Pada pemilihan
Calon Presiden kini, peperangan politik tidak hanya didominasi oleh kalangan
elit partai. Semua memiliki hak untuk bersuara walaupun terkadang bising dan
berisik. Kita menjadi sulit untuk mendeteksi apakah suara-suara itu penuh makna
atau hanya sekadar gema.
Jika dulu para
pengamat politik dan lembaga survei bisa dijadikan sebagai dasar seseorang
untuk memilih calon Presiden, sekarang sulit untuk mendapatkan netralitas objektif
itu. Begitupun dengan peran media. Kenapa? Karena hanya ada dua pilihan. Jika
Anda mengkritik Capres tertentu, seobjektif apapun, maka Anda akan diposisikan
sebagai pendukung Capres lainnya dan begitupun sebaliknya. Alih-alih membuka
ruang objektif, Anda akan selalu disudutkan karena membuka ruang negatif Capres
yang lain. Padahal jika kita mengkritik, salah satu poin yang tak bisa
dihindari adalah melakukan penilaian dan evaluasi. Namun ada
hal yang tak terbantahkan. Kita menjadi begitu peduli pada Pilpres kali ini.
Begitulah jika
kita berada pada dua pilihan. Hal itupun terlihat dari lembaga survei yang
sekarang ini ramai digunjingkan bahkan dijadikan sebagai parameter keberhasilan
dua pasangan Capres. Dua-duanya mengklaim berdasarkan hasil quick count bahwa mereka memenangkan
pertarungan. Sehingga di jejaring sosial banyak yang berceloteh bahwa kini Indonesia
memiliki dua Presiden yaitu Presiden quick
count. Candaan pun berlanjut, “sebaiknya dibuat dua shift saja, ada Presiden
Siang dan Presiden malam biar adil.”
Di dalam tulisan
ini, saya tak hendak menjustifikasi persoalan hasil lembaga survei tersebut.
Kredibilitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan. Siapa yang bermain-main
dengan data, akan dihukum dengan sendirinya. Saya ingin lebih fokus pada ruang
lain yang lebih menarik dan menjadi fenomena baru.
Pada perhelatan
Pilpres lalu, mesin partai sangat mendominasi. Partai-partai yang meraih suara
mayoritas, lebih diunggulkan menjadi pemenang Pilpres dan tidak membuka ruang
kerelawanan seperti masyarakat non partai. Begitupun dari sisi pendanaan.
Masyarakat tidak diberi peluang untuk ikut menyumbang pada calon presiden yang
diminatinya. Konsep klasik ini membuat jarak yang cukup nganga di antara
masyarakat dan para elit politisi. Padahal perubahan mekanisme demokrasi
memungkinkan terjadinya terobosan-terobosan baru. Rakyat rindu untuk
dilibatkan.
Sayangnya,
konsep klasik ini masih dipakai oleh pasangan Prabowo-Hatta. Slogan “Presiden
Pilihan Rakyat” mengindikasikan ada konstruk
hierarki yang dipertahankan yaitu Presiden-Rakyat. Sementara di kubu ke-2
dengan slogan “Jokowi-JK adalah kita” telah mendekonstruksi kemapanan klasikal
yang dibangun elit politisi. Dengan demikian, rakyat menjadi bagian yang
integral dari Jokowi-JK. Citraan lain dari kubu Prabowo-Hatta yang mengajak Indonesia
menjadi macan Asia lalu “dipaksa” bernostalgia ke masa Orde Baru dengan menjual
stabilitas keamanan dan harga-harga murah hanyalah utopia belaka. Orde Baru
bagi sebagian rakyat mungkin masa keemasan, tapi di sisi lain yang cenderung
dilupakan adalah mereka telah membuka luka lama bangsa ini. Bagaimana mungkin
bangsa ini ingin menoleh pada masa itu; sebuah Orde yang sangar dan tak membuka
ruang kebebasan berbeda pendapat.
Pada Pilpres
sekarang, diakui atau tidak, kubu Jokowi-JK telah membangun konstruksi
demokrasi yang lebih modern. Jokowi-JK menekankan pada slogan “Indonesia Bisa” yang
mengajak pada ruang visioner yang lebih konstruktif. Rakyat dibuka peluangnya
untuk ikut terlibat menjadi relawan mereka. Bahkan dengan durasi yang tidak
terlalu lama, pasangan ini membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut
menyumbang pada Pilpres ini. 120 milyar lebih yang dihimpun dari sumbangan masyarakat
bukanlah dana yang sedikit.
Pada tulisan
ini, saya tidak menampik bahwa ada kerja-kerja partai yang ikut membangun kontestasi
Pilpres. Namun yang membedakan Pilpres sekarang dengan Pilpres sebelumnya
terletak pada pendulum ini; relawan. Kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh
para relawan dari pelbagai dimensi telah membuka mata para politisi di
Indonesia bahwa kekuatan para relawan jauh lebih segar dan tak terbantahkan.
Jika hanya mengandalkan suara yang dibangun partai yang mendukung Jokowi-JK,
tidak akan cukup mengimbangi kubu Prabowo-Hatta yang didukung oleh mayoritas
partai di Republik ini. Jadi, elektabilitas Capres bukanlah satu-satunya modal
untuk Pilpres kali ini. Keikhlasan para relawan untuk mendukung Jokowi-JK lah
yang membuat mereka bisa kuat. Wajar jika selesai Pemilihan Umum, yang pertama
kali dilakukan oleh Jokowi adalah mendatangi komunitas-komunitas relawan.
Karena ia mahfum betul bahwa ia memiliki “hutang budi” kepada para relawannya.