Ada celah bagi dosen yang tak bisa mengelak untuk tak
mengenal mahasiswanya yaitu “mahasiswa ekstrim(is)”. Mahasiswa ekstrim ini
terbagi atas dua kutub, negatif dan positif. Misalnya, dosen pasti akan
mengenal mahasiswa paling cerdas karena ia aktif di kelas, aktif sebagai
organisatoris, sering bertanya atau aktif menyanggah dosen; memiliki aktivitas akademik
yang di atas rata-rata dan ia akan menghubungi dosennya jika jarang masuk ke
kelas dan ia tak segan untuk protes jika nilainya jatuh karena sebab yang tak
masuk akal. Inilah yang saya sebut mahasiswa ekstrim positif. Kutub lain yang
juga tak lepas dari perhatian dosen adalah
mahasiswa yang malas masuk kelas, sering terlambat memasukkan tugas lalu
tiba-tiba saja ia ingin ikut Ujian Akhir Semester. Tentu hal ini mudah
dideteksi sebagai obrolan hangat dosen-dosen karena setiap dipresensi, ia tak
pernah ada. Jika nilainya jelek, dia ngotot ingin perbaikan. Begitulah mahasiswa
ekstrim negatif. Dua kutub ini akan mudah dikenal karena keekstrimannya.
Setiap tahun, saya mengajar ratusan orang. Seperti dosen
pada umumnya, sudah bisa dipastikan, saya tak mungkin mengenal semua mahasiswa
yang ada di kelas, kecuali ia tersubstitusi sebagai mahasiswa ekstrim yang saya
jelaskan di atas. Ada satu mahasiswa yang saya sebut sebagai mahasiswa ekstrim
dengan citarasa yang berbeda. Nilainya bagus-bagus, aktif berdiskusi, namun
setelah selesai di kelas, ia seakan-akan raib dari hiruk pikuk mahasiswa.
Setelah saya telusuri, barulah saya tahu bahwa ia harus segera pulang karena ia
memiliki predikat sebagai Pembantu Rumah Tangga.
Namanya Siti Bagja Muawanah, mahasiswa Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Untirta. Ia berasal dari kampung Kuluk Leugeut,
Ciomas. Ibunya(Askamah) meninggal ketika melahirkan anak ke-7, ketika Bagja
menginjak semester empat. Bapaknya bernama Jamsuni (51 tahun) hanya tukang
bersih-bersih di sekolah. Ketika ibunya meninggal, Bagja benar-benar terpukul. Apa
lagi melihat saudara-saudaranya yang juga harus sekolah. Namun di sisi lain, ia
tak bisa berdiam diri. Demi melanjutkan hidupnya dan kehendak yang begitu besar
ingin menyelesaikan kuliahnya, ia memutuskan untuk menjadi pembantu Rumah
Tangga di kota Serang. Keputusannya diambil untuk memangkas jarak dengan
kampus. Jika ia bolak balik ke dari kampus ke kampungnya bisa menghabiskan 34
ribu rupiah/ hari.
Lalu iapun bertemu dengan sebuah keluarga di komplek
Ciceri Indah yang berbaik hati "menampung" dirinya. Bagja siap untuk
menjadi Pembantu Rumah Tangga di sela-sela waktu senggangnya berkuliah. Yang
penting ia punya kamar untuk tidur dan makan. Itu saja sudah cukup, pikirnya.
Begitulah yang dilakukan Bagja setiap hari, kuliah dan
bekerja. Ia melakukannya hingga 2,5 tahun. Cukup lama? Bisa jadi. Bahkan
sebetulnya Bagja mencoba untuk bekerja sambil kuliah seperti teman-temannya
yang lain. Dia pernah melamar di BTPN Syariah dan diterima. Namun ketika hendak
bekerja, Bank tersebut meminta Bagja untuk cuti satu semester dan Bagja
menolaknya. Ia tak mau urusan pekerjaan menggangu kuliahnya. Ia sudah bertekad
ingin menyelesaikan kuliahnya secepat yang ia bisa. Di akhir semester tujuh, ia
terpaksa menjual kebunnya untuk menyelesaikan kuliahnya. Akhirnya di
pertengahan bulan Agustus, Bagja berhasil menyelesaikan kuliahnya selama empat
tahun dengan predikat Cum Laude, sebuah capaian prestasi akademik yang cukup
membanggakan.
Mahasiswa seperti Siti Bagja Muawanah memang ada, tapi mahasiswa
semacam ini tenggelam oleh hiruk pikuk mahasiswa kebanyakan. Saya yakin banyak
siti-siti lainnya yang perih hidupnya tapi memiliki kemauan keras. Selamat atas
prestasimu Siti Bagja Muawanah. Ingat, perjuangan belum selesai. Belum apa-apa.