Jumat, 10 Februari 2012

PANGERAN SURYA DAN UNTIRTA1


Oleh Firman Venayaksa[2]

Menggali masa lampau untuk membidik masa depan adalah ikhtiar akademik yang tak terbantahkan bagi kita, orang-orang yang rindu berbasah-basah menyelami lautan ilmu pengetahuan. Seperti halnya harimau, penting baginya mengambil ancang-ancang  ke belakang untuk meloncat jauh menuju mangsa yang dituju. Begitulah sejarah; kehadirannya menjadi kian berguna ketika sejumput cita-cita melayang-layang di udara. Namun, sering kali para sejarawan mengingatkan kepada kita bahwa sejarah adalah lautan yang tak bertepi, tak berbatas. Kitalah yang harus menentukan tepi itu, menemukan batasnya.

Sebagai seorang mualaf sejarah kebantenan, saya memang tak terlampau mahfum untuk membincangkan nilai-nilai filosofis yang bisa kita baca dari kehadiran pangeran Surya atau yang lebih kita kenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten ini. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan pendidikan yang nantinya mungkin diejawantahkan dalam corporate culture Untirta. Setelah jargon menuju World Class University duhai, makhluk apa pula corporate culture itu?

Banten dalam Sastra Dunia
Sebelum menyoal Sultan Ageng Tirtayasa dan segala yang melingkupinya, saya akan mulai membincangkan Banten dalam perspektif sastra. Sastra saya jadikan sebagai alternatif untuk menukil Banten, karena di dalam pendekatan terbaru seperti pendekatan New Historicism[3] misalnya, maka sastra memiliki kaitan intertekstual dengan sejarah. Hal ini diakui oleh sejarawan terkemuka, Asvi Warman Adam,[4] yang dikutip dari pernyataan Louis A. Montrose dengan istilah: membaca sastra sama dengan membaca sejarah, membaca sejarah sama dengan membaca sastra. Hal ini dimungkinkan karena sastra selalu bicara tentang kehidupan sementara sejarah adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.

Ditilik dari ranah sastra dunia, terutama di Belanda, Inggris dan Prancis, ternyata citra kesultanan Banten muncul semenjak 1610-1891. Hal ini bisa kita lihat dari tulisan Claude Guillot[5] yang secara kronologis menjelaskan drama, novel maupun cerpen yang mengambil kutipan “Bantam” bahkan ada juga yang secara jelas menjadikan Banten sebagai setting dari cerita yang diinisiasi pengarangnya.

Pada tahun 1610, Ben Johnson, seorang kawan sekaligus seangkatan dengan Shakespeare, memunculkan kata “Bantam” di dalam dialog drama The Alcemist. Pada tahun 1683, Aprha Ben bahkan menuliskan judul cerpennya yaitu The Court of King of Bantam. Hal ini dimungkinkan karena setahun sebelumnya, para utusan Banten sempat bermukim di London dan membuat geger ibu kota Inggris. Hal yang paling menarik adalah munculnya sebuah karya yang ditulis Onno Zweir van Haren (1713-1779) berjudul Agon, Sultan van Bantam yang menceritakan perihal kemelut yang terjadi akibat peralihan kekuasaan dari Sultan Ageng atau Agung (Agon) kepada anaknya Abdul Kahar (Abdul, dalam drama itu) yang meminta bantuan Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya melawan bapaknya sendiri. Penting untuk digarisbawahi, di dalam sandiwara lima babak ini, van Haren, justru memihak pada Banten, yang digambarkan sebagai negara yang patut dihormati sama seperti Belanda.[6]

Dari ranah kesusastraan, kita bisa melihat bagaimana sebuah kesultanan Banten dicitrakan. Banten sebagai sebuah negara yang berdaulat ternyata memiliki jaringan yang luar biasa. Rasanya agak aneh bila Banten hanya dijadikan sebagai sebuah setting karya sastra atau menyelipkannya di dalam dialog-dialog tanpa ada sebuah keseriusan dari dunia luar untuk lebih memahami Banten dalam perspektif tertentu.

Menggali Tirtayasa
Merujuk pada fakta-fakta sastrawi di atas, kian jelaslah bahwa Banten memiliki daya tarik tersendiri. Hal paling puncak dan keemasan di masa kesultanan Banten terletak pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Tidaklah terlalu berlebihan jika diantara 21 raja Banten yang tercatat di dalam sejarah, Sultan Ageng Tirtayasalah yang kemudian diberikan gelar pahlawan nasional.

Uka Candrasasmita menjelaskan bahwa sejak muda, ketika masih menjabat Sultan-muda dan sebelumnya, ia sudah dikenal di kalangan masyarakat sebagai salah seorang putera bangsawan yang gemar kepada kebudayaan. Kegemaran akan kebudayaan yang tiada mengurangi akan ketaatannya kepada agama itu senantiasa dibuktikan dengan ikut sertanya dalam permainan raket, yaitu permainan semacam wayang wong, dan permainan dedewaan. Demikian pula ia senang akan main sasaptonan yang agaknya pada masa itu merupakan permainan yang amat digemari di kalangan bangsawan dan rakyat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana Sultan Ageng Tirtayasa begitu menghargai kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dalam kesehariannya.
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Di komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yang dimaksudkan untuk mencetak pemimpin rakyat yang saleh dan taat beragama, demikian juga di beberapa daerah lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan membina mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh, Arab dan daerah lainnya. Salah satunya adalah seorang ulama dari Makasar, Syekh Yusuf Taju'l Khalwati, yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru dan mantu Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38).

Sultan membina hubungan baik dengan beberapa negara Islam seperti dengan Aceh dan Makasar, demikian juga dengan negara Islam di India, Mongol, Turki dan Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yang kuat dan penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten sendiri. Dalam kegiatan diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke Ingris yang terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari bantuan persenjataan (Russel Jones, 1982).

Demikian pesatnya usaha yang dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dalam membangun kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda, sehingga Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan Matsuiyker, menulis dalam suratnya yang ditujukan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten. … Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, atau kompeni yang lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).

Dari kutipan-kutipan di atas, kita bisa merefleksikan nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun bangsanya. Dilihat dari segi diplomasi, ia selalu menjaga jalinan kerjasama dalam bentuk politik maupun ekonomi yang saling menguntungkan. Munculnya VOC yang ingin memonopoli keadaan tentu membuat Sultan Ageng Tirtayasa jengah. Ia selalu konfrontatif dengan ketidakadilan, ketidakberesan dan selalu konsekuen dengan kebenaran yang dipegangnya. Ia juga kukuh memertahankan martabatnya termasuk ketika ia harus berhadapan dengan Sultan Haji, darah dagingnya sekalipun.

Kultur Institusi?
Nilai-nilai positif yang bisa kita petik dari sepak terjang kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa patutlah kita jadikan bahan refleksi bagi pengembangan di wilayah kultural dan edukatif. Hendaknya Untirta yang dengan sadar memakai nama dari Sultan yang berwibawa ini tak hanya berhenti pada wilayah simbolik semata. Untirta harus memiliki ghiroh yang senada. Inilah sebentuk kerancuan yang muncul di wilayah kampus. Seperti halnya perahu Nuh yang terombang-ambing, begitulah Untirta. Kesadaran kultural tidak muncul di kampus, bahkan terkesan mencerabut diri dari kultur kebantenan. Nilai-nilai lokal menjadi asing bagi civitas akademika; mahasiswa, staf juga dosen.

Padahal, jika mengutip pandangan Paulo Freire, guru (dosen) tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik (mahasiswa), tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.

Pada tataran ini, yang paling sederhana, kampus harus memiliki sejumput misi untuk mengenalkan nilai-nilai lokalitas. Disamping itu, dengan semangat Sultan Ageng Tirtayasa, Untirta seyogyanya membuat jaringan yang baik, terutama berkerabat dengan kampus-kampus di luar negeri. Jika secara kualitas, dosen-dosennya masih terbatas, apa yang dilakukan Tirtayasa dengan “melamar” Syech Yusuf, penting kiranya untuk terus dilakukan. Lamarlah dosen-dosen tamu dari universitas yang telah lebih dahulu mapan dan punya track record yang baik.

Cermin yang paling baik dari Sultan Ageng Tirtayasa adalah memegang teguh martabat, keadilan dan kebenaran. Hal inilah yang sekiranya bisa menjadi kultur institusi yang masif di Untirta. Jika masih ada mental-mental yang korup, kolutif dan nepotis; jika honor penelitian dipotong dengan asumsi dasar yang tak jelas; jika mahasiswa Pendidikan Bahasa di pascasarjana dibimbing dan diuji tesisnya oleh dosen yang berlatarbelakang hukum; daripada kita malu kepada Sultan Ageng Tirtayasa dan dikutuk sejarah karenanya, lebih baik kita mulai berpikir untuk mengganti nama menjadi Universitas Tirai Cinta; toh secara akronim masih pula Untirta.

Tanah Air, 2009



[1] Kertas kerja ini dipresentasikan dalan seminar yang diinisiasi UPT Humas Untirta  “Menggali Nilai Tirtayasa”, Hotel Mahadria, 29 Desember 2009.
[2] Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Untirta dan Presiden Rumah Dunia.
[3] Mnurut Melani Budianta, yang ditulis dalam Jurnal Susastra volume 2, no 3 tahun 2006 dengan judul artikel “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dijelaskan bahwa New historicism adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. Kata new historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblattt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya
[4] Lihat Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007.
[5] Guillot, Claude. 2009. Banten Sejarah dan Peradaban Abad V-XVII. Penerbit Gramedia: Jakarta. Hal 386-397.
[6] Ibid.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar