Oleh Firman Venayaksa
Pada tanggal 2 September
2014, bertepatan dengan pertamakali saya dilahirkan ke dunia ini, saya
diamanahi oleh Kemdibud untuk melakukan visitasi ke Perpustakaan Mini Nemu Buku
di Palu, Sulawesi Tengah. Nemu Buku adalah komunitas literasi yang dibidani
oleh Neni Muhidin, seorang sastrawan Palu. Pada tahun ini, Nemu Buku menjadi
salah satu kandidat/ nominator untuk mendapatkan penghargaan “TBM Kreatif
Rekreatif” Dari Mendikbud.
Begitu mendarat di Bandara
Mutiara, saya langsung diajak oleh Neni ke komunitasnya. Saya cukup terkejut
melihat kegiatan Nemu Buku. Mereka tidak hanya mengurusi urusan buku saja.
Sebagai Taman Bacaan yang lahir dari komunitas, Nemu Buku adalah ruang publik yang
terdiri atas begitu banyak komunitas. Di sana ada komunitas film, perupa,
Koalisi Pemuda Hijau, Palu Fixie (komunitas sepeda), Palu Menulis, Program
Pengembangan Kota Hijau dan lain-lain. Dengan seabreg kegiatan, mereka diskusi
banyak hal. Saya cukup beruntung karena langsung melihat kesibukan mereka
berdiskusi hingga larut malam. Sekitar pukul 01.30, sebelum istirahat di
penginapan, saya ditemani Mirwan, pencinta fotografi, untuk memotret jembatan “M”
yang menjadi salah satu ikon di Palu.
Esok hari, saya bersama Neni
mendatangi Dinas Pendidikan Provinsi Sulteng. Di sana saya bertemu dengan Kabid
PNFI, Dr. Hatijah Yahya. Kami berdiskusi banyak hal mengenai dunia literasi.
Sebagai orang Palu yang mengerti mengenai peta TBM di wilayah itu, Neni sedikit
bersitegang dengan Hatijah. Neni protes kepadanya karena selama ini TBM
dianaktirikan oleh Dinas Pendidikan. “Ibu itu jangan hanya mengurusi Paud. Paud
itu penting, tapi TBM tak kalah penting. Coba ibu lihat, ada berapa TBM di
tempat kita?” Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya Hatijah siap mendukung
keberadaan Forum TBM di Sulteng dan siap membantu sesuai dengan kapasitasnya.
Setelah pamitan dan
menikmati kopi disebuah warung kopi, saya diajak Neni menunjungi sebuah TBM
yang berada di tempat kursus. TBM itu pernah mendapatkan dana bantuan. Tapi setelah
melihat ke lokasi, saya kesal sekali. TBM tertutup rapat. Buku-buku nyaris tak
ada. Saya dan neni hanya bisa melihat dari luar. Cukup mengenaskan.
Saya tidak tahu apa yang ada
dalam pikiran Neni. Sepertinya pikirannya sedang berkecamuk; antara kesal,
marah tetapi di sisi lain dia ingin agar gerakan literasi di Sulawesi Tengah
berkembang. Dengan dibonceng sepeda motornya, saya ikuti keinginan Neni untuk
bertemu dengan siapapun. Sampai akhirnya saya diajak ke sebuah rumah no 28 yang
sedang direnovasi. “Nah, saya mau ngajak kamu bertemu orang gila,” ucapnya.
Namanya Rahmat Saleh. Dia
adalah dosen arsitektur di Universitas Tadulako. Ketika masuk rumahnya yang
acak-acakan, saya tahu ada “kegilaan” di tempat ini. Ratusan buku-buku numpuk
di belakang.
“Mohon maaf Mas Firman. Saya
sedang renovasi. Saya sedang memperbesar Taman Bacaan di depan.” Ucapnya sambil
menyediakan air putih dengan es dari kulkas. Siang hari, Palu memang terasa
terik. Neni sampai membuka kaosnya. Namun diskusi dengan Rachmat Saleh membuat
saya bersemangat. “Bahkan…” lanjutnya, “saya punya koleksi lengkap Gol A Gong.
Saya mulai membaca tulisan dia sejak majalah HAI masih 600 perak” kenangnya.
Dia memang pencinta berat novel Balada Si Roy. Generasi pembaca Si Roy memang
menyebar di mana-mana.
Mengenai komunitas 28, Rachmat sengaja memfokuskan pada buku-buku arsitektur. “tentu dilengkapi juga dengan
novel-novel dan buku kebudayaan,” tambahnya. Sebagai seorang dosen, dia
memiliki hasrat agar para mahasiswanya bisa banyak membaca buku.
Sekitar pukul 14.00, teman kerja
Rachmat Saleh di Jurusan Arsitektur, Untad, bernama Zubair, mendatangi tempat
itu. Saya betul-betul tidak tahu apa yang akan mereka rencanakan dan hendak
pergi kemana. Mungkin disitulah keakraban sesama relawan literasi, walau baru
pertama kali bertemu. Kamipun pergi dari rumah Rachmat Saleh yang lebih akrab
dipanggil Ai itu.
Ternyata saya diajak ke
Donggala bertemu Jamrin Abu Bakar, relawan literasi yang juga bekerja sebagai
penulis. Perjalanan dari Palu menuju Donggala di tempuh sekitar 45 menit. Saya
berjumpa dengan gunung dan lautan. Sambil ngobrol, kamera saya pasang dan
menemukan fokusnya. Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah makan yang
menjorok ke tepi pantai. Jamrinpun datang. Sambil makan siang kami ngobrol
ngalor ngidul mendiskusikan banyak hal.
Setelah 30 menitan, kami
mendatangi rumah Jamrin di Donggala. Di dalam peta sejarah, dulu Donggala
sangat terkenal dengan pelabuhan dan penghasil Kopra. Donggala adalah salah
satu pusat peradaban di Sulawesi. Artefak-artefak sejarah berupa bangunan zaman
kolonial masih terlihat walaupun sudah banyak yang tidak terurus. Sambil menjelajahi Donggala, Zubair sedikit
berkelakar bahwa dulu bau Kopra menjadi ciri khas tempat ini. Lalu kamipun
berhenti di pantai Tanjung Karang dan menikmati keindahannya.
Malam hari, setelah
mengelilingi keindahan Donggala, saya dan Neni di drop oleh Rachmat dan Zubair
di Nemu buku. Ternyata sudah ada puluhan relawan di sana menunggu kedatangan
kami. Semakin malam, orang-orang kian bertambah.
Mereka berasal dari pelbagai
latar belakang, mulai dari aktivis lingkungan hidup, pencinta literasi,
fotografer, penulis, bahkan relawan tuna rungu.
Saya didaulat oleh Neni
menjelaskan mengenai gerakan literasi di Indonesia sekaligus menjelaskan maksud
kedatangan saya. Mereka merespons cukup baik dan bersepakat bahwa Forum Taman
Bacaan Masyarakat di Sulawesi Tengah yang dikomandani oleh Neni Muhidin akan
menjadi wadah sekaligus ruang jejaring bagi komunitas literasi di Sulteng.
Tanah Air, 2014