Minggu, 07 Desember 2014

BALADA DAN NARASI

BALADA DAN NARASI [i]
Oleh Firman Venayaksa[ii]

Sebelum masuk pada ruang pembahasan mengenai balada, saya ingin sedikit ngalor ngidul mengenai pengamatan baru saya dalam dunia perbatuan (gemstone). Seperti yang kita ketahui, sekarang ini banyak yang terkena demam batu. Di perempatan pasar Royal kota Serang, lebih dari 30 tukang batu berjejer di depan toko yang bersampingan dengan tukang sol sepatu. Mulai dari pukul 08.00 aktivitas menjual sekaligus menggosok batu dimulai dan berakhir pada pukul delapan malam. Para pencinta batu yang hadir itu begitu setia dan bisa berlama-lama memandangi benda mati itu. Golongan sosial mulai dari tukang becak, PNS hingga kalangan ataspun berkumpul menjadi satu. Tak lupa mereka membawa senter untuk mengetes keindahan batu. Jika mereka suka dengan sebuah batu, mereka rela mengeluarkan ratusan bahkan jutaan rupiah.
Awalnya saya cukup kaget melihat situasi semacam ini. Mengapa sebongkah batu bisa menghipnotis mereka? Ada dua hal yang membuat mereka jatuh cinta pada batu. Pertama, adalah nilai estetisnya. Setiap batu memiliki karakteristik keindahan tersendiri; guratan-guratan dan warna tiap batu memberikan dampak yang berbeda bagi para pencinta batu. Mulai dari kalimaya Banten, Jamrud dan Kecubung Martapura, Giok Aceh, Red Baron Pacitan, Hijau Garut hingga batu bacan Ternate yang kini sedang naik daun karena pernah dipakai oleh Obama menjadi etalase yang cukup menghibur. Hal kedua yang menjadi bagian menarik adalah mengenai narasi yang hadir dibalik kehadiran batu-batu tersebut. Mereka bisa berlama-lama bergosip tentang dunia perbatuan karena menikmati sejumlah narasi dari batu-batu itu. Misalnya ada batu yang bisa menambah karisma, enteng jodoh, mudah mendapat rejeki dan sebagainya. Belum lagi jika batu-batu yang didiskusikan itu didapat dari tempat-tempat gaib dan keramat. Tentu pada bagian yang agak berbau kelenik ini tak semua menyepakati, namun seperti yang terjadi di Pasar Royal, narasi semacam itu merupakan bagian lain dari dunia perbatuan.
Berdasarkan cerita di atas, saya ingin mengiatkan antara dunia batu dengan dunia balada walau terkesan sedikit dipaksakan. Seperti kesenian pada umumnya, balada adalah jenis kesenian yang juga mengandung dua hal itu, pertama adalah persoalan estetika dan kedua adalah wilayah narasi.
Memahami balada (baik musik ataupun puisi) adalah memanfaatkan karakteristik manusia sebagai makhluk pengabar/ pencerita. Bahkan pada konteks asumsi yang lebih luas, terutama pada ruang lingkup masyarakat yang lebih menonjol sisi oralitasnya, manusia lebih terbujuk pada cerita yang bagus dibandingkan dengan argumen yang baik. Selain itu kelebihan bernarasi tidak hanya berpretensi mengajak orang untuk sekadar berlogika semata, bernarasi mengajak untuk melihat dan merasakan. Maka wajar jika akhirnya, pada aliran balada, yang sering dipresentasikan oleh pemusik atau penyair adalah memberikan sebuah kesaksian pada karya-karyanya. Mereka mencoba menjadi artikulator dari fenomena kesehariannya.
Pada metode narasi seperti yang terungkap di dalam aliran balada setidaknya ada dua hal yang penting untuk digarisbawahi. Pertama, membantu menegaskan sejarah dari kesadaran manusia sebagai makhluk kolektif. Kedua, dari sisi individual, cerita adalah cerminan pribadi/ personal tiap orang.
Di Indonesia, penyair yang lebih fokus pada aliran balada salah satunya adalah WS Rendra. Mulai dari Balada orang-orang Tercinta, hingga Orang-orang Rangkasbitung sangat kental mengusung ruang naratif. Hal ini membuat Rendra atau yang dikenal sebagai Si Burung Merak, lebih mudah untuk mentransformasikan gagasannya kepada khalayak. Dengan bernarasi (bercerita) karya-karyanya bisa mewakili keadaan sosial pada waktu tertentu dan dengan demikian, Rendra telah berhasil menjadikan karya-karyanya sebagai world view.
Di wilayah musik balada, hal ini juga tercermin pada karya-karya Iwan Fals yang memberi kesaksian sekaligus kritik mengenai ketimpangan sosial. Keberanian Iwan Fals untuk menyindir “wakil rakyat” di dalam lagunya telah memberikan nafas segar dalam perkembangan musik balada di Indonesia terutama dari sisi tematik. Berbeda dengan Iwan, pemusik lain seperti Ebiet G Ade menambahkan ruang meditatif di dalam karya baladanya. Proses perenungan dengan sentuhan puitik memunculkan kelikatan alienasi tersendiri bagi pencinta musik balada di Tanah Air. Konsistensi lain yang tak kalah serius tentu ada pada Ully Sigar Rusady dengan tema-tema sosial dan lingkungan.
Jadi, dengan mengabsen sedikit nama-nama yang konsisten pada aliran balada, kita bisa melihat bagaimana aliran ini menyuguhkan variasi tematik di dalam karya-karyanya dan disinilah kepentingan dari ruang naratif tersebut. Jika kita bandingkan dengan industri musik sekarang, kita bisa merasakan begitu monotonnya tema yang diusung. Tentu tema cinta sangat universal, namun dengan “memenjarakan” diri pada cinta platonik nampaknya akan menumbuhkan kejengahan tersendiri, sementara di sekeliling kita begitu banyak persoalan yang harus menjadi kesaksian para seniman melalui karya-karyanya. Pada konteks ini, balada memberikan alternatif yang lebih luas untuk dijelajah.
Selain itu karakteristik balada yang naratif juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai tertentu. Hal ini senada dengan pemikiran yang dilontarkan oleh ahli filsafat pendidikan seperti John Dewey bahwa cerita adalah sarana yang sangat penting di dalam pembentukan cara berpikir dan karakter manusia.
Intinya, saya sangat menyambut dengan penuh antusias atas didirikannya Rumah Balada Indonesia di Banten ini. Setidaknya RBI bisa menjadi sarana alternatif bagi para pencinta balada dengan menyuguhkan ruang-ruang lain dan menjadi penyeimbang dari aliran musik yang telah ada.

  


[i] Disampaikan pada seminar balada di ex pendopo gubernuran Banten, 24 November 2014

[ii] Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jumat, 05 September 2014

CATATAN PERJALANAN LITERASI DI SULAWESI TENGAH


Oleh Firman Venayaksa

Pada tanggal 2 September 2014, bertepatan dengan pertamakali saya dilahirkan ke dunia ini, saya diamanahi oleh Kemdibud untuk melakukan visitasi ke Perpustakaan Mini Nemu Buku di Palu, Sulawesi Tengah. Nemu Buku adalah komunitas literasi yang dibidani oleh Neni Muhidin, seorang sastrawan Palu. Pada tahun ini, Nemu Buku menjadi salah satu kandidat/ nominator untuk mendapatkan penghargaan “TBM Kreatif Rekreatif” Dari Mendikbud.


Begitu mendarat di Bandara Mutiara, saya langsung diajak oleh Neni ke komunitasnya. Saya cukup terkejut melihat kegiatan Nemu Buku. Mereka tidak hanya mengurusi urusan buku saja. Sebagai Taman Bacaan yang lahir dari komunitas, Nemu Buku adalah ruang publik yang terdiri atas begitu banyak komunitas. Di sana ada komunitas film, perupa, Koalisi Pemuda Hijau, Palu Fixie (komunitas sepeda), Palu Menulis, Program Pengembangan Kota Hijau dan lain-lain. Dengan seabreg kegiatan, mereka diskusi banyak hal. Saya cukup beruntung karena langsung melihat kesibukan mereka berdiskusi hingga larut malam. Sekitar pukul 01.30, sebelum istirahat di penginapan, saya ditemani Mirwan, pencinta fotografi, untuk memotret jembatan “M” yang menjadi salah satu ikon di Palu.

Esok hari, saya bersama Neni mendatangi Dinas Pendidikan Provinsi Sulteng. Di sana saya bertemu dengan Kabid PNFI, Dr. Hatijah Yahya. Kami berdiskusi banyak hal mengenai dunia literasi. Sebagai orang Palu yang mengerti mengenai peta TBM di wilayah itu, Neni sedikit bersitegang dengan Hatijah. Neni protes kepadanya karena selama ini TBM dianaktirikan oleh Dinas Pendidikan. “Ibu itu jangan hanya mengurusi Paud. Paud itu penting, tapi TBM tak kalah penting. Coba ibu lihat, ada berapa TBM di tempat kita?” Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya Hatijah siap mendukung keberadaan Forum TBM di Sulteng dan siap membantu sesuai dengan kapasitasnya.

Setelah pamitan dan menikmati kopi disebuah warung kopi, saya diajak Neni menunjungi sebuah TBM yang berada di tempat kursus. TBM itu pernah mendapatkan dana bantuan. Tapi setelah melihat ke lokasi, saya kesal sekali. TBM tertutup rapat. Buku-buku nyaris tak ada. Saya dan neni hanya bisa melihat dari luar. Cukup mengenaskan.


Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Neni. Sepertinya pikirannya sedang berkecamuk; antara kesal, marah tetapi di sisi lain dia ingin agar gerakan literasi di Sulawesi Tengah berkembang. Dengan dibonceng sepeda motornya, saya ikuti keinginan Neni untuk bertemu dengan siapapun. Sampai akhirnya saya diajak ke sebuah rumah no 28 yang sedang direnovasi. “Nah, saya mau ngajak kamu bertemu orang gila,” ucapnya.
Namanya Rahmat Saleh. Dia adalah dosen arsitektur di Universitas Tadulako. Ketika masuk rumahnya yang acak-acakan, saya tahu ada “kegilaan” di tempat ini. Ratusan buku-buku numpuk di belakang.



“Mohon maaf Mas Firman. Saya sedang renovasi. Saya sedang memperbesar Taman Bacaan di depan.” Ucapnya sambil menyediakan air putih dengan es dari kulkas. Siang hari, Palu memang terasa terik. Neni sampai membuka kaosnya. Namun diskusi dengan Rachmat Saleh membuat saya bersemangat. “Bahkan…” lanjutnya, “saya punya koleksi lengkap Gol A Gong. Saya mulai membaca tulisan dia sejak majalah HAI masih 600 perak” kenangnya. Dia memang pencinta berat novel Balada Si Roy. Generasi pembaca Si Roy memang menyebar di mana-mana.

Mengenai komunitas 28, Rachmat sengaja memfokuskan pada buku-buku arsitektur. “tentu dilengkapi juga dengan novel-novel dan buku kebudayaan,” tambahnya. Sebagai seorang dosen, dia memiliki hasrat agar para mahasiswanya bisa banyak membaca buku.

Sekitar pukul 14.00, teman kerja Rachmat Saleh di Jurusan Arsitektur, Untad, bernama Zubair, mendatangi tempat itu. Saya betul-betul tidak tahu apa yang akan mereka rencanakan dan hendak pergi kemana. Mungkin disitulah keakraban sesama relawan literasi, walau baru pertama kali bertemu. Kamipun pergi dari rumah Rachmat Saleh yang lebih akrab dipanggil Ai itu.

Ternyata saya diajak ke Donggala bertemu Jamrin Abu Bakar, relawan literasi yang juga bekerja sebagai penulis. Perjalanan dari Palu menuju Donggala di tempuh sekitar 45 menit. Saya berjumpa dengan gunung dan lautan. Sambil ngobrol, kamera saya pasang dan menemukan fokusnya. Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah makan yang menjorok ke tepi pantai. Jamrinpun datang. Sambil makan siang kami ngobrol ngalor ngidul mendiskusikan banyak hal.

Setelah 30 menitan, kami mendatangi rumah Jamrin di Donggala. Di dalam peta sejarah, dulu Donggala sangat terkenal dengan pelabuhan dan penghasil Kopra. Donggala adalah salah satu pusat peradaban di Sulawesi. Artefak-artefak sejarah berupa bangunan zaman kolonial masih terlihat walaupun sudah banyak yang tidak terurus.  Sambil menjelajahi Donggala, Zubair sedikit berkelakar bahwa dulu bau Kopra menjadi ciri khas tempat ini. Lalu kamipun berhenti di pantai Tanjung Karang dan menikmati keindahannya.




Malam hari, setelah mengelilingi keindahan Donggala, saya dan Neni di drop oleh Rachmat dan Zubair di Nemu buku. Ternyata sudah ada puluhan relawan di sana menunggu kedatangan kami. Semakin malam, orang-orang kian bertambah. 


Mereka berasal dari pelbagai latar belakang, mulai dari aktivis lingkungan hidup, pencinta literasi, fotografer, penulis, bahkan relawan tuna rungu. 




Saya didaulat oleh Neni menjelaskan mengenai gerakan literasi di Indonesia sekaligus menjelaskan maksud kedatangan saya. Mereka merespons cukup baik dan bersepakat bahwa Forum Taman Bacaan Masyarakat di Sulawesi Tengah yang dikomandani oleh Neni Muhidin akan menjadi wadah sekaligus ruang jejaring bagi komunitas literasi di Sulteng.  

Tanah Air, 2014


Senin, 01 September 2014

DUH...UNTIRTA


1 September pukul 07.30 saya sudah di kampus. Lazimnya dosen, acuan standar yang dipakai adalah kalender akademik. Di luar gedung, saya bertemu dengan Dr. Muhyi Mohas, dosen Fakultas Hukum. Kamipun berbincang sebentar dan merespons sampah-sampah yang berhamburan di tempat parkiran. Setelah itu kami masuk kelas. Saya langsung menuju lantai 4. Namun ketika sampai di depan kelas, pintu terkunci. Saya tanya salah seorang mahasiswa yang ada di lorong kelas. "Memangnya belum masuk?" Mahasiswa Baru itu juga tidak mengerti. "Kalau dijadwal akademik harusnya sih sudah masuk." Diapun kebingungan. Saya telepon staf Prodi dan menanyakan persoalan ini. "Iya, Pak. Ada perubahan waktu. Perkuliahan mulai minggu depan." kata Mumu di ujung telepon. "Apa masalahnya?" saya kejar pertanyaan. "Saya juga kurang tahu. Mungkin karena Prodi baru itu, Pak. Jadi FKIP belum siap."

Tak banyak bicara, saya langsung keluar gedung. Dari kejauhan saya melihat Dekan FISIP menuju gedung B lengkap dengan jas almamater. Di belakangnya ada beberapa dosen. "Mau kemana nih?" tanya saya. "Di FISIP kegiatan akademik sudah di mulai. Sekarang ada kuliah umum di auditorium," kata Roni, dosen FISIP. Lalu saya "melarikan diri" ke UKM Kafe Ide sambil mengerjakan beberapa tulisan. Saya melihat Hendrik dan beberapa penjaga kantin yang sibuk seperti biasa. 5 menit kemudian ada Tio. Saya lupa pekerjaannya di rektorat. Kalau tidak salah dia Kabag Umum dan Perlengkapan. "Pak Tio, kalender akademik berubah ya?" Dia cuek menjawab pertanyaan saya. "Wah, kurang tahu, itu bukan urusan saya Pak. Itu urusan Warek 1," ucapnya. Saya agak kesal mendengar jawabannya. Kemudian saya lihat sampah-sampah yang menumpuk di samping. "Nah, itu tuh kerjaanmu. Kok bisa sampah menumpuk seperti itu." Dia diam saja dan agak sedikit komat kamtik nggak jelas. Mungkin dia sedang melantunkan surat jangjawokan agak tidak kena semprot. "Drik..." Saya berteriak kepada salah seorang penjaga kebersihan yang pekerja keras itu. "Coba kamu tanya sama Pak Tio, mau dikemanakan sampah bawaanmu itu." Hendrik yang pernah saya kasih beberapa buku itu hanya tersenyum sambil mendatangi saya. "Pak, lebih baik bapak aja yang ngomong. Kalau saya pasti kalah berargumen," katanya.

Entah karena Tio kesal melihat saya dan Hendrik ngobrol, diapun setengah memarahi Hendrik. "Kamu kalau nyapu jangan pakai tangan, pakai sapu!" Hardiknya. Hendrik tak mau kalah sewot. Padahal Tio adalah atasannya. "Iya Pak saya tahu kalau nyapu pakai sapu. Saya lagi ngurusi sampah di depan pos Satpam dulu," ucapnya sambil berlalu, begitupun Tio.

Pukul 08.47 barulah mobil kebersihan datang membawa sampah yang menggunung.

Saya tidak tahu kenapa di kampus semua begitu terlambat? Padahal banyak hal yang bisa dilakukan di waktu-waktu yang tepat. Ketika menulis tulisan semacam inipun, saya sering dianggap sebagai biang masalah. Saya terlalu banyak ngomong dan terlalu banyak mengkritik kampus kata mereka. Saya jadi meng-iya-kan pernyataan kelakar Tio (aktivis mesjid kampus--namanya sama dengan Kabag) yang melintas di depan saya ketika menulis ini. "Pak, ibadah mah cuman solat, ngajar di Untirta mah nggak perlu serius..." hehehe....ya begitulah. Saya harus belajar untuk men-down grade urusan komitmen dan akademik saya, walau sulit saya lakukan. Tentu persoalannya sederhana. Karena saya terlalu mencintai kampus ini dan itulah takdir yang harus saya lumat setiap hari.

Minggu, 17 Agustus 2014

SITI BAGJA MUAWANAH: SANG PEMBANTU YANG CUM LAUDE


Ada celah bagi dosen yang tak bisa mengelak untuk tak mengenal mahasiswanya yaitu “mahasiswa ekstrim(is)”. Mahasiswa ekstrim ini terbagi atas dua kutub, negatif dan positif. Misalnya, dosen pasti akan mengenal mahasiswa paling cerdas karena ia aktif di kelas, aktif sebagai organisatoris, sering bertanya atau aktif menyanggah dosen; memiliki aktivitas akademik yang di atas rata-rata dan ia akan menghubungi dosennya jika jarang masuk ke kelas dan ia tak segan untuk protes jika nilainya jatuh karena sebab yang tak masuk akal. Inilah yang saya sebut mahasiswa ekstrim positif. Kutub lain yang juga tak lepas dari  perhatian dosen adalah mahasiswa yang malas masuk kelas, sering terlambat memasukkan tugas lalu tiba-tiba saja ia ingin ikut Ujian Akhir Semester. Tentu hal ini mudah dideteksi sebagai obrolan hangat dosen-dosen karena setiap dipresensi, ia tak pernah ada. Jika nilainya jelek, dia ngotot ingin perbaikan. Begitulah mahasiswa ekstrim negatif. Dua kutub ini akan mudah dikenal karena keekstrimannya.

Setiap tahun, saya mengajar ratusan orang. Seperti dosen pada umumnya, sudah bisa dipastikan, saya tak mungkin mengenal semua mahasiswa yang ada di kelas, kecuali ia tersubstitusi sebagai mahasiswa ekstrim yang saya jelaskan di atas. Ada satu mahasiswa yang saya sebut sebagai mahasiswa ekstrim dengan citarasa yang berbeda. Nilainya bagus-bagus, aktif berdiskusi, namun setelah selesai di kelas, ia seakan-akan raib dari hiruk pikuk mahasiswa. Setelah saya telusuri, barulah saya tahu bahwa ia harus segera pulang karena ia memiliki predikat sebagai Pembantu Rumah Tangga.

Namanya Siti Bagja Muawanah, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Untirta. Ia berasal dari kampung Kuluk Leugeut, Ciomas. Ibunya(Askamah) meninggal ketika melahirkan anak ke-7, ketika Bagja menginjak semester empat. Bapaknya bernama Jamsuni (51 tahun) hanya tukang bersih-bersih di sekolah. Ketika ibunya meninggal, Bagja benar-benar terpukul. Apa lagi melihat saudara-saudaranya yang juga harus sekolah. Namun di sisi lain, ia tak bisa berdiam diri. Demi melanjutkan hidupnya dan kehendak yang begitu besar ingin menyelesaikan kuliahnya, ia memutuskan untuk menjadi pembantu Rumah Tangga di kota Serang. Keputusannya diambil untuk memangkas jarak dengan kampus. Jika ia bolak balik ke dari kampus ke kampungnya bisa menghabiskan 34 ribu rupiah/ hari.

Lalu iapun bertemu dengan sebuah keluarga  di komplek Ciceri Indah yang berbaik hati "menampung" dirinya. Bagja siap untuk menjadi Pembantu Rumah Tangga di sela-sela waktu senggangnya berkuliah. Yang penting ia punya kamar untuk tidur dan makan. Itu saja sudah cukup, pikirnya. 

Begitulah yang dilakukan Bagja setiap hari, kuliah dan bekerja. Ia melakukannya hingga 2,5 tahun. Cukup lama? Bisa jadi. Bahkan sebetulnya Bagja mencoba untuk bekerja sambil kuliah seperti teman-temannya yang lain. Dia pernah melamar di BTPN Syariah dan diterima. Namun ketika hendak bekerja, Bank tersebut meminta Bagja untuk cuti satu semester dan Bagja menolaknya. Ia tak mau urusan pekerjaan menggangu kuliahnya. Ia sudah bertekad ingin menyelesaikan kuliahnya secepat yang ia bisa. Di akhir semester tujuh, ia terpaksa menjual kebunnya untuk menyelesaikan kuliahnya. Akhirnya di pertengahan bulan Agustus, Bagja berhasil menyelesaikan kuliahnya selama empat tahun dengan predikat Cum Laude, sebuah capaian prestasi akademik yang cukup membanggakan.


Mahasiswa seperti Siti Bagja Muawanah memang ada, tapi mahasiswa semacam ini tenggelam oleh hiruk pikuk mahasiswa kebanyakan. Saya yakin banyak siti-siti lainnya yang perih hidupnya tapi memiliki kemauan keras. Selamat atas prestasimu Siti Bagja Muawanah. Ingat, perjuangan belum selesai. Belum apa-apa.

Minggu, 10 Agustus 2014

MAHASISWA DAN MAHABHARATA


Di sebuah stasiun televisi swasta, ada film serial dari India yang kini disukai pemirsa Indonesia, Mahabharata. Sebagai bagian dari massa popular, sayapun ikut gandrung dan mengikuti serial tersebut. Bahkan ketika menulis artikel ini, saya baru menulis setelah menonton film itu. Lantas, saya mulai berpikir untuk mengaitkan antara film Mahabharata dengan Mahasiswa yang kebetulan dua-duanya dimulai dari kata “-maha.”
Mahabharata sering dikait-kaitkan dengan sejarah epik India. Masyarakat begitu percaya bahwa cerita pertempuran antara Pandawa dan Kurawa itu benar-benar terjadi. Padahal jika kita kembali pada ruang literer, sebetulnya cerita tersebut tidak akan bersemayam di dalam pikiran masyarakat jika tidak ada campur tangan dari seorang begawan sastra bernama Vyasa. Dialah yang melakukan konstruksi sehingga wiracarita itu seakan-akan terjadi bahkan menjadi referensi cermin kehidupan sosio-kultural. Lantas apakah salah jika kita bercermin pada wiracerita? Tentu tidak. Bahkan banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari kejadian di dalam cerita Mahabharata.
Sekiatan dengan pendidikan, saya jadi teringat bagaimana tokoh mahaguru Drona harus menjadi guru yang baik bagi Kurawa dan Pandawa. Ia mengajari dengan tekun dan tidak membeda-bedakan. Namun, seiring berjalannya waktu, tidak semua siswa bisa mencerna pelajaran sang guru. Disinilah ruang alamiah berperan.  Sebagai guru yang juga manusia biasa, Drona akhirnya lebih mencintai Arjuna dibanding yang lain karena dia adalah siswa yang paling pintar dan giat belajar. Ilmu yang diberikan Drona dengan cepat dipahaminya. Arjuna telah menjadi ikon bagi kesuksesan Drona menjadi guru. Bahkan ketika “keguruannya” terancam dengan kehadiran tokoh Ekalaya, seorang anak biasa yang mampu memanah selevel Arjuna, Drona meminta kepada Ekalaya untuk memotong jarinya. “Jika kau ingin berguru kepadaku, maka kau harus berani memotong jarimu.” Ucap Drona. Di dalam epik Mahabharata, diketahui bahwa Ekalaya berguru melalui patung kepada Drona dan ia merasa bahwa Dronalah yang mengajarinya ilmu memanah. Tanpa berpikir panjang, Ekalaya dengan ketulusannya memotong jarinya sebagai tanda keikhlasan kepada sang guru. Padahal ini adalah akal-akalan Drona agar Arjuna tidak memiliki saingan. Dengan kehilangan jarinya, Ekalaya sudah tidak bisa lagi penjadi pemanah.
Hal lain yang bisa kita pelajari dari cerita Mahabharata yang dikaitkan dengan dunia pendidikan adalah mengenai kegigihan tokoh Karna yang berasal dari kasta Sudra. Di dalam wiracarita, yang dibolehkan untuk belajar ilmu perang harus berasal dari kasta Ksatria dan Brahmana. Kasta Sudra yang disandang Karna ditolak mentah-mentah oleh banyak guru. Namun dengan keseriusannya belajar, akhirnya Karna berpura-pura sebagai keturunan Brahmana. Akhirnya ia berbohong kepada Parasurama, guru dari Bhisma dan Drona. Ia pun mendapatkan ilmu memanah yang luar biasa dari Parasurama. Dari proses berguru inilah Karna bisa menyamai level Arjuna. Di dalam perang di Kurusetra antara Arjuna dan Karna diceritakan bahwa tidak ada yang memanangkannya. Adapun kematian Karna terjadi karena ulah Arjuna memanah dari belakang ketika Karna sedang tidak siap karena sedang memperbaiki roda keretanya.
Lantas, apa kaitannya dengan dunia mahasiswa? Jika kita konstruksi dari makna kata, bisa kita ambil simpulan bahwa mahasiswa tentu berbeda dengan level siswa. Dengan diberi kata “maha” maka mahasiswa diposisikan lebih (paling) dari siswa biasa. Ada banyak keistimewaan menjadi mahasiswa. Hal yang paling mudah terihat adalah dari segi berpakaian yang tidak berseragam seperti ketika di SMA. Tentu ini tidak esensial. Namun setidaknya dari urusan ini saja, ada ruang previllage yang didapatkan. Sebagai mahasiswa, Anda dibolehkan untuk berekspresi sesuai dengan fashion yang Anda inginkan. Keseragaman berubah menjadi keberagaman. Hal ini sesuai dengan makan dari lingkungan akademik yang sangat menghormati perbedaan cara pandang.
Keistimewaan yang paling hakiki dari mahasiswa adalah kesadaran untuk menimba ilmu dan pengalaman hidup. Mahasiswa memiliki strata sosial yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya. Pada peralihan orde di masa lampau, mahasiswa menjadi avant-garde di dalam menyuarakan perubahan-perubahan. Mereka berani untuk menentang tirani ketika kekuasaan menjadi rezim otoritarian. Dengan strata sosial tersebut, mahasiswa lebih mudah untuk didengar suaranya dibandingkan dengan elemen lain di masyarakat. Di sisi lain, mahasiswa yang notabene berusia relatif muda adalah tulang punggung bangsa. Hanya rezim bodohlah yang merasa terancam oleh suara-suara mahasiswa
Jika dikaitkan dengan wiracarita Mahabharata, ketiga tokoh yang saya presensi di atas (Arjuna, Ekalaya dan Karna) bisa menjadi bahan pertimbangan pilihan akan menjadi “mahasiswa” semacam apa. Tokoh Arjuna saya ibaratkan sebagai mahasiswa yang patuh, tertib dan gandrung dengan ilmu pengetahuan. Penghormatan terhadap guru yang mengakibatkan dirinya dikenal sebagai sosok pemanah yang sangat hebat. Walaupun di sisi lain, ada latar belakang keuntungan dari Arjuna yaitu ia telah diposisikan sebagai keturunan bangsawan. Asal mula ini pulalah yang membuat Drona mau mengajar Arjuna dan saudara-saudaranya.
Hal ini berbeda sekali dengan Ekalaya. Dalam konteks pendidikan, ia tidak belajar langsung pada sang guru. Ia belajar memanah secara otodidak. Jenis mahasiswa semacam ini tentu tidak bisa dianggap sebelah mata. Jika saya korelasikan dengan mahasiswa sekarang, maka ia diposisikan sebagai orang yang senang melahap banyak ilmu pengetahuan dimanapun, kapanpun. Ia Menempa dirinya di perpustakaan dan ruang-ruang akademik walaupun sang guru tidak pernah mengajarinya memanah, walau Ekalaya tidak mendapatkan respek dari Drona. Watak luar biasa dari Ekalaya adalah ia tetap memposisikan Drona sebagai guru yang harus dihormati walaupun ada misi “pembodohan” yang dilakukan Drona kepadanya. Dari cerita ini, kita juga bisa menyimpulkan bahwa tidak semua guru memiliki watak yang “brahmana.” Adakalanya, sebagai manusia biasa, sang guru terperosok pada urusan yang terlampau fana seperti ingin diakui eksistensinya tetapi mengabaikan personalitas dirinya yang memiliki predikat sang guru.
Sementara pada tokoh Karna, kita bisa belajar dari pengalaman hidupnya untuk terus belajar walaupun di sisi lain ia harus berbohong kepada gurunya demi mendapatkan ilmu memanahnya. Sosok Karna sebagai seorang sudra tidak menyurutkan dirinya untuk menyerah pada keadaan. Kehausan ilmu yang ingin didapatkannya ditebus dengan kehebatan memanahnya yang luar biasa. Walaupun pada sisi lain, Karna terjebak pada sebuah situasi di mana ia tidak bisa berpaling dari pihak Kurawa karena harus membalas budi akan kebaikan Duryodana dengan menjadikannya sebagai raja dari kerajaan Angga. Karena mendapatkan ilmu yang salah, ia “dihukum” untuk terus menerus berpihak kepada pihak yang salah, walaupun ia sadar atas kesalahannya.
Sejatinya, orang-orang pembelajar seperti mahasiswa selalu belajar untuk memihak pada kebenaran. Bahkan seperti yang dilakukan Karna,  kesalahan adalah bagian lain menuju kebenaran. Predikat menjadi maha-siswa tidak hanya selesai pada urusan istilah. Ia harus menjadi sebuah realitas faktual bahwa mahasiswa memang orang-orang yang haus dengan ilmu pengetahuan.

Tanah Air, 2014


Sabtu, 09 Agustus 2014

MEMBANGUN JEMBATAN DI BADUY


Selama ini masyarakat lebih banyak tertarik pada acara Seba Baduy yang dilaksanakan setiap tahun. Seba Baduy adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat kampung adat Baduy kepada pemimpin di Kabupaten dan Gubernuran. Selain membawa hasil panen yang diberikan kepada pemimpin, masyarakat Baduy juga memberikan pesan/ amanat yang tak kalah pentingnya. Baik media lokal maupun nasional memberitakannya. Masyarakat pun ikut meramaikan acara ini. Namun  ada acara sederhana yang jarang diekspose oleh banyak pihak, padahal kearifan lokal yang “diperagakan” oleh masyarakat Baduy ini tak kalah menariknya.

Setiap 1-2 tahun sekali, masyarakat Baduy merekondisi jembatan-jembatan yang ada di Baduy. Di kampung Kanekes ini, setidaknya ada sekitar sembilan jembatan yang terbuat dari bambu. Sebelum jembatan benar-benar rusak dan menelan korban, dengan penuh kesadaran, masyarakat Baduy melakukan perbaikan total; mengganti semua elemen jembatan mulai dari bambu hingga tali temali yang mengikatnya.

Hari Pertama
anak kecil di kampung Gajeboh
Rabu sore (6/7), saya bersama Laskar Fotografer Mualaf (Arifin La Galigo, De Sucitra dan Rio Faturohman) pergi menuju Baduy. Sekitar pukul 20.00 kami sampai di terminal Ciboleger dan menitipkan mobil kepada salah seorang warga. Sebelum ke Gajeboh, tempat di mana perbaikan jembatan akan dilaksanakan esok hari, kami menjumpai Asep Kurnia, penulis buku “Saatnya Baduy Bicara.” Saya mengenal Asep Kurnia cukup lama dan sudah saya anggap sebagai saudara sendiri. 

Di rumahnya, kami membincangkan banyak hal.Walaupun bukan warga Baduy, Asep cukup dekat dan dipercaya warga Baduy. Semua informasi apapun mengenai Baduy tidak akan lepas dari pengetahuannya.

“Saat ini Jaro Dainah di Rumah Sakit Misi. Sudah lima hari. Kemungkinan dia akan dioperasi,” kata Asep Kurnia. Jaro Dainah adalah Kepala Desa Kampung Kanekes. Setiap tamu harus laporan terlebih dahulu kepadanya. Mendengar kabar ini, saya cukup kaget. Lalu diskusipun merambat pada banyak hal. Bidan Eros, istri Asep Kurnia yang banyak mendapatkan penghargaan atas dedikasinya terhadap warga Baduy di bidang kesehatan, menyuguhi kami dengan pisang goreng dan kopi. Tak terasa satu jam berlalu. Arifin sudah dihubungi oleh Musung, seorang warga Baduy luar yang akan kami datangi. Lalu kamipun meminta diri dan melanjutkan perjalanan. Kami bertemu Musung di Ciboleger dan perjalanan malam haripun berlanjut.

Sebetulnya jarak dari Ciboleger menuju Gajeboh bisa ditempuh berjalan kaki kurang dari 1 jam. Namun karena tak ada penerangan, ditambah dengan jalan berliku naik-turun, beberapa kali saya harus berhenti untuk membereskan nafas saya yang agak sesak. Sementara Rio Faturohman, mahasiswa saya yang sudah semester sepuluh itu begitu menikmati perjalanan sambil menelepon kepada kekasihnya. Maklum malam itu adalah malam pertama seumur hidupnya mendatangi kampung Baduy. “iya…kita teleponan aja sampai sinyalnya hilang,” katanya. Dan setelah sinyal hilang, nampaknya dia mulai merasakan lelahnya perjalanan.

Leuit, tempat menyimpan padi warga Baduy
Setelah tiba di rumah Musung, De Sucitra langsung mengeluarkan ikan laut dan dua buah cumi-cumi besar untuk digoreng. Rasa lapar memang menghantui kami semenjak tadi. Untuk urusan makan-makan, De Sucitra memang jagonya. Dua buah cumi segar itu dibawa langsung dari laut dan dimasukkan ke termos untuk menjaga kesegarannya. Selain itu, dia juga membawa rendang masakan ibunya. Sambil menunggu cumi masak, kami ngobrol di teras rumah bersama Musung. Ternyata pengalaman hidup Musung terbilang unik. Dia memiliki hubungan yang lumayan luas dengan dunia luar. Jika panen durian, dia ikut jualan di Serang. Dia pun membincangkan mengenai kerasnya berbisnis dengan orang luar. “Saya ditipu 8,5 juta sama orang,” katanya melanjutkan pembicaraan. “Sekarang saya sudah malas ke luar. Lebih baik jadi petani di sini” tambahnya.  Tak berapa lama ada enam fotografer yang menghampiri kami. Mereka sudah datang terlebih dahulu. Mereka berasal Komunitas Fotografer Tangerang (KFT) yang kami beritahu mengenai acara ini. Kamipun berbincang mengenai dunia fotografi dan berbagi pengalaman. Sekitar pukul 12 malam, kami mengakhirinya dengan jamuan makan malam.

Hari Ke Dua
Di pagi hari yang segar itu, kami memulai aktivitas seperti orang Baduy pada umumnya. Kami pergi ke belakang rumah Musung yang mengalir sungai Ciujung yang jernih untuk buang air besar. Awalnya saya agak malu untuk memulai ritual rutin ini. Tapi melihat orang lain cuek, ya sudahlah. Saya pun ikut serta meramaikan situasi unik ini.

Sekitar pukul 08.00, warga di Gajeboh mulai berdatangan ke jembatan yang akan diperbaiki itu. Begitupun dengan beberapa kawan seperti Yani yang bekerja di Inspektorat dan Abah Yadi yang datang dengan sepeda motor dari Serang. Dikomandani oleh Ama, sesepuh kampung Gajeboh, para warga  bekerja sesuai kemampuannya. Ada yang mengurus bambu-bambu panjang, ada juga yang membuat tali temali dari pohon aren tua. Semua warga bekerja. Hal yang paling penting dalam pembuatan jembatan ini adalah mereka sadar sepenuhnya bahwa keselamatan adalah hal utama. Mereka tak mau ada warganya yang tertimpa musibah gara-gara jembatan yang rusak. Dan mereka tak pernah meminta-minta kepada pemerintah atau siapapun dalam menginisiasi perbaikan jembatan ini.

Jembatan Lama
Warga Baduy memperbaiki jembatan
Warga Baduy sedang memintal tali untuk jembatan
Pukul 09.00, puluhan laki-laki warga Baduy memadati mulut jembatan. Mereka mulai pekerjaan itu dengan membongkar hati-hati jembatan lama. Saya tidak tahu persis kapan pertama kali jembatan itu dibangun. Namun jika melihat apitan empat pohon besar yang menggamit jembatan itu, sepertinya umurnya sudah ratusan tahun. Dengan terampil puluhan orang menurunkan bambu-bambu, sementara dalam waktu yang tak lama berselang, yang lain menaikkkan bambu-bambu baru. Saya cukup terkesima dengan keseriusan mereka bekerja bergotong-royong dan tak kenal lelah. Mereka berhenti bekerja hingga pukul 15.00, ketika jembatan baru benar-benar selesai.

Jembatan Baru
Setelah jembatan berdiri kokoh “mengangkangi” sungai ciujung, barulah mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Tapi bukan untuk istirahat. Mereka membawa dan membagi-bagikan makanan kepada setiap pengunjung dan rumah. “Berkat” katanya. Yang paling menarik, nasi itu adalah hasil panen yang disimpan oleh mereka di “leuit” selama lima tahun. Saya dan kawan-kawan merasa terhormat bisa memakan hasil panen mereka itu.


Sehabis acara tersebut selesai, kamipun kembali ke Serang dengan dibekali ilmu kearifan lokal dari warga Baduy. (FV)







Kamis, 10 Juli 2014

EPILOG CAPRES


Pada pemilihan Calon Presiden kini, peperangan politik tidak hanya didominasi oleh kalangan elit partai. Semua memiliki hak untuk bersuara walaupun terkadang bising dan berisik. Kita menjadi sulit untuk mendeteksi apakah suara-suara itu penuh makna atau hanya sekadar gema.

Jika dulu para pengamat politik dan lembaga survei bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk memilih calon Presiden, sekarang sulit untuk mendapatkan netralitas objektif itu. Begitupun dengan peran media. Kenapa? Karena hanya ada dua pilihan. Jika Anda mengkritik Capres tertentu, seobjektif apapun, maka Anda akan diposisikan sebagai pendukung Capres lainnya dan begitupun sebaliknya. Alih-alih membuka ruang objektif, Anda akan selalu disudutkan karena membuka ruang negatif Capres yang lain. Padahal jika kita mengkritik, salah satu poin yang tak bisa dihindari adalah melakukan penilaian dan evaluasi. Namun ada hal yang tak terbantahkan. Kita menjadi begitu peduli pada Pilpres kali ini.

Begitulah jika kita berada pada dua pilihan. Hal itupun terlihat dari lembaga survei yang sekarang ini ramai digunjingkan bahkan dijadikan sebagai parameter keberhasilan dua pasangan Capres. Dua-duanya mengklaim berdasarkan hasil quick count bahwa mereka memenangkan pertarungan. Sehingga di jejaring sosial banyak yang berceloteh bahwa kini Indonesia memiliki dua Presiden yaitu Presiden quick count. Candaan pun berlanjut, “sebaiknya dibuat dua shift saja, ada Presiden Siang dan Presiden malam biar adil.”
Di dalam tulisan ini, saya tak hendak menjustifikasi persoalan hasil lembaga survei tersebut. Kredibilitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan. Siapa yang bermain-main dengan data, akan dihukum dengan sendirinya. Saya ingin lebih fokus pada ruang lain yang lebih menarik dan menjadi fenomena baru.
Pada perhelatan Pilpres lalu, mesin partai sangat mendominasi. Partai-partai yang meraih suara mayoritas, lebih diunggulkan menjadi pemenang Pilpres dan tidak membuka ruang kerelawanan seperti masyarakat non partai. Begitupun dari sisi pendanaan. Masyarakat tidak diberi peluang untuk ikut menyumbang pada calon presiden yang diminatinya. Konsep klasik ini membuat jarak yang cukup nganga di antara masyarakat dan para elit politisi. Padahal perubahan mekanisme demokrasi memungkinkan terjadinya terobosan-terobosan baru. Rakyat rindu untuk dilibatkan.

Sayangnya, konsep klasik ini masih dipakai oleh pasangan Prabowo-Hatta. Slogan “Presiden Pilihan Rakyat” mengindikasikan ada  konstruk hierarki yang dipertahankan yaitu Presiden-Rakyat. Sementara di kubu ke-2 dengan slogan “Jokowi-JK adalah kita” telah mendekonstruksi kemapanan klasikal yang dibangun elit politisi. Dengan demikian, rakyat menjadi bagian yang integral dari Jokowi-JK. Citraan lain dari kubu Prabowo-Hatta yang mengajak Indonesia menjadi macan Asia lalu “dipaksa” bernostalgia ke masa Orde Baru dengan menjual stabilitas keamanan dan harga-harga murah hanyalah utopia belaka. Orde Baru bagi sebagian rakyat mungkin masa keemasan, tapi di sisi lain yang cenderung dilupakan adalah mereka telah membuka luka lama bangsa ini. Bagaimana mungkin bangsa ini ingin menoleh pada masa itu; sebuah Orde yang sangar dan tak membuka ruang kebebasan berbeda pendapat.

Pada Pilpres sekarang, diakui atau tidak, kubu Jokowi-JK telah membangun konstruksi demokrasi yang lebih modern. Jokowi-JK menekankan pada slogan “Indonesia Bisa” yang mengajak pada ruang visioner yang lebih konstruktif. Rakyat dibuka peluangnya untuk ikut terlibat menjadi relawan mereka. Bahkan dengan durasi yang tidak terlalu lama, pasangan ini membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut menyumbang pada Pilpres ini. 120 milyar lebih yang dihimpun dari sumbangan masyarakat bukanlah dana yang sedikit.

Pada tulisan ini, saya tidak menampik bahwa ada kerja-kerja partai yang ikut membangun kontestasi Pilpres. Namun yang membedakan Pilpres sekarang dengan Pilpres sebelumnya terletak pada pendulum ini; relawan. Kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh para relawan dari pelbagai dimensi telah membuka mata para politisi di Indonesia bahwa kekuatan para relawan jauh lebih segar dan tak terbantahkan. Jika hanya mengandalkan suara yang dibangun partai yang mendukung Jokowi-JK, tidak akan cukup mengimbangi kubu Prabowo-Hatta yang didukung oleh mayoritas partai di Republik ini. Jadi, elektabilitas Capres bukanlah satu-satunya modal untuk Pilpres kali ini. Keikhlasan para relawan untuk mendukung Jokowi-JK lah yang membuat mereka bisa kuat. Wajar jika selesai Pemilihan Umum, yang pertama kali dilakukan oleh Jokowi adalah mendatangi komunitas-komunitas relawan. Karena ia mahfum betul bahwa ia memiliki “hutang budi” kepada para relawannya.

Namun demikian, saya yakin bahwa kedua Capres ini, baik dari kubu Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta menginginkan hal terbaik untuk bangsa ini; bangsa yang merindukan perubahan yang berarti, tidak hanya slogan dan pencitraan semata. Selepas Pemilu ini masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama merealisasikan janji-janji mereka.

Kamis, 26 Juni 2014

DZAKWAN ALI: MAHASISWA MATEMATIKA PENULIS SASTRA

Pada sebuah pertemuan para dosen dua tahun lalu yang dihadiri oleh seluruh pejabat kampus di Bogor, Rektor Untirta dengan bangga menjelaskan bahwa ada seorang mahasiswa yang jadi juara I lomba menulis Cerpen tingkat mahasiswa se-Indonesia pada perhelatan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) 2012. “Saya cukup bangga dengan prestasi tersebut. Dia juara I menulis Cerpen se-Indonesia. Tapi ternyata dia bukan anak Sastra, dia mahasiswa Matematika. Bagaimana ini, Pak Firman?” ucapnya sambil tersenyum penuh kemenangan ke arah saya.

Saya tahu maksud pertanyaannya. Rektor mau mempermalukan saya di depan publik. Dari dulu, semua orang tahu Rektor memang tak suka dengan saya, terutama cara saya berpenampilan. Seorang dosen dari Fakultas Hukum pernah memberitahu saya bahwa Rektor tidak suka dosen bercelana jeans apa lagi berambut gondrong. Padahal saya tidak pernah mempermasalahkan ketika Rektor menggondrongkan kumisnya. Menurut saya, persoalan rambut, bulu dan seterusnya terlalu fana untuk didiskusikan apa lagi diperdebatkan. Ini menyangkut urusan estetik yang sangat subjektif.

Kurang lebih jika saya bongkar makna konotatif pertanyaan Rektor di atas itu menjadi begini, “Firman, kamu jangan sok sastrawan. Buktinya yang menang di Peksiminas itu bukan mahasiswa kamu.” Pertanyaan retoris itupun saya jawab dengan sederhana. “Itu baru mahasiswa Matematik, Pak Rektor. Apa lagi prestasi mahasiswa sastra yang sebenarnya.”  Beberapa dosen yang tahu bahwa Dzakwan Ali belajar menulis cerpen kepada saya langsung tertawa terbahak-bahak, tapi bagi para dosen yang tdak tahu arah jawaban saya tersenyum kecut, penuh ketakmengertian. Tapi Pernyataan itu benar adanya. Tidak sedikit mahasiswa sastra yang terlibat pada perhelatan kesusastraan bergengsi di tanah air, tulisan mereka dibukukan dalam pelbagai antologi. Tulisan mereka banyak dimuat di media nasional.

Waktu itu, saya pikir tak perlu menjelaskan kepada mereka secara terang benderang bahwa saya punya andil dalam “menyeret” mahasiswa Matematik itu jadi gandrung menulis cerpen. Tapi ternyata, memang itulah satu-satunya cara untuk mempermalukan saya secara khusus, dan dosen sastra lainnya secara umum, di depan publik.

Kemarin (25/6) di saung kafe ide, saya bertemu dengan salah satu rekan dosen sastra yang ikut seminar penulisan bahan ajar yang diselenggarakan Prodi Matematika. Dia mengatakan bahwa di dalam acara pembukaan, Dekan mengelu-elukan kembali pemenang lomba cerpen yang berasal dari mahasiswa Matematika itu. “Sepertinya mereka masih senang mempermalukan kita dengan cara pandang mereka,” kata teman saya itu.

Atas dasar itulah saya menulis tulisan ini; untuk membuka cara pandang mereka yang ngawur dan tak tahu berterimakasih. Dulu, ketika diminta menjadi juri tunggal untuk seleksi Peksiminas tangkai menulis cerpen tahun 2012, saya memberanikan diri untuk memenangkan cerpen milik Dzakwan Ali dibandingkan dengan cerpen-cerpen dari mahasiswa saya. Alasannya sederhana, karena saya merasakan ada potensi menulis yang baik dari tulisan Dzakwan. Tapi saya beritahu kepada panitia, bahwa tulisannya tidak jauh lebih baik dari yang lain.

Biasanya pada lomba cerpen, karya-karya mahasiswa sastra-lah yang paling banyak masuk. Pada waktu itu saya cukup surprise ketika mengetahui ada mahasiswa Matematik yang ikut serta. Saya pikir, perlu juga untuk bersyiar ke mahasiswa lain di luar mahasiswa sastra, toh secara estetik, anak ini lumayan baik.  Dari konsekuensi yang saya buat itu saya siap untuk membimbingnya menulis cerpen. Di sisi lain, mahasiswa sastra yang ikut seleksi, marah kepada saya. Beberapa orang menggugat saya dan menganggap saya tidak memihak kepada mahasiswanya sendiri. Saya jelaskan kepada mereka bahwa jika secara estetik kalian sama dengan mahasiswa Matematik itu, maka kalian kalah. Ini persoalan lomba, bukan persoalan keberpihakan.

Saya tidak mau ambil pusing. Biarkanlah mahasiswa saya marah, toh mereka tidak akan mendemo saya. Di sisi lain, itu cara saya memicu mereka agar lebih baik lagi berkarya. Lalu dalam beberapa waktu, saya bertemu Dzakwan Ali. Ngobrol mengenai dunia sastra. Menjelaskan secara dasar bagaimana menulis cerpen yang baik untuk sebuah perlombaan. Sebagai mahasiswa yang biasa nongkrong di mesjid, saya tahu dia agak kikuk berhadapan dengan saya. Saya berusaha meliarkan imajinasinya. Saya bilang kepadanya, “cari judul membuat pembaca terhenyak, tersugesti untuk mau membaca karya kamu.” Beberapa hari kemudian, cerpennya masuk ke email saya. Saya bahagia ketika dia berhasil menemukan judul cerpen yang asyik “Berebut Kentut” dengan alur yang cukup imajinatif.

Di waktu yang lain, seorang staf kemahasiswaan datang untuk berkonsultasi dengan saya mengenai kuota pemberangkatan ke Nusa Tenggara. “Kang, sepertinya beberapa lomba tidak akan diikutkan mengingat dana dari Untirta sangat terbatas. Jadi beberapa lomba, termasuk pemenang menulis cerpen sepertinya tidak akan diikutsertakan. Lagi pula dia kan bukan orang sastra, kemungkinan menangnya kan kecil, Kita juga kan harus memikirkan beberapa dosen dan pejabat yang ikut mendampingi” kata staf itu.

Mendengar perkataan staf itu, saya jengkel luar biasa. “Untuk apa saya memenangkan anak itu, ngajarin anak itu nulis cerpen, kalau dia tidak ikut? Kalian mau mengecilkan integritas saya sebagai juri?” Dimarahi seperti itu, staf kemahasiswaan yang pernah jadi mahasiswa saya di FISIP itu terlihat pusing. Dia sepertinya sudah tidak tahu lagi harus mencari solusi. Dia masih honorer. Mungkin atasannya meminta dia untuk berbaik-baik dengan saya mengingat dia pernah dekat dengan saya, bahkan pernah menciptakan lagu untuk bandnya dulu.  Lalu saya katakan kepadanya. “Begini saja, kuota pendamping dosen delete satu. Saya tidak perlu ikut kesana, yang penting anak ini harus masuk.” Sejak tahun 2008, saya memang biasa mendampingi mahasasiswa untuk acara Peksiminas bersama Pak Denny Sutrisna. Dan urusannya  selalu ribet dengan pendanaan. Staf itu kemudian pergi seakan menemukan jalan keluar.

Akhirnya Denny alias Dzakwan Ali ikut bersama rombongan lainnya. Saya ikut bahagia ketika mendengar bahwa dia Juara I lomba menulis cerpen. Diapun mengikuti saran saya untuk ikut bergabung di Kelas menulis Rumah Dunia agar kecintaannya terhadap dunia sastra bisa tersalurkan. Hingga kini, dia aktif di Rumah Dunia bahkan mengajak teman-teman lainnya menjadi relawan literasi.

Sekarang ini sedang musim seleksi Peksiminas lagi di kampus. Semoga mahasiswa Untirta dan mahasiswa Banten pada umumnya bisa lebih bisa ikut bicara di perhelatan seni yang bergengsi itu.

Tanah Air, 2014

Jumat, 02 Mei 2014

PENDIDIKAN ITU (DI ANTARA SIPIL DAN MILITER)


Bapak saya tentara, ibu saya seorang guru SD. Saya dibesarkan dari dua kutub yang bertolakbelakang. Ini adalah foto repro tahun 1982, ketika Bapak hendak tugas ke Timor Timur. Sejak kecil, saya sering ditinggalkan Bapak karena tugasnya sebagai tentara Angkatan Darat (dulu ABRI). Maka, hari-hari di masa kecil saya lebih banyak bergumul dengan Mama.

Di usia pernikahan mereka yang masih baru, sebagaimana dituturkan oleh Mama, kami pindah dari kontarakan satu ke kontarakan yang lain. Seperti lazimnya tentara, sebetulnya Bapak diberikan jatah untuk mendapatkan rumah dinas di Yonif 327 Brajawijaya Cianjur, tetapi Mama menolaknya. Mama lebih memilih di luar kesatuan, ingin mandiri dari hiruk pikuk kemiliteran. Ketika Bapak pergi ke Timor atau ke tempat-tempat operasi militer pada zaman Orba, praktis hanya Mama yang membesarkan saya. Jika Mama mengajar, tiap hari ia membawa saya ke kelas. Bayi kecil bernama Firman itu diletakkan di meja, sementara Mama mengajar. Untung kata Mama, saya bayi yang baik dan tidak rewel J

Saking seringnya Bapak bertugas berbulan-bulan, kata Mama, saya sempat tidak kenal dengan Bapak. Dan Bapak memang dingin. Berbeda dengan Mama yang sering bercerita apapun. Walaupun begitu, setiap pulang dari tugas, Bapak sering membelikan saya mainan. Sentuhan mainan seperti robot-robotan atau mobil-mobilan itulah yang membuat saya merasa bahwa Bapak sangat baik.

Pada tahun 1986, Bapak ditugaskan ke KODIM 0603 Lebak Banten. Umur saya 6 tahun. Saya punya adik bayi yang diberi nama Anita. Kami kemudian pindah ke Lebak, ngontrak di Kampung Kolelet Wetan, perbatasan dengan Bendungan Pamarayan. Di kampung itu belum ada listrik. Jalanan masih hancur. Angkutan kota hanya sesekali lewat. Jikapun lewat, anak-anak kecil pasti mengejar-ngejar di belakang angkot. Pada umur itulah saya ikut Sekolah Dasar di tempat mama mengajar. Saya senang diajar Mama di sekolah, tapi Mama hanya mengajar sebentar. Mungkin karena takut subjektif, Mama akhirnya pindah mengajar di kelas lain.

Berbeda dengan dulu ketika masih di Yonif 327, kini Bapak punya waktu luang. Saya sering diajak ke Kodim jika gajian naik motor Honda 80.  Bahkan saya pernah diajak serta ketika Bapak dapat tugas piket malam hari. Bapak berjaga-jaga di depan, saya tertidur di kamar kecil di sudut ruangan Makodim. Walaupun begitu, tetap saja gayanya dingin dan kadang-kadang galak.

Di Kampung Kolelet Wetan dilintasi oleh sungai Ciujung. Sungai itu adalah tempat bermain yang menyenangkan bagi saya dan teman-teman. Naasnya, pernah suatu ketika, saya berenang. Waktu itu saya tidak tahu jika pada waktu-waktu tertentu, bendungan sungai Pamarayan di buka. Jika bendungan dibuka, maka arus sungai akan sangat cepat. Ketika berenang, sayapun tersedot arus itu. Saya jago renang, tapi tubuh kecil saya tak sanggup menahan arus yang sangat kuat. Sayapun terbawa arus. Warga di sekitar teriak-teriak memanggil saya, “anak saha eta paliid…” kata orang-orang di tepian. Cukup lama saya terbawa arus, hingga akhirnya ada seseorang yang menarik saya dan sayapun terselamatkan.

Belum juga sya pulih dari kekagetan, agak sedikit jauh dari pandangan saya, Bapak datang membawa kayu kecil dan menghampiri. “Plaaak…” kayu itu membekas di tubuh. Saya digiring oleh Bapak dari sungai. Sesampai di rumahsaya  dimasukkan ke kamar kosong, diikat tangan saya ke belakang dan pintu ditutup dari luar. Saya menangis sejadi-jadinya. Sambil menangis, terjadi percekcokan di luar. Rupanya mama protes dengan apa yang dilakukan bapak, tetapi bapak tetap pada keputusannya. Sehari kemudian, barulah saya “dilepaskan”. Saya benar-benar trauma waktu itu, walaupun Mama menjelaskan pada saya, itu cara Bapak agar saya tidak nakal dan sering main di sungai. Bapak takut kehilangan saya, anak laki-laki satu-satunya.

Bapak memang menaruh harapan besar kepada saya agar kelak saya bisa jadi tentara. Namun, saya tidak suka dengan olah raga dan urusan-urusan fisik. Saya lebih senang membaca buku, bernyanyi dan bermusik. Saya tidak tahu kenapa. Ketika Bapak pindah tugas ke Warunggunung, waktu itu saya kelas 3 SD. Sekolah saya pun pindah ke SD 2 Selaraja bersama Mama. Walaupun seperti biasa, mama tidak mau mengajar di kelas dimana saya ada disitu. Waktu kelas 3, bakat saya mulai muncul. Saya ikut lomba-lomba menyanyi dan selalu juara pertama. Saya senang menyanyi pupuh sunda. Mama sering mengajarkannya. Bahkan di Koramil, ketika ibu-ibu Persit latihan degung, saya pasti terlibat, setidaknya untuk pegang gong dan kendang.
Di kelas, saya selalu mendapatkan rangking pertama. Saya tidak tahu apa yang mengakibatkan saya harus pindah sekolah. Tapi Bapak sepertinya lebih mengarahkan agar saya suka olah raga. Akhirnya saya dipindahkan dari SD 2 Selaraja ke SD 3 Ipor Selaraja. Sekolah SD 3 Ipor adalah sekolah yang berkumpulnya siswa-siswa yang senang berolah raga. Dan saya mati kutu di sekolah itu. Saya tidak suka olah raga! Untungnya ada seorang guru yang tahu saya bisa bernyanyi. Akhirnya saya mengukir sejarah di sekolah itu, laki-laki pertama yang menjuarai menyanyi. Walau mama bahagia, sepertinya Bapak tidak suka.
Waktupun bergulir. Di SMP saya banyak bergaul dengan guru-guru muda yang mengajarkan saya bermusik dan buku. Saya sering dipinjami oleh Pak Rosman, guru bahasa Inggris, buku-buku Wiro Sableng walaupun harus “backstreet” karena Bapak tidak suka saya baca buku-buku “aneh” seperti itu. Menjelang lulus SMP, Bapak meminta saya agar ikut seleksi SMA Taruna di Magelang. Setiap hari saya dipaksa lari, sit up, push up dan seterusnya. Saya tidak mau mengecewakan Bapak, tapi juga saya tidak suka sekolah semacam itu. Walhasil, setelah seleksi di Kabupaten berhasil yang dilanjutkan seleksi di Bandung, saya membuat cara agar saya tidak lulus. Bapak tidak tahu kalau di Bandung saya malah datang ke bioskop daripada serius ikutan seleksi. Dan tentu saja hasilnya, gagal total!

Sayapun sekolah di SMA 1 Rangkasbitung. Jarak Warunggung-Rangkasbitung sekitar 10KM. Saya harus menempuh dua kali pakai angkot, sehingga durasi saya di rumah sangat sedikit. Baru maghrib atau bahkan malam saya pulang ke rumah. Saya menyibukkan diri dengan aktivitas di sekolah. Alih-alih agar tidak banyak dikekang dengan gaya disiplin Bapak, secara tidak langsung, saya justru memakai ilmu militeristik gaya Bapak. Hampir semua organisasi di sekolah saya ikuti, mulai dari Paskibra, Pramuka, PMR, PKS, Remaja Mesjid, Karate, OSIS, Band, Paduan suara, saya ikuti. Nyaris tiap hari Minggu saya jarang ada di sekolah. Bahkan sesekali saya malah suka tidur di sekolah. Saya bahagia berorganisasi. Waktu kelas 2, pernah hingga satu bulan penuh saya tidak masuk kelas karena berorganisasi ke luar kota. Dan sepertinya Bapak bahagia dengan aktivitas saya itu.

Di akhir SMA, bapak nampaknya masih berharap agar saya jadi tentara. Dengan NEM saya yang di atas rata-rata, Bapak meminta saya untuk daftar Akabri. Saya mulai stress. Saya bercita-cita menjadi guru seperti Mama. Untunglah, ketika melihat persyaratan, saya belum sampai pada usia yang dipersyaratkan. Dengan menjanjikan tahun depan saya akan daftar ke Akabri, Bapak mengizinkan saya untuk melanjutkan kuliah dulu di IKIP Bandung (UPI). Bapak dan Mama mengantarkan saya ke kosan di Bandung, jalan Cilimus no 07. Ketika berpisah, mama menangis dan menasehati saya, sementara Bapak tak mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya memandang saya lekat-lekat. Inilah pertama kali saya mandiri, keluar rumah. Saya cukup kaget ketika bapak tiba-tiba menyodorkan sebuah mesin tik. “Ini bapak beli dari Pak Lurah. 100 ribu. Nih, buat kamu. Katanya kalau jadi mahasiswa pasti banyak tugas ya…” Hanya itu yang bapak katakana. Bapak keluaran SMP. Bapak tidak tahu menahu dengan dunia perkuliahan. Bapak pun tidak tahu kalau waktu itu teknologi sudah beralih dari mesik ketik ke computer. Tapi saya bahagia menerimanya. Saya ingin memeluknya, tapi kami tak pernah melakukannya. Akhirnya saya memeluk mama, mewakili pelukan untuk Bapak.

Dunia kampus membuat saya bahagia. Saya menemukan banyak hal di kampus. Waktu itu, peralihan Orde Baru ke Orde reformasi. Alih-alih mendapatkan ilmu, saya lebih banyak ikut demonstrasi bersama senior saya. Di luar kampus, saya ikut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di dunia tulis menulis, saya ikut ASAS. Tulisan saya banyak dimuat di media massa. Sayapun lupa dengan janji saya kepada bapak untuk ikut seleksi Akabri. Saya jarang pulang ke kampong. Ketika pulang, dengan gaya saya yang gondrong, bapak tak berani melarang saya. Rupanya Bapak sudah pasrah dengan nasib hidup saya. Atau mungkin karena aura reformasi, bapak menjadi berubah, saya tidak tahu. Yang jelas, seperti yang diberitahu mama, Bapak kecewa kepada institusinya. Bahkan Bapak sempat adu mulut dengan Komandan Kodim (Dandim). Waktu ke Kodim, bapak memakai mobil Feroza karena motor kesayangannya mogok. Akhirnya bapak disuruh push up di depan teman-temannya.Bapak tidak terima karena merasa tidak bersalah. Di waktu luangnya, Bapak memang biasa bisnis kecil-kecilan, mulai dari jualan jeruk di pasar (ketika prajurit) hinga jualan motor dan mobil bekas. Saya tahu, itu dilakukan untuk membiayai anak-anaknya, termasuk saya yang kuliah. Waktu itu di Makodim, tak banyak yang punya anak kuliah. Bapak akhirnya mengurus pensiun walaupun belum waktunya.

Pendidikan yang paling awal, memang di rumah. Melihat ke belakang, sepertinya saya memang berada di dua kutub itu; dunia bapak yang mengajarkan saya kedisiplinan dan sentuhan ibu yang mengajarkan nilai-nilai humanis. Saya bahagia hidup di antara mereka. Selamat Hari Pendidikan.

Tanah Air, 2014