Sabtu, 09 Agustus 2014

MEMBANGUN JEMBATAN DI BADUY


Selama ini masyarakat lebih banyak tertarik pada acara Seba Baduy yang dilaksanakan setiap tahun. Seba Baduy adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat kampung adat Baduy kepada pemimpin di Kabupaten dan Gubernuran. Selain membawa hasil panen yang diberikan kepada pemimpin, masyarakat Baduy juga memberikan pesan/ amanat yang tak kalah pentingnya. Baik media lokal maupun nasional memberitakannya. Masyarakat pun ikut meramaikan acara ini. Namun  ada acara sederhana yang jarang diekspose oleh banyak pihak, padahal kearifan lokal yang “diperagakan” oleh masyarakat Baduy ini tak kalah menariknya.

Setiap 1-2 tahun sekali, masyarakat Baduy merekondisi jembatan-jembatan yang ada di Baduy. Di kampung Kanekes ini, setidaknya ada sekitar sembilan jembatan yang terbuat dari bambu. Sebelum jembatan benar-benar rusak dan menelan korban, dengan penuh kesadaran, masyarakat Baduy melakukan perbaikan total; mengganti semua elemen jembatan mulai dari bambu hingga tali temali yang mengikatnya.

Hari Pertama
anak kecil di kampung Gajeboh
Rabu sore (6/7), saya bersama Laskar Fotografer Mualaf (Arifin La Galigo, De Sucitra dan Rio Faturohman) pergi menuju Baduy. Sekitar pukul 20.00 kami sampai di terminal Ciboleger dan menitipkan mobil kepada salah seorang warga. Sebelum ke Gajeboh, tempat di mana perbaikan jembatan akan dilaksanakan esok hari, kami menjumpai Asep Kurnia, penulis buku “Saatnya Baduy Bicara.” Saya mengenal Asep Kurnia cukup lama dan sudah saya anggap sebagai saudara sendiri. 

Di rumahnya, kami membincangkan banyak hal.Walaupun bukan warga Baduy, Asep cukup dekat dan dipercaya warga Baduy. Semua informasi apapun mengenai Baduy tidak akan lepas dari pengetahuannya.

“Saat ini Jaro Dainah di Rumah Sakit Misi. Sudah lima hari. Kemungkinan dia akan dioperasi,” kata Asep Kurnia. Jaro Dainah adalah Kepala Desa Kampung Kanekes. Setiap tamu harus laporan terlebih dahulu kepadanya. Mendengar kabar ini, saya cukup kaget. Lalu diskusipun merambat pada banyak hal. Bidan Eros, istri Asep Kurnia yang banyak mendapatkan penghargaan atas dedikasinya terhadap warga Baduy di bidang kesehatan, menyuguhi kami dengan pisang goreng dan kopi. Tak terasa satu jam berlalu. Arifin sudah dihubungi oleh Musung, seorang warga Baduy luar yang akan kami datangi. Lalu kamipun meminta diri dan melanjutkan perjalanan. Kami bertemu Musung di Ciboleger dan perjalanan malam haripun berlanjut.

Sebetulnya jarak dari Ciboleger menuju Gajeboh bisa ditempuh berjalan kaki kurang dari 1 jam. Namun karena tak ada penerangan, ditambah dengan jalan berliku naik-turun, beberapa kali saya harus berhenti untuk membereskan nafas saya yang agak sesak. Sementara Rio Faturohman, mahasiswa saya yang sudah semester sepuluh itu begitu menikmati perjalanan sambil menelepon kepada kekasihnya. Maklum malam itu adalah malam pertama seumur hidupnya mendatangi kampung Baduy. “iya…kita teleponan aja sampai sinyalnya hilang,” katanya. Dan setelah sinyal hilang, nampaknya dia mulai merasakan lelahnya perjalanan.

Leuit, tempat menyimpan padi warga Baduy
Setelah tiba di rumah Musung, De Sucitra langsung mengeluarkan ikan laut dan dua buah cumi-cumi besar untuk digoreng. Rasa lapar memang menghantui kami semenjak tadi. Untuk urusan makan-makan, De Sucitra memang jagonya. Dua buah cumi segar itu dibawa langsung dari laut dan dimasukkan ke termos untuk menjaga kesegarannya. Selain itu, dia juga membawa rendang masakan ibunya. Sambil menunggu cumi masak, kami ngobrol di teras rumah bersama Musung. Ternyata pengalaman hidup Musung terbilang unik. Dia memiliki hubungan yang lumayan luas dengan dunia luar. Jika panen durian, dia ikut jualan di Serang. Dia pun membincangkan mengenai kerasnya berbisnis dengan orang luar. “Saya ditipu 8,5 juta sama orang,” katanya melanjutkan pembicaraan. “Sekarang saya sudah malas ke luar. Lebih baik jadi petani di sini” tambahnya.  Tak berapa lama ada enam fotografer yang menghampiri kami. Mereka sudah datang terlebih dahulu. Mereka berasal Komunitas Fotografer Tangerang (KFT) yang kami beritahu mengenai acara ini. Kamipun berbincang mengenai dunia fotografi dan berbagi pengalaman. Sekitar pukul 12 malam, kami mengakhirinya dengan jamuan makan malam.

Hari Ke Dua
Di pagi hari yang segar itu, kami memulai aktivitas seperti orang Baduy pada umumnya. Kami pergi ke belakang rumah Musung yang mengalir sungai Ciujung yang jernih untuk buang air besar. Awalnya saya agak malu untuk memulai ritual rutin ini. Tapi melihat orang lain cuek, ya sudahlah. Saya pun ikut serta meramaikan situasi unik ini.

Sekitar pukul 08.00, warga di Gajeboh mulai berdatangan ke jembatan yang akan diperbaiki itu. Begitupun dengan beberapa kawan seperti Yani yang bekerja di Inspektorat dan Abah Yadi yang datang dengan sepeda motor dari Serang. Dikomandani oleh Ama, sesepuh kampung Gajeboh, para warga  bekerja sesuai kemampuannya. Ada yang mengurus bambu-bambu panjang, ada juga yang membuat tali temali dari pohon aren tua. Semua warga bekerja. Hal yang paling penting dalam pembuatan jembatan ini adalah mereka sadar sepenuhnya bahwa keselamatan adalah hal utama. Mereka tak mau ada warganya yang tertimpa musibah gara-gara jembatan yang rusak. Dan mereka tak pernah meminta-minta kepada pemerintah atau siapapun dalam menginisiasi perbaikan jembatan ini.

Jembatan Lama
Warga Baduy memperbaiki jembatan
Warga Baduy sedang memintal tali untuk jembatan
Pukul 09.00, puluhan laki-laki warga Baduy memadati mulut jembatan. Mereka mulai pekerjaan itu dengan membongkar hati-hati jembatan lama. Saya tidak tahu persis kapan pertama kali jembatan itu dibangun. Namun jika melihat apitan empat pohon besar yang menggamit jembatan itu, sepertinya umurnya sudah ratusan tahun. Dengan terampil puluhan orang menurunkan bambu-bambu, sementara dalam waktu yang tak lama berselang, yang lain menaikkkan bambu-bambu baru. Saya cukup terkesima dengan keseriusan mereka bekerja bergotong-royong dan tak kenal lelah. Mereka berhenti bekerja hingga pukul 15.00, ketika jembatan baru benar-benar selesai.

Jembatan Baru
Setelah jembatan berdiri kokoh “mengangkangi” sungai ciujung, barulah mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Tapi bukan untuk istirahat. Mereka membawa dan membagi-bagikan makanan kepada setiap pengunjung dan rumah. “Berkat” katanya. Yang paling menarik, nasi itu adalah hasil panen yang disimpan oleh mereka di “leuit” selama lima tahun. Saya dan kawan-kawan merasa terhormat bisa memakan hasil panen mereka itu.


Sehabis acara tersebut selesai, kamipun kembali ke Serang dengan dibekali ilmu kearifan lokal dari warga Baduy. (FV)