Oleh Firman
Venayaksa
Sebelum
menjelaskan perihal pembelajaran sastra kita di sekolah, saya kembali teringat
pada sebuah film “Dead Poets Society” yang dirilis pada tahun 1989. Film ini
menceritakan tentang seorang guru sastra (diperankan oleh Robin Williams) yang
cukup progresif, atarktif dan unik. Cara mengajarnya yang melawan hegemoni
konvensional itu membekas di mata para siswanya. Melalui puisi, para siswa itu
diajarkan untuk mencicipi kebebasan melalui puisi setelah sekian lama
terkerangkeng oleh prinsip-prinsip akademik yang kaku. Namun tak demikian
dengan lembaga sekolah yang mengusung prinsip ortodoks. Cara mengajarnya “yang
aneh” membuat sang guru itu terpaksa harus angkat kaki dari sekolah.
Film
ini mengingatkan kembali pada realitas pembelajaran sastra di sekolah-sekolah
kita hari ini. Seorang guru tidak boleh “nyeni.” Ia harus berpakaian kemeja dan
kain katun, mengajarkan tata krama, dan berjarak dengan para siswa agar timbul
penghormatan. Kebekuan karakter ini yang kemudian menjalar pada tata cara
mengajarkan puisi di sekolah. Puisi tak ubahnya ilmu pasti, yang harus jelas
dan terukur, mampu untuk memberikan pencerahan layaknya kitab suci. Hal ini
jelas bertentangan dengan puisi sebagai bagian dari ranah kesenian dan sangat
interpretatif. Puisi tidaklah kaku dan terus berubah seiring perubahan zaman
dan guru sebagai ujung tombak pembelajaran sastra di sekolah, idealnya
mengikuti sesuai dengan ilmu yang dianutnya. Film “Dead Poets Society” juga
mengajarkan kepada kita bahwa tak selamanya puisi sebagai salah satu jenis
sastra bisa diterima oleh khalayak.
Puisi dan Institusi Sekolah
Horatius,
seorang filosof pada zaman
masa lampau dan sering dikutip oleh para seniman hingga masa kini, menegaskan
bahwa seniman bertugas untuk decore dan
delectare, memberikan ajaran dan
kenikmatan. Dua kategori ini menjadi bagian yang sangat penting untuk memulai
tema ini. Jika kita sepakat dengan pendapat Horatius, maka sudah sewajarnya
nilai ajar (pendidikan) dan kenikmatan (hiburan) menjadi dua hal yang seyogyanya
terus beriringan. Bahkan Horatius menambahkan dengan istilah movere, menggerakan penikmat seni ke
arah kegiatan yang bertanggungjawab. Selain itu seni juga harus menggabungkan
sifat utile dan dulce; bermanfaat dan manis.
Dari sinilah letak awal keterkaitan antara seni (termasuk puisi) dan dunia
pendidikan.
Puisi hadir dalam institusi sekolah terintegrasi dalam
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Artinya, guru Bahasa dan Sastra
Indonesia tidak sekadar mengajarkan puisi. Ia juga harus mengajarkan bahasa.
Dengan demikian, porsi pembelajaran puisi memang sangat kecil. Apa lagi puisi
harus dicacah dengan aliran sastra lain seperti prosa fiksi dan drama.
Hal
ini diperparah dengan fenomena sang guru yang kadang enggan untuk menjelajahi
dan mengakses puisi-puisi yang berkembang cukup cepat, sehingga yang diajarkan
oleh guru kembali pada puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah atau Taufiq
Ismail. Kecenderungan ini mengakibatkan tidak teraksesnya puisi-puisi dari para
penyair kekinian. Sebetulnya konsep majalah Horison—sebagai sebuah contoh-- dengan
mendatangkan para sastrawan ke sekolah-sekolah sudah cukup baik. Setidaknya
kejadian tersebut sedikit banyak mengubah paradigma siswa (sekaligus guru) yang
hanya mengenal sastrawan berdasarkan teks yang dikenalkan guru di sekolah.
Namun dengan pendanaan yang terbatas dan kemampuan pihak Horison yang juga
berbatas, mengakibatkan project
semacam ini terpaksa terhenti.
Ataukah
keengganaan guru untuk mencari puisi-puisi terbebani dengan persoalan kurikulum
dengan segala macam standar kompetensi yang harus dikejarnya? Berikut adalah
standar kompetensi (KTSP) dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
1. Sebagai sarana peningkatan persatuan dan kesatuan
bangsa
2. Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
3. Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan
keterampilan untuk meraih dan mengambangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4. Sebagai sarana penyebarluasan pemakaian bahasa
Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan
5. Sebagai sarana pengembangan penalaran; dan
6. Sebagai sarana keberanekaragaman budaya Indonesia
melalui khasanah sastra Indonesia.
Jika kita membaca standar kompetensi di atas, beban
kerja guru Bahasa dan Sastra Indonesia memang sangat berat. Selain harus
menjelaskan perihal ilmu tentang bahasa dan sastra; mereka juga dibebani dengan
berbagai peningkatan-peningkatan yang muluk dan terkesan hanya berhenti di
ranah slogan semata. Selain itu, tuntutan guru Bahasa dan Sastra Indonesia jauh
lebih berat karena ada urusan dengan Ujian Nasional yang sering menjadi hantu
pendidikan. Fakta inilah yang kemudian berimplikasi pada proses pembelajaran
yang hanya mengejar wilayah kognitif. Banyak guru yang terjebak dengan urusan
“yang penting lulus” sehingga melupakan sisi psikomotorik; wiayah-wilayah yang
jauh lebih ekspresif dan estetik.
Namun lain halnya jika kita melihat dalam kacamata
siswa. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain di sekolah, pelajaran sastra
memiliki potensi untuk lebih digandrungi dibandingkan dengan mata pelajaran
lain karena sastra (puisi) secara konsep tidak hanya berhenti pada ilmu
pengetahuan (science) tapi juga seni
(art). Hal ini yang tak boleh
dilupakan oleh guru dalam proses pembelajarannya. Atas dasar ini maka tugas guru
bukan hanya selesai pada urusan mentransfer ilmu-ilmu sastra baik teori maupun
sejarah kesusastraan; tapi ia juga pengajar seni.
Pernyataan ini diperkuat oleh Anwar (2011: 121) yang
menyatakan bahwa meskipun kurikulum berganti-ganti, secara teoretis tujuan
pembelajaran sastra pada dasarnya meliputi dua hal pokok: pengetahuan sastra dan pengalaman
bersastra. Tujuan pertama mengacu pada perolehan wawasan mengenai segi-segi
pengetahuan (sejarah dan unsur-unsur sastra misalnya) dan tujuan kedua mengacu
pada pemerolehan pengalaman langsung bersastra (membaca, menulis, menggelarkan
karya sastra misalnya). Problematika yang dihadapi guru dalam pembelajaran di
sekolah lebih merujuk pada hal pokok kedua karena kurangnya kreatifitas guru.
Berbeda dengan pokok pertama yang lebih menekankan pada wilayah keilmuan, pokok
kedua sangat bergantung pada kemampuan guru untuk merangsang siswa dengan
membuat media alternatif pembelajaran puisi sehingga dengan cara semacam ini,
pembelajaran puisi tidak membosankan.
Puisi Multimedia
Menelisik
perkembangan puisi dari zaman ke zaman, kita akan menemukan pelbagai mozaik
yang menjadi penanda zaman. Mulai dari bentuk puisi hingga estetika dan daya
ungkap bisa kita telusuri. Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena
perkembangan sosial-politik, kontak kebudayaan bahkan ada kaitannya dengan
teknologi.
Pada
awal tahun 2000, ketika para sastrawan memanfaatkan teknologi internet dan
dibukanya situs www.cybersastra.net muncullah beragam kontak dialogis yang cukup meriah.
Perdebatan begitu sengit terjadi. Istilah-sitilah seperti “sastra sampah” atau
“sastra alternatif” menjadi dikenal publik sastra. Di antara perdebatan yang
mengemuka itu, ada satu hal yang menurut saya menjadi semacam keywords yaitu akses. Ketika keran akses
dibuka, sekarang ini kita begitu mudah untuk melacak puisi-puisi di dunia maya.
Perkembangan puisi tidak lagi terfokus pada perayaan rubrik sastra seminggu
sekali di media massa. Kini puisi bisa dirayakan oleh siapapun dengan
kemungkinan estetika sebebas apapun. Dalam hal ini, media memiliki peranan
penting dalam menyebarluaskan puisi.
Sekaitan
dengan hal tersebut, maka puisi sebagai salah satu jenis aliran seni sudah
sewajarnya “berdialog” dengan jenis seni lainnya seperti musik, teater atau
film. Puisi tidak saja bisa dinikmati dengan gaya ortodoks seperti membaca
teks, tetapi bisa juga diapresiasi dengan audio-visual. Atas “negosiasi” antara
puisi dengan aliran seni lain, maka istilah-istilah pun berkembang seperti
musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, filmisasi puisi, puisi multimedia dan
seterusnya. Esensi dari “negosiasi” tersebut sebetulnya ingin menciptakan ruang
saji yang berbeda dari biasanya. Proses memadukan ini tidak terlepas dari kesadaran
penyair agar bisa meraup apresiator sebanyak mungkin dan yang paling penting
adalah menumbuhkan ruang alternatif dalam mengekspresikan karya-karyanya.
