Rabu, 05 Maret 2014

MEDIA DAN MASSA




MEDIA DAN MASSA[1]
Oleh Firman Venayaksa[2]
Pendahuluan
Memahami sebuah tema yang disodorkan oleh panitia “Dialog Bersama Forum Kehumasan SKPD di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Banten” membuat saya berpikir cukup keras. Tema yang diberikan adalah “Menelaah Pemberitaan Media Massa di Jejaring Sosial Media.” Ada beberapa hal yang mulai mengusik kesadaran intelektual saya atas tema ini. Pertama, apa pentingnya membahas media massa di jejaring media sosial? Bukankah media sosial yang kita pahami secara umum (juga) masuk pada kategori media massa? Apakah media massa yang dimaksud oleh panitia hanya mengacu pada surat kabar cetak, ataukah media online termasuk bagian dari media massa? Hal yang paling penting yang masuk pada benak saya adalah apa diinginkan oleh panitia sehingga tema ini muncul dan menjadi bagian dari diskusi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang cukup menggelitik, setidaknya saya sudah berusaha untuk memulai pergulatan intelektual di dalam pikiran saya kendati bisa jadi salah interpretasi. Namun memang begitulah hukum komunikasi. Re-interpretasi menjadi bagian tak terpisahkan dalam memaknai wilayah-wilayah komunikasi.
Atas dasar pertanyaan-pertanyaan di atas, lazimnya perespons, saya mulai membuka beberapa buku yang erat kaitannya dengan tema yang diusung. Lalu saya cukup beruntung bertemu dengan beberapa referensi yang dinilai relevan; terutama yang disampaikan oleh James W Carey.

Komunikasi dan Budaya
James W Carey (1989) menjelaskan mengenai dua pandangan tentang komunikasi yaitu model transmisi dan model ritual. Perpektif transmisi yang seiring kita pahami sebagai radio, televisi dan surat kabar, memandang media sebagai pengirim informasi untuk tujuan tertentu yang terkontrol. Perspektif ini bersifat searah yang mengindikasikan media sebagai kekuatan dan menganggap khalayak pasif. Sementara, perspektif ritual tidak hanya menjadikan komunikasi sebagai tindakan menyampaikan informasi, melainkan menghadirkan kembali sebuah keyakinan bersama[3]

A ritual view of communication is directed not toward the extention of messages in space but toward the maintenance of society time; not the act of imparting information but the representation of shared beliefs

Kutipan di atas menjelaskan bahwa perspektif ritual penting untuk memahami secara mendalam mengenai “budaya” dari komunikasi massa. Pada tahap ini, media sosial yang kini menjadi value alternatif dalam penyampaian informasi tidak lagi searah seperti lazimnya model transmisi. Ada ruang yang sangat terbuka untuk menghadirkan interaksi yang lebih lebih luas, interaktif dan demokratis di antara pengirim pesan dan penerima. Bahkan pada tahap selanjutnya, penerima memiliki potensi menjadi pengirim dan pengirim bisa menjadi penerima.
Jadi jika merujuk pada pemahaman di atas, dengan membedakan antara pemahaman yang bersifat transmisi dan pemahaman yang bersifat ritual, maka judul yang diberikan oleh panitia, jelas sangat menantang untuk ditelusuri. Artinya dua pemahaman yang dijelaskan oleh Carey, di dalam realitasnya bisa bermetamorfosis; sebagai contoh, media massa (cetak) kini merambah pada media sosial, di sisi lain, media sosial menjadi sarana bagi media massa (cetak) untuk mengeruk informasi dialogis dengan pembacanya, berupa respons-respons tertentu, yang kemudian hasil dari “dialog” itu dicetak kembali di dalam media massa (cetak).
Untuk memperkuat ralitas faktual tersebut, saya mengambil sampel dari FB Radar Banten pada tangga 3/5/2014 dengan pertanyaan sebagai berikut.

Ketua PWNU Provinsi Banten Zainal Mutaqien didesak sejumlah pihak agar mundur dari jabatannya. Zainal Mutaqien diketahui terjaring razia pekat di sebuah tempat karaoke di Jambi, pekan lalu. Bagaimana tanggapan Anda? Komentar untuk edisi Kamis (6/3).

Setiap hari, Koran Radar Banten melalui FB-nya selalu bertanya kepada para member FB, menanyakan kasus-kasus yang sedang hangat kepada pembaca. Dengan embel-embel bahwa komentar terbaik akan dimuat pada Koran Radar Banten edisi esok harinya, komentar-komentarpun berdatangan. Dulu media cetak membuka “surat pembaca” untuk menghadirkan respons-respons dari pembacanya. Dengan ruang FB, koran-koran cetak bisa mendapatkan respons dari pembaca dengan lebih cepat dan banyak.

Media, Massa dan Media Sosial
          Untuk menjelaskan lebih dalam mengenai tema yang akan dibahas, ada baiknya kita memposisikan terlebih dahulu secara definitif apa yang disebut dengan media, massa dan media sosial. Umumnya media didefinisikan sebagai sebuah sarana untuk menjembatani antara pengirim dan penerima. Jika kita memanfaatkan teori Karl Buhler yang diadaptasi dari teori strukturalisme Saussure, setidaknya ada tiga faktor yang berperan di dalam proses komunikasi verbal yaitu pengirim, penerima, dan hal yang dibicarakan (referen atau acuan).[4] Sementara, di dalam konsep yang bersifat tidak langsung (non verbal) maka faktor lain yang luput dari perhatian Buhler adalah media. Jika kembali pada pemahaman Carey mengenai konsep transmisi, media bisa berupa kertas atau frekuensi untuk menampung referen.
Hal lain yang penting untuk kita bahas adalah “massa”. Massa adalah Anda, saya, kita. Di dalam pemahaman ini, massa adalah kerumuman individu  yang bersifat kolektif; tidak lagi melihat ruang-ruang yang bersifat personal. Di dalam teori kebudayaan massa, konsep manusia dianggap memiliki naluri instingtif yang general dan itu bisa kita lihat dari pranata kebudayaan populer, terutama dalam merespons gejala sosial kontemporer. Media sosial adalah sampel yang paling mungkin kita telusuri. Pada dunia yang terkoneksi satu sama lain, kini massa menggantungkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan informasi dan bersosialisasi melalui media sosial. Dengan karakteristik yang connected, cepat dan massif, massa dengan mudah ditemui di ruang maya. Kita bisa memilih untuk merambah pada jenis-jenis media social yang ada seperti proyek kolaborasi (wiki), blog (blogspot), konten (youtube), situs jejaring sosial/ microblog (facebook), virtual game world (game online), atau virtual social world (second life). Jadi, yang bisa kita lihat dari realitas budaya massa semacam ini, informasi tidak lagi menjadi fokus utama; konsep ritual/ keyakinan lebih memiliki posisi penting.
Maka, pada akhirnya, media massa yang berisifat klasik, tidak bisa berdiam diri dalam melihat kenyataan ini. Beberapa media yang awalnya cetak seperti koran harian, mulai masuk pada ruang ritual ini dengan membuat website atau microblog seperti facebook dan twitter untuk menyeimbangkan kebudayaan massa yang selalu bergegas.
Namun demikian, ada beberapa hal yang penting juga untuk kita soroti sekaitan dengan situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Dengan karakteristiknya, situs jejaring sosial semacam ini memiliki potensi yang bisa merugikan pemakainya, misalnya bullying. Perilaku bully tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di media sosial, bullying banyak terjadi. Biasanya dilakukan secara massif kepada seseorang untuk mencemooh, menjelek-jelekkan, memfitnah, mempermalukan di depan umum yang berujung pada terganggunya psikologi seseorang. Pada tahun 2013, Yoga Cahyadi, seorang ketua event organizer di Jogjakarta, dibully habis-habisan atas acara festival musik yang dianggap gagal. Akibat tekanan psikologis yang dituduhkan kepadanya, ia akhirnya bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke kereta api.  

Fesbuk Banten News dan Jurnalisme Warga
         Microblog facebook yang bisa kita amati dalam memperlihatkan keberhasilan di sosial media adalah Fesbuk Banten News (FBN) yang didirikan oleh NP Rahardian, Andi ST dan Lulu Jamaludin pada tanggal 4 Maret 2010. FBN memanfaatkan fasilitas berbayar facebook yaitu fan page dengan mengusung jurnalisme warga. Berbeda dengan member standar yang hanya berjejaring dengan 5000 member, fan page bisa menampung jutaan relasi. Hingga kini, FBN tercatat memiliki 40.375 followers; sebuah angka yang cukup fantastis bagi “komunitas” yang fokus pada pemberitaan di Provinsi Banten.
Selain pemberitaan yang disajikan oleh wartawan FBN, mereka juga menampung jurnalisme warga, yaitu sebuah cara partisipasi aktif dari masyarakat untuk memberitakan apapun yang berada di sekelilingnya. Masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai objek yang pasif, ia bisa menjadi subjek aktif, sehingga penghargaan kepada pembaca menjadi kian dihormati. Pemberitaan tidak lagi didominasi oleh “news maker” seperti selebriti, para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat. Konser musik, kehilangan STNK, bahkan kegiatan-kegiatan sosial membantu masyarakat yang tidak mampu, menjadi ruang bewara yang humanis. Hingga saat ini, FBN menjadi alternatif pemberitaan yang cukup menarik, bahkan bisa diadopsi oleh komunal lain.

Penutup
Sekaitan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No 14 tahun 2008, seyogianya Humas yang berada di SKPD membuat hal serupa. Dengan dihadirkannya informasi-informasi kepada publik, akan hadir kepercayaan yang selama ini dianggap mahal. Kembali pada teori Carey, yang dipentingkan oleh publik kita hari ini bukan hanya informasi, tapi bagaimana kepercayaan itu dihadirkan di ruang publik dengan lebih terbuka.

Tanah Air, 2014





[1] Kertas kerja ini disampaikan pada acara diskusi yang diadakan oleh Biro Humas Pemprov Banten di Hotel D’Griya, 6 Maret 2014
[2] Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Untirta, pengampu Matakuliah Penulisan Seni dan Budaya, Ilmu Komunikasi FISIP Untirta.
[3] Idi Subandy Ibrahim, “Pengantar Editor” dalam John Fiske. 2011. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
[4] Hoed, Benny H. 2003. “Strukturalisme De Saussure di Prancis dan Perkembangannya” dalam Prancis dan Kita. Jakarta: WWS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar