Senin, 27 Februari 2012

LAUNCHING BUKU DAN UNDANGAN UNTUK IKATAN KELUARGA PANGERAN DIPONEGORO






UNDANGAN BUAT IKATAN KELUARGA PANGERAN DIPONEGORO 
PELUNCURAN BUkU " Peter Carey "

Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855

... Kami mengundang Anda untuk hadir dalam peluncuran
dan diskusi buku Kuasa Ramalan karya Dr. Peter Carey pada:

Hari & Tanggal

Kamis, 8 Maret 2012

Waktu

10:00-12:00 WIB (Diakhiri dengan makan siang)

Tempat

Sasana Wiratama
Jl. HOS Cokroaminoto TR III/430 Yogyakarta

Keynote Speech

Sri Sultan Hamengku Buwono X

Sambutan

Hashim Djojohadikusumo
(Yayasan Arsari Djojohadikusumo)

Pembicara

Dr. Peter Carey

Pembahas

Dr. Gregorius Budi Subanar SJ

Penanggap

Wardiman Djojonegoro (Pemerhati sejarah Indonesia)
Ki Roni Sodewo (Keturunan keluarga Diponegoro)

RSVP: Roni Sodewo
Terima kasih atas kesediaan Anda memenuhi undangan kami.

YaYasan arsari
DjojohaDikusumo

Minggu, 19 Februari 2012

CERITA FANTASTIS JAWARA DALAM BINGKAI SEJARAH


Oleh Firman Venayaksa**)

Artefak cerita-cerita silat yang mengkristal di Indonesia sebetulnya sudah berkembang sangat lama, terutama jika dikaitkan dengan kekayaan sastra lisan kita. Dengan demikian, ketika penulis mengunduh dan mengabadikan dalam setumpuk buku sebagai sebuah media, maka yang perlu untuk disiasati adalah bagaimana caranya agar palung sastra lisan yang menganga sedemikian hebat itu kita pilah dan kita timbang-timbang untuk menjadi bagian (atau tidak) dari cerita yang dikemas oleh pengarang. Selain itu, untuk memperkuat cerita silat agar lebih terkesan mengada, para pengarang sering juga mengaitkan dengan sejarah epik perkembangan kerajaan, legenda atau mitos-mitos yang telah “melembaga” di Nusantara ini.
Hal tersebut penting untuk kita perhatikan, terutama ketika cerita-cerita silat yang dibalut dalam epik sejarah mulai muncul lagi ke permukaan. Selera pembaca yang fluktuatif memang harus dibaca dengan sangat jeli oleh para penerbit jika tak hendak gulung tikar, begitupun oleh para penulis. Kendati pada titik ini, para penulis yang mengekor selera pasar sering didiskreditkan sebagai penulis yang tidak memiliki prinsip. Namun dalam konteks pasar sekarang, predikat sedemikian bukan sebuah hambatan yang patut dipikirkan secara mendalam. Pemahaman pasar tentu tidak bisa dibenturkan dengan ranah ideal yang bersemayam dalam diri para penulis.

Cerita Silat Indonesia
Sebelum saya membincangkan perihal novel Jawara, Angkara di Bumi Karakatau yang ditulis oleh Fatih Zam, justru gara-gara saya membaca novel ini, jejak rekaman otak saya tiba-tiba menelusuri jalan estetik ke masa lampau. Saya jadi teringat kembali dengan cerita silat yang saya nikmati ketika masa kecil seperti Wiro Sableng dan Kapak Maut Nagageni 212 karya Bastian Tito yang mengganggu masa kecil saya atau komik semacam Ko Ping Ho yang sering mendedahkan nilai-nilai filosofis dalam setiap gerakan silatnya. Lalu bayang-bayang tentang film layar tancap yang sering saya buru di waktu kecil kembali tergambar atau yang sering saya simak di radio-radio. Muncullah dalam bayangan saya semisal Saur Sepuh (masih ingat Brama Kumbara, Mantili dan Laksmini?) Tutur Tinular (Aria Kamandanu?) dan lain-lain.

Ternyata cerita-cerita silat di Indonesia, tidak kalah dengan cerita fantastik yang menggema di ranah kesusastraan dunia seperti Harry Potter karya J.K Rowling atau Lord of The Ring karya  J.R.R Tolkien. Begitu juga dengan cerita fantastis lainnya yang dikeluarkan oleh Marvel seperti Spiderman, Superman, Batman dan seterusnya. Bahkan jika boleh dibandingkan, certa-cerita silat Indonesia jauh lebih imajiner dan atraktif. Sebut saja ajian Rawarontek yang sering muncul di dalam cerita-cerita silat kita (Fatih Zam juga menyinggung ajian ini di dalam novelnya). Jika tokoh silat memiliki ajian ini, bisa dipastikan ia tidak bisa dibunuh oleh sang lawan. Setiap bagian tubuhnya ditebas, tubuh itu akan kembali “nyambung” dan tokoh itu akan tetap hidup seperti sediakala. Hanya ada satu cara untuk membunuh tokoh yang memiliki kedigjayaan semacam itu. Sang lawan harus menebas kepalanya di malam bulan purnama dan percikan darah dari kepala yang ditebas itu tidak boleh sampai memercik di tanah. Ya, hanya itulah satu-satunya cara. Dan imaji semacam itu hanya bisa didapatkan dari cerita-cerita silat di Indonesia.


Novel Silat Jawara
Banten sebagai sebuah daerah yang sangat terkenal dengan ilmu yang digjaya, dimanfaatkan dengan baik oleh Fatih Zam. Novel ini menceritakan mengenai sebuah prahara antara Jawara dan Kyai, pesantren versus paguron. Dengan latar belakang Banten masa silam dan mengaitkan sepercik cerita mengenai gunung Krakatau yang meletus, agaknya novel silat ini memang membuat pembacanya “merasai” dan hanyut bahkan terasa benar-benar terjadi. Sebagai sebuah novel, memang citra “novel sejarah” juga melekat, begitupun dengan seting cerita yang memang meng-ada seperti Pandeglang, Labuan, Caringin, Pulosari atau Gunung Karang. Untuk mengeksiskan bahwa novel ini adalah cerita silat di masa lampau, Fatih Memunculkan diksi seperti “Ki Sanak”, “anak muda” misalnya.

Cerita dimulai dari perseteruan antara para jawara dan pesantren yang mengakibatkan terjadinya pertempuran dahsyat. Para jawara (yang dikomandani oleh Japra dan Japri) menyerbu sebuah pesantren (Kyai Saefullah). Dari pertempuran itu, semua mati mengenaskan. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Hanya satu orang yang hidup dan bersembunyi dari pertempuran itu yaitu Saefudin. Dia tidak ikut pertempuran karena tidak mau berurusan dengan kekerasan.


Akibat pertempuran itu, muncullah kabar, Angkara, seorang jawara yang sangat ditakuti hendak menghancurkan semua pesantren yang ada di Banten. Motif cerita inilah yang dikembangkan oleh penulis untuk mendedahkan cerita di dalam novel ini hingga 530 halaman. Sayangnya, tokoh Saefudin, satu-satunya santri yang hidup dari pertikaian tersebut tidak dieksplorasi sedemikian rupa. Padahal dengan nilai “traumatik” akibat kejadian tersebut, dengan kehancurkan pesantren, meninggalnya para santri dan kyai Saefullah (bapaknya sendiri), harusnya bisa dijadikan motif untuk “balas dendam” dan motif pencarian kesaktian, menemukan “serat Cikadueun” yang konon dengan serat inilah, seseorang bisa sakti dan mengalahkan Angkara. Tokoh Saefudin malah dikembangkan pada pertemuannya dengan tokoh Gojali dan berakhir begitu saja dalam novel ini tanpa ada kaitan secara langsung dengan tokoh utama yaitu Badai dan Jaka yang kemunculannya sangat dominan di dalam novel.


Representasi Jagoan: Badai dan Jaka
Layaknya sebuah novel silat, maka tokoh utama dengan segala tingkah dan alurnya sangat dinanti oleh pembaca. Pada novel ini, tokoh sentral merujuk pada Badai dan Jaka. Tokoh Badai memulai pengembaraannya untuk menemukan “serat Cikadueun”, sebuah kitab yang diyakini bisa membuat sakti siapapun yang mendapatkannya. Sayangnya motif awal pengembaraan Badai tidak terlalu kuat. Ia mengembara karena ingin mengetahui mitos dari cerita yang berkembang di masyarakat(?) Latar belakang yang sebetulnya tidak terlalu “emosional” dan kurang greget. Begitupun dengan Jaka yang belajar ilmu kungfu kepada Kakek Lie Ching. Pertemuan antara Badai dan Jaka pun dipertemukan dalam suasana “kebetulan” tanpa dibumbui sebuah perhelatan emosional dan terukur.

Suasana kebetulan ini yang terlalu sering diperagakan di dalam novel dan mengabaikan motif “kemasukakalan” sehingga cerita kurang menemukan realitasnya. Kendati novel adalah fiksi, pembaca akan tetap menuntut logika yang masuk akal dan penulis tidak boleh serta merta memakai faktor “kebetulan” untuk melanjutkan cerita. Faktor kebetulan ini muncul ketika tokoh Badai diselamatkan oleh Jabal di puser leuwi. Jabal adalah murid dari Abah Hasan (yang memberikan golok salam Nunggal) dan Abah Hasan tak lain adalah sahabat Abah Santa (guru dari Badai). Ketika Badai terdesak dalam duel maut melawan Iblis Bisu, Badai diselamatkan oleh Kyai Kohar yang tak lain adalah saudara seperguruan Abah Santa.


Di dalam novel, ada beberapa persoalan yang tidak (di)selesai(kan). Tentu hal ini menimbulkan tandatanya dari para pembaca. Pertama, pada halaman 53, motif pemberian kotak dari Abah Santa sebagai “syarat” untuk mendapatkan “serat Cikaduen” menguap begitu saja. Padahal benda ini dikesankan sangat luar biasa dan ada sarat yang harus dipenuhi sebelum Badai membuka kotak tersebut.


Kotak itu, bukalah di pagi hari ketika matahari terbit. Saat jeda antara pagi dan waktu zuhur. Ambil wudu lalu dirikan sembahyang duha, sembahyang pengundang rizki dan penolak bala….(hal. 53)


Ternyata di dalam keberlangsungan cerita, ritual tersebut tidak pernah terjadi di dalam novel ini. Kedua siapa Angkara yang sesungguhnya? Motif awal yang dimunculkan bahwa Angkara sebagai sosok jawara yang sangat ditakuti tidak pernah muncul sebagai sosok. Jika novel ini kemudian memunculkan Angkara sebagai “meletusnya gunung Krakatau” semacam representasi simbolik yang hendak dihadirkan sebagai jawaban atas “kehirukpikukan duniawi”, lantas hal ini akan berkaitan dengan pertanyaan ketiga, lalu siapakah yang menyebar “isu” bahwa Angkara akan menghancurkan pesantren? Sosok abstrak ini yang justru menarik untuk ditelisik lebih jauh.


Terlepas dari semua itu, novel silat yang ditulis oleh Fatih Zam adalah sebuah perkembangan unik di ranah kesusastraan kita (walaupun dalam ranah perkembangan kesusastraan, novel silat semacam ini hanya dilihat sebelah mata). Kemunculan novel ini, yang mengaitkan cerita silat—yang seolah terkubur--- dengan realitas sejarah ditambah kemampuan Fatih Zam mengeksplorasi idiom dan mitos yang mengkristal di masyarakat, menunjukkan bahwa novel ini telah mengambil peran sebagai oase yang bisa memunculkan perdebatan, selain mengembalikan fungsi novel alat hiburan dan cermin masyarakat kita dewasa ini..


Tanah Air, 2012

----------------------------------
*) Dipresentasikan pada acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Rumah Dunia (Banten), 18 Februari 2012.
 **) Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa dan Seni Untirta dan mahasiswa S-3 Universitas Padjajaran.

Jumat, 10 Februari 2012

PANGERAN SURYA DAN UNTIRTA1


Oleh Firman Venayaksa[2]

Menggali masa lampau untuk membidik masa depan adalah ikhtiar akademik yang tak terbantahkan bagi kita, orang-orang yang rindu berbasah-basah menyelami lautan ilmu pengetahuan. Seperti halnya harimau, penting baginya mengambil ancang-ancang  ke belakang untuk meloncat jauh menuju mangsa yang dituju. Begitulah sejarah; kehadirannya menjadi kian berguna ketika sejumput cita-cita melayang-layang di udara. Namun, sering kali para sejarawan mengingatkan kepada kita bahwa sejarah adalah lautan yang tak bertepi, tak berbatas. Kitalah yang harus menentukan tepi itu, menemukan batasnya.

Sebagai seorang mualaf sejarah kebantenan, saya memang tak terlampau mahfum untuk membincangkan nilai-nilai filosofis yang bisa kita baca dari kehadiran pangeran Surya atau yang lebih kita kenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten ini. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan pendidikan yang nantinya mungkin diejawantahkan dalam corporate culture Untirta. Setelah jargon menuju World Class University duhai, makhluk apa pula corporate culture itu?

Banten dalam Sastra Dunia
Sebelum menyoal Sultan Ageng Tirtayasa dan segala yang melingkupinya, saya akan mulai membincangkan Banten dalam perspektif sastra. Sastra saya jadikan sebagai alternatif untuk menukil Banten, karena di dalam pendekatan terbaru seperti pendekatan New Historicism[3] misalnya, maka sastra memiliki kaitan intertekstual dengan sejarah. Hal ini diakui oleh sejarawan terkemuka, Asvi Warman Adam,[4] yang dikutip dari pernyataan Louis A. Montrose dengan istilah: membaca sastra sama dengan membaca sejarah, membaca sejarah sama dengan membaca sastra. Hal ini dimungkinkan karena sastra selalu bicara tentang kehidupan sementara sejarah adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.

Ditilik dari ranah sastra dunia, terutama di Belanda, Inggris dan Prancis, ternyata citra kesultanan Banten muncul semenjak 1610-1891. Hal ini bisa kita lihat dari tulisan Claude Guillot[5] yang secara kronologis menjelaskan drama, novel maupun cerpen yang mengambil kutipan “Bantam” bahkan ada juga yang secara jelas menjadikan Banten sebagai setting dari cerita yang diinisiasi pengarangnya.

Pada tahun 1610, Ben Johnson, seorang kawan sekaligus seangkatan dengan Shakespeare, memunculkan kata “Bantam” di dalam dialog drama The Alcemist. Pada tahun 1683, Aprha Ben bahkan menuliskan judul cerpennya yaitu The Court of King of Bantam. Hal ini dimungkinkan karena setahun sebelumnya, para utusan Banten sempat bermukim di London dan membuat geger ibu kota Inggris. Hal yang paling menarik adalah munculnya sebuah karya yang ditulis Onno Zweir van Haren (1713-1779) berjudul Agon, Sultan van Bantam yang menceritakan perihal kemelut yang terjadi akibat peralihan kekuasaan dari Sultan Ageng atau Agung (Agon) kepada anaknya Abdul Kahar (Abdul, dalam drama itu) yang meminta bantuan Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya melawan bapaknya sendiri. Penting untuk digarisbawahi, di dalam sandiwara lima babak ini, van Haren, justru memihak pada Banten, yang digambarkan sebagai negara yang patut dihormati sama seperti Belanda.[6]

Dari ranah kesusastraan, kita bisa melihat bagaimana sebuah kesultanan Banten dicitrakan. Banten sebagai sebuah negara yang berdaulat ternyata memiliki jaringan yang luar biasa. Rasanya agak aneh bila Banten hanya dijadikan sebagai sebuah setting karya sastra atau menyelipkannya di dalam dialog-dialog tanpa ada sebuah keseriusan dari dunia luar untuk lebih memahami Banten dalam perspektif tertentu.

Menggali Tirtayasa
Merujuk pada fakta-fakta sastrawi di atas, kian jelaslah bahwa Banten memiliki daya tarik tersendiri. Hal paling puncak dan keemasan di masa kesultanan Banten terletak pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Tidaklah terlalu berlebihan jika diantara 21 raja Banten yang tercatat di dalam sejarah, Sultan Ageng Tirtayasalah yang kemudian diberikan gelar pahlawan nasional.

Uka Candrasasmita menjelaskan bahwa sejak muda, ketika masih menjabat Sultan-muda dan sebelumnya, ia sudah dikenal di kalangan masyarakat sebagai salah seorang putera bangsawan yang gemar kepada kebudayaan. Kegemaran akan kebudayaan yang tiada mengurangi akan ketaatannya kepada agama itu senantiasa dibuktikan dengan ikut sertanya dalam permainan raket, yaitu permainan semacam wayang wong, dan permainan dedewaan. Demikian pula ia senang akan main sasaptonan yang agaknya pada masa itu merupakan permainan yang amat digemari di kalangan bangsawan dan rakyat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana Sultan Ageng Tirtayasa begitu menghargai kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dalam kesehariannya.
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Di komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yang dimaksudkan untuk mencetak pemimpin rakyat yang saleh dan taat beragama, demikian juga di beberapa daerah lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan membina mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh, Arab dan daerah lainnya. Salah satunya adalah seorang ulama dari Makasar, Syekh Yusuf Taju'l Khalwati, yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru dan mantu Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38).

Sultan membina hubungan baik dengan beberapa negara Islam seperti dengan Aceh dan Makasar, demikian juga dengan negara Islam di India, Mongol, Turki dan Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yang kuat dan penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten sendiri. Dalam kegiatan diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke Ingris yang terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari bantuan persenjataan (Russel Jones, 1982).

Demikian pesatnya usaha yang dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dalam membangun kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda, sehingga Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan Matsuiyker, menulis dalam suratnya yang ditujukan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten. … Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, atau kompeni yang lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).

Dari kutipan-kutipan di atas, kita bisa merefleksikan nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun bangsanya. Dilihat dari segi diplomasi, ia selalu menjaga jalinan kerjasama dalam bentuk politik maupun ekonomi yang saling menguntungkan. Munculnya VOC yang ingin memonopoli keadaan tentu membuat Sultan Ageng Tirtayasa jengah. Ia selalu konfrontatif dengan ketidakadilan, ketidakberesan dan selalu konsekuen dengan kebenaran yang dipegangnya. Ia juga kukuh memertahankan martabatnya termasuk ketika ia harus berhadapan dengan Sultan Haji, darah dagingnya sekalipun.

Kultur Institusi?
Nilai-nilai positif yang bisa kita petik dari sepak terjang kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa patutlah kita jadikan bahan refleksi bagi pengembangan di wilayah kultural dan edukatif. Hendaknya Untirta yang dengan sadar memakai nama dari Sultan yang berwibawa ini tak hanya berhenti pada wilayah simbolik semata. Untirta harus memiliki ghiroh yang senada. Inilah sebentuk kerancuan yang muncul di wilayah kampus. Seperti halnya perahu Nuh yang terombang-ambing, begitulah Untirta. Kesadaran kultural tidak muncul di kampus, bahkan terkesan mencerabut diri dari kultur kebantenan. Nilai-nilai lokal menjadi asing bagi civitas akademika; mahasiswa, staf juga dosen.

Padahal, jika mengutip pandangan Paulo Freire, guru (dosen) tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik (mahasiswa), tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.

Pada tataran ini, yang paling sederhana, kampus harus memiliki sejumput misi untuk mengenalkan nilai-nilai lokalitas. Disamping itu, dengan semangat Sultan Ageng Tirtayasa, Untirta seyogyanya membuat jaringan yang baik, terutama berkerabat dengan kampus-kampus di luar negeri. Jika secara kualitas, dosen-dosennya masih terbatas, apa yang dilakukan Tirtayasa dengan “melamar” Syech Yusuf, penting kiranya untuk terus dilakukan. Lamarlah dosen-dosen tamu dari universitas yang telah lebih dahulu mapan dan punya track record yang baik.

Cermin yang paling baik dari Sultan Ageng Tirtayasa adalah memegang teguh martabat, keadilan dan kebenaran. Hal inilah yang sekiranya bisa menjadi kultur institusi yang masif di Untirta. Jika masih ada mental-mental yang korup, kolutif dan nepotis; jika honor penelitian dipotong dengan asumsi dasar yang tak jelas; jika mahasiswa Pendidikan Bahasa di pascasarjana dibimbing dan diuji tesisnya oleh dosen yang berlatarbelakang hukum; daripada kita malu kepada Sultan Ageng Tirtayasa dan dikutuk sejarah karenanya, lebih baik kita mulai berpikir untuk mengganti nama menjadi Universitas Tirai Cinta; toh secara akronim masih pula Untirta.

Tanah Air, 2009



[1] Kertas kerja ini dipresentasikan dalan seminar yang diinisiasi UPT Humas Untirta  “Menggali Nilai Tirtayasa”, Hotel Mahadria, 29 Desember 2009.
[2] Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Untirta dan Presiden Rumah Dunia.
[3] Mnurut Melani Budianta, yang ditulis dalam Jurnal Susastra volume 2, no 3 tahun 2006 dengan judul artikel “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dijelaskan bahwa New historicism adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. Kata new historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblattt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya
[4] Lihat Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007.
[5] Guillot, Claude. 2009. Banten Sejarah dan Peradaban Abad V-XVII. Penerbit Gramedia: Jakarta. Hal 386-397.
[6] Ibid.


BEDAH BUKU DAN PEMENTASAN TEATER DI RUMAH DUNIA

La Rangku adalah sebuah kumpulan cerpen yang memenangkan perlombaan Festival Seni Surabaya (FSS) 2011. Penting kiranya kita mendiskusikan buku ini karena selain memiliki kualitas, kumpulan cerpen ini ditulis oleh seorang cerpenis berbakat asal Banten, Nidu Paras, yang juga tercatat sebagai mahasiswa Diksatrasia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten. Bedah buku akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 11 Februari 2012, pukul 14.00 di Rumah Dunia, Komplek Hegar Alam no 40 Serang. Frans Ekodhanto dari Koran Jakarta dan Novi perwakilan dari Kantor Bahasa Banten, yang akan menjadi pembedah buku ini.

Malam hari, bagi peminat teater di Banten, akan disuguhkan sebuah pementasan berjudul "Musuh Politik" dari teater Pohon Tangerang. Selamat mengapresiasi.

Kamis, 09 Februari 2012

WAN ANWAR: MENANAM KEBAIKAN

Oleh Firman Venayaksa





Aku mengenang betul hari itu. Di Minggu pagi yang tenang, aku bersama mahasiswa UT sedang berdiskusi hangat mengenai sosok ideal seorang guru. Tak berapa lama, sebuah SMS masuk. Muhyi Mohas, mengabarkan kegentingan. “Segera ke rumah sakit. Kasihan Wan Anwar.” Aku mulai panik. Langsung aku berpamitan kepada mereka, tancap gas menuju Rumah Sakit yang tak sampai setengah jam perjalanan dari tempat itu.

Setelah memarkirkan mobil, dengan tergesa aku bergegas menuju sebuah kamar. Lalu aku bertemu dengan beberapa wajah yang tak asing sedang bergumul di depan kamar. Ada juga  raut wajah yang kemerahan sambil tak henti menyeka airmata. Itulah Muhyi Mohas, seorang sahabat di Untirta yang sudah dua kali lipat dari umurku. Orang Hukum yang gandrung puisi Rendra dan Remmy Sylado itu biasanya berwajah ceria  dan optimis. Tidak kali itu. Belum juga aku melihat kondisi terakhir Wan Anwar, tiba-tiba ia memelukku dengan sangat keras, bicara tak jelas dan memancing emosiku untuk mengetahui apa yang terjadi. Aku menghambur ke kamar itu; kamar yang bau khas rumah sakit.

Disitulah sesosok lelaki terbaring kaku. Wajahnya sepucat kertas. Di samping lelaki yang terbujur kaku di atas ranjang itu, terlihat Nandang Aradea yang begitu tabah sepertinya. Beberapa tangisan perempuan, dengan alunan yang meradang ikut menebar suasana menjadi tegang. Aku tak bisa melihatnya berlama-lama. Aku tekan airmataku untuk kembali, namun tak kuasa.

Siang hari, Wan Anwar dipindahkan ke ruang gawat darurat. Handai taulan dan sahabat tiap waktu bertambah banyak. Dari majalah Horison; Taufiq Ismail, Agus Sardjono, Cecep Syamsul Hari dan Jamal D Rahman berdatangan. Satu-satu memasuki ruangan itu sambil mendoakan kesembuhannya. Aku ditarik oleh Taufiq Ismail sambil berdiskusi tentang Wan Anwar. Penyair yang sudah sepuh itu terus saja bergumam tentangnya, tentang kebaikannya. Menjelang sore, Wan Anwar dipindahkan ke rumah sakit Sari Asih. Menjelang maghrib, aku izin pulang. Ketika  subuh mengambang, Wan Anwar yang izin pulang.
***

Aku tak pernah dan tak akan bisa meng-klaim bahwa aku dekat dengan Wan Anwar. Dengan gayanya, ia bisa dekat dengan siapa saja. Di satu sisi, ia adalah sosok yang sangat humoris. Ia dengan gampang memecah suasana tegang menjadi sumringah. Di sisi lain, ia adalah seorang penyair sekaligus intelektual yang sama runcingnya. Gagasan-gagasan mengenai sastra dan kebudayaan sering terlontar dengan brilian. Hampir bisa dipastikan, jika ada pertanyaan-pertanyaan yang berbau sastra, Wan Anwar seperti jawaban yang berjalan. Ia pasti tahu dan jika pun ia tak banyak tahu, minimal ia akan seakan-akan tahu dan ia bisa meyakinkan kepada siapapun  bahwa ia jauh lebih tahu.

Ketika aku masuk menjadi mahasiswa baru di UPI (dulu IKIP Bandung) lalu bergiat di Arena Studi dan Apresiasi Sastra, aku mengenalnya sebagai sosok senior yang sangat terkenal. Sepertinya ia memang dengan serius menjaga namanya agar tetap terkenal dan dikenang. Pada momen tertentu, ia biasanya hadir dan berinteraksi dengan “calon penyair” sepertiku. Kalau bertemu junior sepertiku, lagaknya memang sering dibuat sok gaya. Pernah suatu ketika aku memberanikan diri untuk meminta ia mengoreksi puisi-puisi yang kutulis. “Jelek. Nantilah kalau puisimu dimuat di koran baru datang lagi.” Begitu kira-kira gayanya sambil tak hirau menjauhi. Lain lagi ceritanya kalau yang datang berjenis kelamin perempuan. Bahkan tanpa diminta pun ia berbaik hati mendekati bahkan tak jarang menjambanginya hingga ke kosan. Perempuan itu terganggu atau tidak, itu urusan nanti. Yang jelas, ikhiar itu memang terus dilakoninya hingga kelak menjadi semacam trade mark dan dilanjutkan oleh para penyair di ASAS dan Kubah Budaya.

Untunglah masih ada Herwan FR (sahabat sekaligus rival Wan Anwar) yang berbaik hati menemaniku berdiskusi dan membaca puisiku dengan telaten; mencorat coret lalu memilih diksi yang baik. Imbalannya aku disarankan membeli buku-buku koleksi Herwan FR. “Man, kalau kau ingin membuat puisi, kau harus baca puisi-puisi dari penyair hebat.” Lalu dikeluarkannya antologi puisi karya Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastro Wardoyo, dan lain-lain. Tak lupa ia juga menjual antologi Cermin Alam dan Malam Seribu Bulan yang puisinya dimuat disitu.

Atas bimbingan Herwan FR, puisiku mulai dimuat di beberapa media. Sesuai janjinya, Wan Anwar memang datang dan mengucapkan selamat. Kemudian mulailah ia mengajariku tentang sastra bahkan memberikan ruang agar aku kuliah lagi, mengikuti jejaknya masuk ke UI dan kembali ke Banten, mengajar di Untirta.

Pergumulanku dengan Wan Anwar mulai lebih intensif ketika aku diterima menjadi dosen di Untirta. Denganku, ia lebih banyak bicara hal-hal ideal tentang sastra dan akademik, terutama bagaimana membuat mahasiswa menyukai sastra. Tak sedikit mahasiswa yang dicetaknya menjadi sastrawan. Itulah kelebihannya. Ketika di kampus, ia menjadi dosen yang ideal. Di luar kampus, ia menjadi kakak bagi para mahasiswanya. Dengan caranya, ia terus memotivasi para mahasiswa agar berkarya.

Sebagai Ketua Program Studi, ia memang sangat dekat dengan mahasiswanya. Hingga kini tak ada yang bisa menandinginya. Ketika Penerimaan Mahasiswa Baru, ia tak sungkan bergumul dengan pengurus Hima, bahkan ikut “mengospek” mahasiswa baru. Untuk urusan karya, ia senang membacakan puisinya di depan banyak orang dan memanas-manasi siapapun jika tulisannya dimuat di media. Ia juga bersemangat ketika membahas buku-buku yang dilahapnya. Pernah sekali waktu ia mengupas cerpen “Senggring” karya Budi Darma dan menyuruhku untuk membacanya hingga selesai. “Tahu nggak Man kenapa aku suka cerpen ini? Tokohnya mirip dengan seniormu, si penyair lugu itu.” Deras tawanya kalau membicarakan Herwan FR.

Untuk wilayah akademik, ia dengan serius berbicara tentang mimpinya untuk membuat Fakultas Ilmu Budaya. “Orang-orang seperti kita akan terus dibuang dan disisihkan jika masih di FKIP. Untirta membutuhkan FIB agar orang-orang kreatif punya rumah. Agar Untirta tidak kering kerontang seperti ini.” Begitu katanya. Lalu ia mengajakku untuk mengambil S-3 di Universitas Indonesia. Ketika itu ia diterima di UI sementara aku tidak. “Kau jangan patah semangat, Man. Ikut lagi tahun depan. Beda dengan seniormu, datang ke Untirta kau sudah punya modal S-2 dan Rumah Dunia. Aku tak mungkin bisa sendirian bekerja.” Begitulah jika ia memotivasiku.

“Laukna beunang, caina herang.” Istilah sunda itu sering dipakainya jika menyelesaikan sebuah permasalahan. Sosok Wan Anwar memang unik. Ketika ada permasalahan di kampus, ia bisa menyelesaikan dengan baik tanpa ada “pertumpahan darah.” Setegang apapun masalah itu bermula. Namun ia juga tak akan tinggal diam jika memang harus melawan. Ketika ada pemilihan rektor di Untirta, dan mencium aroma tak sehat, bersama Muhyi Mohas dan dosen-dosen lain, ia menginisiasi sebuah forum yang dinamakan “Forum Perubahan.” Forum itu dibuat untuk mengawal perubahan di kampus. Walau tak sesuai dengan target yang dimimpikannya, setidaknya orang-orang akan mencatat dan menjadi sejarah.
***

Setelah Wan Anwar meninggal, aku baru sadar bahwa ia juga meninggalkan jejak-jejak kebaikan di berbagai tempat. Setidaknya ia telah melahirkan generasi penyair di Bandung dan Serang. Ia telah meninggalkan jejak kebaikan di hati sahabat-sahabatnya. Tahun lalu, ketika mahasiswa dan Kubah Budaya membuat kegiatan mengenang Wan Anwar dengan sederhana di kampus, Toto ST Radik marah besar. “Dasar, Untirta sialan!” Untuk nama besarnya, Toto tak rela jika Wan Anwar hanya dikenang seadanya.

Di beberapa forum sastra yang kuikuti, masih saja ada yang tak percaya jika Wan Anwar meninggal. Ya, di kalangan sastra, siapa yang tak mengenalnya. Ia telah menanam kebaikan dan yakinlah apa yang ia tanam telah berbuah.

Tanah Air, 2011



AMBON DIAMBANG KERUSUHAN (LAGI)


Oleh Firman Venayaksa


Selasa dini hari, perang antarkampung terjadi. Rabu malam, sopir angkot tertusuk, warga mengamuk. Ah Ambon manise, hingga kapan konflik berkepanjangan ini usai?
***
14 Desember 2011, sekitar pukul 08.00 WIT, pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat dengan tertib di bandara Pattimura Ambon. Perjalanan yang menempuh waktu sekitar empat jam dari Jakarta membuat tubuhku sedikit kelelahan. Tapi kupaksakan beranjak lalu mencari kafe dan memulai ritual seperti biasanya. Lazimnya di sebuah tempat yang belum saya jamah sebelumnya, saya membuka laptop, searching di googlemap, mempelajari hal ikhwal tentang daerah tersebut. Beberapa artikel saya baca dan sontak saya terkaget ketika menemukan sebuah berita bahwa pada hari kemarin, terjadi pertikaian antarwarga di kota Ambon. Pikiran kecemasan mulai melanda di pagi yang terik itu.
Kemudian, no HP Kabid PNFI Dinas Pendidikan Provinsi Ambon yang diberikan oleh Asmawi, Kasbudit Sarana dan Prasarana Dikmas langsung saya hubungi. Sayang, tak ada jawaban. Tak banyak diam, saya menculkan di dinding FB bahwa saya baru saja mendarat di Ambon. Tak sampai menunggu lima menit, beberapa wall balasan muncul. Bella, seorang kenalan yang pernah bekerja di penerbitan Jakarta menghubungi saya. Saya tak tahu kalau ia kini bekerja di Ambon. Ia sudah lengser dari pekerjaannya di penerbitan. Kini ia bekerja di BUMN Perikanan Nusantara. Selain Bella, Hudan Nur, yang juga membaca wall FB memberikan no HP sastrawan kenalannya yang berada di Ambon. Juga beberapa teman lain yang tak usah saya sebutkan. Saya kira, kebaikan mereka akan saya kenang.
Bella memulai percakapan di FB, “datang saja ke kantorku, Mas. Pakai angkot warna merah saja. Pasti lewat kantorku.” Tanpa berpikir panjang, saya sungguh bahagia mengikuti ajakannya. Sekitar setengah jam, sayapun menjambangi Bella di kantor. Kami berbincang beberapa hal, terutama yang berkaitan dengan kerusuhan Ambon. “Sebaiknya Mas Firman jangan menginap di kota. Kerusuhan sudah mulai lagi. Daerah pinggiran saja agar lebih aman,” lanjutnya. Saya tahu kenalan saya itu mengkhawatirkan saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota Ambon. Namun naluri keingintahuan saya jauh lebih besar. Justru saya ingin mengetahui dari dekat apa yang terjadi di sini. Sehabis istirahat sejenak sambil numpang sholat di mess Bella, saya dihubungi oleh Joni, Ketua Forum TBM Ambon yang berniat menemani saya. Ah, saya selalu percaya jika ada niat baik, semesta ikut mendukung. Setelah berpamitan kepada Bella, saya diajak Joni mendatangi beberapa tempat yang dituju.
Saya pernah bertemu dengan Joni pada kegiatan Forum TBM. Hal yang paling diingat dalam pertemuan itu, dia mengatakan, “ayo kita galakkan membaca atau mati, agar gerakan Indonesia membaca bisa terwujud.” Usianya memang tidak lagi belia. Ia pensiunan di Dinas Pendidikan, tapi semangatnya begitu menyala. Berkat bantuannya, saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya mendatangi beberapa narasumber yang harus saya wawancara. Kali ini, saya dan tim teknis budaya baca di Direktorat Pembinaan Masyarakat, Kemdikbud, sedang mengkaji ke lapangan terkait “TBM Mobile” yang semenjak tahun 2007 diberikan kepada Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di seluruh kabupaten/ kota di Indonesia.
Di Ambon, ada dua TBM Mobile; di Kota Ambon dan Maluku Tenggara. Sebagai sample, saya ditemani Joni bertandang ke SKB Ambon. Di sana, beberapa petugas sedang sibuk menyiapkan TBM Mobile. “Kok siang hari baru mau jalan?” saya penasaran. Seorang petugas penjawab, “Biasanya memang siang hari kami berangkat. Soalnya di kampung-kampung, sore hari masyarakat baru kumpul sepulang bekerja.” Lalu pekerjaan ritual pun dilanjutkan, bertanya tentang kondisi TBM Mobile dan seterusnya. Setelah selesai, Joni berkata kepada saya, “SKB ini cukup unik. Soalnya jadi tempat penampungan juga.” Menyimak perkataan Joni, saya terkesima. Lalu saya diajak ke belakang kantor. Disana saya bertemu dengan puluhan orang yang sedang beraktivitas. Enda, salah seorang ibu menuturkan kepada saya bahwa ia terpaksa mendatangi SKB karena rumahnya hancur akibat kerusuhan pada tanggal 11 September 2011. “Dulu, waktu kerusuhan 1999, saya ditampung di sini. Sekarang saya kembali kesini karena takut terjadi peperangan lagi,” ucapnya dengan wajah yang sangat tertekan. Sepertinya ia masih trauma dengan kejadian masa lampau dan memendam berbagai alasan yang tak mungkin ditumpahkan kepada saya, orang asing yang sama sekali tak mengetahui persoalan.
***
Sore hari, saya didrop ke Hotel Elisabeth yang tak jauh dari tempat kerusuhan. Kota Ambon tidak terlalu besar sehingga isu apapun yang menyebar mudah ditangkap masyarakat dengan cepat. Tetapi tubuh ini rasanya tak bisa berkompromi. Masuk ke kamar, saya langsung tak ingat apa-apa. Saya tidur lumayan pulas hingga tiba-tiba sebuah suara berkali-kali membangunkan kesadaran.  Suara itu memang dari kejauhan, tetapi semakin sering, terasa semakin menciutkan nyali. Sehabis sholat, saya langsung keluar menanyakan apa yang sedang terjadi. “Sepertinya itu suara tembakan,” kata seorang resepsionis, “tapi di sini aman, Pak,” lanjutnya. Sayapun keluar, ingin mencari informasi sambil menyulam perut saya yang mulai keroncongan. Dari beberapa informasi, tersiarlah kabar bahwa ada seorang sopir angkot yang di penggal lehernya. Setelah tahu kabar tersebut, saya kembali ke kamar, meminta kopi ginseng kepada resepsionis dan membenamkan diri pada buku kumpulan esai yang akan di bedah di Bandung sepulang dari tempat ini. Malam itu saya sulit mengatupkan mata. Rasa waswas menggedor-gedor pintu hati. Saya mengamati malam yang diselimuti hujan itu sambil memantau keadaan dari daun jendela kamar. Imajinasi saya yang liar malah membuat segalanya menjadi sangat aneh dan mencekam, padahal di depan jalan, saya melihat beberapa pemuda sedang asyik meminum bir cap tikus, sebuah minuman lokal yang sangat di gemari di wilayah Indonesia Timur.
***
Keesokan hari saya langsung membaca tiga koran lokal sekaligus. Saya terpaksa melakukan itu karena wartawan koran lokal kadang tak jelas menulis pemberitaan; Radar Ambon, Suara Maluku, dan Siwalima. Dari media itu saya mendapatkan pencerahan bahwa sopir angkot yang meninggal itu bernama  Rivaldo Petta. Payahnya, dari tiga media yang saya baca, keterangan umur dari masing-masing media berbeda, ada yang menuliskan umur Petta 16 tahun, 17 tahun dan 18 tahun. Jadi itulah alasan sederhana mengapa saya harus banyak membaca media lokal! Belum lagi jika menganalisis dari segi informasinya yang malah lebih banyak memunculkan isu daripada menjelaskan fakta. Tapi setidaknya, dari mereka pula saya bisa mengetahui hal ikhwal informasi yang berkembang. Intinya, sopir angkot itu menabrak trotoar jalan dengan kecepatan tinggi. Isu yang muncul, ia dianiaya oleh warga setelah kejadian. Ada juga yang menyebutkan bahwa ia menabrak totoar karena ditusuk di mobilnya. Hingga saat ini petugas masih melakukan penyelidikkan. Proses ini, tak jauh beda dengan kejadian 11 september; seorang tukang ojek kecelakaan di jalan. Ada yang menginformasikan bahwa setelah kecelakaan lalu dibunuh, ada juga yang menyatakan bahwa ia mati karena kecelakaan lalu lintas biasa. Wallahualam. Yang jelas provokasi oleh oknum-oknum tertentu di Ambon memang kerap terjadi.
Di Ambon, isu-isu memang berkeliaran dengan cepat. Versinya berbeda satu sama lain. Masyarakat awam tentu jadi sulit membedakan, apalagi saya yang tak mahfum situasi. Namun hal yang jelas terlihat, di jalan-jalan tak terlalu nampak orang-orang beraktivitas. Mereka berkerumun di tepi jalan sambil melongok ke kiri-kanan, seolah menunggu kejadian susulan. Di beberapa tempat seperti masjid, gereja, dan perkantoran, para petugas keamanan berjaga-jaga lengkap dengan senjata. Saya ditemani Joni melihat-lihat keadaan, hingga memasuki jalan-jalan tikus. “Tak usah pakai mobil. Kalau kondisi sedang rawan begini, biasanya macet. Kita jalan kaki saja,” ujarnya. “Baru kali ini saya mengajak tamu dari pusat memakai jalan tikus,” lanjutnya dengan nada bercanda.
Siang hari, ketika kami makan siang, dari arah jalan terdengar suara teriakan orang-orang. Mereka yang sedang menikmati makanan, menghambur keluar. Ratusan orang berjalan dengan wajah yang marah. Sesekali mereka berteriak. Beberapa orang membawa tongkat, ada juga yang mengambil batu-batu dari samping trotora. Mereka baru saja berdemonstrasi ke beberapa tempat sekaligus mengekspresikan kekesalannya akibat kematian tukang angkot yang tadi malam terjadi. “11 sepetmber yang mati tukang ojek dari kaum muslim. Sekarang yang mati sopir angkot dari kaum nasrani. Sepertinya ada provokator yang bermain agar Ambon terjadi kerusuhan lagi seperti tahun 99,” Joni sedikit menganalisis. Beberapa waktu terakhir ini, situasi Ambon memang memanas. Kondisi ini diperparah dengan para petugas keamanan yang kurang responsif melihat kejadian. Ketika iring-iringan para demonstran itu, saya memang hanya melihat segelintir saja para petugas yang mengamankan. “Kelihatan sekali petugas melakukan pembiaran. Padahal seharusnya mereka dibubarkan agar konsentrasi massa tidak meluas,” Joni merespon suasana tersebut.
Setelah ratusan demonstran itu melintas, beberapa orang berlarian ke belakang. Berita yang saya terima, ada satu orang yang terkena panah sehingga situasi kembali memanas. Saya disarankan untuk kembali ke hotel oleh Joni sambil mengamati perkembangan selanjutnya.***
  

BLOG INI UNDER CONTRUCTION. IKUT-IKUTAN WEB UNTIRTA



Rabu, 08 Februari 2012

MATAKULIAH "BERKEHIDUPAN BERMASYARAKAT" YANG BELUM BERMASYARAKAT


Oleh Firman Venayaksa*)

Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung
Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak
--pikukuh Baduy

Jika kita membaca kembali SK dari Dirjen Dikti (no. 44/DIKTI/kep/2006) tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat di Perguruan Tinggi, maka kita akan menemukan esensi yang tersurat di dalam keputusan ini, mulai dari visi dan misi, kompetensi, pokok-pokok substansi kajian, metodologi, silabus hingga persyaratan kualifikasi dosen yang mengampu. Dari hal tersebut kita bisa menilai bahwa pemerintah memiliki sebuah cakrawala harapan yang cukup terang, runtut dan terarah.

Realitas Faktual
Namun di dalam perkembangannya, mata kuliah semacam ini bahkan tidak seterang lampu pijar, tak runtut seperti gerbong kereta api dan tak terarah bak panah yang dilepaskan dari busurnya. Mahasiswa berada di perbatasan antara segan dan enggan, para dosen pun tak memiliki kebahagiaan ketika mengajarkan mata kuliah ini, belum lagi pihak kampus yang seolah tak memementingkan keberadaannya. Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat hanya serpihan tempelan tak bermakna dari berkehidupan bermasyarakat di wilayah kampus. Selain ISBD dan IAD, nampaknya Mata Kuliah Umum lainnya seperti Pancasila, Agama, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia pun memiliki persoalan yang tak jauh beda. Di beberapa jurusan, Mata Kuliah Agama disurutkan SKS-nya, bahkan untuk Fakultas Teknik Untirta, Bahasa Indonesia ditiadakan. Mungkin ingin menggantinya dengan Bahasa Teknik; EYD diganti dengan skrup dan obeng, bahasa resmi diubah menjadi suara mesin bubut? Kita tak tahu. Apakah hal ini disebabkan karena Mata Kuliah tersebut tidak ada sangkut paut yang berarti dengan Jurusannya atau semata-mata karena kekhilafan semata? Mengamati sejumlah persoalan yang hadir pada mata kuliah umum, nampaknya lokakarya yang diinisiasi ini diharapkan dapat menjadi ajang silaturahmi pemikiran sekaligus merumuskan apa yang ingin dicapai oleh Untirta dengan slogan terbaru yaitu Wor(l)d Class University.

Membedah ISBD
Keragaman fenomena sosial budaya menandai konsep kehidupan masyarakat modern sekaligus sebagai sebagai “kaca spion” untuk mengamati persoalan sosial budaya di masa lampau. Dengan kian berkembangnya ilmu pengetahuan beserta teknologi, kerinduan untuk mengetahui konsep masyarakat lokal jelas akan (juga) mencuat --yang di dalamnya terandung kearifan lokal-- Selain itu perkembangan sosial budaya pasca Orde Baru memiliki side effect terhadap ideologi kebudayaan dewasa ini. Bangsa kita menjadi begitu terbuka dalam menerima perubahan. Kondisi ini tentu menggembirakan, tetapi dalam ranah yang lain, perlu ada pengondisian di wilayah akademik agar tidak terjadi shock culture dalam memaknai arus kebudayaan ini.
Mata Kuliah ISBD seyogyanya bisa menjadi filter bagi para mahasiswa untuk menelisik lebih jauh dan mungkin diharapkan bisa diterapkan juga pemahaman lain perihal wacana/ pendidikan mulikultural. Hal ini sangat stategis apabila melihat keindonesiaan kita yang memang sarat dengan pelbagai perbedaan/ keragaman. Mata Kuliah ISBD bisa menjadi wadah untuk sosialisasi dan desiminasi tentang pendidikan multikultural, mengingat hal ini secara implisit dijelaskan pada pasal 4 UU No. 2 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
 Secara umum, kita mengetahui bahwa kompetensi dasar dari Ilmu Sosial Budaya Dasar yang secara gamblang dituliskan di dalam pasal 3 SK No. 44//DIKTI/kep/2006 yiatu “Menjadi ilmuwan dan profesional yang berpikir kritis, kreatif, sistemik dan ilmiah, berwawasan luas; etis, memiliki kepekaan dan empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya secara arif.” Kompetensi dasar semacam ini tentu memiliki nilai guna yang luas bagi para mahasiswa di dalam keterlibatannya sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Kendati penerapan dari setiap dosen akan berbeda dalam menginterpretasikannya, setidaknya kompetensi dasar ini tetap akan dijadikan acuan guna mentranser ilmu dan memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam konteks kekinian. Persoalan yang kemudian berlanjut, para dosen biasanya terjebak pada sebuah asumsi bahwa penguasaan materi teoretis lebih penting diberikan dari pada mereka terjun ke lapangan guna menggali persoalan yang terjadi di lingkungannya. Hal inilah yang seharusnya diperbaiki. Untuk menumbuhkan ketertarikan mahasiswa terhadap mata kuliah ISBD, setidaknya kita mencoba untuk membuat sebuah alternatif lain sebagai berikut.

1. Menjadi Observer
Mata kuliah ISBD sebaiknya dijadikan sebagai ajang bagi para mahasiswa untuk menjadi para peneliti (obeserver), terjun ke masyarakat dan mengoleksi persoalan yang ada untuk dibawa ke kelas dan memecahkannya. Hal ini akan jauh lebih bermakna bagi para mahasiswa dibandingkan hanya sekadar membaca teori-teori saja. Minimal, teori yang didapatkan bisa diaplikasikan di masyarakat. Kelahiran sosial-budaya lebih mudah ditemukan dalam masyarakatnya, karena ia bukan sekadar dioperasionalkan secara fisik, melainkan berada di dalam kepala, di dalam kematangan jiwa, keluasan pengalaman, dan kedalaman pikiran sebuah masyarakat.

2. Menggali Pop Culture (kebudayaan populer)
Mata Kuliah ISBD bisa juga diterapkan untuk menggali fenomena kebudayaan populer yang sekarang ini berkembang. Hal ini bukan bermaksud menampik persoalan kebudayaan lokal/ tradisi yang juga tak kalah penting, namun kebudayaan popular jauh lebih dikenal, bahkan menjadi terapan keseharian. Misalnya di dalam kelas, dosen dan mahasiswa bisa membincangkan perihal facebook, friendster atau twitter yang dikaitkan dengan “abrasi sosial”, bagaimana perubahan strategi sosial bahkan bisa dimulai hanya gara-gara kotak segi empat bernama komputer atau gadget lainnya. Selain itu mahasiswa bisa dirangsang untuk mengkaji persoalan iklan-iklan dan mendiskusikan makna yang terselubung di dalamnya. Sebagai tambahan, mahasiswa bisa juga diarahkan pada sebuah ideologi tertentu yang bisa didapatkan dari genre musik tertentu. Selama ini mahasiswa lebih banyak hanya menerima musik sebagai sebuah hiburan tetapi tidak banyak mengetahui bahwa setiap jenis musik memiliki makna ideologis yang dapat didiskusikan secara lebih mendalam. Artinya persoalan sosial-budaya bahkan bisa dimulai dari persoalan yang sangat sederhana dan memasyarakat.

3. Memahami Kebudayaan dan Kearifan Lokal
Titik tekan dari poin ini adalah agar mahasiswa mengetahui dan memahami secara mendalam tentang kebudayaan dan kearifan lokal, sebagai cara untuk menggali identitas dirinya. Selama ini, pengajaran ISBD lebih diarahkan pada kebudayaan yang bersifat menyebar dan general, padahal yang paling menarik dari kebudayaan justru terletak pada kekhususannya, terutama kebudayaan tradisi. Mahasiswa harus diarahkan untuk mendalami kebudayaan tradisi karena kebudayaan tradisi bisa menjadi kontrol dan perimbangan terhadap arus kebudayaan massa. Selanjutnya mahasiswa harus diarahkan untuk mengerti dan memaknai sejarah Banten, awal mula Banten berdiri hingga dibumihanguskannya Surosowan sebagai entitas Banten lama. Atau menggali informasi dan menemukan kearifan lokal tentang komunitas Baduy dan struktur organisasi sosialnya.  

4. Mengasah Kepekaan Estetis (Seni)
Melanjutkan poin 3, ada baiknya mahasiswa menampilkan hasil temuannya di masyarakat berupa seni tradisi. Hal ini selain sebagai cara menumbuhkan kecintaan terhadap seni tradisi, juga sebagai ajang untuk menjaga kelestarian nilai-nilai kekayaan yang terserak. Sebagai bagian dari kaum intelektual, penting kiranya bagi mahasiswa untuk bisa menjaga dan mengasah kepekaan estetis. 
Poin-poin di atas adalah upaya alternatif yang bisa diaplikasikan oleh para dosen yang mengampu Mata Kuliah ISBD, selain yang sudah tertuang secara proporsional di dalam silabus yang sekarang diterapkan. Upaya tersebut tentu masih perlu penyempurnaan dan layak diperdebatkan. Intinya, kita mencoba untuk menyelaraskan dan menyegarkan perkuliahan ini sehingga ke depan mahasiswa kita bisa tumbuh kekritisannya dan lebih memahami konsep sosial-budaya yang ada di sekitarnya.


*) Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Untirta.

SILABUS PERKULIAHAN KAJIAN PROSA FIKSI

SILABUS PERKULIAHAN

Mata Kuliah                : Kajian Prosa Fiksi
Bobot SKS                  : 3 SKS
Semester                      : IV
Program Studi             : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Kode Dosen                : 3122
Dosen                          : Firman Hadiansyah, M. Hum

  1. Standar Kompetensi
Mahasiswa memiliki pengetahuan dalam mengkaji prosa fiksi sastra Indonesia modern. Dengan demikian mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengklasifikasi, membandingkan dan memahami melalui proses kajian

  1. Deskripsi Perkuliahan
Mata kuliah Kajian  Prosa Fiksi merupakan mata kuliah yang mengenalkan mahasiswa secara langsung mengenai teks kesusastraan (karya). Dengan demikian, mahasiswa akan terlibat secara individual maupun kelompok untuk mengkaji berdasarkan proses keterbacaannya. Mahasiswa akan diajarkan cara-cara menganalisis prosa fiksi mulai dari strukturalisme, semiotika, psikologi sastra, dan sosiologi sastra. Beberapa novel dan cerpen akan dijadikan sebagai objeknya. Mahasiswa juga akan diajak untuk memahami alih wahana seperti konsep adaptasi karya sastra (film ke dalam novel atau sebaliknya). Selain itu di dalam perkuliahan ini, secara berkelompok, mahasiswa akan meneliti ke lapangan (field research) untuk menemukan dan mengkaji cerita rakyat/ folklor

  1. Mata Kuliah Prasyarat
Di dalam mata kuliah ini, mahasiswa harus lulus menempuh mata kuliah Teori Sastra, Sejarah Sastra dan Apresiasi Prosa Fiksi sebagai prasyarat. Sementara itu mata kuliah Kajian Prosa Fiksi merupakan prasyarat untuk berlanjut ke matakuliah Kritik Sastra.

  1. Kompetensi Dasar
  1. Menjelaskan pengertian kajian prosa fiksi
  2. Membuat klasifikasi berdasarkan genre prosa fiksi dan menjelaskan strukturalisme
  3. Mengenal dan memahami konsep cerita pendek dan menjelaskan semiotik
  4. Mengidentifikasi novel mutakhir dan menjelaskan prinsip-prinsip psikologi sastra
  5. Membedakan karya ”sastra populer” dan ”sastra serius” berdasarkan ideologi estetika, resepsi pembaca dan pemahaman pasar/ sosiologi sastra.
  6. Melakukan pembandingan terhadap karya-karya realis dan surealis
  7. Memahami konsep sastra religius dan gerakan sastra Islami
  8. Mengidentifikasi karya-karya sastrawan perempuan pasca Era Reformasi dan kaitannya dengan feminisme
  9. Menjelaskan keterkaitan antara karya prosa fiksi dengan film sebagai sebuah karya adaptasi.
  10. Menjelaskan field research untuk menemukan cerita rakyat/ folklor di masyarakat


  1. Jadwal Perkuliahan
Pertemuan
Pembahasan
Ke-1
-          Kontrak perkuliahan

-          Penjelasan terkait silabus

-          Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup kajian prosa fiksi
Ke-2
-          Membuat klasifikasi berdasarkan genre prosa fiksi dan menjelaskan strukturalisme

-          Mengapresiasi cerpen dan mengkaji berdasarkan strukturalisme
Ke-3
-          Mengenal dan memahami konsep cerita pendek dan menjelaskan semiotik
Ke-4
-          Mengidentifikasi novel mutakhir dan menjelaskan prinsip-prinsip psikologi sastra
Ke-5
-          Membedakan karya ”sastra populer” dan ”sastra serius” berdasarkan ideologi estetika, resepsi pembaca dan pemahaman pasar/ sosiologi sastra.
Ke-6
-          Membaca cerpen surealis dan realis
-          Melakukan pembandingan terhadap karya-karya realis dan surealis
Ke-7
-          Mengumpulkan tugas kajian individu
-          UTS
Ke-8
-          Memahami konsep sastra religius dan gerakan sastra Islami
Ke-9
-          Mengidentifikasi karya-karya sastrawan perempuan pasca Era Reformasi dan kaitannya dengan feminisme
Ke-10
-          Mengapresiasi film yang diadaptasi dari novel

-          Menjelaskan keterkaitan antara karya prosa fiksi dengan film sebagai sebuah karya adaptasi
Ke-11
-          Menjelaskan field research untuk menemukan cerita rakyat/ folklor di masyarakat
Ke-12
-          Diskusi filed research kelompok I
Ke-13
-          Diskusi field research kelompok II
Ke-14
-          Diskusi field research kelompok III
Ke-15
-          Diskusi field research kelompok IV
Ke-16
-          UAS




  1. Metode/ Teknik/ Pengalaman Belajar
1. Pendekatan       : Komunikatif-integratif
2. Metode/ teknik  : - ceramah dan tanya jawab
                                - presentasi dan diskusi
                                - survey data ke perpustakaan
                                - Tugas field research folklor (kelompok)

  1. Media Pembelajaran
1.                                                                              Papan tulis
2.                                                                              LCD/ Infokus
3.                                                                              Buku prosa fiksi

  1. Tugas-Tugas
1.      Mengkaji buku-buku prosa fiksi
2.      membuat tulisan dalam bentuk esai/ resensi terhadap karya-karya yang telah diapresiasi
3.      Tugas field research folklor (kelompok)


  1.  Penilaian
1. Sistem Penilaian
-          Untuk mengukur pemahaman terhadap kajian prosa fiksi, mahasiswa diberikan tes tertulis dan membuat hasil kajian dalam bentuk tertulis (individu) dan presentasi (kelompok).
-          Untuk mengukur pengetahuan, wawasan, dan pemahaman mengenai materi kajian prosa fiksi, mahasiswa diberikan tes tertulis dalam kurun waktu yang telah ditentukan
2. Pemerolehan Nilai
- Bobot UTS = 1, UAS = 2, Tugas = 1
- Nilai akhir = Sigma dari perkalian bobot dan perolehan nilai di atas dibagi dengan jumlah keseluruhan bobot.


  1. Sumber Bacaan/ Rujukan

Budiman, Manneke. 2004. Sastra Bandingan (Jurnal) Jakarta: Kalam.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai 1. Jakarta: Gramedia,
Kayam, Umar. 2005. Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Rahmanto, B. 2004. Umar Kayam: karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.
Teeuw, A. 2003. sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
Yoesoef, M. 2007. Sastra dan Kekuasaan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Segers. Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adi Cita (diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti)
Selden, Rahman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. (diterjemahkan oleh Rahmat Djoko Pradopo)
Budianta, Melani dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Bordwell, David dan Thompson, Kristin. 1993. Film Art: an Introduction. USA: Motion Picture
Chatman, Seymour. 1990. Coming to Terms: The Rhetoric of Narratives in Fiction and Film. New York: Cornell University
Djokosujatno, Apsanti. 2005. Cerita Fantastik dalam Prespektif Genetik dan Struktural. Jakarta: Djambatan.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk. 2002. Novel-Novel Indonesia, Tradisi Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995 Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sani, Asrul. 1997. Surat-surat Kepercayaan. Bandung: Angkasa.
Sutanto, Irzanti dan Ari AP. 2003. Prancis dan Kita, Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film dan Bahasa. Jakarta: Wedyatama Widya Sastra.
Ratna, Nyoman Kuta. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Venayaksa, Firman. 2011. Tingbating. Serang: Gong Publishing.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995 Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermassa