Oleh Firman Venayaksa*)
Drama
politik BBM yang dipentaskan di panggung DPR pada akhirnya diselesaikan dengan
cara voting atas dua opsi. Opsi pertama adalah sepakat dengan UU APBN pasal 7
ayat 6 yang menjelaskan bahwa harga jual BBM bersumsidi tidak mengalami kenaikan. Sementara
opsi kedua adalah sepakat dengan pasal awal tetapi menambahkan ayat 6a yang
berbunyi “Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan mengalami
kenaikan atau penurunan lebih dari lima belas persen dari harga ICP yang
diasumsikan dalam APBNP 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian
harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”.
Persoalannya
apakah logika membuat dua opsi ini benar-benar memunculkan prasyarat sebuah
opsi yaitu “oposisi biner” ataukah semata-mata karena naluriah para politikus belaka
yang lebih sering mencari aman di muka rakyat?
Jika
kita mengamati secara seksama sekaitan dengan dua opsi tersebut, terlepas dari
redaksional ayat 6a yang ditambahkan itu, para legislator terbelah menjadi dua
kutub yaitu yang memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menaikan harga
BBM dan yang tidak memberikan peluang sama sekali. Namun jika kita menonton
pementasan drama di panggung DPR tersebut, ternyata yang awalnya menjadi
antagonis bagi para pendemo di jalanan, karena pro-kenaikan BBM, justru menjadi
pemenang. Sementara para legislator yang awalnya protagonis, dibuat babak belur
dengan memaksakan diri untuk keluar dari panggung DPR (walk out) dengan muka lesu dan tiba-tiba berpredikat looser. Inilah drama tragedi parlemen
yang sulit ditandingi oleh sutradara teater di negara manapun!
Semua
itu bermula dari logika opsi yang salah kaprah. Untuk memudahkan logika opsi
yang dipentaskan di panggung DPR itu, saya akan memberikan ilustrasi yang
sederhana. Bayangkan oleh Anda, Anda ingin mengecat seluruh warna rumah Anda
menjadi putih. Lalu istri Anda berkomentar “Saya sih ikut Ayah deh rumahnya
pakai warna putih, tapi alangkah baiknya kalau ada teman mama bertamu minggu
depan, catnya diganti warna hitam. Soalnya teman mama senang banget dengan
warna hitam.” Yang paling penting dari simpulan ilustrasi ini adalah, pertama, istri Anda sepakat dengan cat
rumah berwarna putih pilihan Anda tetapi kedua
ia memberikan saran lain agar Anda juga hendaknya mengecat warna hitam suatu
saat nanti. Dengan demikian sang istri tidak bisa mengklaim bahwa Anda kalah
karena tunduk dengan keinginan istri Anda. Toh,
ide awal Anda sudah disepakati oleh istri Anda. Atas dasar itu maka gagasan
untuk mengecat rumah dengan warna putih tetap bisa Anda lakukan karena sang
istripun ternyata tidak keberatan. Masalahnya, Anda pasti bertanya-tanya,
kenapa istri Anda ingin sekali mengikuti selera warna hitam temannya yang akan
datang seminggu kemudian, sementara Anda akan mengecat hari ini? Dan jika teman
istri Anda betul-betul akan datang, dengan terpaksa semua warna putih itu harus
Anda hitamkan jika Anda harus mengikuti keinginan istri Anda.
Ilustrasi
sederhana yang direduksi dari rapat paripurna DPR sebetulnya ingin menjelaskan jika
sepakat dengan pasal 7 ayat 6 yang mengindikasikan harga BBM tidak boleh
dinaikkan maka opsi kedua tidak perlu dimunculkan. Ketika opsi kedua ditambahkan
berdasarkan opsi pertama, maka sejatinya opsi pertama menjadi tiada. Opsi “pengandaian”
tersebut jelas-jelas akan membuat harga BBM naik dan hal tersebut bertolak
belakang dengan opsi pertama. Jika memang harus membuat opsi, maka pilihannya
hanya dua: memilih menaikkan BBM atau tidak? Sayangnya PDIP, Gerindra, Hanura
dan PKS terjebak dengan arus berlogika Golkar --dan diamini oleh partai lain--yang
sengaja dibuat samar, padahal
awalnya Golkar seakan-akan berbeda cara pandang dengan partai Demokrat. Pengalaman
semacam ini mengingatkan kita dengan teori dramaturgi Erving Goffman mengenai front stage dan back stage. Di depan khalayak, para politikus itu memberikan
harapan yang manis kepada rakyat, sementara di belakang panggung, sebuah
skenario sudah dibuat dengan sangat matang dan rapi dan kita tak pernah tahu
tentang kesepakatan-kesepakatan yang sudah terencana itu.
Namun
demikian, panggung DPR telah ditutup. Kita sudah menonton dengan seksama
kebangkrutan logika DPR. Para legislator itu telah menyepakati opsi kedua yang
memberikan kelonggaran kepada pemerintah untuk menaikkan BBM bersubsidi
walaupun tidak dalam waktu dekat. Untuk sementara, rakyat memang bisa bernafas
lega kendati agak tersengal. Dengan putusan ini, mungkin bisa meredakan para
demonstran untuk tidak ke jalanan, tetapi sulit mengantisipasi harga di pasar
yang sudah merayap naik. Atas dramaturgi yang dipentaskan oleh aktor DPR,
setidaknya kita jadi mahfum dengan tulisan Chairil Anwar di dalam sajaknya,
“hidup hanya menunda kekalahan.”
*)
Penulis adalah pengamat budaya massa, dosen di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa-Banten.