn6makalah@gmail.com
c. Bagi calon pemakalah yang abstraknya diterima akan dihubungi oleh panitia untuk mengirimkan makalah ke e-mail paling lambat 5 September 2012.
d. Hasil penilaian makalah akan diumumkan tanggal 18 September 2012. Tim kurator makalah akan memilih 1 (satu) makalah terbaik untuk masing-masing sub tema, dan penulisnya akan diundang secara resmi sebagai pemakalah pendamping PPN VI.
e. Pemakalah utama dan pemakalah pendamping mendapat fasilitas transportasi, akomodasi dan konsumsi, seminar kit, sertifikat, dan honor.
f. Panjang makalah antara 10 sampai 15 halaman, termasuk daftar pustaka, diketik dengan huruf Times New Roman 12, spasi 1,5, dengan ukuran kertas A4.


Jambi, 18 Juli 2012
Salam Takzim,
Kurator Makalah:
Prof.Dr.faruk
Dr. Maizar Karim,M.Hum
Ahmadun Yosi Herfanda

Panitia Pertemuan Penyair Nusantara-VI Jambi
Jumardi Putra (Sekretaris)
CP: Jumardi Putra (085267323168)
NB: Kurator tidak melayani surat menyurat menyangkut seleksi karya Makalah  PPN-VI Jambi 2012.
Info lebih lanjut, silahkan menghubungi panitia.

Lampiran:

PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA-VI JAMBI 2012
 SEMINAR INTERNASIONAL PPN-VI JAMBI

Latar Belakang
Pertemuan Penyair Nusantara adalah sebuah even sastra yang diselenggarakan setiap tahun. Tahun 2012 ini merupakan pertemuan ke-6, yang akan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi), 29-31 Desember 2012 di Jambi, Sumatera, Indonesia.
PPN-VI Jambi diisi oleh kegiatan seminar internasional, workshop penulisan puisi/kritik puisi, peluncuran buku puisi, bazar buku, panggung apresiasi, dan wisata budaya. Seminar PPN-VI Jambi ini akan melihat pertumbuhan serta perkembangan perpuisian tradisional dan modern, baik di Jambi maupun di masing-masing wilayah Melayu Nusantara. Kekayaan puisi tersebut dipandang dapat menjembatani keragaman budaya yang ada di setiap Negara peserta PPN. Di samping itu, dinamika perpuisian di setiap negara dan bangsa tentunya memiliki problema sendiri-sendiri, yang bersentuhan dengan karya, media, penerbitan, kritik, dan lain-lain yang menyertainya. Dengan demikian, keanekaragam persoalan itu menjadi sebuah perbincangan, bahkan perdebatan yang diharapkan menghasilkan jalan keluar yang positif bagi keberlanjutan kehidupan perpuisian di masing-masing wilayah Melayu Nusantara.

Tujuan
Seminar Internasional ini memiliki tujuan antara lain:
  1. Menggagas, memformulasikan, dan menetapkan ciri dan bentuk perpuisian Melayu Jambi.
  2. Menggagas, memformulasikan, dan menetapkan ciri dan bentuk perpuisian Melayu Nusantara mutakhir
  3. Membahas dan mendiskusikan secara mendalam mengenai perpuisian Melayu Nusantara sebagai sebuah upaya konstruktif bagi peningkatan mutu perpuisian Melayu Nusantara.
  4. Pengembangan studi puisi melalui berbagai pendekatan yang memungkinkan terungkapnya kekayaan khazanah puisi berkenaan dengan ruh puisi Melayu Nusantara.
  5. Pertemuan Penyair Nusantara VI mengakomodasi berbagai jenis puisi klasik dan mutakhir.
  6. Mengkaji dan memerikan kekayaan pemikiran dan wawasan dalam rangka melihat gambaran puisi nusantara mutakhir.
  7. Menggali khazanah makna dan nilai yang terkandung di balik puisi Melayu Nusantara mutakhir guna penguatan karakter dan jati diri bangsa.
  8. Membangun jejaring penyair, pemerhati, pengkaji, dan pelestari puisi Melayu Nusantara.

Tema
“Perpuisian Nusantara dari Hulu hingga Hilir”
(Perspektif Historis, Filosofis dan Eksistensial)

Sub Tema:
 1.      Menggali Kekuatan Estetik Puisi Melayu
Melayu sebagai puak, etnis, dan entitas yang berkeadaban menghasilkan khasanah puisi yang memiliki pola ungkap, gaya, maupun estetika yang digali dan digauli serta dijadikan pangkal tolak kerja kreatif penciptaan puisi, baik lisan maupun tulisan. Kekayaan dan keberagaman pola ungkap, gaya, maupun estetika ini perlu digali melalui serangkaian kajian sehingga dihasilkan pemerian aneka kekuatan estetiknya.

2.      Menggali Nilai Kearifan Puisi Melayu
Melalui kajian dan penelisikan atas karya dan kekaryaan puisi Melayu dapat diungkapkan nilai-nilai kearifan terkait dengan aneka dimensi kehidupan manusia. Nilai kearifan yang bersumber pada filosofi yang dianut kreatornya tentu saja terkait dan terikat dengan pandangan dunia (world view),pandangan hidup mengenai etis, estetis, filosofis, dan religius yang memiliki arti penting bagi hidup dan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

 3. Perpuisian Lokal dalam Konteks Pemikiran Nusantara
Subtema ini secara khusus mendedahkan perpuisian di Jambi menurut “kaca mata” atau “mata baca” pengamat dari dalam dan dari luar. Subtema ini merupakan pembicaraan perpuisian Jambi ditilik dari segi historisitas, filosofis dan eksistensial, mulai dari khasanah puisi tradisional hingga puisi mutakhir.Begitu juga sastra Jawa, Sunda, dan Bugis.

4.      Jejak Puisi Melayu Pada Puisi Mutakhir Nusantara
Dalam perspektif historis diyakini terdapat jejak puisi Melayu pada Puisi Indonesia mutakhir. Hal itu (jejak puisi Melayu) dan puisi Indonesia merupakan mata rantai yang berkesinambungan. Jejak itu dapat saja berupa “warisan” dari generasi ke generasi, dari hulu hingga hilir. Selain historisitas, jejak itu teramat mungkin terkait dengan pandangan filosofis dan eksistensi karya dan kekaryaan para kreatornya. Jejak ini penting didokumentasikan, diinventarisasikan, dan dipetakan.

5.      Mempertimbangkan Kembali Akar Puisi Nusantara
Perkembangan dunia global yang menghilangkan sekat-sekat dalam perspektif “kampung dunia” disadari akan menuntut penyesuaian dan orientasi baru tanpa kehilangan akar sehingga diperlukan usaha untuk mempertimbangkan kembali akar puisi Nusantara yang memungkinkan kehidupan perpuisian Nusantara dapat bertahan dan berkembang dengan baik.

6.      Sastra (Puisi) Nusantara dalam Perbandingan
Sastra Nusantara diasumsikan tidak hanya memperlihatkan akar yang sama tetapi sebenarnya juga memperlihatkan versi dan variasi yang sangat kaya sesuai dengan pengalaman historis dan responsnya terhadap lingkungan setempat. Karena itu antara sastra lokal perlu saling belajar dan memperkaya diri melalui perbandingan antara yang satu dengan yang lain dan dengan lingkungan kesastraan yang lebih luas.

7.      Puisi Nusantara dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra
Kehidupan dan perkembangan puisi Nusantara tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui serangkaian usaha sosialisasi dan enkultulrasi. Lembaga pendidikan merupakan salah satu sarana sosialisasi dan elkulturasi. Karena itu kurikulum apresiasi sastra di sekolah perlu berwawasan Nusantara. Di sini diperlukan berbagai metode, strategi, dan model pembelajaran yang efektif dan menarik sehingga apresiasi pembelajaran sastra di sekolah tidak mengalami keterasingan di kalangan siswa dan mahasiswa, baik secara reseptif maupun produktif.

(Sesi Pleno: Refleksi dan Proyeksi Pertemuan Penyair Nusantara (PPN)
PPN telah menjadi tradisi penting dalam kepenyairan Nusantara. Namun, sejauh ini belum ada refleksi yang mendalam tentang seberapa jauh manfaat nyata PPN bagi pertumbuhan yang berkelanjutan dari perpuisian Nusantara. Dengan belajar dari apa yang sudah terjadi sejak PPN I hingga VI kita dapat memproyeksikan arah yang lebih jelas mengenai pertumbuhan yang berkelanjutan itu di masa depan.
NB: Khusus sesi pleno ini, panitia tidak menerima seleksi Pemakalah Pendamping.

Sabtu, 23 Juni 2012

ENDAN, TUKANG BECAK BACA PUISI




Sore itu (23/6/12) suasana alun-alun Multatuli Rangkasbitung sangat ramai. Langit begitu teduh. Semilir angin menerpa wajah anak-anak yang berkejar-kejaran bermain di lapangan. Memang, hampir setiap sore, alun-alun itu dipadati masyarakat Rangkasbitung. Mulai dari permainan anak-anak, tukang jualan makanan, pakaian, hingga tukang cendol berjibaku menemukan nafkah disitu. Beberapa orang merenggangkan ototnya berolahraga. Sementara itu, di sebelah lapangan basket, terdengar hiruk pikuk anak muda yang sedang bermain band yang diisponsori salah satu produsen sepeda motor. Suara dentuman dari soundsystem sekitar sepuluh ribu watt makin memekakan telinga bagi yang meliwati tempat itu. Ada juga yang asyik-masyuk berkasih ria, seakan Rangkasbitung milik berdua.

Dari arah kejauhan, seorang lelaki tua berusia 66 tahun mengelap mukanya yang berpeluh dengan handuk kecil yang menggelantung di leher. Sebuah becak tua yang digenjotnya selama hampir 47 tahun itu diparkirkan di samping alun-alun Multatuli, berhadap-hadapan dengan mesjid megah. Di belakang mesjid itu terdapat makam Adipati Kartanatanegara; seorang bupati yang diabadikan dalam novel Max Havelaar.
Sorot mata lelaki tua itu sudah mulai redup. Sebuah kacamata buram menggelayut di ujung hidungnya. Sesekali matanya menyipit sambil membaca secarik kertas yang belum lama diterimanya. Sore ini, Endan akan ikut berkompetisi pada lomba baca puisi bersama Nurjanah pedagang makanan di Rumah Sakit Ajidarmo, Iis penjual minuman di sekitar alun-alun, Jepri pengamen  tunanetra, Emul anak remaja yang berkebutuhan khusus dan duapuluhan peserta lainnya. Endan harus bisa membaca puisi dengan penuh percaya diri demi mendapatkan 10 paket sembako yang disediakan panitia;  gabungan anak muda dari KNPI Lebak, Taman Bacaan Kedai Proses STKIP Setiabudhi dan Ikatan Mahasiswa Lebak.

Tak berapa lama, lomba pun dimulai. Seorang MC dari mahasiswa mulai mengabsen nama-nama peserta. Seorang anak remaja berpredikat sebagai tukang semir membacakan puisi dengan sedikit terbata. Para penonton tersenyum simpul melihat gelagatnya. Sesekali ia menghentikan bacaannya sambil garuk-garuk kepala. Rupanya ia mengeja. Untunglah, dengan izin Allah, ia bisa menyelesaikan sebuah puisi karya Chairil Anwar itu.

Tanpa pengeras suara, satu persatu para peserta membacakan puisi dengan gayanya masing-masing. Mereka tidak menghiraukan suara band yang hanya 50 meter dari “Pojok Multatuli” tempat mereka membaca puisi. “Baiklah, kita panggilkan peserta berikutnya. Pak Toni silahkan ke depan…”kata MC. Tapi setelah kedua kalinya nama Toni disebut, tak ada yang merespon. Tiba-tiba seorang remaja ke depan, “akhirnya Toni datang, silahkan baca puisi,” lanjut MC. Tapi ada salah seorang yang menginterupsi sambil terbahak-bahak, “Wih, Mulyadi sudah ganti nama ya jadi Toni.” Rupanya Emul sudah tak sabar baca puisi. Ia adalah salah satu remaja berkebutuhan khusus yang suka nongkrong di alun-alun. MC tak mau pusing, Emul-pun diminta untuk membaca puisi. Emul memang mengeluarkan kata-kata, tapi kata-kata yang tak tertera di dalam puisi yang dipegangnya. MC menepuk jidat, Emul Cuek.

Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, tibalah giliran Endan. Suara tepuk tangan penonton membahana. Endan menjadi magnet bagi para pengunjung alun-alun. Maklum, ia adalah peserta paling senior. Kendati begitu, bacaan puisinya cukup baik dan menggugah. Ia membaca puisi dari Taufiq Ismail berjudul “Nasehat-Nasehat Kecil Orangtua Pada Anaknya Berangkat Dewasa”

Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
jika adalah yang tak bisa kaujual-balikan
ialah yang bernama keyakinan
jika adalah yang harus kautumbangkan
ialah segala pohon-pohon kezaliman
jika adalah orang yang harus kauagungkan
ialah hanya rosul Tuhan
jika adalah kesempatan memilih mati
ialah syahid di jalan Ilahi

 Selesai membaca bait terakhir, Endan menyunggingkan senyum terbaiknya. Giginya yang agak hitam dan sebagian sudah porak-poranda termakan usia, membuat para penonton terhibur. Rupanya ia senang betul ditonton oleh sebagian besar anak muda. “Tadi saya baca puisi, sekarang Aki ingin menyanyi untuk semuanya.” Lalu dengan semangat, ia menyanyikan lagu perjuangan. Tidak hanya satu, tapi dua sekaligus. Nampaknya sore itu adalah salah satu sore yang paling membahagiakan di dalam hidupnya.
Setelah semua peserta membaca puisi, tibalah pengumuman yang dinanti. Satu persatu nama-nama disebut. Dan Endan kembali menyunggingkan senyum terbaiknya karena ia disebut dalam sepuluh besar pembaca puisi terbaik dan berhak mendapatkan paket sembako yang telah dibungkus dengan plastik berwarna putih. Selamat Endan. (FV)