Belajar dari Puisi Multimedia Asrizal Nur
Pada
perhelatan pertemuan-pertemuan penyair yang di dalamnya sering menggelar acara
apresiasi berupa pembacaan karya dari para penyair; setidaknya ada tiga jenis
penyair yang merespons. Pertama,
penyair yang “rindu panggung.” Ia akan sangat siap jika diminta untuk
membacakan puisi. Selain ia sudah terbiasa, ia piawai melakukan aksi yang
demonstratif. Kedua, ia tak memiliki
kemampuan membaca puisi yang baik. Dengan penuh keterpaksaan, ia lantas memaksakan
diri. Ketiga, adalah penyair yang
memang tak bisa membaca puisi dengan baik dan ia memilih membaca biasa saja.
Konsep
pembacaan di panggung tentu berbeda dengan pembacaan biasa yang tidak ditonton
oleh khalayak. Ketidaksiapan penyair (apalagi yang tidak memiliki background pemanggungan) akan terlihat
seadanya sehingga tak menemukan kesan. Ketika puisi dibacakan, seperti yang
diungkapkan oleh Toto ST Radik, sebetulnya puisi menjadi tunduk pada
hukum-hukum panggung. Tempat pemanggungan, musik, lighting bahkan bisa jadi urusan durasi memiliki posisi yang juga
penting bersanding dengan puisi sebagai teks yang menjiwai pementasan.
Asrizal
Nur adalah salah satu penyair yang bisa dengan piawai mengkomunikasikan puisi
yang berupa teks untuk dipanggungkan. Tak semua penyair bisa memadukannya.
Berbekal keapikan memilih tema dalam puisi-puisinya, ditambah dengan
predikatnya sebagai deklamator yang sering memenangkan lomba-lomba pembacaan
puisi bergengsi di Tanah Air, Asrizal Nur kerap kali menghipnotis para penonton
dengan konsep Puisi Multimedia.
Konser
Puisi Multimedia yang dikenalkan oleh Asrizal Nur pada tahun 2009 di Taman
Ismail Marzuki menyedot perhatian publik dengan ditonton tak kurang oleh 800
orang. Konser tersebut dibantu oleh Dindon Ws (penata laku), Yasier Arafat (live music), Dika dan Adi (penata musik
program), Eeng Koti (penata tari), Dody (penata video), M. Aidil Usman (penata
cahaya), dan Joko Mulyadi (penata panggung). Kini konser puisi multimedia
tersebut bisa didapatkan oleh apresiator melalui DVD.
Puisi
multimedia yang dimaksud disini adalah sejumlah perangkat teknologi yang
menjadi pendukung pembacaan puisi. Perangkat teknologi tersebut diramu; mulai
dari musik hingga klip (animasi) dan dikompres dalam bentuk CD. Asrizal Nur
harus menyesuaikan antara pembacaan puisi dengan video klip yang diputar dan
diperbesar di layar lebar sehingga bisa ditonton secara luas. Proses semacam
ini jelas membutuhkan latihan yang sangat intens. Pembaca puisi harus belajar
dalam hitungan detik untuk menyesuaikan dengan irama dan ruh dari puisi itu
sendiri. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari puisi multimedia berjudul
“Kuda” yang berdurasi 1 menit 50 detik. Secara visual, klip “Kuda” hanya
memerlihatkan sekumpulan kuda yang sedang berlari kencang yang dibantu dengan
audio berupa suara derapan kuda yang terus menerus menghentak mengikuti
pembacaan puisi yang dilakukan oleh penyairnya. Keberhasilan dari sesi ini
adalah terjalinnya suasana antara media pendukung dan pembacaannya.
Saya
membayangkan jika proses puisi multimedia yang diciptakan oleh Asrizal Nur bisa
diadaptasi dan dikembangkan dalam proses pembelajaran apresiasi puisi di
sekolah-sekolah. Secara kuantitas, siswa di kelas cukup banyak dan ini adalah
modal utama dalam berkolaborasi. Tinggal proses pembuatan puisi multimedia
lebih disederhanakan dan disesuaikan dengan kemampuan sekolah dengan
memanfaatkan perangkat yang ada. klip bisa dibuat berdasarkan foto-foto yang
diambil melalui perangkat handphone
misalnya lalu ditayangkan melalui infokus yang disesuaikan dengan kebutuhan
puisi yang telah dipilih oleh siswa. Untuk audio, siswa bisa merekam dari hasil
ciptaan sendiri atau memanfaatkan ilustrasi musik instrumental. Yang paling
penting dari semua itu adalah proses berkolaborasi sehingga tercipta suasana
kolektif yang menyenangkan.
*) Kertas kerja ini disampikan pada perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi 30 Desember 2012