Senin, 01 September 2014

DUH...UNTIRTA


1 September pukul 07.30 saya sudah di kampus. Lazimnya dosen, acuan standar yang dipakai adalah kalender akademik. Di luar gedung, saya bertemu dengan Dr. Muhyi Mohas, dosen Fakultas Hukum. Kamipun berbincang sebentar dan merespons sampah-sampah yang berhamburan di tempat parkiran. Setelah itu kami masuk kelas. Saya langsung menuju lantai 4. Namun ketika sampai di depan kelas, pintu terkunci. Saya tanya salah seorang mahasiswa yang ada di lorong kelas. "Memangnya belum masuk?" Mahasiswa Baru itu juga tidak mengerti. "Kalau dijadwal akademik harusnya sih sudah masuk." Diapun kebingungan. Saya telepon staf Prodi dan menanyakan persoalan ini. "Iya, Pak. Ada perubahan waktu. Perkuliahan mulai minggu depan." kata Mumu di ujung telepon. "Apa masalahnya?" saya kejar pertanyaan. "Saya juga kurang tahu. Mungkin karena Prodi baru itu, Pak. Jadi FKIP belum siap."

Tak banyak bicara, saya langsung keluar gedung. Dari kejauhan saya melihat Dekan FISIP menuju gedung B lengkap dengan jas almamater. Di belakangnya ada beberapa dosen. "Mau kemana nih?" tanya saya. "Di FISIP kegiatan akademik sudah di mulai. Sekarang ada kuliah umum di auditorium," kata Roni, dosen FISIP. Lalu saya "melarikan diri" ke UKM Kafe Ide sambil mengerjakan beberapa tulisan. Saya melihat Hendrik dan beberapa penjaga kantin yang sibuk seperti biasa. 5 menit kemudian ada Tio. Saya lupa pekerjaannya di rektorat. Kalau tidak salah dia Kabag Umum dan Perlengkapan. "Pak Tio, kalender akademik berubah ya?" Dia cuek menjawab pertanyaan saya. "Wah, kurang tahu, itu bukan urusan saya Pak. Itu urusan Warek 1," ucapnya. Saya agak kesal mendengar jawabannya. Kemudian saya lihat sampah-sampah yang menumpuk di samping. "Nah, itu tuh kerjaanmu. Kok bisa sampah menumpuk seperti itu." Dia diam saja dan agak sedikit komat kamtik nggak jelas. Mungkin dia sedang melantunkan surat jangjawokan agak tidak kena semprot. "Drik..." Saya berteriak kepada salah seorang penjaga kebersihan yang pekerja keras itu. "Coba kamu tanya sama Pak Tio, mau dikemanakan sampah bawaanmu itu." Hendrik yang pernah saya kasih beberapa buku itu hanya tersenyum sambil mendatangi saya. "Pak, lebih baik bapak aja yang ngomong. Kalau saya pasti kalah berargumen," katanya.

Entah karena Tio kesal melihat saya dan Hendrik ngobrol, diapun setengah memarahi Hendrik. "Kamu kalau nyapu jangan pakai tangan, pakai sapu!" Hardiknya. Hendrik tak mau kalah sewot. Padahal Tio adalah atasannya. "Iya Pak saya tahu kalau nyapu pakai sapu. Saya lagi ngurusi sampah di depan pos Satpam dulu," ucapnya sambil berlalu, begitupun Tio.

Pukul 08.47 barulah mobil kebersihan datang membawa sampah yang menggunung.

Saya tidak tahu kenapa di kampus semua begitu terlambat? Padahal banyak hal yang bisa dilakukan di waktu-waktu yang tepat. Ketika menulis tulisan semacam inipun, saya sering dianggap sebagai biang masalah. Saya terlalu banyak ngomong dan terlalu banyak mengkritik kampus kata mereka. Saya jadi meng-iya-kan pernyataan kelakar Tio (aktivis mesjid kampus--namanya sama dengan Kabag) yang melintas di depan saya ketika menulis ini. "Pak, ibadah mah cuman solat, ngajar di Untirta mah nggak perlu serius..." hehehe....ya begitulah. Saya harus belajar untuk men-down grade urusan komitmen dan akademik saya, walau sulit saya lakukan. Tentu persoalannya sederhana. Karena saya terlalu mencintai kampus ini dan itulah takdir yang harus saya lumat setiap hari.