Jumat, 17 Januari 2014

PAMERAN FOTOGRAFI 71,5KM DARI JAKARTA

Fotografer Mualaf dan Rumah Dunia mempersembahkan
Pameran Fotografi "71,5km dari Jakarta"
karya Arifin Noer la Galigo De Sucitra Firman Venayaksa
di pelataran Rumah Dunia, Kampung Ciloang, Kelurahan Sumur Pecung, Kota Serang Banten. Mulai dari tanggal 18 Januari-20 Februari 2014.

Press Release
Di penghujung akhir tahun yang gerimis, Atut Chosiyah ditangkap KPK. Tentu ada yang bersedih, tak sedikit yang gembira. Banten tiba-tiba menjadi figura kecil dengan potret muram yang tak jelas objeknya. Semua menjadi semu.

Kenapa ada yang bersedih? Tentu karena ia telah membuat jaringan yang baik dengan sang Gubernur. Jaringan tersebut tak dibuat dengan murah. Ia harus menggadaikan banyak hal termasuk—mungkin—harga dirinya sendiri. Ketika Atut terancam tak lagi jadi penguasa Banten, maka bisa jadi ia merasa kehilangan masa depan. Lalu mengapa banyak yang gembira? Rezim Atut dengan sanak famili berserta kroni telah mencengkram setiap nadi kehidupan di Banten. Siapa yang melawan, ia harus siap dengan segala konsekuensinya. Setidaknya, orang-orang yang bergembira itu memiliki harapan baru yaitu perubahan yang lebih baik. Bagaimana tidak? Hadirnya Otonomi Daerah, lepasnya Banten dari Jawa Barat tak membuat masyarakatnya sejahtera. Sebaliknya, hanya menambah kesengsaraan baru.

Jangankan mendambakan jalan-jalan tak berlubang di pedesaan, di ibukota propinsipun jalan-jalan hancur berantakan. Jembatan-jembatan tak dipedulikan, bangunan sekolah ambruk dibiarkan. Belum lagi dengan tak diindahkannya pengelolaan artefak sejarah Banten sehingga bangunan bersejarah itu hanya berupa kenangan yang seperti tak punya makna.

Sebagai fotografer, bidikan Arifin la Galigo, De Sucitra dan Firman Venayaksa, yang memperlihatkan carut marut Banten kini, bisa menjadi sarana reflektif, bahwa banyak hal yang harus dibenahi. Mereka mengajak kita untuk tak cukup bergembira dengan masuknya atut di penjara. Banyak hal yang belum usai. Ini hanya permulaan. Berbeda dengan pameran fotografi yang dibingkai dengan rapi, dicetak dengan mahal dan dipajang dengan eksklusif, mereka dengan sengaja memperbesar foto mereka (2x3 meter) seperti baligho Pilkada dan dibiarkan kehujanan. Mereka mengambil tempat pameran di Kampung Ciloang agar masyarakat kelas bawah sekalipun bisa mengapresiasi dan memaknai peristiwa visual ini.

Mereka akan memajang karya-karya tersebut selama satu bulan, mulai tanggal 18 Januari, bertepatan dengan acara “banten Menolak Korupsi” yang diadakan oleh Rumah Dunia. Bagi Anda yang hendak mengapresiasi, ditunggu kehadirannya

Kamis, 09 Januari 2014

REKAYASA SASTRA (Koran Tempo, 9 Januari 2014)



Oleh Firman Venayaksa

Perhelatan sastra Indonesia kembali menghangat. Pada 3 Januari 2013, di PDS HB Jassin, Tim 8 yang terdiri atas Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis dan Ahmad Gaus mengeluarkan sebuah buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Tidak mudah memang untuk memeras ribuan sastrawan dari rentang waktu yang begitu panjang (1900-2013) kemudian menjadi 33 tokoh saja. Alih-alih mendapat puja-puji atas kerja keras tersebut, kehadiran buku ini nampaknya akan jadi polemik panjang. Setidaknya hal tersebut mulai semarak di media sosial. Pertanyaan-pertanyaan mendasar pun muncul, misalnya mengenai standardisasi yang dipakai oleh Tim 8.
Pelbagai respons sekaitan dengan buku ini agaknya tak bisa dianggap sebelah mata, apa lagi dari para sastrawan yang cukup berpengaruh. Goenawan Mohammad yang namanya masuk ke dalam buku ini dengan tegas menyatakan di dalam situs pribadinya agar namanya tidak dihadirkan di dalam buku tersebut. Ia merasa tidak layak karena bukan lagi orang berpengaruh. Respons lain yang lebih keras muncul dari Saut Situmorang yang menyatakan bahwa buku ini adalah sampah. “Semua buku yang berisi dusta sejarah  atau yang bertujuan memanipulasi sejarah, harus dibakar dan dilarang,” ucapnya.

Makna “Berpengaruh”
Harus diakui, sebetulnya sulit sekali untuk menyatakan bahwa seseorang berpengaruh atau tidak apa lagi dalam kurun waktu 1 abad. Seseorang bisa dikatakan berpengaruh pada zamannya tetapi pengaruh itu bisa jadi pudar di zaman berikutnya. Di dalam pengantar buku, Tim 8 merumuskan empat kriteria bagi tokoh sastra untuk diperas menjadi 33 tokoh berpengaruh yaitu pengaruhnya berskala nasional, pengaruhnya relatif berkesinambungan, dia menempati posisi kunci, penting dan menentukan,  dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak atau bahkan penentang.
Kriteria tersebut dibuat seakan-akan cukup ketat, namun empat kriteria tersebut sebetulnya hanya pilihan. Simaklah pernyataan berikut, “tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria berikut…” Dengan bahasa semacam ini, Tim 8 sudah melakukan kesalahan fatal dengan melonggarkan kembali empat kriteria yang dibuatnya sendiri. Artinya jika seorang tokoh hanya masuk satu kriteria dan tidak masuk di kriteria yang lain, ia tetap bisa diloloskan untuk menjadi tokoh sastra berpengaruh. Jika demikian, lantas kenapa harus membuat kriteria, jika kriteria tersebut hanya hiasan belaka. Bukankah kriteria diciptakan untuk melakukan penyaringan? Atau jangan-jangan buku ini dihadirkan semata-mata hanya untuk melakukan rekayasa tertentu sehingga menjadi polemik?

Rekayasa Sastra
Polemik tersebut muncul ketika Denny JA, yang lebih dulu dikenal sebagai konsultan politik, masuk ke dalam 33 sastrawan berpengaruh bersama nama-nama besar lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Hamka, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Sehebat apa sebetulnya sepak terjang Denny JA di dunia kesusastraan sehingga Tim 8 bisa mengesampingkan sastrawan besar lainnya seperti Sitor Situmorang, Utuy Tatang Sontani, A.A Navis, Seno Gumira Ajidarma? Dengan karya yang baru satu buku yang yang diterbitkan tahun 2012, tiba-tiba saja namanya dianggap tokoh sastra dan berpengaruh?
Di dalam kata pengantar dan di coppy paste dalam penutup buku ini, dituliskan dengan jelas oleh Tim 8 bahwa ada beberapa nama yang mengesankan dari segi karya namun pengaruh dan dampaknya relatif terbatas secara sosial dan budaya. Sebaliknya beberapa tokoh lain tidak mengesankan dari segi karya, bahkan sama sekali bukan sastrawan, namun dilihat dari lingkup pengaruhnya di bidang sastra, mereka menempati posisi penting.
Jika kalimat tersebut ditujukan untuk Denny JA, yang mengatakan bahwa tidak mengesankan dari segi karya, sebetulnya itu merupakan pernyataan jujur yang harus diamini oleh siapapun. Hal yang dipertanyakan kejujurannya justru pada kalimat yang kedua.  Benarkah ia tokoh sastra yang berpengaruh? Saya kira itu pernyataan gegabah dan masih perlu diuji waktu mengingat kehadirannya yang baru satu tahun menapaki dunia sastra.
Kehadiran Denny JA yang dianggap mengusung alternatif penulisan baru yang diistilahkannya sebagai puisi esai, sebaiknya dilihat dalam rekayasa sosial di bidang sastra yang dilakukannya secara terus menerus selama satu tahun. Seperti yang kita ketahui bahwa rekayasa sosial lazim dilakukan dalam konteks kekinian meliputi kehidupan masyarakat kita. Rekayasa sosial (social engineering) dilakukan dengan penuh kesadaran, memakai teknik dan metode tertentu dan menentukan desai akhir dan perubahan yang hendak dilakukan.
 Itulah hal mengesankan darinya dan menarik untuk kita pelajari. Ketika buku puisinya diluncurkan, ia tak selesai pada urusan di simpan di rak toko buku (bahkan saya tak yakin buku itu best seller atau dibeli khalayak). Yang dilakukannya adalah membuat web puisi-esai.com, mengadakan lomba-lomba tertentu seperti lomba menulis resensi bagi pelajar yang bukunya dibagi secara gratis ke sekolah-sekolah. Lalu mengadakan lomba baca puisi, lomba fotografi, bahkan lomba menulis puisi bergaya puisi esai yang pemenangnya dibukukan secara berkala.  Hal lain yang tak kalah penting adalah melakukan diskusi buku di pelbagai tempat. Tulisan-tulisan dari diskusi tersebut diarsipkan dengan serius seperti yang bisa kita baca di Jurnal Sajak edisi Januari 2013 sehingga seakan-akan penuh dengan perdebatan. Padahal tulisan itu adalah artefak diskusi saja sebetulnya. Untuk lebih menguatkan bahwa buku ini seakan-akan memiliki legitimasi, diundanglah para sastrawan besar untuk ikut membaca puisi Denny JA dalam bentuk videografi.
Lantas, apakah pembuatan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh adalah desain selanjutnya dari rekayasa sosial ini, yang secara kebetulan dihadirkan satu hari menjelang ulang tahun Denny JA? Tidak pernah ada kata kebetulan dalam konstruksi rekayasa sosial.


*) Kandidat Doktor dari Fakultas Ilmu Budaya Unpad.