Oleh Firman Venayaksa[ii]
Sebelum masuk pada ruang pembahasan
mengenai balada, saya ingin sedikit ngalor ngidul mengenai pengamatan baru saya
dalam dunia perbatuan (gemstone). Seperti
yang kita ketahui, sekarang ini banyak yang terkena demam batu. Di perempatan pasar
Royal kota Serang, lebih dari 30 tukang batu berjejer di depan toko yang
bersampingan dengan tukang sol sepatu. Mulai dari pukul 08.00 aktivitas menjual
sekaligus menggosok batu dimulai dan berakhir pada pukul delapan malam. Para
pencinta batu yang hadir itu begitu setia dan bisa berlama-lama memandangi
benda mati itu. Golongan sosial mulai dari tukang becak, PNS hingga kalangan
ataspun berkumpul menjadi satu. Tak lupa mereka membawa senter untuk mengetes
keindahan batu. Jika mereka suka dengan sebuah batu, mereka rela mengeluarkan
ratusan bahkan jutaan rupiah.
Awalnya saya cukup kaget melihat
situasi semacam ini. Mengapa sebongkah batu bisa menghipnotis mereka? Ada dua
hal yang membuat mereka jatuh cinta pada batu. Pertama, adalah nilai
estetisnya. Setiap batu memiliki karakteristik keindahan tersendiri;
guratan-guratan dan warna tiap batu memberikan dampak yang berbeda bagi para
pencinta batu. Mulai dari kalimaya Banten, Jamrud dan Kecubung Martapura, Giok
Aceh, Red Baron Pacitan, Hijau Garut hingga batu bacan Ternate yang kini sedang
naik daun karena pernah dipakai oleh Obama menjadi etalase yang cukup
menghibur. Hal kedua yang menjadi bagian menarik adalah mengenai narasi yang
hadir dibalik kehadiran batu-batu tersebut. Mereka bisa berlama-lama bergosip
tentang dunia perbatuan karena menikmati sejumlah narasi dari batu-batu itu.
Misalnya ada batu yang bisa menambah karisma, enteng jodoh, mudah mendapat
rejeki dan sebagainya. Belum lagi jika batu-batu yang didiskusikan itu didapat
dari tempat-tempat gaib dan keramat. Tentu pada bagian yang agak berbau kelenik
ini tak semua menyepakati, namun seperti yang terjadi di Pasar Royal, narasi
semacam itu merupakan bagian lain dari dunia perbatuan.
Berdasarkan cerita di atas, saya ingin
mengiatkan antara dunia batu dengan dunia balada walau terkesan sedikit dipaksakan.
Seperti kesenian pada umumnya, balada adalah jenis kesenian yang juga
mengandung dua hal itu, pertama adalah persoalan estetika dan kedua adalah
wilayah narasi.
Memahami balada (baik musik ataupun
puisi) adalah memanfaatkan karakteristik manusia sebagai makhluk pengabar/
pencerita. Bahkan pada konteks asumsi yang lebih luas, terutama pada ruang
lingkup masyarakat yang lebih menonjol sisi oralitasnya, manusia lebih terbujuk
pada cerita yang bagus dibandingkan dengan argumen yang baik. Selain itu
kelebihan bernarasi tidak hanya berpretensi mengajak orang untuk sekadar
berlogika semata, bernarasi mengajak untuk melihat dan merasakan. Maka wajar
jika akhirnya, pada aliran balada, yang sering dipresentasikan oleh pemusik
atau penyair adalah memberikan sebuah kesaksian pada karya-karyanya. Mereka
mencoba menjadi artikulator dari fenomena kesehariannya.
Pada metode narasi seperti yang
terungkap di dalam aliran balada setidaknya ada dua hal yang penting untuk
digarisbawahi. Pertama, membantu menegaskan sejarah dari kesadaran manusia
sebagai makhluk kolektif. Kedua, dari sisi individual, cerita adalah cerminan
pribadi/ personal tiap orang.
Di Indonesia, penyair yang lebih fokus
pada aliran balada salah satunya adalah WS Rendra. Mulai dari Balada orang-orang Tercinta, hingga Orang-orang Rangkasbitung sangat kental
mengusung ruang naratif. Hal ini membuat Rendra atau yang dikenal sebagai Si
Burung Merak, lebih mudah untuk mentransformasikan gagasannya kepada khalayak.
Dengan bernarasi (bercerita) karya-karyanya bisa mewakili keadaan sosial pada waktu
tertentu dan dengan demikian, Rendra telah berhasil menjadikan karya-karyanya
sebagai world view.
Di wilayah musik balada, hal ini juga
tercermin pada karya-karya Iwan Fals yang memberi kesaksian sekaligus kritik
mengenai ketimpangan sosial. Keberanian Iwan Fals untuk menyindir “wakil rakyat”
di dalam lagunya telah memberikan nafas segar dalam perkembangan musik balada
di Indonesia terutama dari sisi tematik. Berbeda dengan Iwan, pemusik lain
seperti Ebiet G Ade menambahkan ruang meditatif di dalam karya baladanya.
Proses perenungan dengan sentuhan puitik memunculkan kelikatan alienasi
tersendiri bagi pencinta musik balada di Tanah Air. Konsistensi lain yang tak
kalah serius tentu ada pada Ully Sigar Rusady dengan tema-tema sosial dan lingkungan.
Jadi, dengan mengabsen sedikit
nama-nama yang konsisten pada aliran balada, kita bisa melihat bagaimana aliran
ini menyuguhkan variasi tematik di dalam karya-karyanya dan disinilah
kepentingan dari ruang naratif tersebut. Jika kita bandingkan dengan industri
musik sekarang, kita bisa merasakan begitu monotonnya tema yang diusung. Tentu
tema cinta sangat universal, namun dengan “memenjarakan” diri pada cinta
platonik nampaknya akan menumbuhkan kejengahan tersendiri, sementara di
sekeliling kita begitu banyak persoalan yang harus menjadi kesaksian para
seniman melalui karya-karyanya. Pada konteks ini, balada memberikan alternatif
yang lebih luas untuk dijelajah.
Selain itu karakteristik balada yang
naratif juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai
tertentu. Hal ini senada dengan pemikiran yang dilontarkan oleh ahli filsafat
pendidikan seperti John Dewey bahwa cerita adalah sarana yang sangat penting di
dalam pembentukan cara berpikir dan karakter manusia.
Intinya, saya sangat menyambut dengan
penuh antusias atas didirikannya Rumah Balada Indonesia di Banten ini.
Setidaknya RBI bisa menjadi sarana alternatif bagi para pencinta balada dengan
menyuguhkan ruang-ruang lain dan menjadi penyeimbang dari aliran musik yang
telah ada.