Rabu, 08 Februari 2012

MATAKULIAH "BERKEHIDUPAN BERMASYARAKAT" YANG BELUM BERMASYARAKAT


Oleh Firman Venayaksa*)

Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung
Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak
--pikukuh Baduy

Jika kita membaca kembali SK dari Dirjen Dikti (no. 44/DIKTI/kep/2006) tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat di Perguruan Tinggi, maka kita akan menemukan esensi yang tersurat di dalam keputusan ini, mulai dari visi dan misi, kompetensi, pokok-pokok substansi kajian, metodologi, silabus hingga persyaratan kualifikasi dosen yang mengampu. Dari hal tersebut kita bisa menilai bahwa pemerintah memiliki sebuah cakrawala harapan yang cukup terang, runtut dan terarah.

Realitas Faktual
Namun di dalam perkembangannya, mata kuliah semacam ini bahkan tidak seterang lampu pijar, tak runtut seperti gerbong kereta api dan tak terarah bak panah yang dilepaskan dari busurnya. Mahasiswa berada di perbatasan antara segan dan enggan, para dosen pun tak memiliki kebahagiaan ketika mengajarkan mata kuliah ini, belum lagi pihak kampus yang seolah tak memementingkan keberadaannya. Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat hanya serpihan tempelan tak bermakna dari berkehidupan bermasyarakat di wilayah kampus. Selain ISBD dan IAD, nampaknya Mata Kuliah Umum lainnya seperti Pancasila, Agama, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia pun memiliki persoalan yang tak jauh beda. Di beberapa jurusan, Mata Kuliah Agama disurutkan SKS-nya, bahkan untuk Fakultas Teknik Untirta, Bahasa Indonesia ditiadakan. Mungkin ingin menggantinya dengan Bahasa Teknik; EYD diganti dengan skrup dan obeng, bahasa resmi diubah menjadi suara mesin bubut? Kita tak tahu. Apakah hal ini disebabkan karena Mata Kuliah tersebut tidak ada sangkut paut yang berarti dengan Jurusannya atau semata-mata karena kekhilafan semata? Mengamati sejumlah persoalan yang hadir pada mata kuliah umum, nampaknya lokakarya yang diinisiasi ini diharapkan dapat menjadi ajang silaturahmi pemikiran sekaligus merumuskan apa yang ingin dicapai oleh Untirta dengan slogan terbaru yaitu Wor(l)d Class University.

Membedah ISBD
Keragaman fenomena sosial budaya menandai konsep kehidupan masyarakat modern sekaligus sebagai sebagai “kaca spion” untuk mengamati persoalan sosial budaya di masa lampau. Dengan kian berkembangnya ilmu pengetahuan beserta teknologi, kerinduan untuk mengetahui konsep masyarakat lokal jelas akan (juga) mencuat --yang di dalamnya terandung kearifan lokal-- Selain itu perkembangan sosial budaya pasca Orde Baru memiliki side effect terhadap ideologi kebudayaan dewasa ini. Bangsa kita menjadi begitu terbuka dalam menerima perubahan. Kondisi ini tentu menggembirakan, tetapi dalam ranah yang lain, perlu ada pengondisian di wilayah akademik agar tidak terjadi shock culture dalam memaknai arus kebudayaan ini.
Mata Kuliah ISBD seyogyanya bisa menjadi filter bagi para mahasiswa untuk menelisik lebih jauh dan mungkin diharapkan bisa diterapkan juga pemahaman lain perihal wacana/ pendidikan mulikultural. Hal ini sangat stategis apabila melihat keindonesiaan kita yang memang sarat dengan pelbagai perbedaan/ keragaman. Mata Kuliah ISBD bisa menjadi wadah untuk sosialisasi dan desiminasi tentang pendidikan multikultural, mengingat hal ini secara implisit dijelaskan pada pasal 4 UU No. 2 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
 Secara umum, kita mengetahui bahwa kompetensi dasar dari Ilmu Sosial Budaya Dasar yang secara gamblang dituliskan di dalam pasal 3 SK No. 44//DIKTI/kep/2006 yiatu “Menjadi ilmuwan dan profesional yang berpikir kritis, kreatif, sistemik dan ilmiah, berwawasan luas; etis, memiliki kepekaan dan empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya secara arif.” Kompetensi dasar semacam ini tentu memiliki nilai guna yang luas bagi para mahasiswa di dalam keterlibatannya sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Kendati penerapan dari setiap dosen akan berbeda dalam menginterpretasikannya, setidaknya kompetensi dasar ini tetap akan dijadikan acuan guna mentranser ilmu dan memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam konteks kekinian. Persoalan yang kemudian berlanjut, para dosen biasanya terjebak pada sebuah asumsi bahwa penguasaan materi teoretis lebih penting diberikan dari pada mereka terjun ke lapangan guna menggali persoalan yang terjadi di lingkungannya. Hal inilah yang seharusnya diperbaiki. Untuk menumbuhkan ketertarikan mahasiswa terhadap mata kuliah ISBD, setidaknya kita mencoba untuk membuat sebuah alternatif lain sebagai berikut.

1. Menjadi Observer
Mata kuliah ISBD sebaiknya dijadikan sebagai ajang bagi para mahasiswa untuk menjadi para peneliti (obeserver), terjun ke masyarakat dan mengoleksi persoalan yang ada untuk dibawa ke kelas dan memecahkannya. Hal ini akan jauh lebih bermakna bagi para mahasiswa dibandingkan hanya sekadar membaca teori-teori saja. Minimal, teori yang didapatkan bisa diaplikasikan di masyarakat. Kelahiran sosial-budaya lebih mudah ditemukan dalam masyarakatnya, karena ia bukan sekadar dioperasionalkan secara fisik, melainkan berada di dalam kepala, di dalam kematangan jiwa, keluasan pengalaman, dan kedalaman pikiran sebuah masyarakat.

2. Menggali Pop Culture (kebudayaan populer)
Mata Kuliah ISBD bisa juga diterapkan untuk menggali fenomena kebudayaan populer yang sekarang ini berkembang. Hal ini bukan bermaksud menampik persoalan kebudayaan lokal/ tradisi yang juga tak kalah penting, namun kebudayaan popular jauh lebih dikenal, bahkan menjadi terapan keseharian. Misalnya di dalam kelas, dosen dan mahasiswa bisa membincangkan perihal facebook, friendster atau twitter yang dikaitkan dengan “abrasi sosial”, bagaimana perubahan strategi sosial bahkan bisa dimulai hanya gara-gara kotak segi empat bernama komputer atau gadget lainnya. Selain itu mahasiswa bisa dirangsang untuk mengkaji persoalan iklan-iklan dan mendiskusikan makna yang terselubung di dalamnya. Sebagai tambahan, mahasiswa bisa juga diarahkan pada sebuah ideologi tertentu yang bisa didapatkan dari genre musik tertentu. Selama ini mahasiswa lebih banyak hanya menerima musik sebagai sebuah hiburan tetapi tidak banyak mengetahui bahwa setiap jenis musik memiliki makna ideologis yang dapat didiskusikan secara lebih mendalam. Artinya persoalan sosial-budaya bahkan bisa dimulai dari persoalan yang sangat sederhana dan memasyarakat.

3. Memahami Kebudayaan dan Kearifan Lokal
Titik tekan dari poin ini adalah agar mahasiswa mengetahui dan memahami secara mendalam tentang kebudayaan dan kearifan lokal, sebagai cara untuk menggali identitas dirinya. Selama ini, pengajaran ISBD lebih diarahkan pada kebudayaan yang bersifat menyebar dan general, padahal yang paling menarik dari kebudayaan justru terletak pada kekhususannya, terutama kebudayaan tradisi. Mahasiswa harus diarahkan untuk mendalami kebudayaan tradisi karena kebudayaan tradisi bisa menjadi kontrol dan perimbangan terhadap arus kebudayaan massa. Selanjutnya mahasiswa harus diarahkan untuk mengerti dan memaknai sejarah Banten, awal mula Banten berdiri hingga dibumihanguskannya Surosowan sebagai entitas Banten lama. Atau menggali informasi dan menemukan kearifan lokal tentang komunitas Baduy dan struktur organisasi sosialnya.  

4. Mengasah Kepekaan Estetis (Seni)
Melanjutkan poin 3, ada baiknya mahasiswa menampilkan hasil temuannya di masyarakat berupa seni tradisi. Hal ini selain sebagai cara menumbuhkan kecintaan terhadap seni tradisi, juga sebagai ajang untuk menjaga kelestarian nilai-nilai kekayaan yang terserak. Sebagai bagian dari kaum intelektual, penting kiranya bagi mahasiswa untuk bisa menjaga dan mengasah kepekaan estetis. 
Poin-poin di atas adalah upaya alternatif yang bisa diaplikasikan oleh para dosen yang mengampu Mata Kuliah ISBD, selain yang sudah tertuang secara proporsional di dalam silabus yang sekarang diterapkan. Upaya tersebut tentu masih perlu penyempurnaan dan layak diperdebatkan. Intinya, kita mencoba untuk menyelaraskan dan menyegarkan perkuliahan ini sehingga ke depan mahasiswa kita bisa tumbuh kekritisannya dan lebih memahami konsep sosial-budaya yang ada di sekitarnya.


*) Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Untirta.

SILABUS PERKULIAHAN KAJIAN PROSA FIKSI

SILABUS PERKULIAHAN

Mata Kuliah                : Kajian Prosa Fiksi
Bobot SKS                  : 3 SKS
Semester                      : IV
Program Studi             : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Kode Dosen                : 3122
Dosen                          : Firman Hadiansyah, M. Hum

  1. Standar Kompetensi
Mahasiswa memiliki pengetahuan dalam mengkaji prosa fiksi sastra Indonesia modern. Dengan demikian mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengklasifikasi, membandingkan dan memahami melalui proses kajian

  1. Deskripsi Perkuliahan
Mata kuliah Kajian  Prosa Fiksi merupakan mata kuliah yang mengenalkan mahasiswa secara langsung mengenai teks kesusastraan (karya). Dengan demikian, mahasiswa akan terlibat secara individual maupun kelompok untuk mengkaji berdasarkan proses keterbacaannya. Mahasiswa akan diajarkan cara-cara menganalisis prosa fiksi mulai dari strukturalisme, semiotika, psikologi sastra, dan sosiologi sastra. Beberapa novel dan cerpen akan dijadikan sebagai objeknya. Mahasiswa juga akan diajak untuk memahami alih wahana seperti konsep adaptasi karya sastra (film ke dalam novel atau sebaliknya). Selain itu di dalam perkuliahan ini, secara berkelompok, mahasiswa akan meneliti ke lapangan (field research) untuk menemukan dan mengkaji cerita rakyat/ folklor

  1. Mata Kuliah Prasyarat
Di dalam mata kuliah ini, mahasiswa harus lulus menempuh mata kuliah Teori Sastra, Sejarah Sastra dan Apresiasi Prosa Fiksi sebagai prasyarat. Sementara itu mata kuliah Kajian Prosa Fiksi merupakan prasyarat untuk berlanjut ke matakuliah Kritik Sastra.

  1. Kompetensi Dasar
  1. Menjelaskan pengertian kajian prosa fiksi
  2. Membuat klasifikasi berdasarkan genre prosa fiksi dan menjelaskan strukturalisme
  3. Mengenal dan memahami konsep cerita pendek dan menjelaskan semiotik
  4. Mengidentifikasi novel mutakhir dan menjelaskan prinsip-prinsip psikologi sastra
  5. Membedakan karya ”sastra populer” dan ”sastra serius” berdasarkan ideologi estetika, resepsi pembaca dan pemahaman pasar/ sosiologi sastra.
  6. Melakukan pembandingan terhadap karya-karya realis dan surealis
  7. Memahami konsep sastra religius dan gerakan sastra Islami
  8. Mengidentifikasi karya-karya sastrawan perempuan pasca Era Reformasi dan kaitannya dengan feminisme
  9. Menjelaskan keterkaitan antara karya prosa fiksi dengan film sebagai sebuah karya adaptasi.
  10. Menjelaskan field research untuk menemukan cerita rakyat/ folklor di masyarakat


  1. Jadwal Perkuliahan
Pertemuan
Pembahasan
Ke-1
-          Kontrak perkuliahan

-          Penjelasan terkait silabus

-          Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup kajian prosa fiksi
Ke-2
-          Membuat klasifikasi berdasarkan genre prosa fiksi dan menjelaskan strukturalisme

-          Mengapresiasi cerpen dan mengkaji berdasarkan strukturalisme
Ke-3
-          Mengenal dan memahami konsep cerita pendek dan menjelaskan semiotik
Ke-4
-          Mengidentifikasi novel mutakhir dan menjelaskan prinsip-prinsip psikologi sastra
Ke-5
-          Membedakan karya ”sastra populer” dan ”sastra serius” berdasarkan ideologi estetika, resepsi pembaca dan pemahaman pasar/ sosiologi sastra.
Ke-6
-          Membaca cerpen surealis dan realis
-          Melakukan pembandingan terhadap karya-karya realis dan surealis
Ke-7
-          Mengumpulkan tugas kajian individu
-          UTS
Ke-8
-          Memahami konsep sastra religius dan gerakan sastra Islami
Ke-9
-          Mengidentifikasi karya-karya sastrawan perempuan pasca Era Reformasi dan kaitannya dengan feminisme
Ke-10
-          Mengapresiasi film yang diadaptasi dari novel

-          Menjelaskan keterkaitan antara karya prosa fiksi dengan film sebagai sebuah karya adaptasi
Ke-11
-          Menjelaskan field research untuk menemukan cerita rakyat/ folklor di masyarakat
Ke-12
-          Diskusi filed research kelompok I
Ke-13
-          Diskusi field research kelompok II
Ke-14
-          Diskusi field research kelompok III
Ke-15
-          Diskusi field research kelompok IV
Ke-16
-          UAS




  1. Metode/ Teknik/ Pengalaman Belajar
1. Pendekatan       : Komunikatif-integratif
2. Metode/ teknik  : - ceramah dan tanya jawab
                                - presentasi dan diskusi
                                - survey data ke perpustakaan
                                - Tugas field research folklor (kelompok)

  1. Media Pembelajaran
1.                                                                              Papan tulis
2.                                                                              LCD/ Infokus
3.                                                                              Buku prosa fiksi

  1. Tugas-Tugas
1.      Mengkaji buku-buku prosa fiksi
2.      membuat tulisan dalam bentuk esai/ resensi terhadap karya-karya yang telah diapresiasi
3.      Tugas field research folklor (kelompok)


  1.  Penilaian
1. Sistem Penilaian
-          Untuk mengukur pemahaman terhadap kajian prosa fiksi, mahasiswa diberikan tes tertulis dan membuat hasil kajian dalam bentuk tertulis (individu) dan presentasi (kelompok).
-          Untuk mengukur pengetahuan, wawasan, dan pemahaman mengenai materi kajian prosa fiksi, mahasiswa diberikan tes tertulis dalam kurun waktu yang telah ditentukan
2. Pemerolehan Nilai
- Bobot UTS = 1, UAS = 2, Tugas = 1
- Nilai akhir = Sigma dari perkalian bobot dan perolehan nilai di atas dibagi dengan jumlah keseluruhan bobot.


  1. Sumber Bacaan/ Rujukan

Budiman, Manneke. 2004. Sastra Bandingan (Jurnal) Jakarta: Kalam.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai 1. Jakarta: Gramedia,
Kayam, Umar. 2005. Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Rahmanto, B. 2004. Umar Kayam: karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.
Teeuw, A. 2003. sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
Yoesoef, M. 2007. Sastra dan Kekuasaan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Segers. Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adi Cita (diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti)
Selden, Rahman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. (diterjemahkan oleh Rahmat Djoko Pradopo)
Budianta, Melani dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Bordwell, David dan Thompson, Kristin. 1993. Film Art: an Introduction. USA: Motion Picture
Chatman, Seymour. 1990. Coming to Terms: The Rhetoric of Narratives in Fiction and Film. New York: Cornell University
Djokosujatno, Apsanti. 2005. Cerita Fantastik dalam Prespektif Genetik dan Struktural. Jakarta: Djambatan.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk. 2002. Novel-Novel Indonesia, Tradisi Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995 Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sani, Asrul. 1997. Surat-surat Kepercayaan. Bandung: Angkasa.
Sutanto, Irzanti dan Ari AP. 2003. Prancis dan Kita, Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film dan Bahasa. Jakarta: Wedyatama Widya Sastra.
Ratna, Nyoman Kuta. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Venayaksa, Firman. 2011. Tingbating. Serang: Gong Publishing.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995 Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermassa