Kamis, 09 Februari 2012

WAN ANWAR: MENANAM KEBAIKAN

Oleh Firman Venayaksa





Aku mengenang betul hari itu. Di Minggu pagi yang tenang, aku bersama mahasiswa UT sedang berdiskusi hangat mengenai sosok ideal seorang guru. Tak berapa lama, sebuah SMS masuk. Muhyi Mohas, mengabarkan kegentingan. “Segera ke rumah sakit. Kasihan Wan Anwar.” Aku mulai panik. Langsung aku berpamitan kepada mereka, tancap gas menuju Rumah Sakit yang tak sampai setengah jam perjalanan dari tempat itu.

Setelah memarkirkan mobil, dengan tergesa aku bergegas menuju sebuah kamar. Lalu aku bertemu dengan beberapa wajah yang tak asing sedang bergumul di depan kamar. Ada juga  raut wajah yang kemerahan sambil tak henti menyeka airmata. Itulah Muhyi Mohas, seorang sahabat di Untirta yang sudah dua kali lipat dari umurku. Orang Hukum yang gandrung puisi Rendra dan Remmy Sylado itu biasanya berwajah ceria  dan optimis. Tidak kali itu. Belum juga aku melihat kondisi terakhir Wan Anwar, tiba-tiba ia memelukku dengan sangat keras, bicara tak jelas dan memancing emosiku untuk mengetahui apa yang terjadi. Aku menghambur ke kamar itu; kamar yang bau khas rumah sakit.

Disitulah sesosok lelaki terbaring kaku. Wajahnya sepucat kertas. Di samping lelaki yang terbujur kaku di atas ranjang itu, terlihat Nandang Aradea yang begitu tabah sepertinya. Beberapa tangisan perempuan, dengan alunan yang meradang ikut menebar suasana menjadi tegang. Aku tak bisa melihatnya berlama-lama. Aku tekan airmataku untuk kembali, namun tak kuasa.

Siang hari, Wan Anwar dipindahkan ke ruang gawat darurat. Handai taulan dan sahabat tiap waktu bertambah banyak. Dari majalah Horison; Taufiq Ismail, Agus Sardjono, Cecep Syamsul Hari dan Jamal D Rahman berdatangan. Satu-satu memasuki ruangan itu sambil mendoakan kesembuhannya. Aku ditarik oleh Taufiq Ismail sambil berdiskusi tentang Wan Anwar. Penyair yang sudah sepuh itu terus saja bergumam tentangnya, tentang kebaikannya. Menjelang sore, Wan Anwar dipindahkan ke rumah sakit Sari Asih. Menjelang maghrib, aku izin pulang. Ketika  subuh mengambang, Wan Anwar yang izin pulang.
***

Aku tak pernah dan tak akan bisa meng-klaim bahwa aku dekat dengan Wan Anwar. Dengan gayanya, ia bisa dekat dengan siapa saja. Di satu sisi, ia adalah sosok yang sangat humoris. Ia dengan gampang memecah suasana tegang menjadi sumringah. Di sisi lain, ia adalah seorang penyair sekaligus intelektual yang sama runcingnya. Gagasan-gagasan mengenai sastra dan kebudayaan sering terlontar dengan brilian. Hampir bisa dipastikan, jika ada pertanyaan-pertanyaan yang berbau sastra, Wan Anwar seperti jawaban yang berjalan. Ia pasti tahu dan jika pun ia tak banyak tahu, minimal ia akan seakan-akan tahu dan ia bisa meyakinkan kepada siapapun  bahwa ia jauh lebih tahu.

Ketika aku masuk menjadi mahasiswa baru di UPI (dulu IKIP Bandung) lalu bergiat di Arena Studi dan Apresiasi Sastra, aku mengenalnya sebagai sosok senior yang sangat terkenal. Sepertinya ia memang dengan serius menjaga namanya agar tetap terkenal dan dikenang. Pada momen tertentu, ia biasanya hadir dan berinteraksi dengan “calon penyair” sepertiku. Kalau bertemu junior sepertiku, lagaknya memang sering dibuat sok gaya. Pernah suatu ketika aku memberanikan diri untuk meminta ia mengoreksi puisi-puisi yang kutulis. “Jelek. Nantilah kalau puisimu dimuat di koran baru datang lagi.” Begitu kira-kira gayanya sambil tak hirau menjauhi. Lain lagi ceritanya kalau yang datang berjenis kelamin perempuan. Bahkan tanpa diminta pun ia berbaik hati mendekati bahkan tak jarang menjambanginya hingga ke kosan. Perempuan itu terganggu atau tidak, itu urusan nanti. Yang jelas, ikhiar itu memang terus dilakoninya hingga kelak menjadi semacam trade mark dan dilanjutkan oleh para penyair di ASAS dan Kubah Budaya.

Untunglah masih ada Herwan FR (sahabat sekaligus rival Wan Anwar) yang berbaik hati menemaniku berdiskusi dan membaca puisiku dengan telaten; mencorat coret lalu memilih diksi yang baik. Imbalannya aku disarankan membeli buku-buku koleksi Herwan FR. “Man, kalau kau ingin membuat puisi, kau harus baca puisi-puisi dari penyair hebat.” Lalu dikeluarkannya antologi puisi karya Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastro Wardoyo, dan lain-lain. Tak lupa ia juga menjual antologi Cermin Alam dan Malam Seribu Bulan yang puisinya dimuat disitu.

Atas bimbingan Herwan FR, puisiku mulai dimuat di beberapa media. Sesuai janjinya, Wan Anwar memang datang dan mengucapkan selamat. Kemudian mulailah ia mengajariku tentang sastra bahkan memberikan ruang agar aku kuliah lagi, mengikuti jejaknya masuk ke UI dan kembali ke Banten, mengajar di Untirta.

Pergumulanku dengan Wan Anwar mulai lebih intensif ketika aku diterima menjadi dosen di Untirta. Denganku, ia lebih banyak bicara hal-hal ideal tentang sastra dan akademik, terutama bagaimana membuat mahasiswa menyukai sastra. Tak sedikit mahasiswa yang dicetaknya menjadi sastrawan. Itulah kelebihannya. Ketika di kampus, ia menjadi dosen yang ideal. Di luar kampus, ia menjadi kakak bagi para mahasiswanya. Dengan caranya, ia terus memotivasi para mahasiswa agar berkarya.

Sebagai Ketua Program Studi, ia memang sangat dekat dengan mahasiswanya. Hingga kini tak ada yang bisa menandinginya. Ketika Penerimaan Mahasiswa Baru, ia tak sungkan bergumul dengan pengurus Hima, bahkan ikut “mengospek” mahasiswa baru. Untuk urusan karya, ia senang membacakan puisinya di depan banyak orang dan memanas-manasi siapapun jika tulisannya dimuat di media. Ia juga bersemangat ketika membahas buku-buku yang dilahapnya. Pernah sekali waktu ia mengupas cerpen “Senggring” karya Budi Darma dan menyuruhku untuk membacanya hingga selesai. “Tahu nggak Man kenapa aku suka cerpen ini? Tokohnya mirip dengan seniormu, si penyair lugu itu.” Deras tawanya kalau membicarakan Herwan FR.

Untuk wilayah akademik, ia dengan serius berbicara tentang mimpinya untuk membuat Fakultas Ilmu Budaya. “Orang-orang seperti kita akan terus dibuang dan disisihkan jika masih di FKIP. Untirta membutuhkan FIB agar orang-orang kreatif punya rumah. Agar Untirta tidak kering kerontang seperti ini.” Begitu katanya. Lalu ia mengajakku untuk mengambil S-3 di Universitas Indonesia. Ketika itu ia diterima di UI sementara aku tidak. “Kau jangan patah semangat, Man. Ikut lagi tahun depan. Beda dengan seniormu, datang ke Untirta kau sudah punya modal S-2 dan Rumah Dunia. Aku tak mungkin bisa sendirian bekerja.” Begitulah jika ia memotivasiku.

“Laukna beunang, caina herang.” Istilah sunda itu sering dipakainya jika menyelesaikan sebuah permasalahan. Sosok Wan Anwar memang unik. Ketika ada permasalahan di kampus, ia bisa menyelesaikan dengan baik tanpa ada “pertumpahan darah.” Setegang apapun masalah itu bermula. Namun ia juga tak akan tinggal diam jika memang harus melawan. Ketika ada pemilihan rektor di Untirta, dan mencium aroma tak sehat, bersama Muhyi Mohas dan dosen-dosen lain, ia menginisiasi sebuah forum yang dinamakan “Forum Perubahan.” Forum itu dibuat untuk mengawal perubahan di kampus. Walau tak sesuai dengan target yang dimimpikannya, setidaknya orang-orang akan mencatat dan menjadi sejarah.
***

Setelah Wan Anwar meninggal, aku baru sadar bahwa ia juga meninggalkan jejak-jejak kebaikan di berbagai tempat. Setidaknya ia telah melahirkan generasi penyair di Bandung dan Serang. Ia telah meninggalkan jejak kebaikan di hati sahabat-sahabatnya. Tahun lalu, ketika mahasiswa dan Kubah Budaya membuat kegiatan mengenang Wan Anwar dengan sederhana di kampus, Toto ST Radik marah besar. “Dasar, Untirta sialan!” Untuk nama besarnya, Toto tak rela jika Wan Anwar hanya dikenang seadanya.

Di beberapa forum sastra yang kuikuti, masih saja ada yang tak percaya jika Wan Anwar meninggal. Ya, di kalangan sastra, siapa yang tak mengenalnya. Ia telah menanam kebaikan dan yakinlah apa yang ia tanam telah berbuah.

Tanah Air, 2011



AMBON DIAMBANG KERUSUHAN (LAGI)


Oleh Firman Venayaksa


Selasa dini hari, perang antarkampung terjadi. Rabu malam, sopir angkot tertusuk, warga mengamuk. Ah Ambon manise, hingga kapan konflik berkepanjangan ini usai?
***
14 Desember 2011, sekitar pukul 08.00 WIT, pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat dengan tertib di bandara Pattimura Ambon. Perjalanan yang menempuh waktu sekitar empat jam dari Jakarta membuat tubuhku sedikit kelelahan. Tapi kupaksakan beranjak lalu mencari kafe dan memulai ritual seperti biasanya. Lazimnya di sebuah tempat yang belum saya jamah sebelumnya, saya membuka laptop, searching di googlemap, mempelajari hal ikhwal tentang daerah tersebut. Beberapa artikel saya baca dan sontak saya terkaget ketika menemukan sebuah berita bahwa pada hari kemarin, terjadi pertikaian antarwarga di kota Ambon. Pikiran kecemasan mulai melanda di pagi yang terik itu.
Kemudian, no HP Kabid PNFI Dinas Pendidikan Provinsi Ambon yang diberikan oleh Asmawi, Kasbudit Sarana dan Prasarana Dikmas langsung saya hubungi. Sayang, tak ada jawaban. Tak banyak diam, saya menculkan di dinding FB bahwa saya baru saja mendarat di Ambon. Tak sampai menunggu lima menit, beberapa wall balasan muncul. Bella, seorang kenalan yang pernah bekerja di penerbitan Jakarta menghubungi saya. Saya tak tahu kalau ia kini bekerja di Ambon. Ia sudah lengser dari pekerjaannya di penerbitan. Kini ia bekerja di BUMN Perikanan Nusantara. Selain Bella, Hudan Nur, yang juga membaca wall FB memberikan no HP sastrawan kenalannya yang berada di Ambon. Juga beberapa teman lain yang tak usah saya sebutkan. Saya kira, kebaikan mereka akan saya kenang.
Bella memulai percakapan di FB, “datang saja ke kantorku, Mas. Pakai angkot warna merah saja. Pasti lewat kantorku.” Tanpa berpikir panjang, saya sungguh bahagia mengikuti ajakannya. Sekitar setengah jam, sayapun menjambangi Bella di kantor. Kami berbincang beberapa hal, terutama yang berkaitan dengan kerusuhan Ambon. “Sebaiknya Mas Firman jangan menginap di kota. Kerusuhan sudah mulai lagi. Daerah pinggiran saja agar lebih aman,” lanjutnya. Saya tahu kenalan saya itu mengkhawatirkan saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota Ambon. Namun naluri keingintahuan saya jauh lebih besar. Justru saya ingin mengetahui dari dekat apa yang terjadi di sini. Sehabis istirahat sejenak sambil numpang sholat di mess Bella, saya dihubungi oleh Joni, Ketua Forum TBM Ambon yang berniat menemani saya. Ah, saya selalu percaya jika ada niat baik, semesta ikut mendukung. Setelah berpamitan kepada Bella, saya diajak Joni mendatangi beberapa tempat yang dituju.
Saya pernah bertemu dengan Joni pada kegiatan Forum TBM. Hal yang paling diingat dalam pertemuan itu, dia mengatakan, “ayo kita galakkan membaca atau mati, agar gerakan Indonesia membaca bisa terwujud.” Usianya memang tidak lagi belia. Ia pensiunan di Dinas Pendidikan, tapi semangatnya begitu menyala. Berkat bantuannya, saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya mendatangi beberapa narasumber yang harus saya wawancara. Kali ini, saya dan tim teknis budaya baca di Direktorat Pembinaan Masyarakat, Kemdikbud, sedang mengkaji ke lapangan terkait “TBM Mobile” yang semenjak tahun 2007 diberikan kepada Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di seluruh kabupaten/ kota di Indonesia.
Di Ambon, ada dua TBM Mobile; di Kota Ambon dan Maluku Tenggara. Sebagai sample, saya ditemani Joni bertandang ke SKB Ambon. Di sana, beberapa petugas sedang sibuk menyiapkan TBM Mobile. “Kok siang hari baru mau jalan?” saya penasaran. Seorang petugas penjawab, “Biasanya memang siang hari kami berangkat. Soalnya di kampung-kampung, sore hari masyarakat baru kumpul sepulang bekerja.” Lalu pekerjaan ritual pun dilanjutkan, bertanya tentang kondisi TBM Mobile dan seterusnya. Setelah selesai, Joni berkata kepada saya, “SKB ini cukup unik. Soalnya jadi tempat penampungan juga.” Menyimak perkataan Joni, saya terkesima. Lalu saya diajak ke belakang kantor. Disana saya bertemu dengan puluhan orang yang sedang beraktivitas. Enda, salah seorang ibu menuturkan kepada saya bahwa ia terpaksa mendatangi SKB karena rumahnya hancur akibat kerusuhan pada tanggal 11 September 2011. “Dulu, waktu kerusuhan 1999, saya ditampung di sini. Sekarang saya kembali kesini karena takut terjadi peperangan lagi,” ucapnya dengan wajah yang sangat tertekan. Sepertinya ia masih trauma dengan kejadian masa lampau dan memendam berbagai alasan yang tak mungkin ditumpahkan kepada saya, orang asing yang sama sekali tak mengetahui persoalan.
***
Sore hari, saya didrop ke Hotel Elisabeth yang tak jauh dari tempat kerusuhan. Kota Ambon tidak terlalu besar sehingga isu apapun yang menyebar mudah ditangkap masyarakat dengan cepat. Tetapi tubuh ini rasanya tak bisa berkompromi. Masuk ke kamar, saya langsung tak ingat apa-apa. Saya tidur lumayan pulas hingga tiba-tiba sebuah suara berkali-kali membangunkan kesadaran.  Suara itu memang dari kejauhan, tetapi semakin sering, terasa semakin menciutkan nyali. Sehabis sholat, saya langsung keluar menanyakan apa yang sedang terjadi. “Sepertinya itu suara tembakan,” kata seorang resepsionis, “tapi di sini aman, Pak,” lanjutnya. Sayapun keluar, ingin mencari informasi sambil menyulam perut saya yang mulai keroncongan. Dari beberapa informasi, tersiarlah kabar bahwa ada seorang sopir angkot yang di penggal lehernya. Setelah tahu kabar tersebut, saya kembali ke kamar, meminta kopi ginseng kepada resepsionis dan membenamkan diri pada buku kumpulan esai yang akan di bedah di Bandung sepulang dari tempat ini. Malam itu saya sulit mengatupkan mata. Rasa waswas menggedor-gedor pintu hati. Saya mengamati malam yang diselimuti hujan itu sambil memantau keadaan dari daun jendela kamar. Imajinasi saya yang liar malah membuat segalanya menjadi sangat aneh dan mencekam, padahal di depan jalan, saya melihat beberapa pemuda sedang asyik meminum bir cap tikus, sebuah minuman lokal yang sangat di gemari di wilayah Indonesia Timur.
***
Keesokan hari saya langsung membaca tiga koran lokal sekaligus. Saya terpaksa melakukan itu karena wartawan koran lokal kadang tak jelas menulis pemberitaan; Radar Ambon, Suara Maluku, dan Siwalima. Dari media itu saya mendapatkan pencerahan bahwa sopir angkot yang meninggal itu bernama  Rivaldo Petta. Payahnya, dari tiga media yang saya baca, keterangan umur dari masing-masing media berbeda, ada yang menuliskan umur Petta 16 tahun, 17 tahun dan 18 tahun. Jadi itulah alasan sederhana mengapa saya harus banyak membaca media lokal! Belum lagi jika menganalisis dari segi informasinya yang malah lebih banyak memunculkan isu daripada menjelaskan fakta. Tapi setidaknya, dari mereka pula saya bisa mengetahui hal ikhwal informasi yang berkembang. Intinya, sopir angkot itu menabrak trotoar jalan dengan kecepatan tinggi. Isu yang muncul, ia dianiaya oleh warga setelah kejadian. Ada juga yang menyebutkan bahwa ia menabrak totoar karena ditusuk di mobilnya. Hingga saat ini petugas masih melakukan penyelidikkan. Proses ini, tak jauh beda dengan kejadian 11 september; seorang tukang ojek kecelakaan di jalan. Ada yang menginformasikan bahwa setelah kecelakaan lalu dibunuh, ada juga yang menyatakan bahwa ia mati karena kecelakaan lalu lintas biasa. Wallahualam. Yang jelas provokasi oleh oknum-oknum tertentu di Ambon memang kerap terjadi.
Di Ambon, isu-isu memang berkeliaran dengan cepat. Versinya berbeda satu sama lain. Masyarakat awam tentu jadi sulit membedakan, apalagi saya yang tak mahfum situasi. Namun hal yang jelas terlihat, di jalan-jalan tak terlalu nampak orang-orang beraktivitas. Mereka berkerumun di tepi jalan sambil melongok ke kiri-kanan, seolah menunggu kejadian susulan. Di beberapa tempat seperti masjid, gereja, dan perkantoran, para petugas keamanan berjaga-jaga lengkap dengan senjata. Saya ditemani Joni melihat-lihat keadaan, hingga memasuki jalan-jalan tikus. “Tak usah pakai mobil. Kalau kondisi sedang rawan begini, biasanya macet. Kita jalan kaki saja,” ujarnya. “Baru kali ini saya mengajak tamu dari pusat memakai jalan tikus,” lanjutnya dengan nada bercanda.
Siang hari, ketika kami makan siang, dari arah jalan terdengar suara teriakan orang-orang. Mereka yang sedang menikmati makanan, menghambur keluar. Ratusan orang berjalan dengan wajah yang marah. Sesekali mereka berteriak. Beberapa orang membawa tongkat, ada juga yang mengambil batu-batu dari samping trotora. Mereka baru saja berdemonstrasi ke beberapa tempat sekaligus mengekspresikan kekesalannya akibat kematian tukang angkot yang tadi malam terjadi. “11 sepetmber yang mati tukang ojek dari kaum muslim. Sekarang yang mati sopir angkot dari kaum nasrani. Sepertinya ada provokator yang bermain agar Ambon terjadi kerusuhan lagi seperti tahun 99,” Joni sedikit menganalisis. Beberapa waktu terakhir ini, situasi Ambon memang memanas. Kondisi ini diperparah dengan para petugas keamanan yang kurang responsif melihat kejadian. Ketika iring-iringan para demonstran itu, saya memang hanya melihat segelintir saja para petugas yang mengamankan. “Kelihatan sekali petugas melakukan pembiaran. Padahal seharusnya mereka dibubarkan agar konsentrasi massa tidak meluas,” Joni merespon suasana tersebut.
Setelah ratusan demonstran itu melintas, beberapa orang berlarian ke belakang. Berita yang saya terima, ada satu orang yang terkena panah sehingga situasi kembali memanas. Saya disarankan untuk kembali ke hotel oleh Joni sambil mengamati perkembangan selanjutnya.***
  

BLOG INI UNDER CONTRUCTION. IKUT-IKUTAN WEB UNTIRTA