Di sebuah stasiun televisi swasta,
ada film serial dari India yang kini disukai pemirsa Indonesia, Mahabharata. Sebagai
bagian dari massa popular, sayapun ikut gandrung dan mengikuti serial tersebut.
Bahkan ketika menulis artikel ini, saya baru menulis setelah menonton film itu.
Lantas, saya mulai berpikir untuk mengaitkan antara film Mahabharata dengan
Mahasiswa yang kebetulan dua-duanya dimulai dari kata “-maha.”
Mahabharata sering dikait-kaitkan
dengan sejarah epik India. Masyarakat begitu percaya bahwa cerita pertempuran
antara Pandawa dan Kurawa itu benar-benar terjadi. Padahal jika kita kembali
pada ruang literer, sebetulnya cerita tersebut tidak akan bersemayam di dalam
pikiran masyarakat jika tidak ada campur tangan dari seorang begawan sastra
bernama Vyasa. Dialah yang melakukan konstruksi sehingga wiracarita itu
seakan-akan terjadi bahkan menjadi referensi cermin kehidupan sosio-kultural.
Lantas apakah salah jika kita bercermin pada wiracerita? Tentu tidak. Bahkan
banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari kejadian di dalam cerita
Mahabharata.
Sekiatan dengan pendidikan, saya
jadi teringat bagaimana tokoh mahaguru Drona harus menjadi guru yang baik bagi
Kurawa dan Pandawa. Ia mengajari dengan tekun dan tidak membeda-bedakan. Namun,
seiring berjalannya waktu, tidak semua siswa bisa mencerna pelajaran sang guru.
Disinilah ruang alamiah berperan. Sebagai
guru yang juga manusia biasa, Drona akhirnya lebih mencintai Arjuna dibanding yang
lain karena dia adalah siswa yang paling pintar dan giat belajar. Ilmu yang
diberikan Drona dengan cepat dipahaminya. Arjuna telah menjadi ikon bagi
kesuksesan Drona menjadi guru. Bahkan ketika “keguruannya” terancam dengan
kehadiran tokoh Ekalaya, seorang anak biasa yang mampu memanah selevel Arjuna,
Drona meminta kepada Ekalaya untuk memotong jarinya. “Jika kau ingin berguru
kepadaku, maka kau harus berani memotong jarimu.” Ucap Drona. Di dalam epik Mahabharata,
diketahui bahwa Ekalaya berguru melalui patung kepada Drona dan ia merasa bahwa
Dronalah yang mengajarinya ilmu memanah. Tanpa berpikir panjang, Ekalaya dengan
ketulusannya memotong jarinya sebagai tanda keikhlasan kepada sang guru.
Padahal ini adalah akal-akalan Drona agar Arjuna tidak memiliki saingan. Dengan
kehilangan jarinya, Ekalaya sudah tidak bisa lagi penjadi pemanah.
Hal lain yang bisa kita pelajari
dari cerita Mahabharata yang dikaitkan dengan dunia pendidikan adalah mengenai
kegigihan tokoh Karna yang berasal dari kasta Sudra. Di dalam wiracarita, yang
dibolehkan untuk belajar ilmu perang harus berasal dari kasta Ksatria dan
Brahmana. Kasta Sudra yang disandang Karna ditolak mentah-mentah oleh banyak
guru. Namun dengan keseriusannya belajar, akhirnya Karna berpura-pura sebagai keturunan
Brahmana. Akhirnya ia berbohong kepada Parasurama, guru dari Bhisma dan Drona.
Ia pun mendapatkan ilmu memanah yang luar biasa dari Parasurama. Dari proses
berguru inilah Karna bisa menyamai level Arjuna. Di dalam perang di Kurusetra
antara Arjuna dan Karna diceritakan bahwa tidak ada yang memanangkannya. Adapun
kematian Karna terjadi karena ulah Arjuna memanah dari belakang ketika Karna
sedang tidak siap karena sedang memperbaiki roda keretanya.
Lantas, apa kaitannya dengan
dunia mahasiswa? Jika kita konstruksi dari makna kata, bisa kita ambil simpulan
bahwa mahasiswa tentu berbeda dengan level siswa. Dengan diberi kata “maha”
maka mahasiswa diposisikan lebih (paling) dari siswa biasa. Ada banyak
keistimewaan menjadi mahasiswa. Hal yang paling mudah terihat adalah dari segi
berpakaian yang tidak berseragam seperti ketika di SMA. Tentu ini tidak
esensial. Namun setidaknya dari urusan ini saja, ada ruang previllage yang didapatkan. Sebagai mahasiswa, Anda dibolehkan
untuk berekspresi sesuai dengan fashion yang Anda inginkan. Keseragaman berubah
menjadi keberagaman. Hal ini sesuai dengan makan dari lingkungan akademik yang
sangat menghormati perbedaan cara pandang.
Keistimewaan yang paling hakiki
dari mahasiswa adalah kesadaran untuk menimba ilmu dan pengalaman hidup.
Mahasiswa memiliki strata sosial yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada
umumnya. Pada peralihan orde di masa lampau, mahasiswa menjadi avant-garde di dalam menyuarakan
perubahan-perubahan. Mereka berani untuk menentang tirani ketika kekuasaan
menjadi rezim otoritarian. Dengan strata sosial tersebut, mahasiswa lebih mudah
untuk didengar suaranya dibandingkan dengan elemen lain di masyarakat. Di sisi
lain, mahasiswa yang notabene berusia relatif muda adalah tulang punggung
bangsa. Hanya rezim bodohlah yang merasa terancam oleh suara-suara mahasiswa
Jika dikaitkan dengan wiracarita
Mahabharata, ketiga tokoh yang saya presensi di atas (Arjuna, Ekalaya dan
Karna) bisa menjadi bahan pertimbangan pilihan akan menjadi “mahasiswa” semacam
apa. Tokoh Arjuna saya ibaratkan sebagai mahasiswa yang patuh, tertib dan
gandrung dengan ilmu pengetahuan. Penghormatan terhadap guru yang mengakibatkan
dirinya dikenal sebagai sosok pemanah yang sangat hebat. Walaupun di sisi lain,
ada latar belakang keuntungan dari Arjuna yaitu ia telah diposisikan sebagai
keturunan bangsawan. Asal mula ini pulalah yang membuat Drona mau mengajar
Arjuna dan saudara-saudaranya.
Hal ini berbeda sekali dengan
Ekalaya. Dalam konteks pendidikan, ia tidak belajar langsung pada sang guru. Ia
belajar memanah secara otodidak. Jenis mahasiswa semacam ini tentu tidak bisa
dianggap sebelah mata. Jika saya korelasikan dengan mahasiswa sekarang, maka ia
diposisikan sebagai orang yang senang melahap banyak ilmu pengetahuan
dimanapun, kapanpun. Ia Menempa dirinya di perpustakaan dan ruang-ruang
akademik walaupun sang guru tidak pernah mengajarinya memanah, walau Ekalaya
tidak mendapatkan respek dari Drona. Watak luar biasa dari Ekalaya adalah ia
tetap memposisikan Drona sebagai guru yang harus dihormati walaupun ada misi “pembodohan”
yang dilakukan Drona kepadanya. Dari cerita ini, kita juga bisa menyimpulkan
bahwa tidak semua guru memiliki watak yang “brahmana.” Adakalanya, sebagai
manusia biasa, sang guru terperosok pada urusan yang terlampau fana seperti
ingin diakui eksistensinya tetapi mengabaikan personalitas dirinya yang
memiliki predikat sang guru.
Sementara pada tokoh Karna, kita
bisa belajar dari pengalaman hidupnya untuk terus belajar walaupun di sisi lain
ia harus berbohong kepada gurunya demi mendapatkan ilmu memanahnya. Sosok Karna
sebagai seorang sudra tidak menyurutkan dirinya untuk menyerah pada keadaan.
Kehausan ilmu yang ingin didapatkannya ditebus dengan kehebatan memanahnya yang
luar biasa. Walaupun pada sisi lain, Karna terjebak pada sebuah situasi di mana
ia tidak bisa berpaling dari pihak Kurawa karena harus membalas budi akan
kebaikan Duryodana dengan menjadikannya sebagai raja dari kerajaan Angga.
Karena mendapatkan ilmu yang salah, ia “dihukum” untuk terus menerus berpihak
kepada pihak yang salah, walaupun ia sadar atas kesalahannya.
Sejatinya, orang-orang pembelajar
seperti mahasiswa selalu belajar untuk memihak pada kebenaran. Bahkan seperti
yang dilakukan Karna, kesalahan adalah
bagian lain menuju kebenaran. Predikat menjadi maha-siswa tidak hanya selesai
pada urusan istilah. Ia harus menjadi sebuah realitas faktual bahwa mahasiswa
memang orang-orang yang haus dengan ilmu pengetahuan.
Tanah Air, 2014