MEDIA DAN MASSA[1]
Oleh Firman Venayaksa[2]
Pendahuluan
Memahami
sebuah tema yang disodorkan oleh panitia “Dialog Bersama Forum Kehumasan SKPD
di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Banten” membuat saya berpikir cukup keras. Tema
yang diberikan adalah “Menelaah Pemberitaan Media Massa di Jejaring Sosial
Media.” Ada beberapa hal yang mulai mengusik kesadaran intelektual saya atas
tema ini. Pertama, apa pentingnya membahas media massa di jejaring media sosial?
Bukankah media sosial yang kita pahami secara umum (juga) masuk pada kategori
media massa? Apakah media massa yang dimaksud oleh panitia hanya mengacu pada
surat kabar cetak, ataukah media online
termasuk bagian dari media massa? Hal yang paling penting yang masuk pada benak
saya adalah apa diinginkan oleh panitia sehingga tema ini muncul dan menjadi
bagian dari diskusi?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut memang cukup menggelitik, setidaknya saya sudah berusaha untuk memulai
pergulatan intelektual di dalam pikiran saya kendati bisa jadi salah
interpretasi. Namun memang begitulah hukum komunikasi. Re-interpretasi menjadi
bagian tak terpisahkan dalam memaknai wilayah-wilayah komunikasi.
Atas
dasar pertanyaan-pertanyaan di atas, lazimnya perespons, saya mulai membuka
beberapa buku yang erat kaitannya dengan tema yang diusung. Lalu saya cukup
beruntung bertemu dengan beberapa referensi yang dinilai relevan; terutama yang
disampaikan oleh James W Carey.
Komunikasi dan Budaya
James
W Carey (1989) menjelaskan mengenai dua pandangan tentang komunikasi yaitu
model transmisi dan model ritual. Perpektif transmisi yang seiring kita pahami
sebagai radio, televisi dan surat kabar, memandang media sebagai pengirim
informasi untuk tujuan tertentu yang terkontrol. Perspektif ini bersifat searah
yang mengindikasikan media sebagai kekuatan dan menganggap khalayak pasif.
Sementara, perspektif ritual tidak hanya menjadikan komunikasi sebagai tindakan
menyampaikan informasi, melainkan menghadirkan kembali sebuah keyakinan bersama[3]
A ritual view of communication is
directed not toward the extention of messages in space but toward the
maintenance of society time; not the act of imparting information but the
representation of shared beliefs
Kutipan di atas menjelaskan bahwa perspektif
ritual penting untuk memahami secara mendalam mengenai “budaya” dari komunikasi
massa. Pada tahap ini, media sosial yang kini menjadi value alternatif dalam penyampaian informasi tidak lagi searah
seperti lazimnya model transmisi. Ada ruang yang sangat terbuka untuk
menghadirkan interaksi yang lebih lebih luas, interaktif dan demokratis di
antara pengirim pesan dan penerima. Bahkan pada tahap selanjutnya, penerima memiliki
potensi menjadi
pengirim dan pengirim bisa menjadi penerima.
Jadi jika merujuk pada pemahaman di
atas, dengan membedakan antara pemahaman yang bersifat transmisi dan pemahaman
yang bersifat ritual, maka judul yang diberikan oleh panitia, jelas sangat
menantang untuk ditelusuri. Artinya dua pemahaman yang dijelaskan oleh Carey,
di dalam realitasnya bisa bermetamorfosis; sebagai contoh, media massa (cetak)
kini merambah pada media sosial, di sisi lain, media sosial menjadi sarana bagi
media massa (cetak) untuk mengeruk informasi dialogis dengan pembacanya, berupa
respons-respons tertentu, yang kemudian hasil dari “dialog” itu dicetak kembali
di dalam media massa (cetak).
Untuk memperkuat ralitas faktual tersebut,
saya mengambil sampel dari FB Radar Banten pada tangga 3/5/2014 dengan
pertanyaan sebagai berikut.
Ketua PWNU Provinsi Banten Zainal Mutaqien
didesak sejumlah pihak agar mundur dari jabatannya. Zainal Mutaqien diketahui
terjaring razia pekat di sebuah tempat karaoke di Jambi, pekan lalu. Bagaimana
tanggapan Anda? Komentar untuk edisi Kamis (6/3).
Setiap hari, Koran Radar Banten melalui
FB-nya selalu bertanya kepada para member FB, menanyakan kasus-kasus yang
sedang hangat kepada pembaca. Dengan embel-embel bahwa komentar terbaik akan
dimuat pada Koran Radar Banten edisi esok harinya, komentar-komentarpun
berdatangan. Dulu media cetak membuka “surat pembaca” untuk menghadirkan
respons-respons dari pembacanya. Dengan ruang FB, koran-koran cetak bisa
mendapatkan respons dari pembaca dengan lebih cepat dan banyak.
Media, Massa dan Media Sosial
Untuk
menjelaskan lebih dalam mengenai tema yang akan dibahas, ada baiknya kita
memposisikan terlebih dahulu secara definitif apa yang disebut dengan media,
massa dan media sosial. Umumnya media didefinisikan sebagai sebuah sarana untuk
menjembatani antara pengirim dan penerima. Jika kita memanfaatkan teori Karl
Buhler yang diadaptasi dari teori strukturalisme Saussure, setidaknya ada tiga faktor
yang berperan di dalam proses komunikasi verbal yaitu pengirim, penerima, dan
hal yang dibicarakan (referen atau acuan).[4]
Sementara, di dalam konsep yang bersifat tidak langsung (non verbal) maka faktor
lain yang luput dari perhatian Buhler adalah media. Jika kembali pada pemahaman
Carey mengenai konsep transmisi, media bisa berupa kertas atau frekuensi untuk
menampung referen.
Hal lain yang penting untuk kita bahas
adalah “massa”. Massa adalah Anda, saya, kita. Di dalam pemahaman ini, massa adalah
kerumuman individu yang bersifat
kolektif; tidak lagi melihat ruang-ruang yang bersifat personal. Di dalam teori
kebudayaan massa, konsep manusia dianggap memiliki naluri instingtif yang
general dan itu bisa kita lihat dari pranata kebudayaan populer, terutama dalam
merespons gejala sosial kontemporer. Media sosial adalah sampel yang paling
mungkin kita telusuri. Pada dunia yang terkoneksi satu sama lain, kini massa
menggantungkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan informasi dan bersosialisasi melalui
media sosial. Dengan karakteristik yang connected,
cepat dan massif, massa dengan mudah ditemui di ruang maya. Kita bisa memilih
untuk merambah pada jenis-jenis media social yang ada seperti proyek kolaborasi
(wiki), blog (blogspot), konten (youtube),
situs jejaring sosial/ microblog (facebook),
virtual game world (game online), atau virtual social world (second
life). Jadi, yang bisa kita lihat dari realitas budaya massa semacam ini,
informasi tidak lagi menjadi fokus utama; konsep ritual/ keyakinan lebih
memiliki posisi penting.
Maka, pada akhirnya, media massa yang
berisifat klasik, tidak bisa berdiam diri dalam melihat kenyataan ini. Beberapa
media yang awalnya cetak seperti koran harian, mulai masuk pada ruang ritual
ini dengan membuat website atau microblog seperti facebook dan twitter
untuk menyeimbangkan kebudayaan massa yang selalu bergegas.
Namun demikian, ada beberapa hal yang
penting juga untuk kita soroti sekaitan dengan situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Dengan karakteristiknya, situs
jejaring sosial semacam ini memiliki potensi yang bisa merugikan pemakainya,
misalnya bullying. Perilaku bully tidak hanya terjadi di dunia
nyata. Di media sosial, bullying
banyak terjadi. Biasanya dilakukan secara massif kepada seseorang untuk
mencemooh, menjelek-jelekkan, memfitnah, mempermalukan di depan umum yang
berujung pada terganggunya psikologi seseorang. Pada tahun 2013, Yoga Cahyadi,
seorang ketua event organizer di
Jogjakarta, “dibully” habis-habisan atas acara festival musik
yang dianggap gagal. Akibat tekanan psikologis yang dituduhkan kepadanya, ia
akhirnya bunuh diri dengan menabrakkan dirinya ke kereta api.
Fesbuk Banten News dan Jurnalisme Warga
Microblog facebook yang bisa kita amati dalam memperlihatkan keberhasilan di
sosial media adalah Fesbuk Banten News
(FBN) yang didirikan oleh NP Rahardian, Andi ST dan Lulu Jamaludin pada tanggal
4 Maret 2010. FBN memanfaatkan fasilitas berbayar facebook yaitu fan page dengan
mengusung jurnalisme warga. Berbeda dengan member standar yang hanya berjejaring dengan 5000
member, fan page bisa menampung
jutaan relasi. Hingga kini, FBN tercatat memiliki 40.375 followers; sebuah angka yang cukup fantastis bagi “komunitas” yang fokus pada pemberitaan di Provinsi Banten.
Selain
pemberitaan yang disajikan oleh wartawan FBN, mereka juga menampung jurnalisme
warga, yaitu sebuah cara partisipasi aktif dari masyarakat untuk memberitakan
apapun yang berada di sekelilingnya. Masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai
objek yang pasif, ia bisa menjadi subjek aktif, sehingga penghargaan kepada
pembaca menjadi kian dihormati. Pemberitaan tidak lagi didominasi oleh “news maker”
seperti selebriti, para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat. Konser musik,
kehilangan STNK, bahkan kegiatan-kegiatan sosial membantu masyarakat yang tidak
mampu, menjadi ruang bewara yang humanis. Hingga saat ini, FBN menjadi alternatif
pemberitaan yang cukup menarik, bahkan bisa diadopsi oleh komunal lain.
Penutup
Sekaitan dengan Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik No 14 tahun 2008, seyogianya Humas yang berada di
SKPD membuat hal serupa. Dengan dihadirkannya informasi-informasi kepada publik, akan hadir kepercayaan yang selama
ini dianggap mahal. Kembali pada teori Carey, yang dipentingkan oleh publik kita hari ini bukan
hanya informasi, tapi bagaimana kepercayaan itu dihadirkan di ruang publik dengan
lebih terbuka.
Tanah Air, 2014
[1] Kertas kerja ini
disampaikan pada acara diskusi yang diadakan oleh Biro Humas Pemprov Banten di
Hotel D’Griya, 6 Maret 2014
[2] Dosen Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Untirta, pengampu Matakuliah Penulisan Seni dan
Budaya, Ilmu Komunikasi FISIP Untirta.
[3] Idi Subandy Ibrahim,
“Pengantar Editor” dalam John Fiske. 2011. Cultural
and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
[4] Hoed,
Benny H. 2003. “Strukturalisme De Saussure di Prancis dan Perkembangannya”
dalam Prancis dan Kita. Jakarta: WWS.