Oleh Firman Venayaksa
Setidaknya, hal tersebut bisa kita simak dari proses pembuatan Raperda Kebudayaan
yang diinisiasi oleh DPRD Kota Serang. Pada bulan lalu di koran lokal Radar
Banten, terpampanglah sebuah Raperda “Pembinaan dan Pengembangan Budaya
Daerah.” Tentu inti dari pemuatan Raperda di media massa adalah agar khalayak
tahu dan kiranya penting untuk diberikan masukkan, kritik ataupun saran. Atas
dasar itu pula sebuah komunitas bernama Banten
Muda Community menemukan kejanggalan-kejanggalan. Kendati nama Raperda
tersebut berjudul global, ternyata isinya melulu bicara cagar budaya. Setelah
ditelusuri lebih dalam, Raperda ini adalah hasil coppy paste dari UU 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Masyarakat
tentu tertegun melihat situasi ini.
Kemarin, tepatnya tanggal 21 Maret 2013, para penggiat kebudayaan,
akademisi dan masyarakat, diundang oleh Pansus Raperda ini untuk membahas
keberlanjutan prosesnya. Inti dari pertemuan tersebut adalah untuk mendengarkan
masukan-masukan dari masyarakat. Alih-alih memberikan respons, Raperda yang
sudah disosialisasikan tersebut diganti total 100 persen, begitupun judulnya
yang berubah menjadi “Pelestarian Budaya Daerah.” Namun ikhtiar baik itu tentu
tetap direspons positif; maka mulailah para penggiat kebudayaan itu
membuka-buka draft yang disodorkkan dengan serius, membaca pasal demi pasal
dengan seksama dan dengan begitu lugu, melontarkan pertanyaan-pertanyaan
sekaligus masukan dari draft yang sedikit aneh dan menggemaskan.
Saya sebut aneh, karena Raperda ini hendak membicarakan persoalan
kebudayaan daerah di kota Serang namun semua pasal bicara begitu umum. Tak ada
diksi debus, panjang mulud atau ubrug yang menjadi ikonisitas kebudayaan di
Serang. Saya katakan menggemaskan, karena setiap masukan-masukan dibantah
dengan perkataan, “ya ini kan baru rancangan. Nanti dikonkretkan dengan
Peraturan Walikota,” imbuh Ketua Pansus.
Lontaran yang saya kemukakan setelah membaca draft tersebut adalah apa
ciri khas Perda Kebudayaan kota Serang ini dengan wilayah lain jika tak ada
satupun diksi kebudayaan Serang? Hal tersebut sebetulnya sengaja saya floor-kan
agar Pansus lebih serius berpikir dan mencoba untuk menginventarisir
kebudayaan-kebudayaan yang ada. Dari sini saya melihat bahwa mereka sama sekali
tidak serius dalam merancang Raperda ini, walaupun dengan penuh basa-basi saya
mengucapkan terimakasih kepada mereka karena sudah peduli pada sektor
kebudayaan yang wilayah lain belum banyak memikirkannya.
Inventarisasi kebudayaan daerah bisa dibagi atas dua hal, pertama adalah
warisan tangible—yang secara konkret
mewujud seperti bangunan bersejarah, makam raja dan seterusnya, yang kedua
adalah warisan intangible, yang tak
terlihat namun ada di masyarakat, seperti folklor, tari, upacara adat istiadat
dan seterusnya. Jika Pansus memulai Raperda dari klasifikasi ini, maka diskusi
akan sangat menarik sebetulnya; persoalan
klaim dengan kabupaten/ kota lainnya bisa diperdebatkan. Warisan tangible lebih mudah untuk ditelusuri dan diklaim karena ada letak teritori/
geografis yang ketat. Hal ini berbeda dengan warisan intangible yang menyebar dan perlu ada telaah mendalam. Disinilah
pentingnya naskah akademik.
Tak ada Naskah Akademik?
Terus terang, saya sebetulnya
tidak terlalu mahfum dalam proses pembuatan Raperda. Hal ini memang di luar
kekuasaan pemikiran saya yang terbatas. Namun pada hakikatnya, penyusunan
Raperda tentu dimulai dari hal-hal yang bersifat akademis sehingga
landasan-landasan berpikirnya jelas dan terarah. Minimal dari aspek filosofis,
yuridis dan aspek lainnya menjadi bahan pertimbangan yang matang karena pada
akhirnya Raperda tersebut menjadi kekuatan hukum bagi masyarakat. Hal itupun
yang saya tanya kepada Pansus, mana dan siapa yang membuat naskah akademiknya? namun
tidak dijawab sama sekali. Mengingat terjadinya perubahan Raperda versi pertama
dan Raperda versi kedua ini, saya curiga bahwa naskah akademiknya bahkan tidak
ada. Hal ini mudah sekali dibaca dari gelagat perubahan Raperda yang tiba-tiba
berubah 100 persen itu. Jika hal ini terjadi, maka ini menjadi preseden yang
sangat buruk bagi wakil rakyat itu dan masyarakat bisa menilai ketidakseriusan
mereka menjadi kepanjangan tangan rakyat.
Budaya Coppy Paste
Kecurigaan tersebut kian mengejutkan ketika saya hendak menelusuri dan
membandingkan dengan Perda Pelestarian Budaya Daerah di wilayah lain di
internet sebagai bentuk kepenasaran-pengertian saya. Tiba-tiba saya menemukan Peraturan
menteri bersama antara Kementerian dalam Negeri dan Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, Permen 42 tahun 2009 tentang “Pedoman Pelestarian Kebudayaan“ yang
di coppy paste menjadi Raperda
Pelestarian Kebudayaan daerah Kota Serang. Setelah membaca dan membandingkan
dua tulisan ini, sekitar 90 persen memang diambil dari naskah Permen tersebut.
Jika benar ada naskah akademiknya, saya kira cara pandang semacam ini harusnya
tak mungkin terjadi.
Pedoman yang dimaksud, dihadirkan lebih pada rambu-rambu sehingga jalan
kita tidak sesat. Namun persoalan jalan mana yang akan kita pilih akan sangat
tergantung tempat yang hendak dituju. Jika semua mengacu pada pedoman yang
dibuat oleh pusat, lalu untuk apa sebetulnya Otonomi Daerah dirumuskan yang
konon agar orang-orang di daerah punya hak menentukan nasibnya sendiri?
Alih-alih merumuskan identitas kultural, saya mengendus budaya coppy paste yang menyebalkan.
Tanah air, 2013
*) Kandidat Doktor dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar