Fotografer Mualaf dan Rumah Dunia mempersembahkan
Pameran Fotografi "71,5km dari Jakarta"
karya Arifin Noer la Galigo De Sucitra Firman Venayaksa
di pelataran Rumah Dunia, Kampung Ciloang, Kelurahan Sumur Pecung, Kota Serang Banten. Mulai dari tanggal 18 Januari-20 Februari 2014.
Press Release
Di penghujung akhir tahun yang gerimis, Atut Chosiyah ditangkap KPK.
Tentu ada yang bersedih, tak sedikit yang gembira. Banten tiba-tiba
menjadi figura kecil dengan potret muram yang tak jelas objeknya. Semua
menjadi semu.
Kenapa ada yang bersedih? Tentu karena ia telah
membuat jaringan yang baik dengan sang Gubernur. Jaringan tersebut tak
dibuat dengan murah. Ia harus menggadaikan banyak hal
termasuk—mungkin—harga dirinya sendiri. Ketika Atut terancam tak lagi
jadi penguasa Banten, maka bisa jadi ia merasa kehilangan masa depan.
Lalu mengapa banyak yang gembira? Rezim Atut dengan sanak famili
berserta kroni telah mencengkram setiap nadi kehidupan di Banten. Siapa
yang melawan, ia harus siap dengan segala konsekuensinya. Setidaknya,
orang-orang yang bergembira itu memiliki harapan baru yaitu perubahan
yang lebih baik. Bagaimana tidak? Hadirnya Otonomi Daerah, lepasnya
Banten dari Jawa Barat tak membuat masyarakatnya sejahtera. Sebaliknya,
hanya menambah kesengsaraan baru.
Jangankan mendambakan
jalan-jalan tak berlubang di pedesaan, di ibukota propinsipun
jalan-jalan hancur berantakan. Jembatan-jembatan tak dipedulikan,
bangunan sekolah ambruk dibiarkan. Belum lagi dengan tak diindahkannya
pengelolaan artefak sejarah Banten sehingga bangunan bersejarah itu
hanya berupa kenangan yang seperti tak punya makna.
Sebagai
fotografer, bidikan Arifin la Galigo, De Sucitra dan Firman Venayaksa,
yang memperlihatkan carut marut Banten kini, bisa menjadi sarana
reflektif, bahwa banyak hal yang harus dibenahi. Mereka mengajak kita
untuk tak cukup bergembira dengan masuknya atut di penjara. Banyak hal
yang belum usai. Ini hanya permulaan. Berbeda dengan pameran fotografi
yang dibingkai dengan rapi, dicetak dengan mahal dan dipajang dengan
eksklusif, mereka dengan sengaja memperbesar foto mereka (2x3 meter)
seperti baligho Pilkada dan dibiarkan kehujanan. Mereka mengambil tempat
pameran di Kampung Ciloang agar masyarakat kelas bawah sekalipun bisa
mengapresiasi dan memaknai peristiwa visual ini.
Mereka akan
memajang karya-karya tersebut selama satu bulan, mulai tanggal 18
Januari, bertepatan dengan acara “banten Menolak Korupsi” yang diadakan
oleh Rumah Dunia. Bagi Anda yang hendak mengapresiasi, ditunggu
kehadirannya
Jumat, 17 Januari 2014
Kamis, 09 Januari 2014
REKAYASA SASTRA (Koran Tempo, 9 Januari 2014)
Oleh
Firman Venayaksa
Perhelatan
sastra Indonesia kembali menghangat. Pada 3 Januari 2013, di PDS HB Jassin, Tim
8 yang terdiri atas Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono,
Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis dan Ahmad
Gaus mengeluarkan sebuah buku berjudul 33
Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Tidak mudah memang untuk memeras
ribuan sastrawan dari rentang waktu yang begitu panjang (1900-2013) kemudian
menjadi 33 tokoh saja. Alih-alih mendapat puja-puji atas kerja keras tersebut,
kehadiran buku ini nampaknya akan jadi polemik panjang. Setidaknya hal tersebut
mulai semarak di media sosial. Pertanyaan-pertanyaan mendasar pun muncul,
misalnya mengenai standardisasi yang dipakai oleh Tim 8.
Pelbagai
respons sekaitan dengan buku ini agaknya tak bisa dianggap sebelah mata, apa
lagi dari para sastrawan yang cukup berpengaruh. Goenawan Mohammad yang namanya
masuk ke dalam buku ini dengan tegas menyatakan di dalam situs pribadinya agar
namanya tidak dihadirkan di dalam buku tersebut. Ia merasa tidak layak karena
bukan lagi orang berpengaruh. Respons lain yang lebih keras muncul dari Saut
Situmorang yang menyatakan bahwa buku ini adalah sampah. “Semua buku yang
berisi dusta sejarah atau yang bertujuan
memanipulasi sejarah, harus dibakar dan dilarang,” ucapnya.
Makna “Berpengaruh”
Harus
diakui, sebetulnya sulit sekali untuk menyatakan bahwa seseorang berpengaruh
atau tidak apa lagi dalam kurun waktu 1 abad. Seseorang bisa dikatakan
berpengaruh pada zamannya tetapi pengaruh itu bisa jadi pudar di zaman
berikutnya. Di dalam pengantar buku, Tim 8 merumuskan empat kriteria bagi tokoh
sastra untuk diperas menjadi 33 tokoh berpengaruh yaitu pengaruhnya berskala
nasional, pengaruhnya relatif berkesinambungan, dia menempati posisi kunci,
penting dan menentukan, dia menempati
posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan
pengikut, penggerak atau bahkan penentang.
Kriteria
tersebut dibuat seakan-akan cukup ketat, namun empat kriteria tersebut
sebetulnya hanya pilihan. Simaklah pernyataan berikut, “tokoh sastra dinilai
layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila
sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria berikut…” Dengan bahasa
semacam ini, Tim 8 sudah melakukan kesalahan fatal dengan melonggarkan kembali
empat kriteria yang dibuatnya sendiri. Artinya jika seorang tokoh hanya masuk
satu kriteria dan tidak masuk di kriteria yang lain, ia tetap bisa diloloskan
untuk menjadi tokoh sastra berpengaruh. Jika demikian, lantas kenapa harus
membuat kriteria, jika kriteria tersebut hanya hiasan belaka. Bukankah kriteria
diciptakan untuk melakukan penyaringan? Atau jangan-jangan buku ini dihadirkan
semata-mata hanya untuk melakukan rekayasa tertentu sehingga menjadi polemik?
Rekayasa Sastra
Polemik
tersebut muncul ketika Denny JA, yang lebih dulu dikenal sebagai konsultan
politik, masuk ke dalam 33 sastrawan berpengaruh bersama nama-nama besar
lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Hamka, Taufiq Ismail, Goenawan
Mohamad. Sehebat apa sebetulnya sepak terjang Denny JA di dunia kesusastraan
sehingga Tim 8 bisa mengesampingkan sastrawan besar lainnya seperti Sitor
Situmorang, Utuy Tatang Sontani, A.A Navis, Seno Gumira Ajidarma? Dengan karya
yang baru satu buku yang yang diterbitkan tahun 2012, tiba-tiba saja namanya
dianggap tokoh sastra dan berpengaruh?
Di
dalam kata pengantar dan di coppy paste
dalam penutup buku ini, dituliskan dengan jelas oleh Tim 8 bahwa ada beberapa
nama yang mengesankan dari segi karya namun pengaruh dan dampaknya relatif
terbatas secara sosial dan budaya. Sebaliknya beberapa tokoh lain tidak
mengesankan dari segi karya, bahkan sama sekali bukan sastrawan, namun dilihat
dari lingkup pengaruhnya di bidang sastra, mereka menempati posisi penting.
Jika
kalimat tersebut ditujukan untuk Denny JA, yang mengatakan bahwa tidak
mengesankan dari segi karya, sebetulnya itu merupakan pernyataan jujur yang
harus diamini oleh siapapun. Hal yang dipertanyakan kejujurannya justru pada
kalimat yang kedua. Benarkah ia tokoh
sastra yang berpengaruh? Saya kira itu pernyataan gegabah dan masih perlu diuji
waktu mengingat kehadirannya yang baru satu tahun menapaki dunia sastra.
Kehadiran
Denny JA yang dianggap mengusung alternatif penulisan baru
yang diistilahkannya sebagai puisi esai, sebaiknya dilihat dalam rekayasa
sosial di bidang sastra yang dilakukannya secara terus menerus selama satu
tahun. Seperti yang kita ketahui bahwa rekayasa sosial lazim dilakukan dalam
konteks kekinian meliputi kehidupan masyarakat kita. Rekayasa sosial (social engineering) dilakukan dengan
penuh kesadaran, memakai teknik dan metode tertentu dan menentukan desai akhir
dan perubahan yang hendak dilakukan.
Itulah hal mengesankan darinya dan menarik
untuk kita pelajari. Ketika buku puisinya diluncurkan, ia tak selesai pada
urusan di simpan di rak toko buku (bahkan saya tak yakin buku itu best seller atau dibeli khalayak). Yang
dilakukannya adalah membuat web puisi-esai.com, mengadakan lomba-lomba tertentu
seperti lomba menulis resensi bagi pelajar yang bukunya dibagi secara gratis ke
sekolah-sekolah. Lalu mengadakan lomba baca puisi, lomba fotografi, bahkan
lomba menulis puisi bergaya puisi esai yang pemenangnya dibukukan secara
berkala. Hal lain yang tak kalah penting
adalah melakukan diskusi buku di pelbagai tempat. Tulisan-tulisan dari diskusi
tersebut diarsipkan dengan serius seperti yang bisa kita baca di Jurnal Sajak edisi Januari 2013 sehingga
seakan-akan penuh dengan perdebatan. Padahal tulisan itu adalah artefak diskusi
saja sebetulnya. Untuk lebih menguatkan bahwa buku ini seakan-akan memiliki
legitimasi, diundanglah para sastrawan besar untuk ikut membaca puisi Denny JA
dalam bentuk videografi.
Lantas,
apakah pembuatan buku 33 Tokoh Sastra
Indonesia Paling Berpengaruh adalah desain selanjutnya dari rekayasa sosial
ini, yang secara kebetulan dihadirkan satu hari menjelang ulang tahun Denny JA?
Tidak pernah ada kata kebetulan dalam konstruksi rekayasa sosial.
*) Kandidat
Doktor dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Langganan:
Postingan (Atom)