Oleh Firman Venayaksa[1]
Pendahuluan
Kebudayaan populer yang sekarang ini
menggamit kehidupan kita sehari-hari, menumbuhkan pelbagai aktivitas yang
saling terkoneksi satu sama lain. Kita sudah tak lagi banyak menyoalkan tentang
entitas sebuah kebudayaan, apakah lahir dari kebudayaan Timur atau Barat;
kebudayaan tinggi atau rendah, dan seterusnya. Semua berbaur dalam konteks yang
lebih luas akibat interaksi tersebut.
Hal tersebut terjadi juga dalam ranah kesenian.
Pada mulanya, jenis-jenis seni yang ada terkesan berdiri sendiri. Hal ini
menjadi wajar karena setiap karya seni (genre) memiliki ciri khas tersendiri.
Namun jika ditelisik lebih jauh, jenis-jenis seni yang terkesan berdiri sendiri
itu tidaklah demikian. Secara alamiah, jenis-jenis seni ini saling berinteraksi
satu sama lain dan menumbuhkan entitas yang unik. Hal tersebut terjadi karena
banyak aspek yang terjadi, mulai dari proses kreatif pencipta hingga tuntutan
di luar proses penciptaan. Misalnya musik populer yang sering didengar di
masyarakat, secara umum membutuhkan
lirik-lirik lagu dan itu bisa didapat dari bahasa-sastra. Komik sebagai
kelanjutan dari seni rupa juga membutuhkan bahasa/ sastra untuk memerkuat
proses komunikasi baik antartokoh maupun antara pencipta karya dengan pembaca.
Apa lagi ketika film sebagai seni ketujuh “ditemukan.” Film sangat membutuhkan
jenis seni lainnya, mulai dari seni rupa, seni musik, dramaturgi hingga seni
sastra. Dengan demikian, jika mengamati perkembangan kesenian dewasa ini,
proses negosiasi dan saling memengaruhi akan terus terjadi.
Untuk menjelaskan fenomena ini, ada
baiknya kita mengutip tulisan Wellek dan Waren (1993: 160) yang menghubungkan
sastra dengan seni lainnya.
“Kadang-kadang puisi mendapatkan inspirasi dari
lukisan, patung atau musik. Karya seni—seperti halnya benda dan manusia—sering
menjadi tema dan objek puisi. Hal ini sudah umum, dan tidak mengandung
permasalahan teoretis. Edmund Spencer sering meniru gambar-gambar permadani
atau pawai sejarah untuk memperkaya uraian dalam karya-karyanya. Lukisan Claude
Lorrain dan Salvatore Rosa mempengaruhi puisi-puisi alam abad ke-18.”
Kutipan di atas menjelaskan kepada kita
bahwa dalam proses kreatif membuat karya tertentu, sang kreator tak bisa lepas
dari unsur seni lainnya. Karya tersebut tidak hanya “menginspirasi” tapi bisa
juga menjadi pemantik gagasan sehingga terciptalah karya baru berdasarkan
kontak dengan karya lainnya.
Di dalam perkembangan kesusastraan,
sudah lama kita mengenal istilah-istilah yang sebermula sastra kemudian
bertransformasi ke dalam bentuk lain misalnya ekranisasi (pelayarputihan dari
novel/ cerita pendek ke dalam film), dramatisasi puisi (puisi yang dipentaskan/
dipanggungkan), dan musikalisasi puisi (puisi yang dinyanyikan/ dilagukan).
Proses semacam ini diistilahkan “alih wahana” oleh Damono. Damono (2009: 121)
menjelaskan bahwa karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan, yakni dialihkan
dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi
juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Proses alih wahana inilah yang kemudian bisa
kita pelajari dalam konteks akadmik atau justru menjadi proses mediasi untuk
memahami karya sastra itu sendiri dengan cara dan sudut pandang yang sama
sekali berbeda.
Jika kita menilik lebih dalam pada seni
tradisi kita, malah pertautan interaksi antarseni sudah tak bisa dibantah.
Sebagai contoh, kita bisa mengamati bagaimana seni wayang menjadi muara bagi musik, sastra, rupa, bahkan teater layar.
Bagi masyarakat Melayu, puisi pantun memiliki proses penyampaian dengan
intonasi lagu yang sangat khas. Bahkan jika kita mengamati lantunan Barjanzi
yang sering “diupacarakan” oleh institusi pesantren atau yang biasa kita dengar
pada ritual maulid nabi yang berkembang di masyarakat, jelaslah bahwa puisi dan musik bisa saling
beriringan satu sama lain.
Definisi Musikal(isasi)
Puisi
Musikalisasi puisi terdiri atas dua hal
yaitu musik dan puisi. Sebelum mendefinisikan lebih jauh tentang musikalisasi
puisi, ada baiknya kita mulai dengan definisi yang sudah kita pahami tentang
musik dan puisi.
Menurut Ewen musik adalah ilmu
pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dari nada-nada, baik vokal maupun
instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi dari segala
sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional (dalam Soedarsono,
1992:13).
Umumnya sebuah karya seni, ia dihadirkan
sebagai bentuk ekspresi berupa keterwakilan emosi yang dituangkan dalam bentuk
lain. Pada tahap ini, Ewen menitikberatkan pada kombinasi ritmik. Hal senada
diungkapkan Suhastjarja yang mendefinisikan musik sebagai ungkapan rasa indah
manusia dalam bentuk suatu konsep pemikiran yang bulat, dalam wujud nada-nada
atau bunyi lainnya yang mengandung ritme dan harmoni, serta mempunyai bentuk
dalam ruang waktu yang dikenal oleh diri sendiri dan manusia lain dalam
lingkungan hidupnya (dalam Soedarsono, 1992: 13).
Dua definisi musik ini sama-sama
menitikberatkan pada kombinasi ritmik dan kaitannya dengan ekspresi manusia dan
lingkungan sosialnya. Sementara itu, definisi puisi menurut Coleridge, adalah
kata-kata terindah dalam susunan terindah, juga merupakan pemikiran yang
bersifat musikal. Jadi, puisi merupakan susunan kata-kata yang indah dan
memiliki unsur musikalitas. Definisi bahwa puisi memiliki ikatan musikal
diperkuat oleh Carlyle (dalam Pradopo, 2005:6) puisi merupakan pikiran yang
musikal. Jadi, dapat dikatakan puisi merupakan bunyi yang indah dan musikal.
Setelah menempuh batasan-batasan terkait
definisi musik dan puisi barukah kita membincangkan tentang musikalisasi puisi.
Dalam hal ini, saya ingin sedikit berbagi bahwa istilah musikalisasi puisi tidak
serta-merta mewujud sebagai satu fungsi estetis dan dimaknai sebagai sesuatu
yang tunggal. Selain musikalisasi puisi, ada juga istilah lain seperti “musik
puisi” dan “lagu puisi” yang juga dipakai sebagai pengistilahan. Perdebatan istilah
ini tentu sangat menarik. Para teorisi, pengamat dan praktisi memiliki
argumennya masing-masing. Sayangnya, untuk melacak tulisan-tulisan tentang
musikalisasi puisi di Indonesia masih terbilang minim.
Buku yang khusus menjelaskan tentang
musikalisasi puisi di Indonesia terdapat di dalam buku “Musik Puisi dari
Istilah ke Aksi” yang diterbitkan oleh Lkis pada tahun 2005. Tulisan-tulisan
tersebut dimulai dari esai lepas di surat kabar Minggu Pagi di Jogjakarta yang ditulis oleh Joko Pinurbo, Halim HD,
Saut Situmorang, Mustofa W Hasyim dan lain-lain. Tentu sumbangsih semacam ini
sangat berperan dalam meredefinisi, mengkonstruksi, sekaligus melacak
perkembangan musikalisasi puisi dari sisi historis. Perdebatan umum yang bisa
disarikan dari tulisan-tulisan tersebut adalah mengenai proses penciptaan dan
bagaimana karya tersebut disajikan kepada khalayak.
Kembali pada istilah, saya hendak
memberikan sedikit argumentasi dalam menengarai persoalan ini. Menurut saya,
istilah “musik puisi” dan “lagu puisi” memiliki asosiasi yang tak jauh berbeda.
Ia hadir dalam posisi penyetaraan. Musik/ lagu dan puisi setara, sejajar dan
tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Terkait hal ini, dijelaskan oleh
Basuki dan Hasyim bahwa musikalisasi puisi adalah pengekspresian dua bentuk
karya seni, musik dan sastra (dalam hal ini: puisi) dalam satu penampilan
(2005:38). Maksudnya, dalam musikalisasi puisi terdapat dua unsur yang penting
yaitu musik dan puisi yang disajikan dalam sebuah penampilan atau pementasan.
Dalam konteks genre seni tentu hal ini
bisa dipahami. Namun jika kita sedikit mempertanyakan proses yang dilakukan,
akan ada satu genre tertentu yang seyogianya “mendahului” proses penciptaan. Sebagai
pembanding, kita bisa melihat bagaimana novel difilmkan (ekranisasi) atau puisi
yang didramakan (dramatisasi puisi). Jika lagu/ musik dulu yang pertamakali
tercipta, dan puisinya menyusul, layakkah ini disebut sebagai musikalisasi
puisi? Ataukah ini sekadar proses kreatif pencipta lagu yang sudah biasa
terjadi. Sementara, kita mahfum betul bahwa imbuhan –isasi adalah menunjukkan
makna proses. Dengan demikian, saya mendefinisikan bahwa musikalisasi puisi adalah proses alih
wahana dari puisi ke dalam bentuk musik. Pada proses ini, musik yang diciptakan
hadir dari interpretasi/ pemaknaan puisi. Definisi ini seperti juga ditegaskan
oleh Budiman (2007) bahwa musikalisasi puisi merupakan perpaduan antara musik
dengan puisi secara ajek (tetap/tidak berubah). Dalam musikalisasi
puisi-puisi yang dinyanyikan terasa menjadi lebih “hidup” dan menarik, karena
dengan kombinasi antara puisi dengan musik maka sensibilitas (kepekaan rasa)
dan pemahaman makna terhadap aspek-aspek terpenting khususnya tema-tema puisi
terbuka lebar. Permasalahan yang terkesan abstrak dari gambaran sebuah puisi
berubah menjadi klise-klise visual yang memperjelas jalan cerita
puisi-puisi itu.
Pemaknaan bahwa puisi yang mendahului
musik-pun diamini oleh Gus Martin. “Musikalisasi puisi tentu berawal dari karya
puisi. Materi puisi itu kemudian dilagukan, diberi penekanan-penekanan musikal,
dan dikemas dalam bumbu suasana sesuai isi puisi. Jika tidak melewati proses
ini, mungkin ‘kurang memenuhi syarat’ untuk disebut musikalisasi puisi” (Bali
Post, 6 Juni 2008).
Lazimnya, proses transformasi semacam
ini akan diikuti dengan beberapa fenomena seperti yang diungkapkan Benedecto
Crose dalam menganalisis a cros
literature yaitu berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), penggantian (alternation),
pengembangan (development).
Kendati masih banyak yang bisa
diperdebatkan dalam memaknai istilah ini, bagi saya musikalisasi puisi adalah
proses becoming, dengan demikian
harus ada yang tercipta terlebih dahulu sehingga tercipta sesuatu yang lain.
Namun, ketika konteks musik-puisi itu dijabarkan dalam wilayah pemanggungan/
dihadirkan untuk diapresiasi oleh khalayak, dimana musik biasanya dimunculkan
untuk mengiringi pembacaan, saya kira proses semacam ini sah-sah saja. Pada
tahun 1950-an, Radio Republik Indonesia (RRI) di Bandung, dengan garapan
“Kuntum Mekar” yaitu berupa pembacaan puisi yang dilatari musik-musik
tertentu pun pernah dilakukan. Namun,
proses kreatif semacam itu tidak dimulai dari ritual komunikasi yang baik
antarunsur (musik dan puisi). Biasanya musik instrumental yang sudah jadi
dicari padanannya dengan puisi yang hendak disajikan, atau dalam konteks
pemanggungan, si pemusik membuat ilustrasi musikal pada waktu pemanggungan
secara mendadak sehingga kesan yang ditangkap, tidak tergambar keseriusan dalam
garapannya selain menyisakan sesuatu yang mubazir.
Musikalisasi
Puisi dan Lagu
Jika kita menyimak sebuah lagu dalam
suatu waktu, tanpa mengetahui latar belakang proses penciptaannya, kita akan
kesulitan untuk mengetahui apakah ini musikalisasi puisi atau bukan.
Diksi-diksi yang dipakai dalam penyajian puisi pun menjadi kian samar untuk
melacak apakah ini puisi atau sekadar lirik lagu, karena tak sedikit lagu-lagu
sekarang dibangun oleh diksi yang baik dan diolah dengan indah dan puitis.
Maka, sebagian praktisi menilai bahwa dalam membuat musikalisasi puisi,
disarankan untuk menggunakan puisi-puisi yang sudah dikenal oleh publik. Asumsinya,
sesamar apapun puisi “Aku” karya Chairil Anwar dijadikan musikalisasi puisi,
audiens sudah mudah menebak bahwa ini adalah puisi yang dimusikkan kendati
tidak secara verbal disebut musikalisasi puisi. Pertanyaanya, seberapa kuatkah
puisi-puisi yang lahir dari para penyair dibaca dan dikenal oleh masyarakat
Indonesia? Hal inilah yang menjadi perbincangan hangat ketika merumuskan mengenai
“bahan mentah” untuk diolah dari musikalisasi puisi sebagai pembeda di antara
lagu-lagu yang dikenal oleh publik.
Di dalam proses kreatifnya, Group musik
Bimbo tidak pernah memproklamirkan diri sebagai group musikalisasi puisi
kendati lirik lagu mereka memanfaatkan puisi-puisi Taufiq Ismail dan Wing
Kardjo. Group Bimbo mengalir begitu saja dan membiarkan para audiens merespons
dari stimulasi karya-karya mereka. Di pihak lain, “keengganan” mereka memberi
cap musikalisasi puisi bisa jadi karena tak semua karya-karya mereka berasal
dari puisi, walaupun diksi lirik lagu yang diciptakannya mengandung unsur-unsur
puisi. Alasan lainnya bisa jadi karena dalam konteks industri seni, puisi sudah
diberi cap sebagai karya sastra yang rumit, penuh dengan simbol-simbol yang
sulit menyesuaikan dengan selera pasar. Terlepas dari persoalan tersebut, kita
bisa berkaca dari fenomena group musik Bimbo yang dikaitkan dengan tema besar
tulisan ini.
Sebagai group musik yang cukup terkenal
pada zamannya, saya melihat ada tiga hal yang muncul di dalam proses kreatif
mereka. Pertama, mereka menciptakan lagu-lagu yang liriknya ditulis oleh mereka sendiri. Tanpa mengesampingkan aspek
puitik, dikaitkan dengan pemilihan kata, lirik mereka cukup indah, bahkan
nyaris seperti puisi. Kedua, mereka memanfaatkan puisi sebagai lirik lagu
mereka. Artinya, dalam menciptakan lagu, puisi merupakan sumber utama dan
musik/ lagu terlahir dari interpretasi puisi. Dengan demikian, pada poin kedua
ini kita bisa menengarai bahwa mereka memainkan peran sebagai pemusikalisasi
puisi. Ketiga, fenomena yang penting untuk kita pertanyakan adalah Bimbo dalam
proses kreatifnya, sering bekerjasama dengan Taufiq Ismail sebagai seorang
penyair, untuk membuat lirik-lirik di dalam lagu mereka. Artinya, bisa jadi
mereka membuat lagu dan lirik lagu secara bersamaan atau justru lagu yang
terlebih dahulu ada kemudian ditiupkan lah ruh puitik ke dalam janin lagu
tersebut atas peran taufiq Ismail sehingga ia lahir sebagai bayi lagu yang
puitis. Sekali lagi, pada akhirnya kelak, ketika lagu tersebut lahir dan
diperkenalkan kepada publik, kita sangat sulit melacak apakah ini musikalisasi
puisi atau bukan. Namun jika meneroka poin ketiga, dengan melihat proses
kreatif yang dilakukan, saya tidak mengkategorikan gejala semacam ini sebagai
musikalisasi puisi,kendati hasil akhirnya sama. Dengan pemahaman ini, saya
menggarisbawahi bahwa musikalisasi puisi adalah (lagu) sementara lagu belum
tentu musikalisasi puisi.
Untuk lebih mengkonkretkan subtema ini,
ada baiknya kita coba membuat sedikit pemetaan terkait persamaan dan perbedaan
dan antara musikalisasi puisi dan lagu.
Kategori
|
Musikalikalisasi
Puisi
|
Lagu
|
Proses penciptaan
|
Pembuatan karya terfokus pada puisi. Puisi hadir
terlebih dahulu, baru ditransformasi ke dalam bentuk musik
|
Penciptaan karya tidak mementingkan kehadiran
lirik lagu ataukah musik terlebih dahulu. Bahkan bisa jadi antara lirik lagu
dan musik hadir bersamaan
|
Hasil Penciptaan
|
Ketika puisi dan musik sudah melebur, maka
hasilnya sama dengan lagu. Yang membedakan terdapat pada diksi puisi yang
kental dengan unsur-unsur metaforik.
|
Sebagian besar, lagu-lagu bertemakan populis
seperti tema percintaan dengan segmentasi seluas mungkin. Diksi yang
dihadirkan dalam lirik dibuat cenderung denotatif, dengan harapan bisa
diterima publik.
|
Label/ pemasaran
|
Dalam pendistribusian hasil, musikalisasi puisi
lebih sering memakai indie label dan dipasarkan di komunitas-komunitas
tertentu dengan segmentasi yang sangat terbatas. Dalam pembuatannya, proses
rekaman, mixing dan mastering sama dengan lagu.
|
Umumnya, lagu yang dibuat populer, lebih
difokuskan pada wilayah industri sehingga major label sangat berperan penting
dalam mendistribusikan hasil.
|
Dari pemetaan sederhana ini, kita bisa
melihat bahwa pada hal-hal tertentu, antara musikalisasi puisi dan lagu yang
kita pahami secara umum, memperlihatkan bahwa ada unsur persaman sekaligus
perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok adalah dari sisi proses. Lagu yang
memang diidentikan dengan pola industri sangat berbeda dengan musikalisasi
puisi yang dihadirkan sebagai hasil dari interpretasi puisi. Kendati sama-sama
berupa lagu, tradisi puisi dengan diksi, pola konotatif yang kuat, tetap
menjadi pembeda.
Proses Kreatif
dan Mengolah Ide
Pada tahun 1996, Gramedia mengeluarkan
buku kumpulan puisi hardcover
berjudul Bulan dibuai Awan dan desain
yang sangat indah. Penyair itu bernama Katon Bagaskara. Tentu nama ini lebih dikenal di dunia musik
industri hiburan, tapi jika ada yang memproklamirkan sebagai penyair dan
meluncurkan antologi puisi, siapa yang bisa melarang? Perkataan Chairil Anwar
“yang bukan penyair tidak boleh ambil bagian” sudah dianggap usang.
Kenyataannya, sebagai seorang pencipta
sekaligus penyanyi, lirik lagu yang diciptakan katon Bagaskara memang terbilang
puitis, apa lagi dengan musikalitasnya yang sudah tak diragukan lagi oleh
pencinta musik Indonesia. Coba kita cek salah satu karyanya berikut ini.
Berada di tepi keraguan
Tebing bayangmu
Sesekali luruh jua
Tercipta nelangsa
Di pucuk rerumputan
Oh…harumnya dukaku
Ditiup semilir
Sikapmu mendua
Menghitung bintang satu…satu
Sesukar meraba
Lelikuan sifatmu
Berkali diri ini terpaksa jatuh
Pada jurangnya bimbang
Dan asa yang tercecer
Sempat bertanya…
“Senyum atau merahkah kau tawarkan
Bagi jiwa dahaga ‘smara?”
Awalnya, kita menganggap Katon Bagaskara
adalah seorang pemusik dengan lirik-lirik yang puitis saja. Namun, paradigma
itu menjadi perdebatan ketika ia meluncurkan buku antologi puisi yang diambil
dari lirik-lirik lagu yang dibuatnya. Dari kemunculan itu, di dunia sastra
terjadi perdebatan. Ada yang menganggap anugerah, tak sedikit yang mencela dan
menganggap Katon sok penyair. Belum lagi perdebatan itu tuntas, hal yang
menjadi unik sekaitan dengan musikalisasi puisi, apakah karya-karya Katon
Bagaskara termasuk di dalam bagiannya dengan asumsi bahwa lagu-lagu yang kita
pahami dengan lirik puitis itu ternyata puisi? Dengan memakai definisi yang
sudah saya kemukakan beserta pelbagai argumen di atas, sebetulnya ketegorisasi
ini dengan sederhana bisa kita baca. Walaupun tak bisa kita nafikkan bahwa
fenomena semacam ini menjadi bagian yang juga unik dan penting kita telisik
lebih dalam.
Atas dasar kejadian di atas, saya ingin
sedikit menggambarkan bahwa proses kreatif seseorang dalam mengolah ide, hingga
menjadi sebuah karya, memiliki ciri khas tersendiri. Jika Katon memulai
“puisi-nya” dari lagu-lagu yang ditulis dan sudah dipahami sebagai lagu oleh audiens, maka Ebiet G Ade, secara sadar
dan memproklamirkan sedari awal, bahwa ia mengkomunikasikan puisi-puisinya
melalui bentuk musikal tanpa perlu dibukukan dalam antologi puisi. Lalu
bagaimanakah proses kreatif yang ideal dalam membuat musikalisasi puisi?
Pertanyaan ini tentu sangat subjektif dan bergantung pada siapa yang ditanya.
Latar belakang seseorang dalam membuat musikalisasi puisi-pun berbeda-beda
persis seperti proses kreatif Katon Bagaskara atau Ebiet G Ade.
Namun ada dua perangkat yang tidak bisa
kita hindari dalam membuat musikalisasi puisi bagi seorang pencipta, pertama ia
harus memiliki kepekaan musikal, termasuk memiliki skill dalam memainkan alat musik tertentu. Minimal, ia bisa
memainkan alat musik bersifat harmonis seperti gitar atau piano. Kedua, dalam
waktu yang sama, seyogianya ia adalah pembaca puisi dan menggauli puisi secara
sungguh-sungguh. Hal ini sama persis dalam proses adaptasi/ transformasi dari
novel ke dalam film, dari puisi ke drama, dan seterusnya. Jika salah satunya
pincang, maka tentu ia harus banyak belajar atas kepincangannya itu sehingga
bisa berjalan. Selayaknya mentrasformasi ke dalam bentuk apapun, kita harus
bisa menyesuaikan diri dan memahami secara jelas terkait kedua jenis seni ini.
Di dalam adaptasi novel ke dalam film
misalnya, ada beberapa pertimbangan yang dipakai oleh sutradara. Tak hanya
novel tersebut laris di pasaran sebagai alasan awal untuk menggarap filmisasi,
biasanya ia mempertimbangkan novel-novel yang memiliki pretensi visual. Sutradara
akan lebih cenderung memilih hal semacam ini untuk memudahkan proses eksekusi. Kemudian
pada tataran lain, kendati sutaradara berusaha sekuat tenaga untuk bersetia
pada teks novel, ia juga tak bisa menafikkan diri bahwa ada durasi yang harus
disesuaikan sehingga pada akhirnya, tanpa berpretensi merusak esensi novel,
sutradara terpaksa mengambil momen-momen puncak tanpa mengubah nafas novelnya. Keberhasilan
adaptasi itu bisa kita saksikan dari hasil adaptasi Ayat-Ayat Cinta karya Habiburahman el Shirazy dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Tak
jarang, karena faktor-faktor tersebut, novel yang difilmkan malah merusak
esensi novel. Ernest Hemingway, seorang penulis novel yang mendapatkan
penghargaan nobel, menolak hasil film yang dibuat oleh seorang sutradara dan ia
berani membayar kerugian dari produser filmnya.
Maksud saya, kemungkinan untuk berhasil
dan gagal total dalam membuat musikalisasi puisi juga bisa terjadi. Puisi
menampilkan gagasan melalui media bahasa sementara musik dihadirkan melalui
media suara. Dengan media yang berbeda itu, maka pencipta akan menemui
kerumitan-kerumitan tersendiri. Bisa jadi kerumitan itu menjadi tantangan, bisa
juga malah membuat frustasi. Jika dimungkinkan, idealnya pemusikalisasi puisi
melakukan komunikasi dengan penyairnya untuk meminimalisir perbedaan
interpretasi. Jika tidak mungkin dilakukan, maka sebagai pemusikalisasi, kita
dituntut untuk mendalami sungguh-sungguh dan menemukan esensi yang “tepat” dari
puisi tersebut.
Menciptakan
Musikalisasi Puisi
Untuk
menciptakan musikalisasi puisi, saya hendak menjelaskan beberapa hal penting
untuk diperhatikan.
a. Memilah dan Memahami Puisi
Apa
yang membuat kita tertarik pada puisi A dan tidak tertarik dengan puisi B?
mengapa kita memilih puisi A dan tidak puisi B untuk dimusikalisasi? Setiap
orang pasti memiliki jawaban yang berbeda. Bisa jadi tertarik dengan urusan
estetis, bisa juga karena kekaguman pemusikalisasi terhadap penyairnya, karena
unsur kedekatan, atau hal-hal lain yang bersifat temporer. Namun, pertimbangan
penting dalam memilih puisi untuk
dimusikkan salah satunya adalah urusan panjang dan pendeknya sebuah karya. Hal
ini pasti menjadi pertimbangan karena kaitannya dengan durasi. Seperti film
yang memiliki standar baku sekitar 1,5-2 jam dan bahkan 3 jam untuk film-film
India, lagu umumnya berada dikisaran 3-5 menit, sehingga bagi puisi-puisi yang
berlembar-lembar, tampaknya kita lebih memilih memusikkan puisi 5-10 baris
saja. Selain lebih “mudah”, asumsi tersebut erat kaitannya dengan tradisi
penyajian musikalisasi puisi yang biasanya dilakukan berkelompok (grouping).
Untuk menciptakan puisi menjadi lagu, mungkin bisa diselesaikan oleh satu
orang. Namun ketika hendak mengaransmen dan mementaskan, lazimnya pentas musik,
kita akan didukung oleh banyak personil, sehingga musikalisasi puisi yang sudah
berbentuk lagu itu harus ditransformasi kepada orang-orang lain yang terlibat.
Besar kemungkinan, semakin panjang durasi musikalisasi puisi, semakin lebar
juga proses yang harus dijalani dan jelas menguras waktu.
Pertimbangan
selanjutnya setelah memastikan sebuah puisi yang hendak dimusikalisasi adalah
membuka lebar-lebar kemungkinan-kemungkinan pemaknaan. Kita tahu bahwa puisi
memiliki sifat interpretative, tidak ada makna tunggal dalam puisi. Ada baiknya
puisi tersebut dibedah secara serius dengan pendekatan semiotik misalnya, untuk
membongkar tanda-tanda secara mendalam dan menemukan hakikat puisi itu,
b. Menyelaraskan Ragam Menemukan Tempo
Pada dasarnya, puisi, seperti
lazimnya musik, memiliki ragam-ragamnya, misalnya puisi epik, naratif, lirik, dramatik, didaktik, satirik, romance, elegi,
ode, dan himne. Di pihak lain, musik juga memiliki ragam-ragamnya seperti rock,
pop, klasik, blues, latin, balada, tradisional, bahkan dangdut. Dengan
mengetahui ragam-ragam puisi dan musik, kita bisa saja memadukan kecenderungan
kedekatan nuansanya. Musikalisasi puisi yang diciptakan oleh Ari Malibu dengan
mengambil puisi-puisi Sapardi Djoko Damono terkesan “sempurna” karena ada dua
kategorisasi yang sepadan; puisi Sapardi adalah puisi liris, tenang dan penuh
kedalaman, dihadirkan oleh Ari Malibu dengan musik yang sederhana, melodi yang
umumnya lambat dan pemilahan aliran musik balada romantik yang syahdu.
Disitulah frekuensi nada mereka bertemu. Situasi ini terjadi juga pada group
musik Kantata yang memusikalisasi puisi-puisi Rendra. Puisi Rendra adalah puisi
protes, puisi keras, puisi yang sarat dengan pemberontakkan. Wajar jika di
dalam puisi TKW, Kantata mengadaptasi ke dalam aliran rock yang keras,
menghentak dan dinamis. Sapardi yang juga dikenal dengan “puisi kamar” dan
Rendra sebagai perwakilan “puisi mimbar” tentu memiliki perbedaan karakteristik
baik dari sisi penyempaian pesan maupun olah-diksi. Dalam hal ini, bagi
pemusikalisasi, kita bisa membuat rumusan bahwa jika mendapatkan puisi kamar
maka dalam mentransformasi ke dalam bentuk musik, akan mengambil tempo lambat.
Sebaliknya, jika bertemu dengan puisi mimbar,maka kemungkinan besar bisa
dieksekusi dengan tempo yang cepat. Tentu eksekusi ini bukanlah rumusan seperti
matematika yang kaku, karena pada karya-karya tertentu, bisa saja puisi liris
bermuatan protes dan puisi protes dilakukan dengan liris. Pada teks semacam ini
kita harus memaknai lebih dalam sebelum memutuskan.
c. Selera Musik dan Maksud Puisi
Umumnya, setiap kita memiliki selera musik yang
berbeda. Seperti juga memilih selera pada urusan lain, itu adalah anugerah yang
menarik. Pada kenyataannya, selera musik bahkan kadang-kadang menjadi sangat
ideologis dan membuat sebagian menjadi fanatik. Ia tidak hanya selesai pada
urusan menyenangi atau membenci, tapi juga menjadi bagian hidup. Seseorang yang
mentasbihkan dirinya sebagai rocker misalnya,
mudah dikenali dengan perangkat-perangkat/ aksesoris yang melekat di tubuhnya
seperti bercelana jeans, gondrong, dan seterusnya. Penyanyi dangdut—walau sudah
sering direkonstruksi—tetap saja image
yang muncul adalah berpakaian warna-warni, cerah, dan mungkin seksi. Imbas lain
yang harus diwaspadai adalah ketika kita mencoba untuk memusikalisasikan puisi.
Kccenderungan selera musik inilah yang mengakibatkan keseragaman di dalam
mentransformasi puisi ke dalam musik. Puisi seolah menjadi tidak penting dan
hanya selesai pada urusan aksesoris, tanpa membaca kembali maksud puisi.
Ada baiknya ketika mendalami puisi, kita lupakan
dulu perangkat selera musik itu. Untuk pembelajaran, ada baiknya kita memilih
puisi-puisi yang kontras satu sama lain, lalu mencoba mendekati dengan ragam musik
yang berbeda pula.
d. Proses Menciptakan Musikalisasi Puisi
Struktur pembuatan musikalisasi puisi
pada intinya adalah memakai struktur membuat lagu pada umumnya. Standarnya dimulai
dari intro, kemudian menyanyikan puisi tersebut hingga selesai, ada interlude,
reffrain (jika dibutuhkan). Hal yang tak boleh dilupakan adalah kita sedang
mengacu pada puisi sehingga apapun proses musikalitas yang muncul, terutama
jeda-jeda di dalam musik, harus memperhatikan kata-perkata, larik dan bait di
dalam puisi. Selain itu penambahan atau pengurangan diksi sekecil apapun harus
dihindari.
Setelah puisi selesai ditransformasi ke
dalam musik, hal yang paling rumit biasanya terletak pada proses arransemen
dengan sejumlah pemain yang berbeda skill
dan latar belakang musikal. Kebutuhan arransemen sangat tergantung pada hasil
“lagu”. Selain itu alat-alat musik/ instrumen juga memiliki karakteristik yang
harus diperhatikan. Di dalam mengaransmen lagu dan kepentingan pementasan,
biasanya terdapat tiga jenis yaitu alat musik melodis, yaitu alat musik yang
digunakan untuk memainkan rangkaian nada-nada (melodi) sebuah lagu seperti
pianika, flute, harmonika atau suling, Kedua, alat musik ritmis yaitu alat
musik yang dalam permainannya memberikan irama (ritme) tertentu dalam
suatu pergelaran, contoh: konga, jimbe,
bass, drum. Ketiga alat musik harmonis yaitu alat musik yang dalam permainannya
membawa paduan nada (akor) dalam suatu pergelaran, contoh: gitar, keyboard,
piano. Ketiga alat musik tersebut akan sangat bergantung sesuai dengan
kebutuhan puisi dan musikalitasnya.
Jika proses pembuatan musikalisasi puisi
(lagu) bisa dilakukan sendirian, tidak halnya ketika mengaransmen dan
menampilkan kepada khalayak. Pada akhirnya, karena musikalisasi puisi adalah
untuk dipentaskan, maka musikalisasi puisi sudah masuk pada penyajian seni
berbentuk kolektif yang terdiri atas berbagai unsur dan membutuhkan kerjasama
yang baik. Selain memastikan bahwa yang dipentaskan merupakan hasil jerih payah
latihan yang sudah disepakati bersama, proses penghayatan/ penjiwaaan
berdasarkan “pesan” dari puisi tidak bisa dianggap remeh.
[1] Penulis adalah kandidat
Doktor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Bandung. Kini ia bekerja
sebagai Dosen Jurusan Pendidikan Bahasan dan Seni, Universitas Sultan Agng
Tirtayasa Banten dan relawan Taman Bacaan Masyarakat Rumah Dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar