Minggu, 16 Juni 2013

MUSIKALISASI PUISI SEBAGAI PROSES MENJADI




Oleh Firman Venayaksa[1]

Pendahuluan
Kebudayaan populer yang sekarang ini menggamit kehidupan kita sehari-hari, menumbuhkan pelbagai aktivitas yang saling terkoneksi satu sama lain. Kita sudah tak lagi banyak menyoalkan tentang entitas sebuah kebudayaan, apakah lahir dari kebudayaan Timur atau Barat; kebudayaan tinggi atau rendah, dan seterusnya. Semua berbaur dalam konteks yang lebih luas akibat interaksi tersebut.
Hal tersebut terjadi juga dalam ranah kesenian. Pada mulanya, jenis-jenis seni yang ada terkesan berdiri sendiri. Hal ini menjadi wajar karena setiap karya seni (genre) memiliki ciri khas tersendiri. Namun jika ditelisik lebih jauh, jenis-jenis seni yang terkesan berdiri sendiri itu tidaklah demikian. Secara alamiah, jenis-jenis seni ini saling berinteraksi satu sama lain dan menumbuhkan entitas yang unik. Hal tersebut terjadi karena banyak aspek yang terjadi, mulai dari proses kreatif pencipta hingga tuntutan di luar proses penciptaan. Misalnya musik populer yang sering didengar di masyarakat, secara umum  membutuhkan lirik-lirik lagu dan itu bisa didapat dari bahasa-sastra. Komik sebagai kelanjutan dari seni rupa juga membutuhkan bahasa/ sastra untuk memerkuat proses komunikasi baik antartokoh maupun antara pencipta karya dengan pembaca. Apa lagi ketika film sebagai seni ketujuh “ditemukan.” Film sangat membutuhkan jenis seni lainnya, mulai dari seni rupa, seni musik, dramaturgi hingga seni sastra. Dengan demikian, jika mengamati perkembangan kesenian dewasa ini, proses negosiasi dan saling memengaruhi akan terus terjadi.
Untuk menjelaskan fenomena ini, ada baiknya kita mengutip tulisan Wellek dan Waren (1993: 160) yang menghubungkan sastra dengan seni lainnya.
“Kadang-kadang puisi mendapatkan inspirasi dari lukisan, patung atau musik. Karya seni—seperti halnya benda dan manusia—sering menjadi tema dan objek puisi. Hal ini sudah umum, dan tidak mengandung permasalahan teoretis. Edmund Spencer sering meniru gambar-gambar permadani atau pawai sejarah untuk memperkaya uraian dalam karya-karyanya. Lukisan Claude Lorrain dan Salvatore Rosa mempengaruhi puisi-puisi alam abad ke-18.”
Kutipan di atas menjelaskan kepada kita bahwa dalam proses kreatif membuat karya tertentu, sang kreator tak bisa lepas dari unsur seni lainnya. Karya tersebut tidak hanya “menginspirasi” tapi bisa juga menjadi pemantik gagasan sehingga terciptalah karya baru berdasarkan kontak dengan karya lainnya.
Di dalam perkembangan kesusastraan, sudah lama kita mengenal istilah-istilah yang sebermula sastra kemudian bertransformasi ke dalam bentuk lain misalnya ekranisasi (pelayarputihan dari novel/ cerita pendek ke dalam film), dramatisasi puisi (puisi yang dipentaskan/ dipanggungkan), dan musikalisasi puisi (puisi yang dinyanyikan/ dilagukan). Proses semacam ini diistilahkan “alih wahana” oleh Damono. Damono (2009: 121) menjelaskan bahwa karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan, yakni dialihkan dari satu bahasa  ke bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain.  Proses alih wahana inilah yang kemudian bisa kita pelajari dalam konteks akadmik atau justru menjadi proses mediasi untuk memahami karya sastra itu sendiri dengan cara dan sudut pandang yang sama sekali berbeda.
Jika kita menilik lebih dalam pada seni tradisi kita, malah pertautan interaksi antarseni sudah tak bisa dibantah. Sebagai contoh, kita bisa mengamati bagaimana seni wayang menjadi muara  bagi musik, sastra, rupa, bahkan teater layar. Bagi masyarakat Melayu, puisi pantun memiliki proses penyampaian dengan intonasi lagu yang sangat khas. Bahkan jika kita mengamati lantunan Barjanzi yang sering “diupacarakan” oleh institusi pesantren atau yang biasa kita dengar pada ritual maulid nabi yang berkembang di masyarakat,  jelaslah bahwa puisi dan musik bisa saling beriringan satu sama lain.

Definisi Musikal(isasi) Puisi
Musikalisasi puisi terdiri atas dua hal yaitu musik dan puisi. Sebelum mendefinisikan lebih jauh tentang musikalisasi puisi, ada baiknya kita mulai dengan definisi yang sudah kita pahami tentang musik dan puisi.
Menurut Ewen musik adalah ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dari nada-nada, baik vokal maupun instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional (dalam Soedarsono, 1992:13).
Umumnya sebuah karya seni, ia dihadirkan sebagai bentuk ekspresi berupa keterwakilan emosi yang dituangkan dalam bentuk lain. Pada tahap ini, Ewen menitikberatkan pada kombinasi ritmik. Hal senada diungkapkan Suhastjarja yang mendefinisikan musik sebagai ungkapan rasa indah manusia dalam bentuk suatu konsep pemikiran yang bulat, dalam wujud nada-nada atau bunyi lainnya yang mengandung ritme dan harmoni, serta mempunyai bentuk dalam ruang waktu yang dikenal oleh diri sendiri dan manusia lain dalam lingkungan hidupnya (dalam Soedarsono, 1992: 13).
Dua definisi musik ini sama-sama menitikberatkan pada kombinasi ritmik dan kaitannya dengan ekspresi manusia dan lingkungan sosialnya. Sementara itu, definisi puisi menurut Coleridge, adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah, juga merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Jadi, puisi merupakan susunan kata-kata yang indah dan memiliki unsur musikalitas. Definisi bahwa puisi memiliki ikatan musikal diperkuat oleh Carlyle (dalam Pradopo, 2005:6) puisi merupakan pikiran yang musikal. Jadi, dapat dikatakan puisi merupakan bunyi yang indah dan musikal.
Setelah menempuh batasan-batasan terkait definisi musik dan puisi barukah kita membincangkan tentang musikalisasi puisi. Dalam hal ini, saya ingin sedikit berbagi bahwa istilah musikalisasi puisi tidak serta-merta mewujud sebagai satu fungsi estetis dan dimaknai sebagai sesuatu yang tunggal. Selain musikalisasi puisi, ada juga istilah lain seperti “musik puisi” dan “lagu puisi” yang juga dipakai sebagai pengistilahan. Perdebatan istilah ini tentu sangat menarik. Para teorisi, pengamat dan praktisi memiliki argumennya masing-masing. Sayangnya, untuk melacak tulisan-tulisan tentang musikalisasi puisi di Indonesia masih terbilang minim.
Buku yang khusus menjelaskan tentang musikalisasi puisi di Indonesia terdapat di dalam buku “Musik Puisi dari Istilah ke Aksi” yang diterbitkan oleh Lkis pada tahun 2005. Tulisan-tulisan tersebut dimulai dari esai lepas di surat kabar Minggu Pagi di Jogjakarta yang ditulis oleh Joko Pinurbo, Halim HD, Saut Situmorang, Mustofa W Hasyim dan lain-lain. Tentu sumbangsih semacam ini sangat berperan dalam meredefinisi, mengkonstruksi, sekaligus melacak perkembangan musikalisasi puisi dari sisi historis. Perdebatan umum yang bisa disarikan dari tulisan-tulisan tersebut adalah mengenai proses penciptaan dan bagaimana karya tersebut disajikan kepada khalayak.
Kembali pada istilah, saya hendak memberikan sedikit argumentasi dalam menengarai persoalan ini. Menurut saya, istilah “musik puisi” dan “lagu puisi” memiliki asosiasi yang tak jauh berbeda. Ia hadir dalam posisi penyetaraan. Musik/ lagu dan puisi setara, sejajar dan tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Terkait hal ini, dijelaskan oleh Basuki dan Hasyim bahwa musikalisasi puisi adalah pengekspresian dua bentuk karya seni, musik dan sastra (dalam hal ini: puisi) dalam satu penampilan (2005:38). Maksudnya, dalam musikalisasi puisi terdapat dua unsur yang penting yaitu musik dan puisi yang disajikan dalam sebuah penampilan atau pementasan.
Dalam konteks genre seni tentu hal ini bisa dipahami. Namun jika kita sedikit mempertanyakan proses yang dilakukan, akan ada satu genre tertentu yang seyogianya “mendahului” proses penciptaan. Sebagai pembanding, kita bisa melihat bagaimana novel difilmkan (ekranisasi) atau puisi yang didramakan (dramatisasi puisi). Jika lagu/ musik dulu yang pertamakali tercipta, dan puisinya menyusul, layakkah ini disebut sebagai musikalisasi puisi? Ataukah ini sekadar proses kreatif pencipta lagu yang sudah biasa terjadi. Sementara, kita mahfum betul bahwa imbuhan –isasi adalah menunjukkan makna proses. Dengan demikian, saya mendefinisikan  bahwa musikalisasi puisi adalah proses alih wahana dari puisi ke dalam bentuk musik. Pada proses ini, musik yang diciptakan hadir dari interpretasi/ pemaknaan puisi. Definisi ini seperti juga ditegaskan oleh Budiman (2007) bahwa musikalisasi puisi merupakan perpaduan antara musik dengan puisi secara ajek (tetap/tidak berubah). Dalam musikalisasi puisi-puisi yang dinyanyikan terasa menjadi lebih “hidup” dan menarik, karena dengan kombinasi antara puisi dengan musik maka sensibilitas (kepekaan rasa) dan pemahaman makna terhadap aspek-aspek terpenting khususnya tema-tema puisi terbuka lebar. Permasalahan yang terkesan abstrak dari gambaran sebuah puisi berubah menjadi klise-klise visual yang memperjelas jalan cerita puisi-puisi itu.
Pemaknaan bahwa puisi yang mendahului musik-pun diamini oleh Gus Martin. “Musikalisasi puisi tentu berawal dari karya puisi. Materi puisi itu kemudian dilagukan, diberi penekanan-penekanan musikal, dan dikemas dalam bumbu suasana sesuai isi puisi. Jika tidak melewati proses ini, mungkin ‘kurang memenuhi syarat’ untuk disebut musikalisasi puisi” (Bali Post, 6 Juni 2008).
Lazimnya, proses transformasi semacam ini akan diikuti dengan beberapa fenomena seperti yang diungkapkan Benedecto Crose dalam menganalisis a cros literature yaitu berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), penggantian (alternation), pengembangan (development).
Kendati masih banyak yang bisa diperdebatkan dalam memaknai istilah ini, bagi saya musikalisasi puisi adalah proses becoming, dengan demikian harus ada yang tercipta terlebih dahulu sehingga tercipta sesuatu yang lain. Namun, ketika konteks musik-puisi itu dijabarkan dalam wilayah pemanggungan/ dihadirkan untuk diapresiasi oleh khalayak, dimana musik biasanya dimunculkan untuk mengiringi pembacaan, saya kira proses semacam ini sah-sah saja. Pada tahun 1950-an, Radio Republik Indonesia (RRI) di Bandung, dengan garapan “Kuntum Mekar” yaitu berupa pembacaan puisi yang dilatari musik-musik tertentu  pun pernah dilakukan. Namun, proses kreatif semacam itu tidak dimulai dari ritual komunikasi yang baik antarunsur (musik dan puisi). Biasanya musik instrumental yang sudah jadi dicari padanannya dengan puisi yang hendak disajikan, atau dalam konteks pemanggungan, si pemusik membuat ilustrasi musikal pada waktu pemanggungan secara mendadak sehingga kesan yang ditangkap, tidak tergambar keseriusan dalam garapannya selain menyisakan sesuatu yang mubazir.

Musikalisasi Puisi dan Lagu
Jika kita menyimak sebuah lagu dalam suatu waktu, tanpa mengetahui latar belakang proses penciptaannya, kita akan kesulitan untuk mengetahui apakah ini musikalisasi puisi atau bukan. Diksi-diksi yang dipakai dalam penyajian puisi pun menjadi kian samar untuk melacak apakah ini puisi atau sekadar lirik lagu, karena tak sedikit lagu-lagu sekarang dibangun oleh diksi yang baik dan diolah dengan indah dan puitis. Maka, sebagian praktisi menilai bahwa dalam membuat musikalisasi puisi, disarankan untuk menggunakan puisi-puisi yang sudah dikenal oleh publik. Asumsinya, sesamar apapun puisi “Aku” karya Chairil Anwar dijadikan musikalisasi puisi, audiens sudah mudah menebak bahwa ini adalah puisi yang dimusikkan kendati tidak secara verbal disebut musikalisasi puisi. Pertanyaanya, seberapa kuatkah puisi-puisi yang lahir dari para penyair dibaca dan dikenal oleh masyarakat Indonesia? Hal inilah yang menjadi perbincangan hangat ketika merumuskan mengenai “bahan mentah” untuk diolah dari musikalisasi puisi sebagai pembeda di antara lagu-lagu yang dikenal oleh publik.
Di dalam proses kreatifnya, Group musik Bimbo tidak pernah memproklamirkan diri sebagai group musikalisasi puisi kendati lirik lagu mereka memanfaatkan puisi-puisi Taufiq Ismail dan Wing Kardjo. Group Bimbo mengalir begitu saja dan membiarkan para audiens merespons dari stimulasi karya-karya mereka. Di pihak lain, “keengganan” mereka memberi cap musikalisasi puisi bisa jadi karena tak semua karya-karya mereka berasal dari puisi, walaupun diksi lirik lagu yang diciptakannya mengandung unsur-unsur puisi. Alasan lainnya bisa jadi karena dalam konteks industri seni, puisi sudah diberi cap sebagai karya sastra yang rumit, penuh dengan simbol-simbol yang sulit menyesuaikan dengan selera pasar. Terlepas dari persoalan tersebut, kita bisa berkaca dari fenomena group musik Bimbo yang dikaitkan dengan tema besar tulisan ini.
Sebagai group musik yang cukup terkenal pada zamannya, saya melihat ada tiga hal yang muncul di dalam proses kreatif mereka. Pertama, mereka menciptakan lagu-lagu yang liriknya ditulis oleh  mereka sendiri. Tanpa mengesampingkan aspek puitik, dikaitkan dengan pemilihan kata, lirik mereka cukup indah, bahkan nyaris seperti puisi. Kedua, mereka memanfaatkan puisi sebagai lirik lagu mereka. Artinya, dalam menciptakan lagu, puisi merupakan sumber utama dan musik/ lagu terlahir dari interpretasi puisi. Dengan demikian, pada poin kedua ini kita bisa menengarai bahwa mereka memainkan peran sebagai pemusikalisasi puisi. Ketiga, fenomena yang penting untuk kita pertanyakan adalah Bimbo dalam proses kreatifnya, sering bekerjasama dengan Taufiq Ismail sebagai seorang penyair, untuk membuat lirik-lirik di dalam lagu mereka. Artinya, bisa jadi mereka membuat lagu dan lirik lagu secara bersamaan atau justru lagu yang terlebih dahulu ada kemudian ditiupkan lah ruh puitik ke dalam janin lagu tersebut atas peran taufiq Ismail sehingga ia lahir sebagai bayi lagu yang puitis. Sekali lagi, pada akhirnya kelak, ketika lagu tersebut lahir dan diperkenalkan kepada publik, kita sangat sulit melacak apakah ini musikalisasi puisi atau bukan. Namun jika meneroka poin ketiga, dengan melihat proses kreatif yang dilakukan, saya tidak mengkategorikan gejala semacam ini sebagai musikalisasi puisi,kendati hasil akhirnya sama. Dengan pemahaman ini, saya menggarisbawahi bahwa musikalisasi puisi adalah (lagu) sementara lagu belum tentu musikalisasi puisi.
Untuk lebih mengkonkretkan subtema ini, ada baiknya kita coba membuat sedikit pemetaan terkait persamaan dan perbedaan dan antara musikalisasi puisi dan lagu.

Kategori
Musikalikalisasi Puisi
Lagu
Proses penciptaan
Pembuatan karya terfokus pada puisi. Puisi hadir terlebih dahulu, baru ditransformasi ke dalam bentuk musik
Penciptaan karya tidak mementingkan kehadiran lirik lagu ataukah musik terlebih dahulu. Bahkan bisa jadi antara lirik lagu dan musik hadir bersamaan
Hasil Penciptaan
Ketika puisi dan musik sudah melebur, maka hasilnya sama dengan lagu. Yang membedakan terdapat pada diksi puisi yang kental dengan unsur-unsur metaforik.
Sebagian besar, lagu-lagu bertemakan populis seperti tema percintaan dengan segmentasi seluas mungkin. Diksi yang dihadirkan dalam lirik dibuat cenderung denotatif, dengan harapan bisa diterima publik.
Label/ pemasaran
Dalam pendistribusian hasil, musikalisasi puisi lebih sering memakai indie label dan dipasarkan di komunitas-komunitas tertentu dengan segmentasi yang sangat terbatas. Dalam pembuatannya, proses rekaman, mixing dan mastering sama dengan lagu.
Umumnya, lagu yang dibuat populer, lebih difokuskan pada wilayah industri sehingga major label sangat berperan penting dalam mendistribusikan hasil.

Dari pemetaan sederhana ini, kita bisa melihat bahwa pada hal-hal tertentu, antara musikalisasi puisi dan lagu yang kita pahami secara umum, memperlihatkan bahwa ada unsur persaman sekaligus perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok adalah dari sisi proses. Lagu yang memang diidentikan dengan pola industri sangat berbeda dengan musikalisasi puisi yang dihadirkan sebagai hasil dari interpretasi puisi. Kendati sama-sama berupa lagu, tradisi puisi dengan diksi, pola konotatif yang kuat, tetap menjadi pembeda.

Proses Kreatif dan Mengolah Ide
Pada tahun 1996, Gramedia mengeluarkan buku kumpulan puisi hardcover berjudul Bulan dibuai Awan dan desain yang sangat indah. Penyair itu bernama Katon Bagaskara. Tentu  nama ini lebih dikenal di dunia musik industri hiburan, tapi jika ada yang memproklamirkan sebagai penyair dan meluncurkan antologi puisi, siapa yang bisa melarang? Perkataan Chairil Anwar “yang bukan penyair tidak boleh ambil bagian” sudah dianggap usang.
Kenyataannya, sebagai seorang pencipta sekaligus penyanyi, lirik lagu yang diciptakan katon Bagaskara memang terbilang puitis, apa lagi dengan musikalitasnya yang sudah tak diragukan lagi oleh pencinta musik Indonesia. Coba kita cek salah satu karyanya berikut ini.
Berada di tepi keraguan
Tebing bayangmu
Sesekali luruh jua
Tercipta nelangsa
Di pucuk rerumputan
Oh…harumnya dukaku
Ditiup semilir
Sikapmu mendua
Menghitung bintang satu…satu
Sesukar meraba
Lelikuan sifatmu
Berkali diri ini terpaksa jatuh
Pada jurangnya bimbang
Dan asa yang tercecer
Sempat bertanya…
“Senyum atau merahkah kau tawarkan
Bagi jiwa dahaga ‘smara?”

Awalnya, kita menganggap Katon Bagaskara adalah seorang pemusik dengan lirik-lirik yang puitis saja. Namun, paradigma itu menjadi perdebatan ketika ia meluncurkan buku antologi puisi yang diambil dari lirik-lirik lagu yang dibuatnya. Dari kemunculan itu, di dunia sastra terjadi perdebatan. Ada yang menganggap anugerah, tak sedikit yang mencela dan menganggap Katon sok penyair. Belum lagi perdebatan itu tuntas, hal yang menjadi unik sekaitan dengan musikalisasi puisi, apakah karya-karya Katon Bagaskara termasuk di dalam bagiannya dengan asumsi bahwa lagu-lagu yang kita pahami dengan lirik puitis itu ternyata puisi? Dengan memakai definisi yang sudah saya kemukakan beserta pelbagai argumen di atas, sebetulnya ketegorisasi ini dengan sederhana bisa kita baca. Walaupun tak bisa kita nafikkan bahwa fenomena semacam ini menjadi bagian yang juga unik dan penting kita telisik lebih dalam.
Atas dasar kejadian di atas, saya ingin sedikit menggambarkan bahwa proses kreatif seseorang dalam mengolah ide, hingga menjadi sebuah karya, memiliki ciri khas tersendiri. Jika Katon memulai “puisi-nya” dari lagu-lagu yang ditulis dan sudah dipahami sebagai lagu oleh audiens, maka Ebiet G Ade, secara sadar dan memproklamirkan sedari awal, bahwa ia mengkomunikasikan puisi-puisinya melalui bentuk musikal tanpa perlu dibukukan dalam antologi puisi. Lalu bagaimanakah proses kreatif yang ideal dalam membuat musikalisasi puisi? Pertanyaan ini tentu sangat subjektif dan bergantung pada siapa yang ditanya. Latar belakang seseorang dalam membuat musikalisasi puisi-pun berbeda-beda persis seperti proses kreatif Katon Bagaskara atau Ebiet G Ade.
Namun ada dua perangkat yang tidak bisa kita hindari dalam membuat musikalisasi puisi bagi seorang pencipta, pertama ia harus memiliki kepekaan musikal, termasuk memiliki skill dalam memainkan alat musik tertentu. Minimal, ia bisa memainkan alat musik bersifat harmonis seperti gitar atau piano. Kedua, dalam waktu yang sama, seyogianya ia adalah pembaca puisi dan menggauli puisi secara sungguh-sungguh. Hal ini sama persis dalam proses adaptasi/ transformasi dari novel ke dalam film, dari puisi ke drama, dan seterusnya. Jika salah satunya pincang, maka tentu ia harus banyak belajar atas kepincangannya itu sehingga bisa berjalan. Selayaknya mentrasformasi ke dalam bentuk apapun, kita harus bisa menyesuaikan diri dan memahami secara jelas terkait kedua jenis seni ini.
Di dalam adaptasi novel ke dalam film misalnya, ada beberapa pertimbangan yang dipakai oleh sutradara. Tak hanya novel tersebut laris di pasaran sebagai alasan awal untuk menggarap filmisasi, biasanya ia mempertimbangkan novel-novel yang memiliki pretensi visual. Sutradara akan lebih cenderung memilih hal semacam ini untuk memudahkan proses eksekusi. Kemudian pada tataran lain, kendati sutaradara berusaha sekuat tenaga untuk bersetia pada teks novel, ia juga tak bisa menafikkan diri bahwa ada durasi yang harus disesuaikan sehingga pada akhirnya, tanpa berpretensi merusak esensi novel, sutradara terpaksa mengambil momen-momen puncak tanpa mengubah nafas novelnya. Keberhasilan adaptasi itu bisa kita saksikan dari hasil adaptasi Ayat-Ayat Cinta karya Habiburahman el Shirazy dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Tak jarang, karena faktor-faktor tersebut, novel yang difilmkan malah merusak esensi novel. Ernest Hemingway, seorang penulis novel yang mendapatkan penghargaan nobel, menolak hasil film yang dibuat oleh seorang sutradara dan ia berani membayar kerugian dari produser filmnya.
Maksud saya, kemungkinan untuk berhasil dan gagal total dalam membuat musikalisasi puisi juga bisa terjadi. Puisi menampilkan gagasan melalui media bahasa sementara musik dihadirkan melalui media suara. Dengan media yang berbeda itu, maka pencipta akan menemui kerumitan-kerumitan tersendiri. Bisa jadi kerumitan itu menjadi tantangan, bisa juga malah membuat frustasi. Jika dimungkinkan, idealnya pemusikalisasi puisi melakukan komunikasi dengan penyairnya untuk meminimalisir perbedaan interpretasi. Jika tidak mungkin dilakukan, maka sebagai pemusikalisasi, kita dituntut untuk mendalami sungguh-sungguh dan menemukan esensi yang “tepat” dari puisi tersebut.  

Menciptakan Musikalisasi Puisi
Untuk menciptakan musikalisasi puisi, saya hendak menjelaskan beberapa hal penting untuk diperhatikan.
a.      Memilah dan Memahami Puisi
Apa yang membuat kita tertarik pada puisi A dan tidak tertarik dengan puisi B? mengapa kita memilih puisi A dan tidak puisi B untuk dimusikalisasi? Setiap orang pasti memiliki jawaban yang berbeda. Bisa jadi tertarik dengan urusan estetis, bisa juga karena kekaguman pemusikalisasi terhadap penyairnya, karena unsur kedekatan, atau hal-hal lain yang bersifat temporer. Namun, pertimbangan penting dalam memilih  puisi untuk dimusikkan salah satunya adalah urusan panjang dan pendeknya sebuah karya. Hal ini pasti menjadi pertimbangan karena kaitannya dengan durasi. Seperti film yang memiliki standar baku sekitar 1,5-2 jam dan bahkan 3 jam untuk film-film India, lagu umumnya berada dikisaran 3-5 menit, sehingga bagi puisi-puisi yang berlembar-lembar, tampaknya kita lebih memilih memusikkan puisi 5-10 baris saja. Selain lebih “mudah”, asumsi tersebut erat kaitannya dengan tradisi penyajian musikalisasi puisi yang biasanya dilakukan berkelompok (grouping). Untuk menciptakan puisi menjadi lagu, mungkin bisa diselesaikan oleh satu orang. Namun ketika hendak mengaransmen dan mementaskan, lazimnya pentas musik, kita akan didukung oleh banyak personil, sehingga musikalisasi puisi yang sudah berbentuk lagu itu harus ditransformasi kepada orang-orang lain yang terlibat. Besar kemungkinan, semakin panjang durasi musikalisasi puisi, semakin lebar juga proses yang harus dijalani dan jelas menguras waktu.
Pertimbangan selanjutnya setelah memastikan sebuah puisi yang hendak dimusikalisasi adalah membuka lebar-lebar kemungkinan-kemungkinan pemaknaan. Kita tahu bahwa puisi memiliki sifat interpretative, tidak ada makna tunggal dalam puisi. Ada baiknya puisi tersebut dibedah secara serius dengan pendekatan semiotik misalnya, untuk membongkar tanda-tanda secara mendalam dan menemukan hakikat puisi itu,

b.      Menyelaraskan Ragam Menemukan Tempo
Pada dasarnya, puisi, seperti lazimnya musik, memiliki ragam-ragamnya, misalnya puisi epik, naratif, lirik, dramatik, didaktik, satirik, romance, elegi, ode, dan himne. Di pihak lain, musik juga memiliki ragam-ragamnya seperti rock, pop, klasik, blues, latin, balada, tradisional, bahkan dangdut. Dengan mengetahui ragam-ragam puisi dan musik, kita bisa saja memadukan kecenderungan kedekatan nuansanya. Musikalisasi puisi yang diciptakan oleh Ari Malibu dengan mengambil puisi-puisi Sapardi Djoko Damono terkesan “sempurna” karena ada dua kategorisasi yang sepadan; puisi Sapardi adalah puisi liris, tenang dan penuh kedalaman, dihadirkan oleh Ari Malibu dengan musik yang sederhana, melodi yang umumnya lambat dan pemilahan aliran musik balada romantik yang syahdu. Disitulah frekuensi nada mereka bertemu. Situasi ini terjadi juga pada group musik Kantata yang memusikalisasi puisi-puisi Rendra. Puisi Rendra adalah puisi protes, puisi keras, puisi yang sarat dengan pemberontakkan. Wajar jika di dalam puisi TKW, Kantata mengadaptasi ke dalam aliran rock yang keras, menghentak dan dinamis. Sapardi yang juga dikenal dengan “puisi kamar” dan Rendra sebagai perwakilan “puisi mimbar” tentu memiliki perbedaan karakteristik baik dari sisi penyempaian pesan maupun olah-diksi. Dalam hal ini, bagi pemusikalisasi, kita bisa membuat rumusan bahwa jika mendapatkan puisi kamar maka dalam mentransformasi ke dalam bentuk musik, akan mengambil tempo lambat. Sebaliknya, jika bertemu dengan puisi mimbar,maka kemungkinan besar bisa dieksekusi dengan tempo yang cepat. Tentu eksekusi ini bukanlah rumusan seperti matematika yang kaku, karena pada karya-karya tertentu, bisa saja puisi liris bermuatan protes dan puisi protes dilakukan dengan liris. Pada teks semacam ini kita harus memaknai lebih dalam sebelum memutuskan.

c.       Selera Musik dan Maksud Puisi
Umumnya, setiap kita memiliki selera musik yang berbeda. Seperti juga memilih selera pada urusan lain, itu adalah anugerah yang menarik. Pada kenyataannya, selera musik bahkan kadang-kadang menjadi sangat ideologis dan membuat sebagian menjadi fanatik. Ia tidak hanya selesai pada urusan menyenangi atau membenci, tapi juga menjadi bagian hidup. Seseorang yang mentasbihkan dirinya sebagai rocker misalnya, mudah dikenali dengan perangkat-perangkat/ aksesoris yang melekat di tubuhnya seperti bercelana jeans, gondrong, dan seterusnya. Penyanyi dangdut—walau sudah sering direkonstruksi—tetap saja image yang muncul adalah berpakaian warna-warni, cerah, dan mungkin seksi. Imbas lain yang harus diwaspadai adalah ketika kita mencoba untuk memusikalisasikan puisi. Kccenderungan selera musik inilah yang mengakibatkan keseragaman di dalam mentransformasi puisi ke dalam musik. Puisi seolah menjadi tidak penting dan hanya selesai pada urusan aksesoris, tanpa membaca kembali maksud puisi.
Ada baiknya ketika mendalami puisi, kita lupakan dulu perangkat selera musik itu. Untuk pembelajaran, ada baiknya kita memilih puisi-puisi yang kontras satu sama lain, lalu mencoba mendekati dengan ragam musik yang berbeda pula.

d.      Proses Menciptakan Musikalisasi Puisi
Struktur pembuatan musikalisasi puisi pada intinya adalah memakai struktur membuat lagu pada umumnya. Standarnya dimulai dari intro, kemudian menyanyikan puisi tersebut hingga selesai, ada interlude, reffrain (jika dibutuhkan). Hal yang tak boleh dilupakan adalah kita sedang mengacu pada puisi sehingga apapun proses musikalitas yang muncul, terutama jeda-jeda di dalam musik, harus memperhatikan kata-perkata, larik dan bait di dalam puisi. Selain itu penambahan atau pengurangan diksi sekecil apapun harus dihindari.
Setelah puisi selesai ditransformasi ke dalam musik, hal yang paling rumit biasanya terletak pada proses arransemen dengan sejumlah pemain yang berbeda skill dan latar belakang musikal. Kebutuhan arransemen sangat tergantung pada hasil “lagu”. Selain itu alat-alat musik/ instrumen juga memiliki karakteristik yang harus diperhatikan. Di dalam mengaransmen lagu dan kepentingan pementasan, biasanya terdapat tiga jenis yaitu alat musik melodis, yaitu alat musik yang digunakan untuk memainkan rangkaian nada-nada (melodi) sebuah lagu seperti pianika, flute, harmonika atau suling, Kedua, alat musik ritmis yaitu alat musik yang dalam permainannya memberikan irama (ritme) tertentu dalam suatu  pergelaran, contoh: konga, jimbe, bass, drum. Ketiga alat musik harmonis yaitu alat musik yang dalam permainannya membawa paduan nada (akor) dalam suatu pergelaran, contoh: gitar, keyboard, piano. Ketiga alat musik tersebut akan sangat bergantung sesuai dengan kebutuhan puisi dan musikalitasnya.
Jika proses pembuatan musikalisasi puisi (lagu) bisa dilakukan sendirian, tidak halnya ketika mengaransmen dan menampilkan kepada khalayak. Pada akhirnya, karena musikalisasi puisi adalah untuk dipentaskan, maka musikalisasi puisi sudah masuk pada penyajian seni berbentuk kolektif yang terdiri atas berbagai unsur dan membutuhkan kerjasama yang baik. Selain memastikan bahwa yang dipentaskan merupakan hasil jerih payah latihan yang sudah disepakati bersama, proses penghayatan/ penjiwaaan berdasarkan “pesan” dari puisi tidak bisa dianggap remeh.




[1] Penulis adalah kandidat Doktor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Bandung. Kini ia bekerja sebagai Dosen Jurusan Pendidikan Bahasan dan Seni, Universitas Sultan Agng Tirtayasa Banten dan relawan Taman Bacaan Masyarakat Rumah Dunia.