Sore itu (23/6/12) suasana alun-alun Multatuli Rangkasbitung sangat
ramai. Langit begitu teduh. Semilir angin menerpa wajah anak-anak yang
berkejar-kejaran bermain di lapangan. Memang, hampir setiap sore, alun-alun itu
dipadati masyarakat Rangkasbitung. Mulai dari permainan anak-anak, tukang
jualan makanan, pakaian, hingga tukang cendol berjibaku menemukan nafkah
disitu. Beberapa orang merenggangkan ototnya berolahraga. Sementara itu, di sebelah
lapangan basket, terdengar hiruk pikuk anak muda yang sedang bermain band yang
diisponsori salah satu produsen sepeda motor. Suara dentuman dari soundsystem sekitar
sepuluh ribu watt makin memekakan telinga bagi yang meliwati tempat itu. Ada
juga yang asyik-masyuk berkasih ria, seakan Rangkasbitung milik berdua.
Dari arah kejauhan, seorang lelaki tua berusia 66 tahun mengelap mukanya
yang berpeluh dengan handuk kecil yang menggelantung di leher. Sebuah becak tua
yang digenjotnya selama hampir 47 tahun itu diparkirkan di samping alun-alun
Multatuli, berhadap-hadapan dengan mesjid megah. Di belakang mesjid itu
terdapat makam Adipati Kartanatanegara; seorang bupati yang diabadikan dalam
novel Max Havelaar.
Sorot mata lelaki tua itu sudah mulai redup. Sebuah kacamata buram
menggelayut di ujung hidungnya. Sesekali matanya menyipit sambil membaca secarik
kertas yang belum lama diterimanya. Sore ini, Endan akan ikut berkompetisi pada
lomba baca puisi bersama Nurjanah pedagang makanan di Rumah Sakit Ajidarmo, Iis
penjual minuman di sekitar alun-alun, Jepri pengamen tunanetra, Emul anak remaja yang berkebutuhan
khusus dan duapuluhan peserta lainnya. Endan harus bisa membaca puisi dengan
penuh percaya diri demi mendapatkan 10 paket sembako yang disediakan panitia; gabungan anak muda dari KNPI Lebak, Taman
Bacaan Kedai Proses STKIP Setiabudhi dan Ikatan Mahasiswa Lebak.
Tak berapa lama, lomba pun dimulai. Seorang MC dari mahasiswa mulai
mengabsen nama-nama peserta. Seorang anak remaja berpredikat sebagai tukang
semir membacakan puisi dengan sedikit terbata. Para penonton tersenyum simpul
melihat gelagatnya. Sesekali ia menghentikan bacaannya sambil garuk-garuk
kepala. Rupanya ia mengeja. Untunglah, dengan izin Allah, ia bisa menyelesaikan
sebuah puisi karya Chairil Anwar itu.
Tanpa pengeras suara, satu persatu para peserta membacakan puisi dengan
gayanya masing-masing. Mereka tidak menghiraukan suara band yang hanya 50 meter
dari “Pojok Multatuli” tempat mereka membaca puisi. “Baiklah, kita panggilkan
peserta berikutnya. Pak Toni silahkan ke depan…”kata MC. Tapi setelah kedua
kalinya nama Toni disebut, tak ada yang merespon. Tiba-tiba seorang remaja ke
depan, “akhirnya Toni datang, silahkan baca puisi,” lanjut MC. Tapi ada salah
seorang yang menginterupsi sambil terbahak-bahak, “Wih, Mulyadi sudah ganti
nama ya jadi Toni.” Rupanya Emul sudah tak sabar baca puisi. Ia adalah salah
satu remaja berkebutuhan khusus yang suka nongkrong di alun-alun. MC tak mau
pusing, Emul-pun diminta untuk membaca puisi. Emul memang mengeluarkan
kata-kata, tapi kata-kata yang tak tertera di dalam puisi yang dipegangnya. MC
menepuk jidat, Emul Cuek.
Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, tibalah giliran Endan. Suara
tepuk tangan penonton membahana. Endan menjadi magnet bagi para pengunjung
alun-alun. Maklum, ia adalah peserta paling senior. Kendati begitu, bacaan
puisinya cukup baik dan menggugah. Ia membaca puisi dari Taufiq Ismail berjudul
“Nasehat-Nasehat Kecil Orangtua Pada Anaknya Berangkat Dewasa”
Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
jika adalah yang tak bisa
kaujual-balikan
ialah yang bernama keyakinan
jika adalah yang harus kautumbangkan
ialah segala pohon-pohon
kezaliman
jika adalah orang yang harus
kauagungkan
ialah hanya rosul Tuhan
jika adalah kesempatan memilih
mati
ialah syahid di jalan Ilahi
Selesai membaca bait terakhir,
Endan menyunggingkan senyum terbaiknya. Giginya yang agak hitam dan sebagian
sudah porak-poranda termakan usia, membuat para penonton terhibur. Rupanya ia
senang betul ditonton oleh sebagian besar anak muda. “Tadi saya baca puisi,
sekarang Aki ingin menyanyi untuk semuanya.” Lalu dengan semangat, ia
menyanyikan lagu perjuangan. Tidak hanya satu, tapi dua sekaligus. Nampaknya
sore itu adalah salah satu sore yang paling membahagiakan di dalam hidupnya.
Setelah semua peserta membaca puisi, tibalah pengumuman yang dinanti. Satu
persatu nama-nama disebut. Dan Endan kembali menyunggingkan senyum terbaiknya
karena ia disebut dalam sepuluh besar pembaca puisi terbaik dan berhak
mendapatkan paket sembako yang telah dibungkus dengan plastik berwarna putih. Selamat
Endan. (FV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar