Selama ini masyarakat
lebih banyak tertarik pada
acara Seba Baduy yang
dilaksanakan setiap tahun. Seba Baduy adalah ritual yang dilakukan oleh
masyarakat kampung adat Baduy kepada pemimpin di Kabupaten dan Gubernuran. Selain membawa hasil panen yang diberikan kepada
pemimpin, masyarakat Baduy juga memberikan pesan/ amanat yang tak kalah
pentingnya. Baik media lokal maupun nasional
memberitakannya. Masyarakat pun ikut meramaikan acara ini. Namun ada
acara sederhana yang jarang diekspose
oleh banyak pihak, padahal kearifan lokal yang “diperagakan” oleh masyarakat
Baduy ini tak kalah menariknya.
Setiap 1-2 tahun sekali, masyarakat Baduy merekondisi jembatan-jembatan yang ada di Baduy. Di kampung Kanekes ini, setidaknya ada sekitar sembilan jembatan yang terbuat dari bambu. Sebelum jembatan benar-benar rusak dan menelan korban, dengan penuh kesadaran, masyarakat Baduy melakukan perbaikan total; mengganti semua elemen jembatan mulai dari bambu hingga tali temali yang mengikatnya.
Hari Pertama
![]() |
anak kecil di kampung Gajeboh |
Rabu
sore (6/7),
saya bersama Laskar Fotografer Mualaf (Arifin La Galigo, De Sucitra dan Rio
Faturohman) pergi menuju Baduy. Sekitar
pukul 20.00 kami sampai di terminal Ciboleger dan menitipkan mobil kepada salah
seorang warga. Sebelum ke Gajeboh, tempat di mana perbaikan jembatan akan
dilaksanakan esok hari, kami menjumpai Asep Kurnia, penulis buku “Saatnya Baduy
Bicara.” Saya mengenal Asep Kurnia cukup lama dan sudah saya anggap sebagai
saudara sendiri.
Di rumahnya, kami membincangkan banyak hal.Walaupun bukan warga Baduy, Asep cukup dekat dan dipercaya warga Baduy. Semua informasi apapun mengenai Baduy tidak akan lepas dari pengetahuannya.
“Saat
ini Jaro Dainah di Rumah Sakit Misi. Sudah lima hari. Kemungkinan dia akan
dioperasi,” kata Asep Kurnia. Jaro Dainah adalah Kepala Desa Kampung Kanekes.
Setiap tamu harus laporan terlebih dahulu kepadanya. Mendengar kabar ini, saya
cukup kaget. Lalu diskusipun merambat pada banyak hal. Bidan Eros, istri Asep
Kurnia yang banyak mendapatkan penghargaan atas dedikasinya terhadap warga
Baduy di bidang kesehatan, menyuguhi kami dengan pisang goreng dan kopi. Tak
terasa satu jam berlalu. Arifin sudah dihubungi oleh Musung, seorang warga
Baduy luar yang akan kami datangi. Lalu kamipun meminta diri dan melanjutkan
perjalanan. Kami bertemu Musung di Ciboleger dan perjalanan malam haripun
berlanjut.
Sebetulnya
jarak dari Ciboleger menuju Gajeboh bisa ditempuh berjalan kaki kurang dari 1
jam. Namun karena tak ada penerangan, ditambah dengan jalan berliku naik-turun,
beberapa kali saya harus berhenti untuk membereskan nafas saya yang agak sesak.
Sementara Rio Faturohman, mahasiswa saya yang sudah semester sepuluh itu begitu
menikmati perjalanan sambil menelepon kepada kekasihnya. Maklum malam itu
adalah malam pertama seumur hidupnya mendatangi kampung Baduy. “iya…kita
teleponan aja sampai sinyalnya hilang,” katanya. Dan setelah sinyal hilang,
nampaknya dia mulai merasakan lelahnya perjalanan.
![]() |
Leuit, tempat menyimpan padi warga Baduy |
Setelah
tiba di rumah Musung, De Sucitra langsung mengeluarkan ikan laut dan dua buah
cumi-cumi besar untuk digoreng. Rasa lapar memang menghantui kami semenjak
tadi. Untuk urusan makan-makan, De Sucitra memang jagonya. Dua buah cumi segar
itu dibawa langsung dari laut dan dimasukkan ke termos untuk menjaga
kesegarannya. Selain itu, dia juga membawa rendang masakan ibunya. Sambil
menunggu cumi masak, kami ngobrol di teras rumah bersama Musung. Ternyata
pengalaman hidup Musung terbilang unik. Dia memiliki hubungan yang lumayan luas
dengan dunia luar. Jika panen durian, dia ikut jualan di Serang. Dia pun
membincangkan mengenai kerasnya berbisnis dengan orang luar. “Saya ditipu 8,5
juta sama orang,” katanya melanjutkan pembicaraan. “Sekarang saya sudah malas
ke luar. Lebih baik jadi petani di sini” tambahnya. Tak berapa lama ada enam fotografer yang
menghampiri kami. Mereka sudah datang terlebih dahulu. Mereka berasal Komunitas
Fotografer Tangerang (KFT) yang kami beritahu mengenai acara ini. Kamipun
berbincang mengenai dunia fotografi dan berbagi pengalaman. Sekitar pukul 12
malam, kami mengakhirinya dengan jamuan makan malam.
Hari Ke Dua
Di
pagi hari yang segar itu, kami memulai aktivitas seperti orang Baduy pada
umumnya. Kami pergi ke belakang rumah Musung yang mengalir sungai Ciujung yang
jernih untuk buang air besar. Awalnya saya agak malu untuk memulai ritual rutin
ini. Tapi melihat orang lain cuek, ya sudahlah. Saya pun ikut serta meramaikan
situasi unik ini.
Sekitar
pukul 08.00, warga di Gajeboh mulai berdatangan ke jembatan yang akan
diperbaiki itu. Begitupun dengan beberapa kawan seperti Yani yang bekerja di
Inspektorat dan Abah Yadi yang datang dengan sepeda motor dari Serang. Dikomandani
oleh Ama, sesepuh kampung Gajeboh, para warga bekerja sesuai kemampuannya. Ada yang mengurus
bambu-bambu panjang, ada juga yang membuat tali temali dari pohon aren tua.
Semua warga bekerja. Hal yang paling penting dalam pembuatan jembatan ini
adalah mereka sadar sepenuhnya bahwa keselamatan adalah hal utama. Mereka tak
mau ada warganya yang tertimpa musibah gara-gara jembatan yang rusak. Dan
mereka tak pernah meminta-minta kepada pemerintah atau siapapun dalam
menginisiasi perbaikan jembatan ini.
![]() |
Jembatan Lama |
![]() |
Warga Baduy memperbaiki jembatan |
![]() |
Warga Baduy sedang memintal tali untuk jembatan |
Pukul
09.00, puluhan laki-laki warga Baduy memadati mulut jembatan. Mereka mulai
pekerjaan itu dengan membongkar hati-hati jembatan lama. Saya tidak tahu persis
kapan pertama kali jembatan itu dibangun. Namun jika melihat apitan empat pohon
besar yang menggamit jembatan itu, sepertinya umurnya sudah ratusan tahun. Dengan
terampil puluhan orang menurunkan bambu-bambu, sementara dalam waktu yang tak
lama berselang, yang lain menaikkkan bambu-bambu baru. Saya cukup terkesima
dengan keseriusan mereka bekerja bergotong-royong dan tak kenal lelah. Mereka
berhenti bekerja hingga pukul 15.00, ketika jembatan baru benar-benar selesai.
![]() |
Jembatan Baru |
Setelah
jembatan berdiri kokoh “mengangkangi” sungai ciujung, barulah mereka kembali ke
rumahnya masing-masing. Tapi bukan untuk istirahat. Mereka membawa dan
membagi-bagikan makanan kepada setiap pengunjung dan rumah. “Berkat” katanya.
Yang paling menarik, nasi itu adalah hasil panen yang disimpan oleh mereka di “leuit”
selama lima tahun. Saya dan kawan-kawan merasa terhormat bisa memakan hasil
panen mereka itu.
Sehabis
acara tersebut selesai, kamipun kembali ke Serang dengan dibekali ilmu kearifan
lokal dari warga Baduy. (FV)