Pada sebuah pertemuan para dosen dua tahun lalu yang
dihadiri oleh seluruh pejabat kampus di Bogor, Rektor Untirta dengan bangga
menjelaskan bahwa ada seorang mahasiswa yang jadi juara I lomba menulis Cerpen
tingkat mahasiswa se-Indonesia pada perhelatan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas)
2012. “Saya cukup bangga dengan prestasi tersebut. Dia juara I menulis Cerpen
se-Indonesia. Tapi ternyata dia bukan anak Sastra, dia mahasiswa Matematika.
Bagaimana ini, Pak Firman?” ucapnya sambil tersenyum penuh kemenangan ke arah saya.
Saya tahu maksud pertanyaannya. Rektor mau
mempermalukan saya di depan publik. Dari dulu, semua orang tahu Rektor memang
tak suka dengan saya, terutama cara saya berpenampilan. Seorang dosen dari
Fakultas Hukum pernah memberitahu saya bahwa Rektor tidak suka dosen bercelana
jeans apa lagi berambut gondrong. Padahal saya tidak pernah mempermasalahkan
ketika Rektor menggondrongkan kumisnya. Menurut saya, persoalan rambut, bulu
dan seterusnya terlalu fana untuk didiskusikan apa lagi diperdebatkan. Ini
menyangkut urusan estetik yang sangat subjektif.
Kurang lebih jika saya bongkar makna konotatif
pertanyaan Rektor di atas itu menjadi begini, “Firman, kamu jangan sok
sastrawan. Buktinya yang menang di Peksiminas itu bukan mahasiswa kamu.”
Pertanyaan retoris itupun saya jawab dengan sederhana. “Itu baru mahasiswa
Matematik, Pak Rektor. Apa lagi prestasi mahasiswa sastra yang sebenarnya.” Beberapa dosen yang tahu bahwa Dzakwan Ali
belajar menulis cerpen kepada saya langsung tertawa terbahak-bahak, tapi bagi
para dosen yang tdak tahu arah jawaban saya tersenyum kecut, penuh
ketakmengertian. Tapi Pernyataan itu benar adanya. Tidak sedikit mahasiswa
sastra yang terlibat pada perhelatan kesusastraan bergengsi di tanah air,
tulisan mereka dibukukan dalam pelbagai antologi. Tulisan mereka banyak dimuat
di media nasional.
Waktu itu, saya pikir tak perlu menjelaskan kepada
mereka secara terang benderang bahwa saya punya andil dalam “menyeret”
mahasiswa Matematik itu jadi gandrung menulis cerpen. Tapi ternyata, memang
itulah satu-satunya cara untuk mempermalukan saya secara khusus, dan dosen
sastra lainnya secara umum, di depan publik.
Kemarin (25/6) di saung kafe ide, saya bertemu
dengan salah satu rekan dosen sastra yang ikut seminar penulisan bahan ajar
yang diselenggarakan Prodi Matematika. Dia mengatakan bahwa di dalam acara
pembukaan, Dekan mengelu-elukan kembali pemenang lomba cerpen yang berasal dari
mahasiswa Matematika itu. “Sepertinya mereka masih senang mempermalukan kita
dengan cara pandang mereka,” kata teman saya itu.
Atas dasar itulah saya menulis tulisan ini; untuk
membuka cara pandang mereka yang ngawur dan tak tahu berterimakasih. Dulu,
ketika diminta menjadi juri tunggal untuk seleksi Peksiminas tangkai menulis
cerpen tahun 2012, saya memberanikan diri untuk memenangkan cerpen milik
Dzakwan Ali dibandingkan dengan cerpen-cerpen dari mahasiswa saya. Alasannya
sederhana, karena saya merasakan ada potensi menulis yang baik dari tulisan
Dzakwan. Tapi saya beritahu kepada panitia, bahwa tulisannya tidak jauh lebih
baik dari yang lain.
Biasanya pada lomba cerpen, karya-karya mahasiswa
sastra-lah yang paling banyak masuk. Pada waktu itu saya cukup surprise ketika mengetahui ada mahasiswa
Matematik yang ikut serta. Saya pikir, perlu juga untuk bersyiar ke mahasiswa
lain di luar mahasiswa sastra, toh secara estetik, anak ini lumayan baik. Dari konsekuensi yang saya buat itu saya siap
untuk membimbingnya menulis cerpen. Di sisi lain, mahasiswa sastra yang ikut
seleksi, marah kepada saya. Beberapa orang menggugat saya dan menganggap saya
tidak memihak kepada mahasiswanya sendiri. Saya jelaskan kepada mereka bahwa
jika secara estetik kalian sama dengan mahasiswa Matematik itu, maka kalian
kalah. Ini persoalan lomba, bukan persoalan keberpihakan.
Saya tidak mau ambil pusing. Biarkanlah mahasiswa
saya marah, toh mereka tidak akan mendemo saya. Di sisi lain, itu cara saya
memicu mereka agar lebih baik lagi berkarya. Lalu dalam beberapa waktu, saya bertemu
Dzakwan Ali. Ngobrol mengenai dunia sastra. Menjelaskan secara dasar bagaimana
menulis cerpen yang baik untuk sebuah perlombaan. Sebagai mahasiswa yang biasa
nongkrong di mesjid, saya tahu dia agak kikuk berhadapan dengan saya. Saya
berusaha meliarkan imajinasinya. Saya bilang kepadanya, “cari judul membuat pembaca
terhenyak, tersugesti untuk mau membaca karya kamu.” Beberapa hari kemudian,
cerpennya masuk ke email saya. Saya bahagia ketika dia berhasil menemukan judul
cerpen yang asyik “Berebut Kentut” dengan alur yang cukup imajinatif.
Di waktu yang lain, seorang staf kemahasiswaan datang
untuk berkonsultasi dengan saya mengenai kuota pemberangkatan ke Nusa Tenggara.
“Kang, sepertinya beberapa lomba tidak akan diikutkan mengingat dana dari
Untirta sangat terbatas. Jadi beberapa lomba, termasuk pemenang menulis cerpen
sepertinya tidak akan diikutsertakan. Lagi pula dia kan bukan orang sastra, kemungkinan
menangnya kan kecil, Kita juga kan harus memikirkan beberapa dosen dan pejabat
yang ikut mendampingi” kata staf itu.
Mendengar perkataan staf itu, saya jengkel luar
biasa. “Untuk apa saya memenangkan anak itu, ngajarin anak itu nulis cerpen,
kalau dia tidak ikut? Kalian mau mengecilkan integritas saya sebagai juri?”
Dimarahi seperti itu, staf kemahasiswaan yang pernah jadi mahasiswa saya di
FISIP itu terlihat pusing. Dia sepertinya sudah tidak tahu lagi harus mencari
solusi. Dia masih honorer. Mungkin atasannya meminta dia untuk berbaik-baik
dengan saya mengingat dia pernah dekat dengan saya, bahkan pernah menciptakan
lagu untuk bandnya dulu. Lalu saya katakan
kepadanya. “Begini saja, kuota pendamping dosen delete satu. Saya tidak perlu
ikut kesana, yang penting anak ini harus masuk.” Sejak tahun 2008, saya memang
biasa mendampingi mahasasiswa untuk acara Peksiminas bersama Pak Denny
Sutrisna. Dan urusannya selalu ribet
dengan pendanaan. Staf itu kemudian pergi seakan menemukan jalan keluar.
Akhirnya Denny alias Dzakwan Ali ikut bersama
rombongan lainnya. Saya ikut bahagia ketika mendengar bahwa dia Juara I lomba
menulis cerpen. Diapun mengikuti saran saya untuk ikut bergabung di Kelas
menulis Rumah Dunia agar kecintaannya terhadap dunia sastra bisa tersalurkan.
Hingga kini, dia aktif di Rumah Dunia bahkan mengajak teman-teman lainnya menjadi
relawan literasi.
Sekarang ini sedang musim seleksi Peksiminas lagi di
kampus. Semoga mahasiswa Untirta dan mahasiswa Banten pada umumnya bisa lebih
bisa ikut bicara di perhelatan seni yang bergengsi itu.
Tanah Air, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar