Kamis, 09 Agustus 2012

Resensi Tingbating di Pikiran Rakyat (8-08-2012)

                                                                   Judul: Tingbating 
Penulis: Firman Venayaksa
Penerbit: Gong Publishing
Halaman: 122 hal

Kabadi kata orang Banten. Kabadi adalah semacam kutukan (kwalat) yang dipercaya bisa menimpa seseorang jika melakukan sesuatu yang tidak wajar. Pernah ada satu cerita, seorang lelaki membacok ular tepat di mulutnya. Mulut ular itu sampai putus. Di saat yang bersamaan, istri si lelaki tengah hamil tua. Dan ketika lahir, anak yang dilahirkan berbibir sumbing, persis ular yang bibirnya habis dibacok. Orang-orang menyalahkan perilaku si lelaki. Kata mereka, apa yang terjadi pada si anak adalah kabadi oray, alias kutukan dari ular yang dibacok hingga sumbing bibirnya.

Ada satu “mantra” yang dipercaya bisa melepaskan kabadi itu. Di Banten, “mantra” ini sering dipakai oleh orang-orang tatkala mereka melakukan sesuatu yang tak wajar atau bahkan sekadar menjumpainya. Mantra tersebut berbunyi Tingbating! Di sebagian daerah lain—masih di Banten—mantra ini ditambahi menjadi Tingbating torek! atau Bating kubating! 

Selain sebagai mantra agar terhindar dari efek kabadi, Tingbating!, di Banten, juga menjadi simbol dari sebuah ketidaksukaan, kemuakkan, kejijikkan, atas sesuatu yang abnormal. Secara tak langsung, Tingbating! merupakan simbol kesadaran seseorang akan sesuatu yang tidak layak untuk dipertontonkan atau dilakukan.

Firman Venayaksa, sastrawan asal Banten, memilih Tingbating sebagai judul kumpulan cerpennya. Kumcer yang berisi 19 buah cerpen ini dibuat dari tahun 1999 hingga 2005. Sebagian besar, kumcer ini bertemakan kritik sosial akan fenomena yang ada. Seperti pemimpin yang sering obral sekaligus ingkar janji, wakil rakyat yang tak merakyat, birokrasi yang curang, plagiarism, polisi culas, dosen yang menjual nilai, dan lain-lain. Lewat tema yang diangkat ini, Firman seolah menegaskan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang abnormal, yang menjijikkan, sehingga ada potensi untuk kita terpapar kabadi. Inilah, menurut saya, yang membuat Firman menjuduli kumcernya Tingbating. Seolah, dengan membaca kumcer ini, kita kembali diingatkan untuk sadar, selanjutnya mengutuk balik kejadian tersebut agar efek kabadi tidak menimpa kita.

Selain menjadi judul utama, di dalam kumcer ini, Tingbating merupakan satu tokoh yang punya sifat seenaknya. Dia adalah tokoh yang dilahirkan entah dari rahim siapa. Ayahnya pun tak jelas. Singkatnya, tokoh Tingbating seperti begitu saja ada di bumi. Dan Firman melakukan satu eksperimen lewat cerpen ini, dimana dirinya (sebagai penulis) terlibat dengan ketokohan Tingbating, bahkan Firman didebat oleh Tingbating yang ngawur tapi sok tahu.

Sejatinya, kumcer ini adalah sastra yang memiliki misi kritis. Cerpen-cerpen yang termuat di kumcer ini bermuatan kritik terhadap fenomena yang telah, sedang, dan—mungkin—akan terjadi. Cerpen Fragmen Alam Gaib misalnya, Firman menggambarkan 5 jin yang terlibat dalam aksi “Memburu Hantu” ala program televisi sebagai tipikal lima orang yang pernah menjadi pemimpin Indonesia. Firman mendemonstrasikan pandangannya tentang kelima presiden Indonesia lewat tokoh 5 jin, lengkap dengan perilakunya yang sudah terkooptasi kebencian dan keserakahan.

Selain kritik, beberapa cerpen Firman juga bermuatan pesan relijius. Cerpen Mencari Istri Sempurna misalnya. Firman menggambarkan satu pencarian yang dilakukan oleh sang tokoh. Dia mencari sosok yang ingin dia jadikan pendamping. Tokoh ini menemui merpati, menemui mawar, namun dari mereka sang tokoh mendapatkan kekecewaan. Kemudian, Firman mengentak kita, bahwa istri sempurna yang akan menemani kita adalah amal-amal kita. Amal kebajikan yang akan menyerupa bidadari yang menemani kita di alam barzakh. Kiranya, cerpen ini seolah berkata, bahwa di balik kritik-kritik pedasnya, Firman masih memiliki nurani. Atau paling tidak, Firman sedang menunjukkan bahwa kritik-kritik sarkastiknya merupakan manifestasi dari jiwanya yang lembut.

Itulah Firman Venayaksa. Itulah caranya menyampaikan kritik atas fenomena yang dilihat dan—mungkin—dialaminya. Firman memilih jalan yang seksi dalam menyuarakan nuraninya. Dia mengajak kita untuk sadar bahwa segala yang dipertunjukkan oleh pemimpin-pemimpin kita adalah sesuatu yang memuakkan. Firman menuntun kita, setidaknya bala yang ditimbulkan pemimpin-pemimpin durhaka itu tidak memapar kita. Firman ingin agar kita tidak kabadi, lewat jampi sakti berbunyi, “Tingbating!”

Fatih Zam
*muat di HU Pikiran Rakyat, suplemen Kampus, halaman 30 (9/8)