Sumbang Buku dari
Untirta bagi saya selaku dosen yang juga aktivis Taman Bacaan adalah sesuatu
yang luar biasa. Bahkan Gol A Gong pendiri Rumah Dunia sekaligus Ketua Umum Forum
TBM seakan tidak percaya bahwa Untirta bisa menyumbang 2500 buku dari mahasiswa
baru.
Sebetulnya ide
tersebut muncul dari obrolan santai saya dengan Presiden Mahasiswa Untirta,
Adam Marifat. Seperti biasa, jika ada waktu luang, saya sering nongkrong di UKM
Kafe ide, semacam komunitas teater bagi para mahasiswa. Waktu itu, seperti
biasa, Adam Marifat curhat mengenai betapa lelahnya ia menjadi pemimpin Ormawa,
lalu ia juga membicarakan betapa rumitnya menyiapkan kegiatan Pekan Pengenalan
Kehidupan Kampus (P2KK). “Diskusi dengan pejabat Untirta malah berhenti pada
urusan pendanaan yang tak kunjung beres. Kasihan mahasiswa baru. Sudah bayar,
malah dipungut biaya lai-lain dan saya tak bisa berbuat banyak, Pak.” Ucapnya. “Yang
penting kamu sudah berusaha. Itu lebih baik daripada diam sama sekali,” saya
memberi semangat. Lalu saya lontarkan gagasan tersebut. “Saya kira akan jauh
lebih menarik jika mahasiswa baru itu menyumbang buku. Nanti sumbangan itu akan
disampaikan kepada para pengelola Taman Bacaan Masyarakat seluruh Indonesia.”
Adam langsung menyambar ide itu. “Iya, pak, ide semacam itu yang menarik. Yang
saya aneh, kenapa tidak terlontar dari para pejabat atau minimal kepala
perpustakaan Untirta ya?” Saya hanya tersenyum kecil.
Beberapa Minggupun menjelang.
Saya melihat kegiatan P2KK berjalan. Sayangnya yang muncul di pemberitaan koran
lokal justru diberitakan terjadi kekisruhan, terutama persoalan manajemen yang
semrawut antara pihak Universitas dan Fakultas. Saya hanya bisa mengelus dada.
Permainan elite semacam ini jelas sangat tak masuk akal dan imbasnya mahasiswa
yang terbelah. Ah, kasihan mereka.
Untunglah proyek pengumpulan
buku berjalan dengan lancar. Ada sekitar 2500 buku yang disumbang para
mahasiswa baru. Adam dan panitia bermaksud menyerahkan secara simbolik pada
acara penutupan P2KK pada hari Jumat, 31 Agustus 2012. “Bapak siap ya ke depan.
Ngasih testimoni di hadapan para pejabat.” Ucap Adam yang sedikit
menggebu-gebu. Sebagai anak muda, saya tahu dia ingin membuktikan sesuatu
kepada para pejabat Untira. Tapi saya berusaha untuk menanyakan lagi niat baik
itu. “Dam, coba tanya Rektor melalui MC acara. Berkenan nggak saya ke depan
podium?” Adam menjawab. “Sudah oke, Pak.” Katanya sambil berlalu entah ke mana.
Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, salah seorang panitia memberitahu
kepada saya bahwa pada acara penutupan itu tidak jadi diadakan seremonial. Apapun
alasannya, saya tak mau memperpanjang. Saya SMS Adam. “Dam, nggak jadi. Rektor
tak berkenan.” Lalu dia balik bertanya, “Terus harus gimana dong, Pak?” Saya
jawab lagi, “Tanya sama rektormu.”
Penutupan P2KK “formal”
pun berakhir. Para pejabat Untirta meninggalkan podium. Saya juga tak masalah
sebetulnya jika proses simbolik pemberian buku itu tidak dilakukan. Toh
buku-buku sudah ada dan niat baik itu sudah terjadi. Tinggal dibawa saja. Namun
ketika para pejabat itu pergi, saya diminta oleh para mahasiswa untuk ke depan dan
proses simbolik pemberian sumbangan buku pun terjadi. Saya diminta sedikit
memberikan testimoni. Saya mengucapkan terimakasih kepada mereka dan saya
jelaskan bahwa sumbangan buku ini sangat berharga bagi masyarakat yang rindu
bacaan.
Sekarang, buku-buku itu sudah ada di Rumah Dunia. Akan kami simpan dan pada tanggal 31 Oktober nanti, akan kami serahkan kepada para pengelola TBM dalam acara Festival TBM se-Indonesia di Kemdikbud. Terimakasih Adam, terimakasih para mahasiswa Untirta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar