Minggu, 19 Februari 2012

CERITA FANTASTIS JAWARA DALAM BINGKAI SEJARAH


Oleh Firman Venayaksa**)

Artefak cerita-cerita silat yang mengkristal di Indonesia sebetulnya sudah berkembang sangat lama, terutama jika dikaitkan dengan kekayaan sastra lisan kita. Dengan demikian, ketika penulis mengunduh dan mengabadikan dalam setumpuk buku sebagai sebuah media, maka yang perlu untuk disiasati adalah bagaimana caranya agar palung sastra lisan yang menganga sedemikian hebat itu kita pilah dan kita timbang-timbang untuk menjadi bagian (atau tidak) dari cerita yang dikemas oleh pengarang. Selain itu, untuk memperkuat cerita silat agar lebih terkesan mengada, para pengarang sering juga mengaitkan dengan sejarah epik perkembangan kerajaan, legenda atau mitos-mitos yang telah “melembaga” di Nusantara ini.
Hal tersebut penting untuk kita perhatikan, terutama ketika cerita-cerita silat yang dibalut dalam epik sejarah mulai muncul lagi ke permukaan. Selera pembaca yang fluktuatif memang harus dibaca dengan sangat jeli oleh para penerbit jika tak hendak gulung tikar, begitupun oleh para penulis. Kendati pada titik ini, para penulis yang mengekor selera pasar sering didiskreditkan sebagai penulis yang tidak memiliki prinsip. Namun dalam konteks pasar sekarang, predikat sedemikian bukan sebuah hambatan yang patut dipikirkan secara mendalam. Pemahaman pasar tentu tidak bisa dibenturkan dengan ranah ideal yang bersemayam dalam diri para penulis.

Cerita Silat Indonesia
Sebelum saya membincangkan perihal novel Jawara, Angkara di Bumi Karakatau yang ditulis oleh Fatih Zam, justru gara-gara saya membaca novel ini, jejak rekaman otak saya tiba-tiba menelusuri jalan estetik ke masa lampau. Saya jadi teringat kembali dengan cerita silat yang saya nikmati ketika masa kecil seperti Wiro Sableng dan Kapak Maut Nagageni 212 karya Bastian Tito yang mengganggu masa kecil saya atau komik semacam Ko Ping Ho yang sering mendedahkan nilai-nilai filosofis dalam setiap gerakan silatnya. Lalu bayang-bayang tentang film layar tancap yang sering saya buru di waktu kecil kembali tergambar atau yang sering saya simak di radio-radio. Muncullah dalam bayangan saya semisal Saur Sepuh (masih ingat Brama Kumbara, Mantili dan Laksmini?) Tutur Tinular (Aria Kamandanu?) dan lain-lain.

Ternyata cerita-cerita silat di Indonesia, tidak kalah dengan cerita fantastik yang menggema di ranah kesusastraan dunia seperti Harry Potter karya J.K Rowling atau Lord of The Ring karya  J.R.R Tolkien. Begitu juga dengan cerita fantastis lainnya yang dikeluarkan oleh Marvel seperti Spiderman, Superman, Batman dan seterusnya. Bahkan jika boleh dibandingkan, certa-cerita silat Indonesia jauh lebih imajiner dan atraktif. Sebut saja ajian Rawarontek yang sering muncul di dalam cerita-cerita silat kita (Fatih Zam juga menyinggung ajian ini di dalam novelnya). Jika tokoh silat memiliki ajian ini, bisa dipastikan ia tidak bisa dibunuh oleh sang lawan. Setiap bagian tubuhnya ditebas, tubuh itu akan kembali “nyambung” dan tokoh itu akan tetap hidup seperti sediakala. Hanya ada satu cara untuk membunuh tokoh yang memiliki kedigjayaan semacam itu. Sang lawan harus menebas kepalanya di malam bulan purnama dan percikan darah dari kepala yang ditebas itu tidak boleh sampai memercik di tanah. Ya, hanya itulah satu-satunya cara. Dan imaji semacam itu hanya bisa didapatkan dari cerita-cerita silat di Indonesia.


Novel Silat Jawara
Banten sebagai sebuah daerah yang sangat terkenal dengan ilmu yang digjaya, dimanfaatkan dengan baik oleh Fatih Zam. Novel ini menceritakan mengenai sebuah prahara antara Jawara dan Kyai, pesantren versus paguron. Dengan latar belakang Banten masa silam dan mengaitkan sepercik cerita mengenai gunung Krakatau yang meletus, agaknya novel silat ini memang membuat pembacanya “merasai” dan hanyut bahkan terasa benar-benar terjadi. Sebagai sebuah novel, memang citra “novel sejarah” juga melekat, begitupun dengan seting cerita yang memang meng-ada seperti Pandeglang, Labuan, Caringin, Pulosari atau Gunung Karang. Untuk mengeksiskan bahwa novel ini adalah cerita silat di masa lampau, Fatih Memunculkan diksi seperti “Ki Sanak”, “anak muda” misalnya.

Cerita dimulai dari perseteruan antara para jawara dan pesantren yang mengakibatkan terjadinya pertempuran dahsyat. Para jawara (yang dikomandani oleh Japra dan Japri) menyerbu sebuah pesantren (Kyai Saefullah). Dari pertempuran itu, semua mati mengenaskan. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Hanya satu orang yang hidup dan bersembunyi dari pertempuran itu yaitu Saefudin. Dia tidak ikut pertempuran karena tidak mau berurusan dengan kekerasan.


Akibat pertempuran itu, muncullah kabar, Angkara, seorang jawara yang sangat ditakuti hendak menghancurkan semua pesantren yang ada di Banten. Motif cerita inilah yang dikembangkan oleh penulis untuk mendedahkan cerita di dalam novel ini hingga 530 halaman. Sayangnya, tokoh Saefudin, satu-satunya santri yang hidup dari pertikaian tersebut tidak dieksplorasi sedemikian rupa. Padahal dengan nilai “traumatik” akibat kejadian tersebut, dengan kehancurkan pesantren, meninggalnya para santri dan kyai Saefullah (bapaknya sendiri), harusnya bisa dijadikan motif untuk “balas dendam” dan motif pencarian kesaktian, menemukan “serat Cikadueun” yang konon dengan serat inilah, seseorang bisa sakti dan mengalahkan Angkara. Tokoh Saefudin malah dikembangkan pada pertemuannya dengan tokoh Gojali dan berakhir begitu saja dalam novel ini tanpa ada kaitan secara langsung dengan tokoh utama yaitu Badai dan Jaka yang kemunculannya sangat dominan di dalam novel.


Representasi Jagoan: Badai dan Jaka
Layaknya sebuah novel silat, maka tokoh utama dengan segala tingkah dan alurnya sangat dinanti oleh pembaca. Pada novel ini, tokoh sentral merujuk pada Badai dan Jaka. Tokoh Badai memulai pengembaraannya untuk menemukan “serat Cikadueun”, sebuah kitab yang diyakini bisa membuat sakti siapapun yang mendapatkannya. Sayangnya motif awal pengembaraan Badai tidak terlalu kuat. Ia mengembara karena ingin mengetahui mitos dari cerita yang berkembang di masyarakat(?) Latar belakang yang sebetulnya tidak terlalu “emosional” dan kurang greget. Begitupun dengan Jaka yang belajar ilmu kungfu kepada Kakek Lie Ching. Pertemuan antara Badai dan Jaka pun dipertemukan dalam suasana “kebetulan” tanpa dibumbui sebuah perhelatan emosional dan terukur.

Suasana kebetulan ini yang terlalu sering diperagakan di dalam novel dan mengabaikan motif “kemasukakalan” sehingga cerita kurang menemukan realitasnya. Kendati novel adalah fiksi, pembaca akan tetap menuntut logika yang masuk akal dan penulis tidak boleh serta merta memakai faktor “kebetulan” untuk melanjutkan cerita. Faktor kebetulan ini muncul ketika tokoh Badai diselamatkan oleh Jabal di puser leuwi. Jabal adalah murid dari Abah Hasan (yang memberikan golok salam Nunggal) dan Abah Hasan tak lain adalah sahabat Abah Santa (guru dari Badai). Ketika Badai terdesak dalam duel maut melawan Iblis Bisu, Badai diselamatkan oleh Kyai Kohar yang tak lain adalah saudara seperguruan Abah Santa.


Di dalam novel, ada beberapa persoalan yang tidak (di)selesai(kan). Tentu hal ini menimbulkan tandatanya dari para pembaca. Pertama, pada halaman 53, motif pemberian kotak dari Abah Santa sebagai “syarat” untuk mendapatkan “serat Cikaduen” menguap begitu saja. Padahal benda ini dikesankan sangat luar biasa dan ada sarat yang harus dipenuhi sebelum Badai membuka kotak tersebut.


Kotak itu, bukalah di pagi hari ketika matahari terbit. Saat jeda antara pagi dan waktu zuhur. Ambil wudu lalu dirikan sembahyang duha, sembahyang pengundang rizki dan penolak bala….(hal. 53)


Ternyata di dalam keberlangsungan cerita, ritual tersebut tidak pernah terjadi di dalam novel ini. Kedua siapa Angkara yang sesungguhnya? Motif awal yang dimunculkan bahwa Angkara sebagai sosok jawara yang sangat ditakuti tidak pernah muncul sebagai sosok. Jika novel ini kemudian memunculkan Angkara sebagai “meletusnya gunung Krakatau” semacam representasi simbolik yang hendak dihadirkan sebagai jawaban atas “kehirukpikukan duniawi”, lantas hal ini akan berkaitan dengan pertanyaan ketiga, lalu siapakah yang menyebar “isu” bahwa Angkara akan menghancurkan pesantren? Sosok abstrak ini yang justru menarik untuk ditelisik lebih jauh.


Terlepas dari semua itu, novel silat yang ditulis oleh Fatih Zam adalah sebuah perkembangan unik di ranah kesusastraan kita (walaupun dalam ranah perkembangan kesusastraan, novel silat semacam ini hanya dilihat sebelah mata). Kemunculan novel ini, yang mengaitkan cerita silat—yang seolah terkubur--- dengan realitas sejarah ditambah kemampuan Fatih Zam mengeksplorasi idiom dan mitos yang mengkristal di masyarakat, menunjukkan bahwa novel ini telah mengambil peran sebagai oase yang bisa memunculkan perdebatan, selain mengembalikan fungsi novel alat hiburan dan cermin masyarakat kita dewasa ini..


Tanah Air, 2012

----------------------------------
*) Dipresentasikan pada acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Rumah Dunia (Banten), 18 Februari 2012.
 **) Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa dan Seni Untirta dan mahasiswa S-3 Universitas Padjajaran.