Minggu, 10 Agustus 2014

MAHASISWA DAN MAHABHARATA


Di sebuah stasiun televisi swasta, ada film serial dari India yang kini disukai pemirsa Indonesia, Mahabharata. Sebagai bagian dari massa popular, sayapun ikut gandrung dan mengikuti serial tersebut. Bahkan ketika menulis artikel ini, saya baru menulis setelah menonton film itu. Lantas, saya mulai berpikir untuk mengaitkan antara film Mahabharata dengan Mahasiswa yang kebetulan dua-duanya dimulai dari kata “-maha.”
Mahabharata sering dikait-kaitkan dengan sejarah epik India. Masyarakat begitu percaya bahwa cerita pertempuran antara Pandawa dan Kurawa itu benar-benar terjadi. Padahal jika kita kembali pada ruang literer, sebetulnya cerita tersebut tidak akan bersemayam di dalam pikiran masyarakat jika tidak ada campur tangan dari seorang begawan sastra bernama Vyasa. Dialah yang melakukan konstruksi sehingga wiracarita itu seakan-akan terjadi bahkan menjadi referensi cermin kehidupan sosio-kultural. Lantas apakah salah jika kita bercermin pada wiracerita? Tentu tidak. Bahkan banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari kejadian di dalam cerita Mahabharata.
Sekiatan dengan pendidikan, saya jadi teringat bagaimana tokoh mahaguru Drona harus menjadi guru yang baik bagi Kurawa dan Pandawa. Ia mengajari dengan tekun dan tidak membeda-bedakan. Namun, seiring berjalannya waktu, tidak semua siswa bisa mencerna pelajaran sang guru. Disinilah ruang alamiah berperan.  Sebagai guru yang juga manusia biasa, Drona akhirnya lebih mencintai Arjuna dibanding yang lain karena dia adalah siswa yang paling pintar dan giat belajar. Ilmu yang diberikan Drona dengan cepat dipahaminya. Arjuna telah menjadi ikon bagi kesuksesan Drona menjadi guru. Bahkan ketika “keguruannya” terancam dengan kehadiran tokoh Ekalaya, seorang anak biasa yang mampu memanah selevel Arjuna, Drona meminta kepada Ekalaya untuk memotong jarinya. “Jika kau ingin berguru kepadaku, maka kau harus berani memotong jarimu.” Ucap Drona. Di dalam epik Mahabharata, diketahui bahwa Ekalaya berguru melalui patung kepada Drona dan ia merasa bahwa Dronalah yang mengajarinya ilmu memanah. Tanpa berpikir panjang, Ekalaya dengan ketulusannya memotong jarinya sebagai tanda keikhlasan kepada sang guru. Padahal ini adalah akal-akalan Drona agar Arjuna tidak memiliki saingan. Dengan kehilangan jarinya, Ekalaya sudah tidak bisa lagi penjadi pemanah.
Hal lain yang bisa kita pelajari dari cerita Mahabharata yang dikaitkan dengan dunia pendidikan adalah mengenai kegigihan tokoh Karna yang berasal dari kasta Sudra. Di dalam wiracarita, yang dibolehkan untuk belajar ilmu perang harus berasal dari kasta Ksatria dan Brahmana. Kasta Sudra yang disandang Karna ditolak mentah-mentah oleh banyak guru. Namun dengan keseriusannya belajar, akhirnya Karna berpura-pura sebagai keturunan Brahmana. Akhirnya ia berbohong kepada Parasurama, guru dari Bhisma dan Drona. Ia pun mendapatkan ilmu memanah yang luar biasa dari Parasurama. Dari proses berguru inilah Karna bisa menyamai level Arjuna. Di dalam perang di Kurusetra antara Arjuna dan Karna diceritakan bahwa tidak ada yang memanangkannya. Adapun kematian Karna terjadi karena ulah Arjuna memanah dari belakang ketika Karna sedang tidak siap karena sedang memperbaiki roda keretanya.
Lantas, apa kaitannya dengan dunia mahasiswa? Jika kita konstruksi dari makna kata, bisa kita ambil simpulan bahwa mahasiswa tentu berbeda dengan level siswa. Dengan diberi kata “maha” maka mahasiswa diposisikan lebih (paling) dari siswa biasa. Ada banyak keistimewaan menjadi mahasiswa. Hal yang paling mudah terihat adalah dari segi berpakaian yang tidak berseragam seperti ketika di SMA. Tentu ini tidak esensial. Namun setidaknya dari urusan ini saja, ada ruang previllage yang didapatkan. Sebagai mahasiswa, Anda dibolehkan untuk berekspresi sesuai dengan fashion yang Anda inginkan. Keseragaman berubah menjadi keberagaman. Hal ini sesuai dengan makan dari lingkungan akademik yang sangat menghormati perbedaan cara pandang.
Keistimewaan yang paling hakiki dari mahasiswa adalah kesadaran untuk menimba ilmu dan pengalaman hidup. Mahasiswa memiliki strata sosial yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya. Pada peralihan orde di masa lampau, mahasiswa menjadi avant-garde di dalam menyuarakan perubahan-perubahan. Mereka berani untuk menentang tirani ketika kekuasaan menjadi rezim otoritarian. Dengan strata sosial tersebut, mahasiswa lebih mudah untuk didengar suaranya dibandingkan dengan elemen lain di masyarakat. Di sisi lain, mahasiswa yang notabene berusia relatif muda adalah tulang punggung bangsa. Hanya rezim bodohlah yang merasa terancam oleh suara-suara mahasiswa
Jika dikaitkan dengan wiracarita Mahabharata, ketiga tokoh yang saya presensi di atas (Arjuna, Ekalaya dan Karna) bisa menjadi bahan pertimbangan pilihan akan menjadi “mahasiswa” semacam apa. Tokoh Arjuna saya ibaratkan sebagai mahasiswa yang patuh, tertib dan gandrung dengan ilmu pengetahuan. Penghormatan terhadap guru yang mengakibatkan dirinya dikenal sebagai sosok pemanah yang sangat hebat. Walaupun di sisi lain, ada latar belakang keuntungan dari Arjuna yaitu ia telah diposisikan sebagai keturunan bangsawan. Asal mula ini pulalah yang membuat Drona mau mengajar Arjuna dan saudara-saudaranya.
Hal ini berbeda sekali dengan Ekalaya. Dalam konteks pendidikan, ia tidak belajar langsung pada sang guru. Ia belajar memanah secara otodidak. Jenis mahasiswa semacam ini tentu tidak bisa dianggap sebelah mata. Jika saya korelasikan dengan mahasiswa sekarang, maka ia diposisikan sebagai orang yang senang melahap banyak ilmu pengetahuan dimanapun, kapanpun. Ia Menempa dirinya di perpustakaan dan ruang-ruang akademik walaupun sang guru tidak pernah mengajarinya memanah, walau Ekalaya tidak mendapatkan respek dari Drona. Watak luar biasa dari Ekalaya adalah ia tetap memposisikan Drona sebagai guru yang harus dihormati walaupun ada misi “pembodohan” yang dilakukan Drona kepadanya. Dari cerita ini, kita juga bisa menyimpulkan bahwa tidak semua guru memiliki watak yang “brahmana.” Adakalanya, sebagai manusia biasa, sang guru terperosok pada urusan yang terlampau fana seperti ingin diakui eksistensinya tetapi mengabaikan personalitas dirinya yang memiliki predikat sang guru.
Sementara pada tokoh Karna, kita bisa belajar dari pengalaman hidupnya untuk terus belajar walaupun di sisi lain ia harus berbohong kepada gurunya demi mendapatkan ilmu memanahnya. Sosok Karna sebagai seorang sudra tidak menyurutkan dirinya untuk menyerah pada keadaan. Kehausan ilmu yang ingin didapatkannya ditebus dengan kehebatan memanahnya yang luar biasa. Walaupun pada sisi lain, Karna terjebak pada sebuah situasi di mana ia tidak bisa berpaling dari pihak Kurawa karena harus membalas budi akan kebaikan Duryodana dengan menjadikannya sebagai raja dari kerajaan Angga. Karena mendapatkan ilmu yang salah, ia “dihukum” untuk terus menerus berpihak kepada pihak yang salah, walaupun ia sadar atas kesalahannya.
Sejatinya, orang-orang pembelajar seperti mahasiswa selalu belajar untuk memihak pada kebenaran. Bahkan seperti yang dilakukan Karna,  kesalahan adalah bagian lain menuju kebenaran. Predikat menjadi maha-siswa tidak hanya selesai pada urusan istilah. Ia harus menjadi sebuah realitas faktual bahwa mahasiswa memang orang-orang yang haus dengan ilmu pengetahuan.

Tanah Air, 2014