Kamis, 10 Juli 2014

EPILOG CAPRES


Pada pemilihan Calon Presiden kini, peperangan politik tidak hanya didominasi oleh kalangan elit partai. Semua memiliki hak untuk bersuara walaupun terkadang bising dan berisik. Kita menjadi sulit untuk mendeteksi apakah suara-suara itu penuh makna atau hanya sekadar gema.

Jika dulu para pengamat politik dan lembaga survei bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk memilih calon Presiden, sekarang sulit untuk mendapatkan netralitas objektif itu. Begitupun dengan peran media. Kenapa? Karena hanya ada dua pilihan. Jika Anda mengkritik Capres tertentu, seobjektif apapun, maka Anda akan diposisikan sebagai pendukung Capres lainnya dan begitupun sebaliknya. Alih-alih membuka ruang objektif, Anda akan selalu disudutkan karena membuka ruang negatif Capres yang lain. Padahal jika kita mengkritik, salah satu poin yang tak bisa dihindari adalah melakukan penilaian dan evaluasi. Namun ada hal yang tak terbantahkan. Kita menjadi begitu peduli pada Pilpres kali ini.

Begitulah jika kita berada pada dua pilihan. Hal itupun terlihat dari lembaga survei yang sekarang ini ramai digunjingkan bahkan dijadikan sebagai parameter keberhasilan dua pasangan Capres. Dua-duanya mengklaim berdasarkan hasil quick count bahwa mereka memenangkan pertarungan. Sehingga di jejaring sosial banyak yang berceloteh bahwa kini Indonesia memiliki dua Presiden yaitu Presiden quick count. Candaan pun berlanjut, “sebaiknya dibuat dua shift saja, ada Presiden Siang dan Presiden malam biar adil.”
Di dalam tulisan ini, saya tak hendak menjustifikasi persoalan hasil lembaga survei tersebut. Kredibilitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan. Siapa yang bermain-main dengan data, akan dihukum dengan sendirinya. Saya ingin lebih fokus pada ruang lain yang lebih menarik dan menjadi fenomena baru.
Pada perhelatan Pilpres lalu, mesin partai sangat mendominasi. Partai-partai yang meraih suara mayoritas, lebih diunggulkan menjadi pemenang Pilpres dan tidak membuka ruang kerelawanan seperti masyarakat non partai. Begitupun dari sisi pendanaan. Masyarakat tidak diberi peluang untuk ikut menyumbang pada calon presiden yang diminatinya. Konsep klasik ini membuat jarak yang cukup nganga di antara masyarakat dan para elit politisi. Padahal perubahan mekanisme demokrasi memungkinkan terjadinya terobosan-terobosan baru. Rakyat rindu untuk dilibatkan.

Sayangnya, konsep klasik ini masih dipakai oleh pasangan Prabowo-Hatta. Slogan “Presiden Pilihan Rakyat” mengindikasikan ada  konstruk hierarki yang dipertahankan yaitu Presiden-Rakyat. Sementara di kubu ke-2 dengan slogan “Jokowi-JK adalah kita” telah mendekonstruksi kemapanan klasikal yang dibangun elit politisi. Dengan demikian, rakyat menjadi bagian yang integral dari Jokowi-JK. Citraan lain dari kubu Prabowo-Hatta yang mengajak Indonesia menjadi macan Asia lalu “dipaksa” bernostalgia ke masa Orde Baru dengan menjual stabilitas keamanan dan harga-harga murah hanyalah utopia belaka. Orde Baru bagi sebagian rakyat mungkin masa keemasan, tapi di sisi lain yang cenderung dilupakan adalah mereka telah membuka luka lama bangsa ini. Bagaimana mungkin bangsa ini ingin menoleh pada masa itu; sebuah Orde yang sangar dan tak membuka ruang kebebasan berbeda pendapat.

Pada Pilpres sekarang, diakui atau tidak, kubu Jokowi-JK telah membangun konstruksi demokrasi yang lebih modern. Jokowi-JK menekankan pada slogan “Indonesia Bisa” yang mengajak pada ruang visioner yang lebih konstruktif. Rakyat dibuka peluangnya untuk ikut terlibat menjadi relawan mereka. Bahkan dengan durasi yang tidak terlalu lama, pasangan ini membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut menyumbang pada Pilpres ini. 120 milyar lebih yang dihimpun dari sumbangan masyarakat bukanlah dana yang sedikit.

Pada tulisan ini, saya tidak menampik bahwa ada kerja-kerja partai yang ikut membangun kontestasi Pilpres. Namun yang membedakan Pilpres sekarang dengan Pilpres sebelumnya terletak pada pendulum ini; relawan. Kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh para relawan dari pelbagai dimensi telah membuka mata para politisi di Indonesia bahwa kekuatan para relawan jauh lebih segar dan tak terbantahkan. Jika hanya mengandalkan suara yang dibangun partai yang mendukung Jokowi-JK, tidak akan cukup mengimbangi kubu Prabowo-Hatta yang didukung oleh mayoritas partai di Republik ini. Jadi, elektabilitas Capres bukanlah satu-satunya modal untuk Pilpres kali ini. Keikhlasan para relawan untuk mendukung Jokowi-JK lah yang membuat mereka bisa kuat. Wajar jika selesai Pemilihan Umum, yang pertama kali dilakukan oleh Jokowi adalah mendatangi komunitas-komunitas relawan. Karena ia mahfum betul bahwa ia memiliki “hutang budi” kepada para relawannya.

Namun demikian, saya yakin bahwa kedua Capres ini, baik dari kubu Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta menginginkan hal terbaik untuk bangsa ini; bangsa yang merindukan perubahan yang berarti, tidak hanya slogan dan pencitraan semata. Selepas Pemilu ini masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama merealisasikan janji-janji mereka.