Jumat, 05 September 2014

CATATAN PERJALANAN LITERASI DI SULAWESI TENGAH


Oleh Firman Venayaksa

Pada tanggal 2 September 2014, bertepatan dengan pertamakali saya dilahirkan ke dunia ini, saya diamanahi oleh Kemdibud untuk melakukan visitasi ke Perpustakaan Mini Nemu Buku di Palu, Sulawesi Tengah. Nemu Buku adalah komunitas literasi yang dibidani oleh Neni Muhidin, seorang sastrawan Palu. Pada tahun ini, Nemu Buku menjadi salah satu kandidat/ nominator untuk mendapatkan penghargaan “TBM Kreatif Rekreatif” Dari Mendikbud.


Begitu mendarat di Bandara Mutiara, saya langsung diajak oleh Neni ke komunitasnya. Saya cukup terkejut melihat kegiatan Nemu Buku. Mereka tidak hanya mengurusi urusan buku saja. Sebagai Taman Bacaan yang lahir dari komunitas, Nemu Buku adalah ruang publik yang terdiri atas begitu banyak komunitas. Di sana ada komunitas film, perupa, Koalisi Pemuda Hijau, Palu Fixie (komunitas sepeda), Palu Menulis, Program Pengembangan Kota Hijau dan lain-lain. Dengan seabreg kegiatan, mereka diskusi banyak hal. Saya cukup beruntung karena langsung melihat kesibukan mereka berdiskusi hingga larut malam. Sekitar pukul 01.30, sebelum istirahat di penginapan, saya ditemani Mirwan, pencinta fotografi, untuk memotret jembatan “M” yang menjadi salah satu ikon di Palu.

Esok hari, saya bersama Neni mendatangi Dinas Pendidikan Provinsi Sulteng. Di sana saya bertemu dengan Kabid PNFI, Dr. Hatijah Yahya. Kami berdiskusi banyak hal mengenai dunia literasi. Sebagai orang Palu yang mengerti mengenai peta TBM di wilayah itu, Neni sedikit bersitegang dengan Hatijah. Neni protes kepadanya karena selama ini TBM dianaktirikan oleh Dinas Pendidikan. “Ibu itu jangan hanya mengurusi Paud. Paud itu penting, tapi TBM tak kalah penting. Coba ibu lihat, ada berapa TBM di tempat kita?” Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya Hatijah siap mendukung keberadaan Forum TBM di Sulteng dan siap membantu sesuai dengan kapasitasnya.

Setelah pamitan dan menikmati kopi disebuah warung kopi, saya diajak Neni menunjungi sebuah TBM yang berada di tempat kursus. TBM itu pernah mendapatkan dana bantuan. Tapi setelah melihat ke lokasi, saya kesal sekali. TBM tertutup rapat. Buku-buku nyaris tak ada. Saya dan neni hanya bisa melihat dari luar. Cukup mengenaskan.


Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Neni. Sepertinya pikirannya sedang berkecamuk; antara kesal, marah tetapi di sisi lain dia ingin agar gerakan literasi di Sulawesi Tengah berkembang. Dengan dibonceng sepeda motornya, saya ikuti keinginan Neni untuk bertemu dengan siapapun. Sampai akhirnya saya diajak ke sebuah rumah no 28 yang sedang direnovasi. “Nah, saya mau ngajak kamu bertemu orang gila,” ucapnya.
Namanya Rahmat Saleh. Dia adalah dosen arsitektur di Universitas Tadulako. Ketika masuk rumahnya yang acak-acakan, saya tahu ada “kegilaan” di tempat ini. Ratusan buku-buku numpuk di belakang.



“Mohon maaf Mas Firman. Saya sedang renovasi. Saya sedang memperbesar Taman Bacaan di depan.” Ucapnya sambil menyediakan air putih dengan es dari kulkas. Siang hari, Palu memang terasa terik. Neni sampai membuka kaosnya. Namun diskusi dengan Rachmat Saleh membuat saya bersemangat. “Bahkan…” lanjutnya, “saya punya koleksi lengkap Gol A Gong. Saya mulai membaca tulisan dia sejak majalah HAI masih 600 perak” kenangnya. Dia memang pencinta berat novel Balada Si Roy. Generasi pembaca Si Roy memang menyebar di mana-mana.

Mengenai komunitas 28, Rachmat sengaja memfokuskan pada buku-buku arsitektur. “tentu dilengkapi juga dengan novel-novel dan buku kebudayaan,” tambahnya. Sebagai seorang dosen, dia memiliki hasrat agar para mahasiswanya bisa banyak membaca buku.

Sekitar pukul 14.00, teman kerja Rachmat Saleh di Jurusan Arsitektur, Untad, bernama Zubair, mendatangi tempat itu. Saya betul-betul tidak tahu apa yang akan mereka rencanakan dan hendak pergi kemana. Mungkin disitulah keakraban sesama relawan literasi, walau baru pertama kali bertemu. Kamipun pergi dari rumah Rachmat Saleh yang lebih akrab dipanggil Ai itu.

Ternyata saya diajak ke Donggala bertemu Jamrin Abu Bakar, relawan literasi yang juga bekerja sebagai penulis. Perjalanan dari Palu menuju Donggala di tempuh sekitar 45 menit. Saya berjumpa dengan gunung dan lautan. Sambil ngobrol, kamera saya pasang dan menemukan fokusnya. Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah makan yang menjorok ke tepi pantai. Jamrinpun datang. Sambil makan siang kami ngobrol ngalor ngidul mendiskusikan banyak hal.

Setelah 30 menitan, kami mendatangi rumah Jamrin di Donggala. Di dalam peta sejarah, dulu Donggala sangat terkenal dengan pelabuhan dan penghasil Kopra. Donggala adalah salah satu pusat peradaban di Sulawesi. Artefak-artefak sejarah berupa bangunan zaman kolonial masih terlihat walaupun sudah banyak yang tidak terurus.  Sambil menjelajahi Donggala, Zubair sedikit berkelakar bahwa dulu bau Kopra menjadi ciri khas tempat ini. Lalu kamipun berhenti di pantai Tanjung Karang dan menikmati keindahannya.




Malam hari, setelah mengelilingi keindahan Donggala, saya dan Neni di drop oleh Rachmat dan Zubair di Nemu buku. Ternyata sudah ada puluhan relawan di sana menunggu kedatangan kami. Semakin malam, orang-orang kian bertambah. 


Mereka berasal dari pelbagai latar belakang, mulai dari aktivis lingkungan hidup, pencinta literasi, fotografer, penulis, bahkan relawan tuna rungu. 




Saya didaulat oleh Neni menjelaskan mengenai gerakan literasi di Indonesia sekaligus menjelaskan maksud kedatangan saya. Mereka merespons cukup baik dan bersepakat bahwa Forum Taman Bacaan Masyarakat di Sulawesi Tengah yang dikomandani oleh Neni Muhidin akan menjadi wadah sekaligus ruang jejaring bagi komunitas literasi di Sulteng.  

Tanah Air, 2014