Penulis: Firman Venayaksa
Penerbit: Gong Publishing
Halaman: 122 hal
Kabadi kata orang Banten. Kabadi adalah
semacam kutukan (kwalat) yang dipercaya bisa menimpa seseorang jika
melakukan sesuatu yang tidak wajar. Pernah ada satu cerita, seorang
lelaki membacok ular tepat di mulutnya. Mulut ular itu sampai putus. Di
saat yang bersamaan, istri si lelaki tengah hamil tua. Dan ketika lahir,
anak yang dilahirkan berbibir sumbing, persis ular yang bibirnya habis
dibacok. Orang-orang menyalahkan perilaku si lelaki. Kata mereka, apa
yang terjadi pada si anak adalah kabadi oray, alias kutukan dari ular yang dibacok hingga sumbing bibirnya.
Ada satu “mantra” yang dipercaya bisa melepaskan kabadi itu.
Di Banten, “mantra” ini sering dipakai oleh orang-orang tatkala mereka
melakukan sesuatu yang tak wajar atau bahkan sekadar menjumpainya.
Mantra tersebut berbunyi Tingbating! Di sebagian daerah lain—masih di Banten—mantra ini ditambahi menjadi Tingbating torek! atau Bating kubating!
Selain sebagai mantra agar terhindar dari efek kabadi, Tingbating!,
di Banten, juga menjadi simbol dari sebuah ketidaksukaan, kemuakkan,
kejijikkan, atas sesuatu yang abnormal. Secara tak langsung, Tingbating! merupakan simbol kesadaran seseorang akan sesuatu yang tidak layak untuk dipertontonkan atau dilakukan.
Firman Venayaksa, sastrawan asal Banten, memilih Tingbating
sebagai judul kumpulan cerpennya. Kumcer yang berisi 19 buah cerpen ini
dibuat dari tahun 1999 hingga 2005. Sebagian besar, kumcer ini
bertemakan kritik sosial akan fenomena yang ada. Seperti pemimpin yang
sering obral sekaligus ingkar janji, wakil rakyat yang tak merakyat,
birokrasi yang curang, plagiarism, polisi culas, dosen yang menjual
nilai, dan lain-lain. Lewat tema yang diangkat ini, Firman seolah
menegaskan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang abnormal, yang
menjijikkan, sehingga ada potensi untuk kita terpapar kabadi. Inilah, menurut saya, yang membuat Firman menjuduli kumcernya Tingbating.
Seolah, dengan membaca kumcer ini, kita kembali diingatkan untuk sadar,
selanjutnya mengutuk balik kejadian tersebut agar efek kabadi tidak menimpa kita.
Selain menjadi judul utama, di dalam kumcer ini, Tingbating merupakan
satu tokoh yang punya sifat seenaknya. Dia adalah tokoh yang dilahirkan
entah dari rahim siapa. Ayahnya pun tak jelas. Singkatnya, tokoh
Tingbating seperti begitu saja ada di bumi. Dan Firman melakukan satu
eksperimen lewat cerpen ini, dimana dirinya (sebagai penulis) terlibat
dengan ketokohan Tingbating, bahkan Firman didebat oleh Tingbating yang ngawur tapi sok tahu.
Sejatinya, kumcer ini adalah
sastra yang memiliki misi kritis. Cerpen-cerpen yang termuat di kumcer
ini bermuatan kritik terhadap fenomena yang telah, sedang,
dan—mungkin—akan terjadi. Cerpen Fragmen Alam Gaib misalnya,
Firman menggambarkan 5 jin yang terlibat dalam aksi “Memburu Hantu” ala
program televisi sebagai tipikal lima orang yang pernah menjadi pemimpin
Indonesia. Firman mendemonstrasikan pandangannya tentang kelima
presiden Indonesia lewat tokoh 5 jin, lengkap dengan perilakunya yang
sudah terkooptasi kebencian dan keserakahan.
Selain kritik, beberapa cerpen Firman juga bermuatan pesan relijius. Cerpen Mencari Istri Sempurna
misalnya. Firman menggambarkan satu pencarian yang dilakukan oleh sang
tokoh. Dia mencari sosok yang ingin dia jadikan pendamping. Tokoh ini
menemui merpati, menemui mawar, namun dari mereka sang tokoh mendapatkan
kekecewaan. Kemudian, Firman mengentak kita, bahwa istri sempurna yang
akan menemani kita adalah amal-amal kita. Amal kebajikan yang akan
menyerupa bidadari yang menemani kita di alam barzakh. Kiranya, cerpen
ini seolah berkata, bahwa di balik kritik-kritik pedasnya, Firman masih
memiliki nurani. Atau paling tidak, Firman sedang menunjukkan bahwa
kritik-kritik sarkastiknya merupakan manifestasi dari jiwanya yang
lembut.
Itulah Firman Venayaksa. Itulah
caranya menyampaikan kritik atas fenomena yang dilihat
dan—mungkin—dialaminya. Firman memilih jalan yang seksi dalam
menyuarakan nuraninya. Dia mengajak kita untuk sadar bahwa segala yang
dipertunjukkan oleh pemimpin-pemimpin kita adalah sesuatu yang
memuakkan. Firman menuntun kita, setidaknya bala yang ditimbulkan
pemimpin-pemimpin durhaka itu tidak memapar kita. Firman ingin agar kita
tidak kabadi, lewat jampi sakti berbunyi, “Tingbating!”
Fatih Zam
*muat di HU Pikiran Rakyat, suplemen Kampus, halaman 30 (9/8)