Sabtu, 31 Maret 2012

KEBANGKRUTAN LOGIKA DPR



Oleh Firman Venayaksa*)



Drama politik BBM yang dipentaskan di panggung DPR pada akhirnya diselesaikan dengan cara voting atas dua opsi. Opsi pertama adalah sepakat dengan UU APBN pasal 7 ayat 6 yang menjelaskan bahwa harga jual BBM  bersumsidi tidak mengalami kenaikan. Sementara opsi kedua adalah sepakat dengan pasal awal tetapi menambahkan ayat 6a yang berbunyi “Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari lima belas persen dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBNP 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”.

Persoalannya apakah logika membuat dua opsi ini benar-benar memunculkan prasyarat sebuah opsi yaitu “oposisi biner” ataukah semata-mata karena naluriah para politikus belaka yang lebih sering mencari aman di muka rakyat?

Jika kita mengamati secara seksama sekaitan dengan dua opsi tersebut, terlepas dari redaksional ayat 6a yang ditambahkan itu, para legislator terbelah menjadi dua kutub yaitu yang memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menaikan harga BBM dan yang tidak memberikan peluang sama sekali. Namun jika kita menonton pementasan drama di panggung DPR tersebut, ternyata yang awalnya menjadi antagonis bagi para pendemo di jalanan, karena pro-kenaikan BBM, justru menjadi pemenang. Sementara para legislator yang awalnya protagonis, dibuat babak belur dengan memaksakan diri untuk keluar dari panggung DPR (walk out) dengan muka lesu dan tiba-tiba berpredikat looser. Inilah drama tragedi parlemen yang sulit ditandingi oleh sutradara teater di negara manapun!

Semua itu bermula dari logika opsi yang salah kaprah. Untuk memudahkan logika opsi yang dipentaskan di panggung DPR itu, saya akan memberikan ilustrasi yang sederhana. Bayangkan oleh Anda, Anda ingin mengecat seluruh warna rumah Anda menjadi putih. Lalu istri Anda berkomentar “Saya sih ikut Ayah deh rumahnya pakai warna putih, tapi alangkah baiknya kalau ada teman mama bertamu minggu depan, catnya diganti warna hitam. Soalnya teman mama senang banget dengan warna hitam.” Yang paling penting dari simpulan ilustrasi ini adalah, pertama, istri Anda sepakat dengan cat rumah berwarna putih pilihan Anda tetapi kedua ia memberikan saran lain agar Anda juga hendaknya mengecat warna hitam suatu saat nanti. Dengan demikian sang istri tidak bisa mengklaim bahwa Anda kalah karena tunduk dengan keinginan istri Anda. Toh, ide awal Anda sudah disepakati oleh istri Anda. Atas dasar itu maka gagasan untuk mengecat rumah dengan warna putih tetap bisa Anda lakukan karena sang istripun ternyata tidak keberatan. Masalahnya, Anda pasti bertanya-tanya, kenapa istri Anda ingin sekali mengikuti selera warna hitam temannya yang akan datang seminggu kemudian, sementara Anda akan mengecat hari ini? Dan jika teman istri Anda betul-betul akan datang, dengan terpaksa semua warna putih itu harus Anda hitamkan jika Anda harus mengikuti keinginan istri Anda.

Ilustrasi sederhana yang direduksi dari rapat paripurna DPR sebetulnya ingin menjelaskan jika sepakat dengan pasal 7 ayat 6 yang mengindikasikan harga BBM tidak boleh dinaikkan maka opsi kedua tidak perlu dimunculkan. Ketika opsi kedua ditambahkan berdasarkan opsi pertama, maka sejatinya opsi pertama menjadi tiada. Opsi “pengandaian” tersebut jelas-jelas akan membuat harga BBM naik dan hal tersebut bertolak belakang dengan opsi pertama. Jika memang harus membuat opsi, maka pilihannya hanya dua: memilih menaikkan BBM atau tidak? Sayangnya PDIP, Gerindra, Hanura dan PKS terjebak dengan arus berlogika Golkar --dan diamini oleh partai lain--yang sengaja dibuat samar, padahal awalnya Golkar seakan-akan berbeda cara pandang dengan partai Demokrat. Pengalaman semacam ini mengingatkan kita dengan teori dramaturgi Erving Goffman mengenai front stage dan back stage. Di depan khalayak, para politikus itu memberikan harapan yang manis kepada rakyat, sementara di belakang panggung, sebuah skenario sudah dibuat dengan sangat matang dan rapi dan kita tak pernah tahu tentang kesepakatan-kesepakatan yang sudah terencana itu.

Namun demikian, panggung DPR telah ditutup. Kita sudah menonton dengan seksama kebangkrutan logika DPR. Para legislator itu telah menyepakati opsi kedua yang memberikan kelonggaran kepada pemerintah untuk menaikkan BBM bersubsidi walaupun tidak dalam waktu dekat. Untuk sementara, rakyat memang bisa bernafas lega kendati agak tersengal. Dengan putusan ini, mungkin bisa meredakan para demonstran untuk tidak ke jalanan, tetapi sulit mengantisipasi harga di pasar yang sudah merayap naik. Atas dramaturgi yang dipentaskan oleh aktor DPR, setidaknya kita jadi mahfum dengan tulisan Chairil Anwar di dalam sajaknya, “hidup hanya menunda kekalahan.”

*) Penulis adalah pengamat budaya massa, dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten.