Kamis, 26 Juni 2014

DZAKWAN ALI: MAHASISWA MATEMATIKA PENULIS SASTRA

Pada sebuah pertemuan para dosen dua tahun lalu yang dihadiri oleh seluruh pejabat kampus di Bogor, Rektor Untirta dengan bangga menjelaskan bahwa ada seorang mahasiswa yang jadi juara I lomba menulis Cerpen tingkat mahasiswa se-Indonesia pada perhelatan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) 2012. “Saya cukup bangga dengan prestasi tersebut. Dia juara I menulis Cerpen se-Indonesia. Tapi ternyata dia bukan anak Sastra, dia mahasiswa Matematika. Bagaimana ini, Pak Firman?” ucapnya sambil tersenyum penuh kemenangan ke arah saya.

Saya tahu maksud pertanyaannya. Rektor mau mempermalukan saya di depan publik. Dari dulu, semua orang tahu Rektor memang tak suka dengan saya, terutama cara saya berpenampilan. Seorang dosen dari Fakultas Hukum pernah memberitahu saya bahwa Rektor tidak suka dosen bercelana jeans apa lagi berambut gondrong. Padahal saya tidak pernah mempermasalahkan ketika Rektor menggondrongkan kumisnya. Menurut saya, persoalan rambut, bulu dan seterusnya terlalu fana untuk didiskusikan apa lagi diperdebatkan. Ini menyangkut urusan estetik yang sangat subjektif.

Kurang lebih jika saya bongkar makna konotatif pertanyaan Rektor di atas itu menjadi begini, “Firman, kamu jangan sok sastrawan. Buktinya yang menang di Peksiminas itu bukan mahasiswa kamu.” Pertanyaan retoris itupun saya jawab dengan sederhana. “Itu baru mahasiswa Matematik, Pak Rektor. Apa lagi prestasi mahasiswa sastra yang sebenarnya.”  Beberapa dosen yang tahu bahwa Dzakwan Ali belajar menulis cerpen kepada saya langsung tertawa terbahak-bahak, tapi bagi para dosen yang tdak tahu arah jawaban saya tersenyum kecut, penuh ketakmengertian. Tapi Pernyataan itu benar adanya. Tidak sedikit mahasiswa sastra yang terlibat pada perhelatan kesusastraan bergengsi di tanah air, tulisan mereka dibukukan dalam pelbagai antologi. Tulisan mereka banyak dimuat di media nasional.

Waktu itu, saya pikir tak perlu menjelaskan kepada mereka secara terang benderang bahwa saya punya andil dalam “menyeret” mahasiswa Matematik itu jadi gandrung menulis cerpen. Tapi ternyata, memang itulah satu-satunya cara untuk mempermalukan saya secara khusus, dan dosen sastra lainnya secara umum, di depan publik.

Kemarin (25/6) di saung kafe ide, saya bertemu dengan salah satu rekan dosen sastra yang ikut seminar penulisan bahan ajar yang diselenggarakan Prodi Matematika. Dia mengatakan bahwa di dalam acara pembukaan, Dekan mengelu-elukan kembali pemenang lomba cerpen yang berasal dari mahasiswa Matematika itu. “Sepertinya mereka masih senang mempermalukan kita dengan cara pandang mereka,” kata teman saya itu.

Atas dasar itulah saya menulis tulisan ini; untuk membuka cara pandang mereka yang ngawur dan tak tahu berterimakasih. Dulu, ketika diminta menjadi juri tunggal untuk seleksi Peksiminas tangkai menulis cerpen tahun 2012, saya memberanikan diri untuk memenangkan cerpen milik Dzakwan Ali dibandingkan dengan cerpen-cerpen dari mahasiswa saya. Alasannya sederhana, karena saya merasakan ada potensi menulis yang baik dari tulisan Dzakwan. Tapi saya beritahu kepada panitia, bahwa tulisannya tidak jauh lebih baik dari yang lain.

Biasanya pada lomba cerpen, karya-karya mahasiswa sastra-lah yang paling banyak masuk. Pada waktu itu saya cukup surprise ketika mengetahui ada mahasiswa Matematik yang ikut serta. Saya pikir, perlu juga untuk bersyiar ke mahasiswa lain di luar mahasiswa sastra, toh secara estetik, anak ini lumayan baik.  Dari konsekuensi yang saya buat itu saya siap untuk membimbingnya menulis cerpen. Di sisi lain, mahasiswa sastra yang ikut seleksi, marah kepada saya. Beberapa orang menggugat saya dan menganggap saya tidak memihak kepada mahasiswanya sendiri. Saya jelaskan kepada mereka bahwa jika secara estetik kalian sama dengan mahasiswa Matematik itu, maka kalian kalah. Ini persoalan lomba, bukan persoalan keberpihakan.

Saya tidak mau ambil pusing. Biarkanlah mahasiswa saya marah, toh mereka tidak akan mendemo saya. Di sisi lain, itu cara saya memicu mereka agar lebih baik lagi berkarya. Lalu dalam beberapa waktu, saya bertemu Dzakwan Ali. Ngobrol mengenai dunia sastra. Menjelaskan secara dasar bagaimana menulis cerpen yang baik untuk sebuah perlombaan. Sebagai mahasiswa yang biasa nongkrong di mesjid, saya tahu dia agak kikuk berhadapan dengan saya. Saya berusaha meliarkan imajinasinya. Saya bilang kepadanya, “cari judul membuat pembaca terhenyak, tersugesti untuk mau membaca karya kamu.” Beberapa hari kemudian, cerpennya masuk ke email saya. Saya bahagia ketika dia berhasil menemukan judul cerpen yang asyik “Berebut Kentut” dengan alur yang cukup imajinatif.

Di waktu yang lain, seorang staf kemahasiswaan datang untuk berkonsultasi dengan saya mengenai kuota pemberangkatan ke Nusa Tenggara. “Kang, sepertinya beberapa lomba tidak akan diikutkan mengingat dana dari Untirta sangat terbatas. Jadi beberapa lomba, termasuk pemenang menulis cerpen sepertinya tidak akan diikutsertakan. Lagi pula dia kan bukan orang sastra, kemungkinan menangnya kan kecil, Kita juga kan harus memikirkan beberapa dosen dan pejabat yang ikut mendampingi” kata staf itu.

Mendengar perkataan staf itu, saya jengkel luar biasa. “Untuk apa saya memenangkan anak itu, ngajarin anak itu nulis cerpen, kalau dia tidak ikut? Kalian mau mengecilkan integritas saya sebagai juri?” Dimarahi seperti itu, staf kemahasiswaan yang pernah jadi mahasiswa saya di FISIP itu terlihat pusing. Dia sepertinya sudah tidak tahu lagi harus mencari solusi. Dia masih honorer. Mungkin atasannya meminta dia untuk berbaik-baik dengan saya mengingat dia pernah dekat dengan saya, bahkan pernah menciptakan lagu untuk bandnya dulu.  Lalu saya katakan kepadanya. “Begini saja, kuota pendamping dosen delete satu. Saya tidak perlu ikut kesana, yang penting anak ini harus masuk.” Sejak tahun 2008, saya memang biasa mendampingi mahasasiswa untuk acara Peksiminas bersama Pak Denny Sutrisna. Dan urusannya  selalu ribet dengan pendanaan. Staf itu kemudian pergi seakan menemukan jalan keluar.

Akhirnya Denny alias Dzakwan Ali ikut bersama rombongan lainnya. Saya ikut bahagia ketika mendengar bahwa dia Juara I lomba menulis cerpen. Diapun mengikuti saran saya untuk ikut bergabung di Kelas menulis Rumah Dunia agar kecintaannya terhadap dunia sastra bisa tersalurkan. Hingga kini, dia aktif di Rumah Dunia bahkan mengajak teman-teman lainnya menjadi relawan literasi.

Sekarang ini sedang musim seleksi Peksiminas lagi di kampus. Semoga mahasiswa Untirta dan mahasiswa Banten pada umumnya bisa lebih bisa ikut bicara di perhelatan seni yang bergengsi itu.

Tanah Air, 2014