Minggu, 17 Agustus 2014

SITI BAGJA MUAWANAH: SANG PEMBANTU YANG CUM LAUDE


Ada celah bagi dosen yang tak bisa mengelak untuk tak mengenal mahasiswanya yaitu “mahasiswa ekstrim(is)”. Mahasiswa ekstrim ini terbagi atas dua kutub, negatif dan positif. Misalnya, dosen pasti akan mengenal mahasiswa paling cerdas karena ia aktif di kelas, aktif sebagai organisatoris, sering bertanya atau aktif menyanggah dosen; memiliki aktivitas akademik yang di atas rata-rata dan ia akan menghubungi dosennya jika jarang masuk ke kelas dan ia tak segan untuk protes jika nilainya jatuh karena sebab yang tak masuk akal. Inilah yang saya sebut mahasiswa ekstrim positif. Kutub lain yang juga tak lepas dari  perhatian dosen adalah mahasiswa yang malas masuk kelas, sering terlambat memasukkan tugas lalu tiba-tiba saja ia ingin ikut Ujian Akhir Semester. Tentu hal ini mudah dideteksi sebagai obrolan hangat dosen-dosen karena setiap dipresensi, ia tak pernah ada. Jika nilainya jelek, dia ngotot ingin perbaikan. Begitulah mahasiswa ekstrim negatif. Dua kutub ini akan mudah dikenal karena keekstrimannya.

Setiap tahun, saya mengajar ratusan orang. Seperti dosen pada umumnya, sudah bisa dipastikan, saya tak mungkin mengenal semua mahasiswa yang ada di kelas, kecuali ia tersubstitusi sebagai mahasiswa ekstrim yang saya jelaskan di atas. Ada satu mahasiswa yang saya sebut sebagai mahasiswa ekstrim dengan citarasa yang berbeda. Nilainya bagus-bagus, aktif berdiskusi, namun setelah selesai di kelas, ia seakan-akan raib dari hiruk pikuk mahasiswa. Setelah saya telusuri, barulah saya tahu bahwa ia harus segera pulang karena ia memiliki predikat sebagai Pembantu Rumah Tangga.

Namanya Siti Bagja Muawanah, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Untirta. Ia berasal dari kampung Kuluk Leugeut, Ciomas. Ibunya(Askamah) meninggal ketika melahirkan anak ke-7, ketika Bagja menginjak semester empat. Bapaknya bernama Jamsuni (51 tahun) hanya tukang bersih-bersih di sekolah. Ketika ibunya meninggal, Bagja benar-benar terpukul. Apa lagi melihat saudara-saudaranya yang juga harus sekolah. Namun di sisi lain, ia tak bisa berdiam diri. Demi melanjutkan hidupnya dan kehendak yang begitu besar ingin menyelesaikan kuliahnya, ia memutuskan untuk menjadi pembantu Rumah Tangga di kota Serang. Keputusannya diambil untuk memangkas jarak dengan kampus. Jika ia bolak balik ke dari kampus ke kampungnya bisa menghabiskan 34 ribu rupiah/ hari.

Lalu iapun bertemu dengan sebuah keluarga  di komplek Ciceri Indah yang berbaik hati "menampung" dirinya. Bagja siap untuk menjadi Pembantu Rumah Tangga di sela-sela waktu senggangnya berkuliah. Yang penting ia punya kamar untuk tidur dan makan. Itu saja sudah cukup, pikirnya. 

Begitulah yang dilakukan Bagja setiap hari, kuliah dan bekerja. Ia melakukannya hingga 2,5 tahun. Cukup lama? Bisa jadi. Bahkan sebetulnya Bagja mencoba untuk bekerja sambil kuliah seperti teman-temannya yang lain. Dia pernah melamar di BTPN Syariah dan diterima. Namun ketika hendak bekerja, Bank tersebut meminta Bagja untuk cuti satu semester dan Bagja menolaknya. Ia tak mau urusan pekerjaan menggangu kuliahnya. Ia sudah bertekad ingin menyelesaikan kuliahnya secepat yang ia bisa. Di akhir semester tujuh, ia terpaksa menjual kebunnya untuk menyelesaikan kuliahnya. Akhirnya di pertengahan bulan Agustus, Bagja berhasil menyelesaikan kuliahnya selama empat tahun dengan predikat Cum Laude, sebuah capaian prestasi akademik yang cukup membanggakan.


Mahasiswa seperti Siti Bagja Muawanah memang ada, tapi mahasiswa semacam ini tenggelam oleh hiruk pikuk mahasiswa kebanyakan. Saya yakin banyak siti-siti lainnya yang perih hidupnya tapi memiliki kemauan keras. Selamat atas prestasimu Siti Bagja Muawanah. Ingat, perjuangan belum selesai. Belum apa-apa.