Rabu, 27 Maret 2013

MENYONGSONG HARI SASTRA INDONESIA DI BANTEN



Serang (26/3) Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Hudaya Latuconsina, mendatangi Rumah Dunia untuk membicarakan Hari Sastra Indonesia yang akan diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 2013. Pada diskusi informal tersebut Dinas Pendidikan Provinsi Banten akan bekerjasama dengan Rumah Dunia dalam menyelenggarakan beberapa kegiatan yaitu workshop menulis puisi dan Cerpen yang dilanjutkan dengan lomba menulis tingkat SMA  se-Banten.  Untuk menggairahkan potensi para penulis muda di Banten, hasil dari lomba tersebut akan didokumentasikan dalam bentuk buku.

Kegiatan Hari Sastra Indonesia bermula dari berkumpulnya para sastrawan di Rumah Puisi, Bukit Tinggi, sebuah komunitas yang digagas oleh penyair Taufiq Ismail sekitar tiga hari yang lalu. Gol A Gong yang turut hadir pada acara tersebut menjelaskan bahwa Rumah Dunia akan terlibat dalam merayakan Hari Sastra Indonesia ini. Hal senada diungkapkan oleh Hudaya Latuconsina, “Dinas Pendidikan akan ikut terlibat dalam perayaan ini, mengingat kegiatan tersebut sangat kreatif dan membantu dalam proses pengembangan karakter siswa,” ujarnya.  

Ketika ditanya mengenai tempat kegiatan, Hudaya sepakat kegiatannya bertempat di Rumah Dunia. “konsep di sini cukup baik. Para peserta akan menginap di rumah warga selama tiga malam. Dengan demikian, Interaksi dengan warga akan membuat para siswa dekat dengan realitas,” lanjutnya. Mengenai fasilitas tempat, Gol A Gong memastikan bahwa tempat di Rumah Dunia sudah mulai representatif. “Sekarang ini sedang dibangun gelanggang remaja. Ada gedung tertutup yang bisa menampung 150-200 orang, ada pendopo dan teater terbuka. Insyaallah pada Hari Sastra Indonesia, gedung sudah mulai bisa dipakai perdana.”

Selain workshop dan lomba menulis, Hari Sastra Indonesia di Banten yang akan dihelat pada tanggal 1-4 Juli 2013 ini dilengkapi dengan pelbagai kegiatan lain seperti pembacaan puisi dari Taufiq Ismail dan Toto St Radik, pementasan teater, pertunjukkan kesenian Banten, musikalisasi puisi  dan bazzar buku. (fv)

Jumat, 22 Maret 2013

Raperda Kebudayaan yang Aneh dan Menggemaskan



Oleh Firman Venayaksa

Pada tubuh dunia yang mengglobal karena tuntutan selera pasar yang cenderung menyeragamkan banyak hal, identitas kultural adalah ruh dan menjadi pembeda bagi sebuah bangsa. Atas dasar itu, pemerintah dirasa perlu untuk membuat semacam undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan sebangsanya, demi menegaskan identitas tersebut. Namun dalam prosesnya, kebudayaan lebih cenderung dinegasikan sebagai sektor-sektor mati yang tidak penting sama sekali bagi para pemegang kebijakan.

Setidaknya, hal tersebut bisa kita simak dari proses pembuatan Raperda Kebudayaan yang diinisiasi oleh DPRD Kota Serang. Pada bulan lalu di koran lokal Radar Banten, terpampanglah sebuah Raperda “Pembinaan dan Pengembangan Budaya Daerah.” Tentu inti dari pemuatan Raperda di media massa adalah agar khalayak tahu dan kiranya penting untuk diberikan masukkan, kritik ataupun saran. Atas dasar itu pula sebuah komunitas bernama Banten Muda Community menemukan kejanggalan-kejanggalan. Kendati nama Raperda tersebut berjudul global, ternyata isinya melulu bicara cagar budaya. Setelah ditelusuri lebih dalam, Raperda ini adalah hasil coppy paste dari UU 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Masyarakat tentu tertegun melihat situasi ini.

Kemarin, tepatnya tanggal 21 Maret 2013, para penggiat kebudayaan, akademisi dan masyarakat, diundang oleh Pansus Raperda ini untuk membahas keberlanjutan prosesnya. Inti dari pertemuan tersebut adalah untuk mendengarkan masukan-masukan dari masyarakat. Alih-alih memberikan respons, Raperda yang sudah disosialisasikan tersebut diganti total 100 persen, begitupun judulnya yang berubah menjadi “Pelestarian Budaya Daerah.” Namun ikhtiar baik itu tentu tetap direspons positif; maka mulailah para penggiat kebudayaan itu membuka-buka draft yang disodorkkan dengan serius, membaca pasal demi pasal dengan seksama dan dengan begitu lugu, melontarkan pertanyaan-pertanyaan sekaligus masukan dari draft yang sedikit aneh dan menggemaskan.

Saya sebut aneh, karena Raperda ini hendak membicarakan persoalan kebudayaan daerah di kota Serang namun semua pasal bicara begitu umum. Tak ada diksi debus, panjang mulud atau ubrug yang menjadi ikonisitas kebudayaan di Serang. Saya katakan menggemaskan, karena setiap masukan-masukan dibantah dengan perkataan, “ya ini kan baru rancangan. Nanti dikonkretkan dengan Peraturan Walikota,” imbuh Ketua Pansus.

Lontaran yang saya kemukakan setelah membaca draft tersebut adalah apa ciri khas Perda Kebudayaan kota Serang ini dengan wilayah lain jika tak ada satupun diksi kebudayaan Serang? Hal tersebut sebetulnya sengaja saya floor-kan agar Pansus lebih serius berpikir dan mencoba untuk menginventarisir kebudayaan-kebudayaan yang ada. Dari sini saya melihat bahwa mereka sama sekali tidak serius dalam merancang Raperda ini, walaupun dengan penuh basa-basi saya mengucapkan terimakasih kepada mereka karena sudah peduli pada sektor kebudayaan yang wilayah lain belum banyak memikirkannya.

Inventarisasi kebudayaan daerah bisa dibagi atas dua hal, pertama adalah warisan tangible—yang secara konkret mewujud seperti bangunan bersejarah, makam raja dan seterusnya, yang kedua adalah warisan intangible, yang tak terlihat namun ada di masyarakat, seperti folklor, tari, upacara adat istiadat dan seterusnya. Jika Pansus memulai Raperda dari klasifikasi ini, maka diskusi akan sangat menarik sebetulnya;  persoalan klaim dengan kabupaten/ kota lainnya bisa diperdebatkan. Warisan tangible lebih mudah untuk ditelusuri dan diklaim karena ada letak teritori/ geografis yang ketat. Hal ini berbeda dengan warisan intangible yang menyebar dan perlu ada telaah mendalam. Disinilah pentingnya naskah akademik.

Tak ada Naskah Akademik?
Terus terang, saya sebetulnya tidak terlalu mahfum dalam proses pembuatan Raperda. Hal ini memang di luar kekuasaan pemikiran saya yang terbatas. Namun pada hakikatnya, penyusunan Raperda tentu dimulai dari hal-hal yang bersifat akademis sehingga landasan-landasan berpikirnya jelas dan terarah. Minimal dari aspek filosofis, yuridis dan aspek lainnya menjadi bahan pertimbangan yang matang karena pada akhirnya Raperda tersebut menjadi kekuatan hukum bagi masyarakat. Hal itupun yang saya tanya kepada Pansus, mana dan siapa yang membuat naskah akademiknya? namun tidak dijawab sama sekali. Mengingat terjadinya perubahan Raperda versi pertama dan Raperda versi kedua ini, saya curiga bahwa naskah akademiknya bahkan tidak ada. Hal ini mudah sekali dibaca dari gelagat perubahan Raperda yang tiba-tiba berubah 100 persen itu. Jika hal ini terjadi, maka ini menjadi preseden yang sangat buruk bagi wakil rakyat itu dan masyarakat bisa menilai ketidakseriusan mereka menjadi kepanjangan tangan rakyat.

Budaya Coppy Paste
Kecurigaan tersebut kian mengejutkan ketika saya hendak menelusuri dan membandingkan dengan Perda Pelestarian Budaya Daerah di wilayah lain di internet sebagai bentuk kepenasaran-pengertian saya. Tiba-tiba saya menemukan Peraturan menteri bersama antara Kementerian dalam Negeri dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Permen 42 tahun 2009 tentang “Pedoman Pelestarian Kebudayaan“ yang di coppy paste menjadi Raperda Pelestarian Kebudayaan daerah Kota Serang. Setelah membaca dan membandingkan dua tulisan ini, sekitar 90 persen memang diambil dari naskah Permen tersebut. Jika benar ada naskah akademiknya, saya kira cara pandang semacam ini harusnya tak mungkin terjadi. 

Pedoman yang dimaksud, dihadirkan lebih pada rambu-rambu sehingga jalan kita tidak sesat. Namun persoalan jalan mana yang akan kita pilih akan sangat tergantung tempat yang hendak dituju. Jika semua mengacu pada pedoman yang dibuat oleh pusat, lalu untuk apa sebetulnya Otonomi Daerah dirumuskan yang konon agar orang-orang di daerah punya hak menentukan nasibnya sendiri? Alih-alih merumuskan identitas kultural, saya mengendus budaya coppy paste yang menyebalkan.

Tanah air, 2013

*) Kandidat Doktor dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad.