Kamis, 13 Maret 2014

PADA SUATU HARI, SAYANG ADA ORANG LAIN


Ruangan masih gelap dan sunyi, hanya ada suara-suara berbisik dari para pemain teater yang menyiapkan pementasan di hari ke-2. Sebelum para penonton masuk, saya menyelusup ke tempat pementasan. Saya cari spot paling sentral, menyiapkan kamera dan sesekali membuka alam imaji atas kemungkinan-kemungkinan pementasan. Ini saya lakukan untuk menebus dosa kepada UKM Teater Kafe Ide Untirta atas keterlambatan hadir pada pementasan pertama, berjudul “Pada Suatu Hari” karya Arifin C Noer yang disutradarai Saduri Dagul, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia.

Tak berapa lama, para penonton yang riuh menghempaskan kesunyian di kegelapan itu. Para mahasiswa dengan cekakak-cekikik mencari tempat duduk masing-masing. “ih, gelap amat sih. Kayak di kampung saya sering mati listrik,” kata seseorang. Beberapa perempuan berada di kiri kanan saya. Lalu saya iseng bertanya, “jurusan apa, Dek?” tanyaku kepada seorang penonton sebelah kanan. “Jurusan PAUD, Kak. Semester dua,” katanya. “Kakak?” “Saya Jurusan sastra semester delapan,” jawabku sambil melihat sekeliling. Perempuan yang saya ajak bicara itu hanya mengatakan “oh” Entah karena tidak tidak percaya, atau memang dia begitu percaya. Akan beda jadinya kalau cahaya benderang. Mungkin dia akan mengatakan “mahasiswa kok wajahnya boros amat…” Lalu dia menjelaskan bahwa ini adalah tontonan teater pertama yang dilihatnya. “kenapa kamu nonton?” tanyaku menyelidik. “Disuruh dosen. Pak Ahmad Supena. Kalau nggak diwajibkan sih, males,” ungkapnya.

Pementasanpun dimulai. Saya mulai membidik beberapa adegan, berusaha menikmati teater resital yang digarap oleh Syamsudin,mahasiswa PLS, berjudul “Sayang Ada Orang Lain” karya Utuy Tatang Sontani. Garapan yang realis ini tak menantang untuk kamera saya. Penata cahaya yang terlalu teknis, pemain-pemainnya yang masih kaku, menjadi bagian yang harus saya nikmati kendati melelahkan. Lalu ketika alur mulai masuk klimaks, penonton di sebelah kiri saya mengangkat HP-nya. “Iya, mamah, sebentar,…iya…nggak kok..” Kemudian, ketika asyik memotret, bokong saya tersepak oleh juluran kaki penonton di belakang. Maklum, penonton duduk lesehan. Kadang, ada waktunya beberapa penonton menjulurkan kakinya yang pegal itu. “Maaf, kak” katanya dari belakang.

Ketika menonton pementasan itu, perasaan saya sebetulnya tertambat pada dua kawan saya yang telah tiada; Wan Anwar dan Nandang Aradea. Mereka berdualah yang pertama kali menggagas berdirinya UKM Teater Kafe Ide. Kegigihan mereka di dunia sastra dan pertunjukkan menjadi magnet banyak orang untuk datang ke Untirta, termasuk saya. Ketika para aktor berpentas, yang saya lihat adalah wajah dua orang itu yang sedang berdialog.

“Rek, sebaiknya kita ke salon. Sudah saatnya rambutmu yang gondrong itu dicukur. Beberapa kali aku ditegur Sholeh Hidayat dan Dekan. Sebagai Kaprodi, kau harus tahu posisiku,” kata Wan Anwar kepada Nandang Aradea. “Ya itu kan urusanmu,” ucap Nandang sambil menyulut rokok A Mild. “Ya, ini memang tak penting, harusnya kita tak membicarakan urusan rambut, kaos, jeans dan hal-hal yang aksesoris. Eh, ada hal yang lebih menarik. Bagaimana kalau kita meneliti tentang ubrug. Aku sudah membuat draft penelitiannya.” Wan Anwar mengajukan beberapa gagasan. “Nah, aku juga sedang konsentrasi ke arah situ.” Kata Nandang dengan wajah yang sangat antusias. Lalu mereka larut dalam pembicaraan mengenai teater tradisional dengan berbagai referensi dari buku-buku babon.


Kemudian, perempuan di sebelah kiriku menangis. “Ih, kok endingnya begitu sih. Sedih amat… hu..hu…” Ia mengelap air matanya dengan tisu sambil tak henti mengarahkan pandangannya pada panggung yang mulai meredup.

Kamis, 06 Maret 2014

ATRIBUT CALEG MASUK KAMPUS, ANAK KETUA DPRD MARAH DITEGUR DOSEN




Keprihatinan civitas akademika Untirta mengenai maraknya kendaraan beratribut partai masuk ke kampus, kian membesar. Hal itu menjadi perhatian sekaligus kekesalan tersendiri bagi warga kampus. Padahal menurut Peraturan KPU no 17 Tahun 2013, atribut partai dilarang masuk ke lembaga pendidikan. Beberapa mahasiswa dan dosen yang kesal dengan kejadian tersebut, melakukan berbagai cara, mulai dari mengingatkan secara langsung kepada pengendara yang memakai atribut partai, memotret kendaraan lalu diunggah ke media sosial, hingga melaporkan kepada Bawaslu.

Atas respons dari kalangan civitas akademika yang dilandasi oleh keamanan, kenyamanan, serta demi menjaga dan menghormati Untirta sebagai lembaga akademik, Untirta melalui Kabag Umum dan Perlengkapan BUKK membuat surat edaran bernomor: 0239/UN43.7/TU/2014 yang isinya melarang kendaraan beratribut partai masuk ke dalam lingkungan kampus Untirta. Kendati demikian, nampaknya beberapa pengendara tidak menggubris Peraturan KPU maupun surat edaran tersebut. Dari pantuan pagi hingga sore tadi, terdapat tiga mobil beratribut partai yang masuk ke Untirta.

Gandung Ismanto, dosen sekaligus PD III Fisip Untirta, menemukan kendaraan dengan Nopol A 6 RA, berwajah Aeng Haerudin, caleg dari Partai Demokrat yang sekarang sedang menjabat Ketua DPRD Banten. Ketika difoto oleh beberapa dosen, pemilik mobil yang mengaku sebagai anak Aeng, marah dan tidak berkenan mobilnya difoto. “Sering saya pakai mobil ini ke kampus, nggak ada yang melarang saya!” katanya. Lalu Gandung menjelaskan mengenai peraturan KPU serta surat edaran dari Untirta. Bukannya menyadari kesalahannya, Agra, mahasiswa semester 4 di Fakultas Hukum Untirta ini malah tersinggung dan langsung membawa mobilnya keluar dari parkiran kampus. Di dalam mobil, dia berteriak, “nggak begini caranya kalau ngasih tahu orang.” Dengan tenang, Gandung memberitahu, “kalau Anda tersinggung, silahkan bawa ke ranah hukum. Sampaikan salam saya untuk Bapak (Aeng) ya.”


Perihal maraknya kendaraan beratribut partai, Abdul Salam, mahasiswa Untirta semester enam mengaku lucu melihat tindak tanduk mereka. “Ya, lucu saja. Mereka yang katanya calon legislatif tapi tidak mengindahkan peraturan. Saya yakin mereka tahu bahwa atribut partai dilarang masuk ke lembaga akademik, mereka pura-pura bodoh saja dengan harapan calon tersebut bisa dipilih nantinya.” (FV) 

Rabu, 05 Maret 2014

MEDIA DAN MASSA




MEDIA DAN MASSA[1]
Oleh Firman Venayaksa[2]
Pendahuluan
Memahami sebuah tema yang disodorkan oleh panitia “Dialog Bersama Forum Kehumasan SKPD di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Banten” membuat saya berpikir cukup keras. Tema yang diberikan adalah “Menelaah Pemberitaan Media Massa di Jejaring Sosial Media.” Ada beberapa hal yang mulai mengusik kesadaran intelektual saya atas tema ini. Pertama, apa pentingnya membahas media massa di jejaring media sosial? Bukankah media sosial yang kita pahami secara umum (juga) masuk pada kategori media massa? Apakah media massa yang dimaksud oleh panitia hanya mengacu pada surat kabar cetak, ataukah media online termasuk bagian dari media massa? Hal yang paling penting yang masuk pada benak saya adalah apa diinginkan oleh panitia sehingga tema ini muncul dan menjadi bagian dari diskusi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang cukup menggelitik, setidaknya saya sudah berusaha untuk memulai pergulatan intelektual di dalam pikiran saya kendati bisa jadi salah interpretasi. Namun memang begitulah hukum komunikasi. Re-interpretasi menjadi bagian tak terpisahkan dalam memaknai wilayah-wilayah komunikasi.
Atas dasar pertanyaan-pertanyaan di atas, lazimnya perespons, saya mulai membuka beberapa buku yang erat kaitannya dengan tema yang diusung. Lalu saya cukup beruntung bertemu dengan beberapa referensi yang dinilai relevan; terutama yang disampaikan oleh James W Carey.

Komunikasi dan Budaya
James W Carey (1989) menjelaskan mengenai dua pandangan tentang komunikasi yaitu model transmisi dan model ritual. Perpektif transmisi yang seiring kita pahami sebagai radio, televisi dan surat kabar, memandang media sebagai pengirim informasi untuk tujuan tertentu yang terkontrol. Perspektif ini bersifat searah yang mengindikasikan media sebagai kekuatan dan menganggap khalayak pasif. Sementara, perspektif ritual tidak hanya menjadikan komunikasi sebagai tindakan menyampaikan informasi, melainkan menghadirkan kembali sebuah keyakinan bersama[3]

A ritual view of communication is directed not toward the extention of messages in space but toward the maintenance of society time; not the act of imparting information but the representation of shared beliefs

Kutipan di atas menjelaskan bahwa perspektif ritual penting untuk memahami secara mendalam mengenai “budaya” dari komunikasi massa. Pada tahap ini, media sosial yang kini menjadi value alternatif dalam penyampaian informasi tidak lagi searah seperti lazimnya model transmisi. Ada ruang yang sangat terbuka untuk menghadirkan interaksi yang lebih lebih luas, interaktif dan demokratis di antara pengirim pesan dan penerima. Bahkan pada tahap selanjutnya, penerima memiliki potensi menjadi pengirim dan pengirim bisa menjadi penerima.
Jadi jika merujuk pada pemahaman di atas, dengan membedakan antara pemahaman yang bersifat transmisi dan pemahaman yang bersifat ritual, maka judul yang diberikan oleh panitia, jelas sangat menantang untuk ditelusuri. Artinya dua pemahaman yang dijelaskan oleh Carey, di dalam realitasnya bisa bermetamorfosis; sebagai contoh, media massa (cetak) kini merambah pada media sosial, di sisi lain, media sosial menjadi sarana bagi media massa (cetak) untuk mengeruk informasi dialogis dengan pembacanya, berupa respons-respons tertentu, yang kemudian hasil dari “dialog” itu dicetak kembali di dalam media massa (cetak).
Untuk memperkuat ralitas faktual tersebut, saya mengambil sampel dari FB Radar Banten pada tangga 3/5/2014 dengan pertanyaan sebagai berikut.

Ketua PWNU Provinsi Banten Zainal Mutaqien didesak sejumlah pihak agar mundur dari jabatannya. Zainal Mutaqien diketahui terjaring razia pekat di sebuah tempat karaoke di Jambi, pekan lalu. Bagaimana tanggapan Anda? Komentar untuk edisi Kamis (6/3).

Setiap hari, Koran Radar Banten melalui FB-nya selalu bertanya kepada para member FB, menanyakan kasus-kasus yang sedang hangat kepada pembaca. Dengan embel-embel bahwa komentar terbaik akan dimuat pada Koran Radar Banten edisi esok harinya, komentar-komentarpun berdatangan. Dulu media cetak membuka “surat pembaca” untuk menghadirkan respons-respons dari pembacanya. Dengan ruang FB, koran-koran cetak bisa mendapatkan respons dari pembaca dengan lebih cepat dan banyak.

Media, Massa dan Media Sosial
          Untuk menjelaskan lebih dalam mengenai tema yang akan dibahas, ada baiknya kita memposisikan terlebih dahulu secara definitif apa yang disebut dengan media, massa dan media sosial. Umumnya media didefinisikan sebagai sebuah sarana untuk menjembatani antara pengirim dan penerima. Jika kita memanfaatkan teori Karl Buhler yang diadaptasi dari teori strukturalisme Saussure, setidaknya ada tiga faktor yang berperan di dalam proses komunikasi verbal yaitu pengirim, penerima, dan hal yang dibicarakan (referen atau acuan).[4] Sementara, di dalam konsep yang bersifat tidak langsung (non verbal) maka faktor lain yang luput dari perhatian Buhler adalah media. Jika kembali pada pemahaman Carey mengenai konsep transmisi, media bisa berupa kertas atau frekuensi untuk menampung referen.
Hal lain yang penting untuk kita bahas adalah “massa”. Massa adalah Anda, saya, kita. Di dalam pemahaman ini, massa adalah kerumuman individu  yang bersifat kolektif; tidak lagi melihat ruang-ruang yang bersifat personal. Di dalam teori kebudayaan massa, konsep manusia dianggap memiliki naluri instingtif yang general dan itu bisa kita lihat dari pranata kebudayaan populer, terutama dalam merespons gejala sosial kontemporer. Media sosial adalah sampel yang paling mungkin kita telusuri. Pada dunia yang terkoneksi satu sama lain, kini massa menggantungkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan informasi dan bersosialisasi melalui media sosial. Dengan karakteristik yang connected, cepat dan massif, massa dengan mudah ditemui di ruang maya. Kita bisa memilih untuk merambah pada jenis-jenis media social yang ada seperti proyek kolaborasi (wiki), blog (blogspot), konten (youtube), situs jejaring sosial/ microblog (facebook), virtual game world (game online), atau virtual social world (second life). Jadi, yang bisa kita lihat dari realitas budaya massa semacam ini, informasi tidak lagi menjadi fokus utama; konsep ritual/ keyakinan lebih memiliki posisi penting.
Maka, pada akhirnya, media massa yang berisifat klasik, tidak bisa berdiam diri dalam melihat kenyataan ini. Beberapa media yang awalnya cetak seperti koran harian, mulai masuk pada ruang ritual ini dengan membuat website atau microblog seperti facebook dan twitter untuk menyeimbangkan kebudayaan massa yang selalu bergegas.
Namun demikian, ada beberapa hal yang penting juga untuk kita soroti sekaitan dengan situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Dengan karakteristiknya, situs jejaring sosial semacam ini memiliki potensi yang bisa merugikan pemakainya, misalnya bullying. Perilaku bully tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di media sosial, bullying banyak terjadi. Biasanya dilakukan secara massif kepada seseorang untuk mencemooh, menjelek-jelekkan, memfitnah, mempermalukan di depan umum yang berujung pada terganggunya psikologi seseorang. Pada tahun 2013, Yoga Cahyadi, seorang ketua event organizer di Jogjakarta, dibully habis-habisan atas acara festival musik yang dianggap gagal. Akibat tekanan psikologis yang dituduhkan kepadanya, ia akhirnya bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke kereta api.  

Fesbuk Banten News dan Jurnalisme Warga
         Microblog facebook yang bisa kita amati dalam memperlihatkan keberhasilan di sosial media adalah Fesbuk Banten News (FBN) yang didirikan oleh NP Rahardian, Andi ST dan Lulu Jamaludin pada tanggal 4 Maret 2010. FBN memanfaatkan fasilitas berbayar facebook yaitu fan page dengan mengusung jurnalisme warga. Berbeda dengan member standar yang hanya berjejaring dengan 5000 member, fan page bisa menampung jutaan relasi. Hingga kini, FBN tercatat memiliki 40.375 followers; sebuah angka yang cukup fantastis bagi “komunitas” yang fokus pada pemberitaan di Provinsi Banten.
Selain pemberitaan yang disajikan oleh wartawan FBN, mereka juga menampung jurnalisme warga, yaitu sebuah cara partisipasi aktif dari masyarakat untuk memberitakan apapun yang berada di sekelilingnya. Masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai objek yang pasif, ia bisa menjadi subjek aktif, sehingga penghargaan kepada pembaca menjadi kian dihormati. Pemberitaan tidak lagi didominasi oleh “news maker” seperti selebriti, para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat. Konser musik, kehilangan STNK, bahkan kegiatan-kegiatan sosial membantu masyarakat yang tidak mampu, menjadi ruang bewara yang humanis. Hingga saat ini, FBN menjadi alternatif pemberitaan yang cukup menarik, bahkan bisa diadopsi oleh komunal lain.

Penutup
Sekaitan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No 14 tahun 2008, seyogianya Humas yang berada di SKPD membuat hal serupa. Dengan dihadirkannya informasi-informasi kepada publik, akan hadir kepercayaan yang selama ini dianggap mahal. Kembali pada teori Carey, yang dipentingkan oleh publik kita hari ini bukan hanya informasi, tapi bagaimana kepercayaan itu dihadirkan di ruang publik dengan lebih terbuka.

Tanah Air, 2014





[1] Kertas kerja ini disampaikan pada acara diskusi yang diadakan oleh Biro Humas Pemprov Banten di Hotel D’Griya, 6 Maret 2014
[2] Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Untirta, pengampu Matakuliah Penulisan Seni dan Budaya, Ilmu Komunikasi FISIP Untirta.
[3] Idi Subandy Ibrahim, “Pengantar Editor” dalam John Fiske. 2011. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
[4] Hoed, Benny H. 2003. “Strukturalisme De Saussure di Prancis dan Perkembangannya” dalam Prancis dan Kita. Jakarta: WWS.