Minggu, 07 Desember 2014

BALADA DAN NARASI

BALADA DAN NARASI [i]
Oleh Firman Venayaksa[ii]

Sebelum masuk pada ruang pembahasan mengenai balada, saya ingin sedikit ngalor ngidul mengenai pengamatan baru saya dalam dunia perbatuan (gemstone). Seperti yang kita ketahui, sekarang ini banyak yang terkena demam batu. Di perempatan pasar Royal kota Serang, lebih dari 30 tukang batu berjejer di depan toko yang bersampingan dengan tukang sol sepatu. Mulai dari pukul 08.00 aktivitas menjual sekaligus menggosok batu dimulai dan berakhir pada pukul delapan malam. Para pencinta batu yang hadir itu begitu setia dan bisa berlama-lama memandangi benda mati itu. Golongan sosial mulai dari tukang becak, PNS hingga kalangan ataspun berkumpul menjadi satu. Tak lupa mereka membawa senter untuk mengetes keindahan batu. Jika mereka suka dengan sebuah batu, mereka rela mengeluarkan ratusan bahkan jutaan rupiah.
Awalnya saya cukup kaget melihat situasi semacam ini. Mengapa sebongkah batu bisa menghipnotis mereka? Ada dua hal yang membuat mereka jatuh cinta pada batu. Pertama, adalah nilai estetisnya. Setiap batu memiliki karakteristik keindahan tersendiri; guratan-guratan dan warna tiap batu memberikan dampak yang berbeda bagi para pencinta batu. Mulai dari kalimaya Banten, Jamrud dan Kecubung Martapura, Giok Aceh, Red Baron Pacitan, Hijau Garut hingga batu bacan Ternate yang kini sedang naik daun karena pernah dipakai oleh Obama menjadi etalase yang cukup menghibur. Hal kedua yang menjadi bagian menarik adalah mengenai narasi yang hadir dibalik kehadiran batu-batu tersebut. Mereka bisa berlama-lama bergosip tentang dunia perbatuan karena menikmati sejumlah narasi dari batu-batu itu. Misalnya ada batu yang bisa menambah karisma, enteng jodoh, mudah mendapat rejeki dan sebagainya. Belum lagi jika batu-batu yang didiskusikan itu didapat dari tempat-tempat gaib dan keramat. Tentu pada bagian yang agak berbau kelenik ini tak semua menyepakati, namun seperti yang terjadi di Pasar Royal, narasi semacam itu merupakan bagian lain dari dunia perbatuan.
Berdasarkan cerita di atas, saya ingin mengiatkan antara dunia batu dengan dunia balada walau terkesan sedikit dipaksakan. Seperti kesenian pada umumnya, balada adalah jenis kesenian yang juga mengandung dua hal itu, pertama adalah persoalan estetika dan kedua adalah wilayah narasi.
Memahami balada (baik musik ataupun puisi) adalah memanfaatkan karakteristik manusia sebagai makhluk pengabar/ pencerita. Bahkan pada konteks asumsi yang lebih luas, terutama pada ruang lingkup masyarakat yang lebih menonjol sisi oralitasnya, manusia lebih terbujuk pada cerita yang bagus dibandingkan dengan argumen yang baik. Selain itu kelebihan bernarasi tidak hanya berpretensi mengajak orang untuk sekadar berlogika semata, bernarasi mengajak untuk melihat dan merasakan. Maka wajar jika akhirnya, pada aliran balada, yang sering dipresentasikan oleh pemusik atau penyair adalah memberikan sebuah kesaksian pada karya-karyanya. Mereka mencoba menjadi artikulator dari fenomena kesehariannya.
Pada metode narasi seperti yang terungkap di dalam aliran balada setidaknya ada dua hal yang penting untuk digarisbawahi. Pertama, membantu menegaskan sejarah dari kesadaran manusia sebagai makhluk kolektif. Kedua, dari sisi individual, cerita adalah cerminan pribadi/ personal tiap orang.
Di Indonesia, penyair yang lebih fokus pada aliran balada salah satunya adalah WS Rendra. Mulai dari Balada orang-orang Tercinta, hingga Orang-orang Rangkasbitung sangat kental mengusung ruang naratif. Hal ini membuat Rendra atau yang dikenal sebagai Si Burung Merak, lebih mudah untuk mentransformasikan gagasannya kepada khalayak. Dengan bernarasi (bercerita) karya-karyanya bisa mewakili keadaan sosial pada waktu tertentu dan dengan demikian, Rendra telah berhasil menjadikan karya-karyanya sebagai world view.
Di wilayah musik balada, hal ini juga tercermin pada karya-karya Iwan Fals yang memberi kesaksian sekaligus kritik mengenai ketimpangan sosial. Keberanian Iwan Fals untuk menyindir “wakil rakyat” di dalam lagunya telah memberikan nafas segar dalam perkembangan musik balada di Indonesia terutama dari sisi tematik. Berbeda dengan Iwan, pemusik lain seperti Ebiet G Ade menambahkan ruang meditatif di dalam karya baladanya. Proses perenungan dengan sentuhan puitik memunculkan kelikatan alienasi tersendiri bagi pencinta musik balada di Tanah Air. Konsistensi lain yang tak kalah serius tentu ada pada Ully Sigar Rusady dengan tema-tema sosial dan lingkungan.
Jadi, dengan mengabsen sedikit nama-nama yang konsisten pada aliran balada, kita bisa melihat bagaimana aliran ini menyuguhkan variasi tematik di dalam karya-karyanya dan disinilah kepentingan dari ruang naratif tersebut. Jika kita bandingkan dengan industri musik sekarang, kita bisa merasakan begitu monotonnya tema yang diusung. Tentu tema cinta sangat universal, namun dengan “memenjarakan” diri pada cinta platonik nampaknya akan menumbuhkan kejengahan tersendiri, sementara di sekeliling kita begitu banyak persoalan yang harus menjadi kesaksian para seniman melalui karya-karyanya. Pada konteks ini, balada memberikan alternatif yang lebih luas untuk dijelajah.
Selain itu karakteristik balada yang naratif juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai tertentu. Hal ini senada dengan pemikiran yang dilontarkan oleh ahli filsafat pendidikan seperti John Dewey bahwa cerita adalah sarana yang sangat penting di dalam pembentukan cara berpikir dan karakter manusia.
Intinya, saya sangat menyambut dengan penuh antusias atas didirikannya Rumah Balada Indonesia di Banten ini. Setidaknya RBI bisa menjadi sarana alternatif bagi para pencinta balada dengan menyuguhkan ruang-ruang lain dan menjadi penyeimbang dari aliran musik yang telah ada.

  


[i] Disampaikan pada seminar balada di ex pendopo gubernuran Banten, 24 November 2014

[ii] Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa