Selasa, 18 Agustus 2015

GITA SUROSOWAN DAN BUDAYA ANAK MUDA


Baraya Post, 19 Agustus 2015

Budaya anak muda adalah budaya perlawanan. Dengan entitas pencarian jati dirinya, mereka berusaha untuk menghadirkan ke-diri-annya melalui bentuk-bentuk komunal, karena hanya dengan cara itulah mereka bisa saling memahami satu sama lain atau di dalam ilmu youth culture dikenal dengan peta makna. Peta makna tersebut tidak hanya hadir pada pikiran mereka tetapi diekspresikan melalui tindakan hubungan sosial.
Pada kondisi inilah kemudian kebudayaan anak muda terjadi sebagai reaksi dari interaksi sosial mereka. Kebutuhan ekspresif yang dimengerti oleh anggotanya membuat terjalinnya konstitusi komunal di antara mereka dan membentuk sebuah tatanan kelompok/ institusi yang terbedakan dengan instutusi masyarakat pada umumnya.
 Di dalam proses seperti itu pula, mereka mencoba untuk menemukan nilai-nilai identitas kolektif sehingga mereka bisa dengan mudah untuk menjadi anggota geng tertentu, terlibat dalam huru-hara atau menjadi cross boy dan “nongkrong” seharian penuh dan menggoda orang-orang yang lalu-lalang.
Pada fase inilah anak muda juga dibaiat sebagai komunal yang “berbahaya” dan patut untuk ditundukkan. Setidaknya predikat itu muncul dari kalangan budaya dominan yang menganggap sikap hidup mereka sebagai kategori yang menyimpang. Padahal, apa yang mereka lakukan adalah upaya agar mereka bisa dimengerti oleh khalayak.
Persoalanya, dengan cara mereka itu, tidak semua kalangan budaya dominan memahaminya, sehingga jarak antara budaya anak muda yang –sub; makin terlepas dari budaya induknya. Setidaknya begitulah saya memulai tulisan ini sebagai respons dari munculnya protes dari pihak-pihak tertentu mengenai keikutsertaan Marching Band Gita Surosowan pada ajang DCI World Championship di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Mereka beranggapan bahwa keikutsertaan Gita Surosowan hanya menghambur-hamburkan dana APBD. “Dengan 6 milyar, feed back untuk Banten apa?” Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh para pengamat di beberapa media. Selain itu ada juga yang dengan begitu sumir mengatakan bahwa Gita Surosowan hanya bentuk pencitraan karena tidak memiliki prestasi apa-apa.
Saya tidak hendak terjebak pada persoalan klasik mengenai alokasi pendanaan yang selalu menjadi perdebatan yang tiada akhir.Sebagai akademisi dan peneliti mengenai kebudayaan anak muda, saya cukup prihatin dengan lontaran-lontaran tersebut, karena jelas sekali bahwa mindset dari pertanyaan tersebut salah kaprah. Mengapa harus selalu bicara untung-rugi ketika berbicara regenerasi? Kenapa juara 1, 2 atau 3 menjadi sebuah parameter keberhasilan? Apakah harus selalu berujung pada tolak ukur kuantitatif untuk melihat sebuah hasil? Sementara, objek yang sedang kita bicarakan adalah 148 anak muda yang rata-rata masih duduk di bangu SMP dan SMA, dengan segala problematikanya. Tak bisakah sejenak kita memakai kacamata anak muda untuk melihat anak muda?
148 anak muda itu bisa saja terlibat tawuran, menjadi pengedar obat bius atau menjadi pemerkosa. Tetapi dengan uang 6 milyar, 148 anak muda itu bisa menjadi pemantik bagi ribuan anak muda lainnya untuk berprestasi, bahkan menjadi inspirasi . Efek domino inilah yang harusnya ditangkap oleh para pengamat itu, bukan hanya menggunjingkan dan menyeret mereka yang tidak tahu menahu mengenai politik anggaran. Justru, keberanian Pemda Banten dengan “mengalokasikan” dana untuk anak muda berkiprah di ajang internasional harus kita anggap sebagai keseriusan mereka dalam mengupayakan regenerasi anak muda Banten di masa mendatang.
Sebagai warga Banten, saya juga termasuk orang yang jengah dengan persoalan-persoalan sosial yang belum bisa dituntaskan dengan baik; warga miskin yang sulit mengakses kesehatan, jalan raya rusak, sekolah ambruk dan seterusnya. Tetapi rasanya tidak adil jika kita terus mengutuk kondisi yang ada tetapi “menelantarkan” persoalan lain yang juga tak kalah penting. Persoalan regenerasi (anak muda) justru bagian dari subsistem yang sangat krusial di Banten ini. Pertanyaannya, berapa banyak anggaran yang dikeluarkan Pemda untuk menopang kegiatan mereka? Sudahkah Pemda memperhatikan fasilitas publik bagi anak-anak muda untuk berekspresi? Diskursus mengenai Gita Surosowan bagi saya adalah fondasi awal dari semangat Pemda Banten untuk pro pada geliat anak muda di Banten. Selain marching band, masih banyak anak-anak muda yang terlibat di bidang film, sastra, sains, organisasi dan lain-lain yang perlu juga untuk diperhatikan, Di dalam tulisan ini, saya justru menuntut kepada Pemda Banten agar lebih banyak lagi mengeluarkan porsi anggaran yang ideal sehingga anak-anak muda terfasilitasi 

Senin, 03 Agustus 2015

MENGGAGAS DEWAN KESENIAN (LAGI)
Oleh Firman Venayaksa

Banten Raya Pos (3/8/2015)
Sejak Provinsi Banten terbentuk, isu mengenai pentingnya pendirian Dewan Kesenian Banten terus bergulir. Sebelum pemerintahan yang dipimpin Rano Karno, Banten pernah memiliki Dewan Kesenian Banten (DKB) yang diketuai oleh budayawan sunda yang cukup disegani yaitu Yosep Iskandar. Namun waktu itu terjadi penolakan dari masyarakat seni di Banten yang mengatasnamakan Forum Kesenian Banten (FKB). Mereka merasa bahwa Yosep Iskandar tidak merepresentasikan seniman Banten. Cara Gubernur waktu itu, dengan melantik Ketua DKB tanpa ada diskusi dengan masyarakat seniman Banten memperruncing persoalan. Sementara, Disbudpar melakukan standar ganda, yaitu tetap mengklaim Dewan Kesenian Banten yang diketuai Yosep Iskandar sebagai DKB yang sah, di sisi lain, Disbudpar juga mengakomodir FKB sebagai organ komunal yang layak diberi bantuan APBD.
Pada akhirnya, yang tersisa adalah conflict of interest dan pertikaian horizontal antarseniman yang terus-menerus berkembang. Seiring berjalannya waktu dan setelah DKB ditinggalkan oleh Yosep Iskandar, masyarakat seniman Banten berusaha untuk mendirikan kembali di tengah semangat puing-puing yang berserak. Beberapa peristiwa pendirian DKB dari pelbagai faksi dilakukan.  Namun hingga pemerintahan Rano Karno, yang memiliki latar belakang sebagai seniman, DKB tidak pernah terwacanakan secara formal. Padahal posisi DKB memiliki fungsi yang cukup strategis, terutama menjadi wadah bagi para seniman berekspresi dan menjadi organ penting dalam merumuskan kebijakan kehidupan kesenian dan kebudayaan di Banten. Selama ini kita tidak pernah tahu bagaimana ancangan kesenian dan kebudayaan dikemudian hari. Seolah-olah kesenian dan kebudayaan di Banten dibiarkan hidup sendiri di tengah kepungan perkembangan zaman.

Pentingkah DKB?
Jika kita berkaca pada sejarah masa lalu mengenai pembentukan DKB, saya bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, kesalahan besar yang dilakukan pemerintah Banten adalah membentuk DKB tanpa ada keterlibatan dari masyarakat seniman Banten. Tentu kita memahami bahwa pendirian DKB merupakan titik tolak kehadiran pemerintah di masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengayomi dan mengembangkan potensi kesenian. Namun jika proses dialektika diabaikan dan hanya memakai otoritas dominan sebagai cara untuk melegitimasi DKB, maka potensi konflik tentu sangat tinggi. Kedua, saya juga mengkritik cara pandang seniman yang berusaha membuat legitimasi dengan mengumpulkan dukungan dari komunitas-komunitas kesenian, menginisiasi musyawarah untuk memunculkan salah satu sosok sebagai Ketua DKB dan “memaksa” Gubernur melantik secara formal merupakan pemahaman yang gegabah. Pada tahap ini, pemerintah membutuhkan legal standing yang jelas karena pada akhirnya kebijakan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) memiliki konsekuensi logis, terutama dalam hal penganggaran.
Berdasarkan dua hal di atas, maka jika DKB dianggap penting dan perlu untuk direvitalisasi, hal terbaik adalah melakukan dialog antara pemerintah dan masyarakat kesenian. Dengan silaturahmi pemikiran seperti itu, pemerintah sebagai eksekutif memahami harapan dari seniman sebagai subjek dan seniman memiliki acuan terhadap cara pandang pemerintah terkait kebijakan kesenian dan kebudayaan. Pada tahap selanjutnya, berdasarkan masukkan dari masyarakat kesenian, Gubernur harus berani melakukan terobosan dengan membuat Panitia Seleksi (Pansel) Ketua DKB sehingga legal standing bisa lebih kuat dan proses pendirian DKB bisa lebih transparan. Untuk pendirian Pansel setidaknya harus melibatkan tiga komponen yaitu akademisi, seniman dan pihak pemerintah yang berkepentingan (Disbudpar). Melalui otoritas yang dikeluarkan Gubernur mereka harus melahirkan acuan teknis yang jelas seperti kriteria yang ketat, agenda seleksi dan perangkat teknis lainnya sehingga pada akhirnya Pansel bisa mendapatkan beberapa figur Ketua/ pengurus DKB yang kemudian diputuskan melalui Surat Keputusan Gubernur Banten.
Terlepas dari hal-hal teknis di atas, saya melihat bahwa potensi kesenian di Banten cukup berkembang pesat. Hal ini terlihat dari geliat pelbagai komunitas kesenian untuk mempresentasikan karyanya di ruang publik. Di wilayah kesusastraan, beberapa penulis Banten sudah sering terlibat pada perhelatan di tingkat nasional bahkan internasional. Begitupun pada wilayah tari, teater, seni rupa, musik dan film. Potensi ini tentu cukup membanggakan.Apa lagi kita mendengar bahwa Festival Film Indonesia yang cukup bergengsi di tanah air itu akan dilaksanakan di Banten pada akhir tahun ini. Namun jika tidak ada wadah untuk menampung kreativitas kesenian di Banten, potensi semacam ini akan musnah secara perlahan dan kita akan gamang terhadap kehidupan kesenian dan kebudayaan di masa mendatang.